Saturday, December 29, 2007

Pendidikan atau “Toko” Pendidikan?


Pendidikan atau “Toko” Pendidikan?
Oleh: Astar Hadi*

Dalam preambule UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Secara filosofis, kata “mencerdaskan kehidupan”, paling tidak, dapat diartikan sebagai sebuah upaya membangun –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis masyarakat terhadap dinamika kehidupan yang sangat kompleks.
Kesadaran kritis pendidikan, tentu saja, merupakan manifestasi learning process yang mengandaikan sebuah kesinambungan tiga fokus “kesadaran” yang melekat dalam diri manusia, yaitu: thinking (berpikir), feeling (merasa) dan doing (melakukan). Pendidikan, dengan demikian, memposisikan dirinya tidak saja sebagai lokus berpikir secara kritis, ia juga melibatkan unsur-unsur sensitivitas (merasa) dalam bentuk keberpihakan terhadap kebenaran dan membangun aktivitas-kreatif (kerja) untuk menjalankan roda kehidupan/kebudayaan.
Ketiga unsur “kesadaran” tersebut menuntut sebuah ruang yang kita sebut pendidikan. Lantas apakah ruang yang kita sebut pendidikan tersebut sudah memenuhi tanggung-jawabnya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan atau mencipta “kesadaran kritis”? Atau, apakah pendidikan itu justru telah memperangkap kita dalam jejaring sistemik pendidikan yang akhir-akhir ini membuat banyak orang tua di Indonesia merasa ngeri untuk sekadar memikirkan dana yang harus dibayarkannya?
Pseudo Pendidikan
Alih-alih mencipta kehidupan, alih-alih mencerdaskan kehidupan, pendidikan bangsa kita dewasa ini adalah sesosok “hantu” kapitalisme yang setiap saat bisa menggerogoti tubuh sosial kita. Pendidikan tidak jauh beda dengan model “pembangunanisme” ala Rezim Soeharto yang menganut prinsip-prinsip ekonomi-politik yang berorientasi pada pilihan rasional (rational choice theory) dan menekankan efesiensi.
Penjelasan teoritik dari menonjolnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dalam dunia politik (juga pendidikan, pen.) justru lahir pertama kali dari seorang ahli ekonomi, yaitu James Buchanan. Ia telah memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus yang kemudian dikenal sebagai "Teori Pilihan Rasional" (Rational Choice Theory).
Secara tradisional, menurut James E. Alt dan Alberto Alesina (1996), perilaku ekonomi berarti orang yang memaksimalkan nilai tukar sedangkan perilaku politik menyangkut pemberian suara dan bergabung dengan kelompok kepentingan. Eksistensi paralel dan eksistensi bersama “negara” dan “pasar” dalam dunia modern ini melahirkan apa yang dinamakan “ekonomi politik”. Dalam hal ini, pendidikan dibangun atas dasar hegemoni elit keuasaan yang ditopang oleh pemerintah dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang diambil –termasuk kebijakan pendidikan— menjadi milik “bersama” dua kekuatan tersebut.
Fakta-fakta akan tingginya biaya pendidikan sudah jamak kita dengar melalui keluhan-keluhan masyarakat atau ekspos media massa. Seperti jajak pendapat yang dilakukakan Litbang Kompas pada 13-14 Juni 2007 mengenai persiapan tahun ajaran baru, menunjukkan bahwa dari rekam pendapat yang dilakukan, tidak sedikit orang tua yang merasa gamang terhadap kondisi pendidikan saat ini. Keresahan orang tua terhadap beban biaya pendidikan akan sangat sulit apabila disandingkan dengan keinginan untuk memperoleh kualitas pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka (Kompas, 13 Juli 2007).
Artinya, kebijakan akan wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang sejatinya menjadi hak setiap warga bangsa hanya dikapling oleh mereka-mereka yang punya cukup duit. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan telah dimasuki unsur-unsur kebijakan ekonomi-politik yang hanya manandaskan sebuah komodifikasi sistem pendidikan menjadi semacam produk barang dan jasa.
Pendidikan mengalami pembelokan makna ke arah permainan tanda komoditas yang saling jalin-menjalin dalam wujud pseudo knowledge (ilmu pengetahuan semu/palsu) yang diatur oleh mekanisme pasar. Alih-alih, menghasilkan kebudayaan, ia justru menciptakan bibit-bibit baru sebuah generasi yang terjebak dalam perangkap logika etalase toko (kapitalisme) yang oleh Jean Baudrillard –seorang Posmodernis asal Perancis— dianggap sebagai the system of object.
Dengan kata lain, pendidikan bisa diibaratkan sebagai sebuah etalase toko/mall yang menjadi objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat –konsumen bukan pelajar— melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk (gelar akademik) yang ada di dalam ”toko” pendidikan tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem (pendidikan) untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia berpendidikan”. Dalam sistem ini, akan memunculkan lingkaran setan konsumerisme, di mana seseorang yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu dia juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cinicin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya.
Dengan kata lain, gerak dinamis kesadaran kritis yang ditopang oleh unsur knowing by thinking, feeling and by doing, tidak akan pernah muncul jika saja logika pemenuhan financial capital (modal finansial) sebagai sistem kerjanya. Pun demikian, objektivikasi pasar dalam pendidikan hanya akan menjadikannya sebatas komoditas objek komersialisme ilmu pengetahuan.
Pendidikan untuk Memiskinkan
Fenomena-fenomena tentang mahalnya biaya pendidikan yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat sendiri, kritik di media massa, dan lain-lain, menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia belum menyentuh aspek pro-poor policy (kebijakan pro-rakyat miskin) yang telah banyak diwacanakan. Padahal konstitusi negeri ini mengamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa negara wajib menjamin pendidikan warganya. Untuk pendidikan dasar, pendanaan pendidikan dasar sepenuhnya menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini tercantum dalam Pasal 31, Ayat 1 dan 2, mengenai hak warga negara memperoleh pendidikan dan pembiayaan pendidikan dasar oleh negara.
Ironisnya, iming-iming WAJAR sembilan tahun yang diamanatkan UUD 1945 masih sebatas wacana. Pendidikan yang ”terlanjur” menitikberatkan pada model ekonomi politik, pada akhirnya, melihat kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan publik (rakyat) direduksi menjadi kepentingan pasar. Pendidikan dipolitisi untuk kepentingan segelintir elit yang memiliki kuasa terhadap beroperasinya pendidikan itu sendiri. Yang muncul kemudian, kompetisi antar lembaga pendidikan adalah kompetisi pasar yang menyodorkan iklan-iklan pendidikan yang memaksa konsumen untuk membelinya meski dengan harga yang sangat tinggi sekalipun. Konsekuensinya, tidak ada jatah pendidikan untuk kaum miskin!
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari benang kusut pendidikan yang kapitalistik ini adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan keadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek kapitalisme pendidikan yang ujung-ujungnya menciptakan mentalitas korup. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskriminatif, Indonesia kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus bangsa.

*Astar Hadi adalah mahasiswa Pasca Sarjana konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya Malang dan Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS Yogyakarta, 2005), bertempat tinggal di Lombok. Aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

PUNK: TIAP EPISODE ”MAKNA” YANG SELALU DINANTI


PUNK: TIAP EPISODE ”MAKNA” YANG SELALU DINANTI
Oleh: Astar Hadi

Seni dengan demikian “…merupakan kesenangan bermain dengan proses daripada fiksasi, hasrat untuk mengganggu daripada (mendamba) keajegan, “bertabrakan” daripada (mencari) ”keterkaitan”... (saatnya merayakan) kemenangan penanda (signifier) atas matinya rezim petanda (signified)...”

Musim panas tahun 1976 di Inggris, London terpanggang oleh ”murka” matahari yang menjilat tubuh-tubuh muda makhluk dara jelita yang berjalan lenggak-lenggok dengan celana pantai dan bikini di sepanjang jalan Oxford ketika itu. Gelombang panas yang menyengat menyatu dengan ”tontonan” segar sebagai terapi kejut ”pelepas dahaga” yang, tentu saja, tidak kalah menyengat. Dua aliran panas berbeda nafas saling bersaing menjemput mimpi Pemerintah United Kingdom untuk menghadirkan janji-janji tropis. Apa yang terjadi?
Dua peristiwa ”ganjil” yang sama-sama ”membakar”; antara matahari dan bikini, antara terbakarnya rerumputan Hyde Park dan membaranya suasana dansa-dansi yang, kebetulan, terjadi hampir bersamaan pada bulan Agustus, justru melahirkan wajah (subkultur) baru yang tidak kalah ”ganjil” pula, yaitu Punk –bagi media massa, seperti New Musical Express, 21 Februari 1976, mengklaim momen Konser Sex Pistols di Nashville, West Kensington, pada April 1976, sebagai kurun awal Punk.
Alih-alih sebuah kultur yang mengangkat ”keluhuran” tata krama kebanggaan generasi Victorian yang terkenal kaku dan konservatif, Punk dianggap penjelmaan negatif hewani (Hasil wawancara Woman’s Own, 15 Oktober 1977, dengan Ibu seorang Punk). Para sosiolog Barat pun merasa tidak tahan untuk menggaruk kultur baru ini, untuk menghilangkan rasa ”gatal-gatal” di tubuh Punk yang mereka sebut sebagai (penyakit) ”kepanikan moral.”
Bahwa punk, dianggap sebagai patologi sosial yang melekat pada lifestyle ”skizoprenik”, anak muda pada umumnya. Para punk dengan segala sifatnya yang khas: anak-anak muda yang cenderung liar, semangat pemberontakan yang kuat, pakaian dan gaya rambut yang aneh, sikap politik yang ganjil. Singkatnya, mereka adalah “pembuat masalah”. Anehya, mereka mempunyai pengikut global yang tersebar di berbagai jaringan media. Pandangan hidup mereka oleh sebagian orang dinilai “sakit” dan “gelap”—sebuah gambaran pandangan hidup generasi subkultur ‘60-an pada umumnya. Benarkah demikian?
Semiotika Subversif Punk
Dalam mengamati fenomena (sub-) kultur, Phil Cohen (1972), melihat bahwa ”fungsi laten” dari subkultur, seperti punk, adalah untuk ”mengekspresikan dan menanggapi”, kendati terlihat ”janggal”, kontradiksi yang tersembunyi atau tidak terselesaikan di dalam kultur orang tua.
Meski Cohen menilik analisisnya pada konteks kelas pekerja Barat pascaperang yang identik dengan gaya ”perlawanan” subkulturnya vis a vis kultur normal orang tua, pada kenyataannya, ada hubungan yang cukup signifikan dengan ciri khas yang secara umum menggambarkan ”identitas” subkultur di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahwa, komunitas subkultur mengapresiasikan ”perlawananannya” melalui bahasa ”pengingkaran” terhadap kode-kode sosial yang mapan.
Secara semiotik, terjadi subversi terhadap bahasa, tanda-tanda, citra, pengalaman, yang dikomunikasikan dengan cara yang sangat kontras, baik melalui musik, fashion, dan gaya hidup. Pada titik ini, persoalan makna adalah persoalan ”permukaan” (surface). Bahwa makna adalah bentuk dan sebaliknya. Inilah jawaban paling ”sederhana” terhadap pertanyaan filosofis tentang ”realitas sejati” yang sejak berabad-abad menjadi nyanyian tiada akhir. Apa artinya?
Mungkin, para filsuf-sosiolog Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) sendiri, yang melalui visi-visi teori kritisnya ”melahirkan” jiwa-jiwa ”punk” anak muda, tidak pernah menginginkan keberadaannya. Mungkin juga, para pembela high culture vis a vis pop culture (subkultur) di Indonesia, seperti HB Jassin dan S.T. Alisjahbana (Hikmat Budiman, 2002) –seandainya mereka masih hidup, sangat mungkin menyesalkan realitas ini.
Karena, tentu saja, budaya subkultur dengan secara telak menghantam makna (”kebenaran”) universal etika, estetika, norma-norma, yang, lagi-lagi, (selalu) menuntut hadirnya makna. Sementara itu, makna atau nilai pada realitas subkultur, merupakan overproduksi semiotik terhadap permainan tanda (realitas) yang menghadirkan objek ”tontonan”, gaya, dan lain-lain, sebagai representasi makna yang disuguhkannya.
Realitas Punk adalah realitas masa kini. Sebuah realitas yang ”membongkar” jejak-jejak yang dilewatinya. Melawan, memparodi, mengolok-olok, sekaligus ”memutarbalikkan” logika alienasi Karl Marx, menertawakan dan menangisi ”kegigihan” rezim fatwa untuk ”menyelamatkan” mereka dari bahaya yang justru ”tidak pernah dipedulikannya”.
Kaum Punk agaknya memparodikan alienasi dan kehampaan yang telah membuat semua kalangan begitu prihatin. Mereka sadar, secara sengaja dan diniatkan, untuk merayakan sekaligus menentang kepura-puraan, menawarkan diri sebagai ”sampah” masyarakat. Mirip gaya ”katrok” Tukul dalam Empat Mata. Lho kok!?
Makna Ternyata Pura-pura
Ibarat sebuah perang, fenomena subkultur merupakan pertarungan antara bentuk dan makna, antara yang nyata (real) dan maya (hyperreal), antara sosialisme dan kapitalisme, antara Barat dan Timur, dan lain-lain. Siapa pemenangnya? Pemenangnya adalah kepura-puraan (as if), tebar pesona (politik), democra(c/z)y. And the nominees goes to…pilkadal, camat (calon mati)… 10 x 10 = Cepek deh!!!
Bila kita belajar dari Karl Marx bahwa, “manusia membuat sendiri sejarahnya, tetapi mereka tak membuatnya sekehendak mereka, mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam situasi yang langsung dihadapkan, diberikan dan ditularkan dari masa lalu” (Marx, 1951).
Apakah kemudian Punk dan atau komunitas subkultur pada umumnya, merupakan ”dosa turunan” yang merupakan –meminjam istilah Nietzsche— proses eternal recurrent (pengulangan abadi) dinamika kehidupan manusia? Kalau saja itu benar, berarti, baik Punk yang dianggap sebagai “penyakit” masyarakat, atau pun sekelompok “pembela moral”, setali tiga mata uang alias sama saja; will to power (kehendak untuk berkuasa)!?
Terkait di atas, “perang” antara dua aliran “berseberangan” dalam ranah filsafat, yaitu Modernisme dan Posmodernisme, menemukan pengungkapannya yang paling “rasional” dewasa ini.
Klaim-klaim modernisme tentang kesadaran (consciousness) menyatakan bahwa kesadaran dogmatisme ilmu merupakan landasan absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Ruh Absolut (Hegel), adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover (Aristoteles) dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes). Bagi posmodernisme, konsep kesadaran modernisme ini dianggap tidak memadai.
Penolakan ini terjadi karena Posmodernisme menyadari tidak ada lagi kapabilitas subjek untuk mengenal realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep kosong” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan tanda yang tumpang-tindih dengan hanya mengandalkan hirarki ruh absolut yang tunggal.
Di mana, masyarakat pascaindustri atau era informasi dewasa ini, ditandai oleh semangat dekonstruksi terhadap kompleksitas permainan tanda dan simbol (semiotika dekonstruktif Derrida), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa dan meleburnya polarisasi antara baik/buruk, yang dibongkar sedemikian rupa dengan struktur dan kode bahasa yang sedemikian rupa, tumpang tindih, saling menarik sekaligus menentang, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Dalam semiotika dekonstruktif Derrida dalam Teori Dekonstruksinya, ingin melegitimasi pentingnya ruh lokalitas untuk memahami sejauhmana tanda-tanda atau teks –dalam hal ini Punk— itu mempermainkan dirinya sebagai ”proses yang terus menjadi”. Sehingga makna hadir tidak dalam sebuah bentuk final, tetapi selalu ”terjebak” dalam permainan tanpa akhir. Makna akan hadir pada posisi differ(a)ence, yang berarti –meminjam Al-Fayyadl (2005)— menghormati yang beda dalam keberbedaannya dan dan yang lain dalam kelainannya.
Pada kenyataannya, Punk mampu ”mendekonstruksi” tata sosial dengan ”menentangnya”, ”meremehkannya”, ”melupakannya”, yang alih-alih sebagai sebuah negasi dunia kehidupan, ia justru mengafirmasi, mengingatkan ”dunia lurus”, bahwa di balik segala tata krama, norma-norma, etika, terdapat kepura-puraan, manusia bertopeng, musuh dalam selimut, yang setiap saat bisa meledakkan ”bom waktu” yang meluluh-lantahkan (norma) kemanusiaan॥

*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

Oposisi Biner itu Bernama Terorisme

Oposisi Biner itu Bernama Terorisme
Oleh: Astar Hadi*
Kekerasan masa kini adalah kekerasan yang dihasilkan oleh hipermodernitas kita, adalah teror. Simulakra kekerasan, yang muncul dari balik layar ketimbang dari lubuk hasrat: kekerasan di dalam jagat raya citraan (Jean Baudrillard, 2003: 75).
Ya, kekerasan telah menjelma ke dalam sense of being budaya kita dalam bentuk citra-citra kekerasan. Hipermodernitas peradaban sebagai pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (computer mediated communication), meletakkan dasar-dasar horor mundi yang bergentayangan melampui realitas teror itu sendiri.
Karena sesungguhnya, teror atau terorisme -seperti kebanyakan orang menyebutnya, dalam artian yang luas tidak saja berupa penggunaan tindakan intimidasi keekerasan secara sistematik untuk kepentingan politik tertentu, alih-alih ia merupakan sebuah potensi psikologis massa dalam bentuk (citra-citra) kekerasan global.
Berbagai dalih diciptakan untuk “mengakali” kita tentang keterbolehan melakukan tindak kekerasan. Entah itu tindak kekerasan yang sifatnya secara langsung menunjuk pada pelaku terorisme itu sendiri atau pun “pahlawan” anti teror dengan cara yang sama: “menghalalkan” tindak kekerasan.
Legitimasi Struktural Negara
Apakah negara memiliki andil dalam menyokong terorisme global dewasa ini? Pertanyaan ini tidak berusaha untuk memberikan sebuah jawaban konkret terhadap permasalahan terorisme global dewasa ini, tetapi minimal untuk menunujukkan bahwa realitas kekerasan dalam bentuk teror telah menjelma hampir di seluruh belahan dunia dan keterlibatan negara-negara di dalamnya menjadi suatu hal yang mungkin menilik semakin maraknya aksi teror yang ditujukan ke negara-negara tertentu.
Siapa yang tidak tahu Amerika Serikat (AS) dan George Walker Bush yang menjadi tokoh puncak dalam memerangi terorisme global. Tapi kegigihan seorang Bush dalam melawan terorisme global patut dipertanyakan. Seringkali tindakan melawan terorisme justeru dengan melakukan aksi teror baik secara fisik atau melalui pemutarbalikan fakta (disinformation) berupa pembentukan opini-opini di media yang disokong oleh media tertentu. Legitimasi struktural dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan tindak kekerasan dengan tujuan “memusnahkan” anasir terorisme walaupun harus mengorbankan rakyat sipil yang tidak bersalah.
Alasan yang paling sering dijadikan sandaran sama saja dengan logika perang, bahwa korban sipil merupakan harga yang harus dibayar. Nyatanya, banyaknya korban sipil terbukti hampir tidak pernah mengurangi kekuatan terorisme itu sendiri. Sebaliknya, aksi teror global justeru semakin meningkat. Aksi peledakan bom di Inggris beberapa waktu yang lalu menjadi bukti terorisme telah menjadi trend masyarakat global.
Dengan kata lain, mengikuti Baudrillard dalam Perfect Crime (1996), legitimasi struktural kekerasan atas “anjuran” negara atau pemerintah merupakan sebuah kejahatan sempurna (perfect crime) yang memayungi kompleksitas kekerasan di tengah masyarakat. Logika pemerkosaan terhadap realitas kejahatan disembunyikan sedemikian rupa dengan cara menimpakan model citra kekerasan atau teror pada pihak lain (AS vis a vis Al-Qaeda).
Dalam istilah semiotika -ilmu yang mempelajari tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, kekerasan yang selama ini dilakukan oleh sebuahrezim yang berkuasa seringkali menggunakan model permainan citra pasangan atau oposisi biner (binnary opposition) untuk mengelabui masyarakat dengan disinformasi opini melalui media tentang “tindakan mendahului teror”. Pemerintah bersembunyi dari balik teror atau intimidasi yang dilakukannya dengan mengalamatkan tuduhannya pada pihak lain. Sehingga kejahatan-kejahatan dan korban massal yang ditimbulkannya, telah lebih dahulu “dimaafkan” dengan alasan tugas mulia; untuk kemanusiaan, perdamaian, demokrasi, dan atribut-atribut positif lainnya.
Seorang filsuf Amerika sendiri, Noam Chomsky, secara terang-terangan melempar tuduhannya pada AS sebagai lumbung aksi terorisme. Dengan menunjukkan sejumlah data, Chomsky melihat sebuah paradoks terorisme yang sangat kontradiktif dilakukan oleh AS. Berdasarkan pengalaman historis, masih Chomsky, As telah mengkondisikan aksi teror di sejumlah negara, seperti Nikaragua, Elsalvador, Palestina dan Lebanon, yang juster menimbulkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak dari korban tragedi bom di WTC, 11 September 2001, empat tahun yang lalu.
Ironis memang! Sampai saat ini AS tetap digdaya sebagai sang Maestro pembela demokrasi dan perdamaian dengan jerih payah yang begitu besar mengobrak-abrik kehidupan bangsa lain untuk sekedar membuktikan adanya senjata pemusnah massal di Iraq, yang sampai saat ini tidak terbukti kebenarannya sama sekali.
Terorisme Bukan Oposisi Biner
Mengutip tulisan Haryatmoko berjudul Logika Kekerasan Terorisme (Kompas, 05/08/2005), mengatakan radikalisme agama didasarkan pada visi Manikean, yaitu dunia dibagi atas dasar dua kelompok, baik dan jahat. Dikatakannya, musuh dianggap negasi terhadap nilai agama pilihan. Janji agama bahwa musuh akan binasa menjadi alat pembenaran melakukan apa saja, termasuk kekerasan dan pembunuhan.
Walaupun alasan-alasan Haryatmoko tidak bisa dipandang sebelah mata, tapi lagi-lagi ia harus terjebak pada model oposisi biner yang sejak pemerintahan Rezim Soeharto begitu dominan melingkupi kehidupan berbangsa dan berbangsa kita. Di masa itu, citra Islamophobia begitu kental mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sehingga faham-faham agama (baca: Islam) yang berdasarkan radikalisme masuk dalam kategori yang harus dimusnahkan, seperti yang dilakukan terhadap Komando Jihad dengan alasan Undang-Undang Subversi tentang SARA.
Tentu saja apa yang diasumsikan Haryatmoko tersebut tidak cukup relevan dengan kondisi global, dan khususnya di Indonesia. Agama adalah agama yang selalu pada persoalan dan etika kemanusiaan secara universal. Sementara tindak kekerasan atau terorisme dalam bentuknya yang paling kecil sekalipun tetap sebuah kejahatan yang tidak akan pernah berubah wujud menjadi “cara lain melihat kebenaran”. Sebagai pengecualian, kekerasan yang bersandar pada nilai-nilai (Haryatmoko menyebutnya radikalisme) agama, bukan sebuah elan vital keberagamaan, alih-alih ia hanyalah sebuah model rekayasa citra dan manipulasi oposisi biner yang berusaha menopengi wajah agama menjadi sebatas candu hitam di atas putih.
Menguliti (kekerasan atas nama agama) dengan pisau analisis oposisi biner justeru tidak akan menghentikan kerangka berpikir dan bertindak atas dasar hitam-putih tersebut. Oposisi biner, baik untuk menunjukkan kekerasan dari dan oleh agama atau negara, akan berbalik arah menjadi bumerang bagi kita dalam melawan terorisme an sich. Karena pada kenyataannya, terorisme akan semakin hidup dan berkembang jika didasari pada pencitraan-pencitraan baik-jahat karena dimungkinkan oleh lahirnya bibit-bibit baru berupa rekayasa kekerasan.
Dalam pengertian yang lebih luas, sikap atau penilaian dengan cara tersebut seringkali memantik sebuah skenario pengkambinghitaman atau firnah terbuka (black mail) terhadap pihak-pihak tertentu atas dasar opini-opini yang ditengarai oleh (sikap tendesius) sementara pihak lain.
Terkait terorisme global itu sendiri, bahwa keberadaan aksi teror atas nama agama apapun, lebih banyak menemui batu sandungan dan jalan buntu ketimbang bukti keterlibatannya, karena membutuhkan seperangkat penyelidikan dan pembuktian yang sangat serius.
Kendati demikian, kekerasan dan teror yang mengatasnamakan (radikalisme) agama –sebut saja Islam— dalam skala nasional (Indonesia) dan skala global (Al-Qaeda) tidak bisa dibantah (infactum). Tetapi kemungkinan yang lebih jauh, apakah tuduhan-tuduhan itu murni citra sebuah terorisme atau (sebaliknya) merupakan efek silang dari simulasi teror oleh pihak lain yang memiliki kepentingan (politik) tertentu?
Jangan-jangan, berbagai tuduhan atau pun asumsi sebagai dalang di balik aksi kekerasan dewasa ini, hanya sebatas rekayasa yang diproduksi dan diciptakan untuk melegitimasi terjadinya bentuk teror yang lain, dengan tujuan pembalasan dan penyerangan besar-besaran. Sehingga korban masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi sebuah citra yang biasa dan manusiawi dalam mengusir dan membasmi terorisme dari muka bumi.
Akhirnya, terorisme bukanlah persoalan radikalisme agama atau oposisi hitam-putih yang juntrungnya sebatas klaim kebenaran sepihak. Terorisme sejatinya adalah persoalan siapa meneror siapa, siapa mengintimidasi siapa, bukan persoalan agamanya apa atau negaranya apa. Terorisme, sekali lagi, adalah citra-citra kekerasan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, karena ia telah begitu dekat dan menghantui psikologi masyarakat global. Sanggupkah kita bertahan? Wallahu A'lam.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, dan mantan wartawan.

IPDN dan Mentalitas Orde Baru


IPDN dan Mentalitas Orde Baru
Oleh: Astar Hadi*
Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain.
Pendidikan menjadi penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Setiap upaya membangun generasi bangsa yang beradab, berkarakter dan bervisi ke depan, membutuhkan modal sosial (social capital) yang mensyaratkan di dalamnya daya kritis (kritisisme), sikap luwes dan energi kreatif, yang seharusnya muncul pertama-tama melalui generasi muda sebagai lokomotif perubahan. Hanya melalui generasi muda terdidik, peradaban sebuah bangsa dimulai.
Sejauh ini, menunjuk pada ”kesepakatan” umum, solusi kongkret yang menjadi indikator paling rasional untuk meraih social capital handal itu hanya melalui jenjang pendidikan. Benarkah demikian?
Membanggakan pendidikan, lebih-lebih peradaban bangsa, negara kita mungkin harus selalu kecewa –kalau tidak bisa dibilang terluka. Betapa tidak! Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini Indonesia kembali dihadapkan pada peristwa memalukan dalam dunia pendidikan kita. Dari peristiwa ”kecil” Ospek di setiap tahun ajaran baru dimulai, media massa cetak maupun elektronik selalu diwarnai berita-berita seputar kekerasan senior terhadap juniornya. Alasan yang seringkali muncul menjadi tameng penangkis hampir tidak pernah berubah; menguji mental. Cara-cara militer pun acapkali dianggap ”manusiawi.” Sudah cukup?
Ternyata tidak! Belum pulih ingatan kita atas meninggalnya Wahyu Hidayat –siswa STPDN yang sekarang berganti nama menjadi IPDN— yang ditengarai karena penyiksaan fisik oleh seniornya, kali ini kasus serupa juga menewaskan Cliff Muntu, calon Praja IPDN Sumedang, Jawa Barat.
Lagi-lagi, bukan intelektualitas-moralitas, tapi faktor ”kekerasan” menjadi salah satu ”syarat” lulus dan layaknya seseorang menggandeng gelar calon pegawai pemerintah yang (katanya) nantinya menjadi pengayom masyarakat. Mentalitas pendidikan kita, pada akhiranya, akan melahirkan mentalitas Orde Baru, ”tidak manut, gebuk aja, semua pasti beres bos!”
Mentalitas Orde Baru: Pendidikan Panoptikon
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Dengan dalih menjaga “moralitas” bangsa, kekuasaan menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantui berbagai aktivitas publik. Berbagai bentuk aktivitas selalu dicurigai, dibatasi, ditekan sedemikian rupa untuk menjaga harmonisme kekuasaan.
Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk dunia pendidikan. Kebijakan NKK-BKK yang memasung kritisime dan nalar kreatif mahasiswa di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah pendidikan panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (senior).
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior, seperti kasus yang terjadi di IPDN tersebut, adalah bentuk serangan mental negatif yang sangat mungkin bertujuan membangun trauma psikologis makhluk terdidik. Artinya, kendati ada pembelajaran yang merangsang kecerdasan otak, panoptikonisasi mampu ”menganulir” kecerdasan yang dimiliki pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap tindakan menyimpang dari atasan (senior) sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kecerdasan) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Alih-alih pendidikan mampu membentuk –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis (critical consciousness) bagi masyarakat, justru karena model kekerasan (panoptik) yang diciptakan, kita tidak lebih hanya sebagai ”pajangan” panjang gelar intelektual yang, layaknya buku, ”hanya berjejer indah dan rapi di lemari tanpa pernah kita tahu apa yang harus kita lakukan dengannya”. Yang kita tahu bahwa kita telah menjadi ”milik” orang-orang tertentu yang bebas melakukan apa saja.
Menanggalkan IPDN-isme
Dulu STPDN, sekarang IPDN. Hasilnya sama saja. Sikap otoriter masih saja dipraktekkan. Pihak pemerintah, khusunya Depdagri, tidak perlu reaksioner dan grusa-grusu dengan mengganti nama lagi atau membubarkannya kalau saja kebijakan atau sistem pendidikan yang ada tetap saja berbau otoriter. Ini akan berbuntut panjang, yaitu membentuk calon pelayan rakyat yang berorientasi pada ”kepatuhan” dan ”ketaatan” tanpa reserve dengan cara-cara ”menghalalkan” kekerasan.
Unsur-unsur panoptik ’IPDN-isme” dalam pendidikan akan menghasilkan sejumlah banyak orang ”cerdas” yang tidak mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Ibarat mesin, kita pada akhirnya, hanya sanggup berkata ”ya” pada remote control kekuasaan, meskipun harus menzalimi (kebenaran) yang lemah.
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari kasus IPDN atau pendidikan yang memasukkan unsur kekerasan adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan kaeadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek otoritarianisme pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskrimanatif, bangsa kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus pemerintahan.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

BURUH DALAM ARUS KEBIJAKAN EKONOMI-POLITIK NEOLIBERALISME DI INDONESIA

BURUH DALAM ARUS KEBIJAKAN EKONOMI-POLITIK NEOLIBERALISME DI INDONESIA
(Analisis terhadap Revisi Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketanagakerjaan)
Oleh: Astar Hadi*
Pendahuluan
Gelombang demonstrasi komunitas buruh (pekerja) beberapa waktu lalu yang menolak draf revisi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan titik balik gerakan buruh di Indonesia. Gerakan buruh di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah.
Namun beberapa pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan resistensi kolektif komunitas buruh di Indonesia. Beberapa anggapan tersebut antara lain:
Pertama, gerakan buruh di Indonesia masih memiliki kelemahan secara "ideologis". Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi an sich.
Kedua, gerakan buruh di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum buruh secara makro. Semisal Front Persatuan Buruh atau bahkan partai politik kaum buruh yang memiliki keterwakilan politik di parlemen.
Ketiga, gerakan buruh di Indonesia belum menyatu dalam aktivisme politik pergerakan buruh. Belum bersama-sama berjuang dalam agenda edukasi politik buruh dan advokasi sosial kaum buruh.
Gerakan buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (buruh) kelas "kerah biru" yang bekerja di sektor industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus buruh kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi-politik negara.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin "tercerabut" hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis-politik, untuk meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di Indonesia.
Standar kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme. Kebijakan kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005 sampai 180 % telah membuat banyak buruh kehilangan pekerjaan. Para buruh yang masih bekerja terpaksa semakin mengencangkan "ikat pinggang"-nya karena upah yang mereka terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan pokok.
Kemiskinan struktural yang dialami kaum buruh di Indonesia -saat ini ada 120 juta orang buruh, 65 % adalah perempuan, 70 % bekerja disektor industri dan berkategori "pekerja kerah biru"- sebenarnya merupakan basis material bagi penguatan organisasi dan gerakan buruh di Indonesia.
Namun sayangnya berbagai pegiat gerakan buruh -serikat buruh, partai buruh "gurem", LSM perburuhan- belum memiliki kesadaran unifikasi gerakan. Yakni kerelaan membangun front persatuan kaum buruh untuk memperjuangkan agenda, kepentingan, aspirasi kaum buruh.
Watak sektarianisme gerakan buruh juga terasa dalam berbagai basis sektoral organisasi perburuhan. Lapisan buruh "kerah putih" yang bekerja di sektor jasa dan industri yang berpenghasilan tinggi biasanya tidak memiliki solidaritas sosial untuk bersama komunitas buruh memperjuangkan kepentingan autentik kaum buruh.
Ada prasyarat politik bagi gerakan buruh di Indonesia, jika ingin berhasil memperjuangkan kepentingan kolektif kaum buruh. Gerakan buruh di Indonesia memerlukan reorientasi strategis dan "ideologis", yakni harus menggali keyakinan teori dan basis pijakan ideologi yang tepat untuk bisa membangkitkan kesadaran "kelas" dan politisi komunitas buruh.
Saat ini ada beberapa serikat buruh yang kuat secara basis keanggotaan seperti FSPSI, SPN, PGRI dan sebagainya. Serikat buruh tersebut tidak memiliki kekuatan ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi laju kebijakan neo-liberalisme pemerintah.
Ironisnya, konon peringatan Hari Buruh 1 Mei 2006 hari ini tidak diikuti SPN dan FSPSI bersama 8 organisasi buruh yang tergabung dalam Kongres Pekerja Nasional. Jika benar demikian, maka ini menggambarkan bahwa gerakan buruh di Indonesia mengalami pemiskinan ideologi. Berbeda kasusnya dengan gerakan buruh di Korea Selatan, Perancis dan beberapa negara Amerika Latin yang memiliki basis iIdeologi strukturalis yang secara hakikat berjuang untuk merombak paradigma kekuasaan dari pro kepentingan modal (pasar) menjadi memihak kepentingan buruh.
Langkah implementatif dari reorientasi ideologis dan strategis gerakan buruh perlu dilakukan. Dengan demikian gerakan buruh bisa menjadi inti dari kekuatan civil society dan proses perubahan sosial. Beberapa langkah itu, pertama, gerakan buruh di Indonesia harus keluar dari watak ekonomisme. Gerakan buruh adalah gerakan politik untuk mengubah kebijakan negara. Untuk itu perlu membangun partai alternatif yang siap merebut posisi keterwakilan di parlemen.
Dengan memiliki keterwakilan di parlemen kaum buruh bisa mendorong terciptanya produk hukum dan perundang-undangan yang memihak kepentingan kaum buruh. Kedua, gerakan buruh di Indonesia harus mampu membangun Front Persatuan (United Front) bersama komunitas terpinggirkan yang lain, seperti komunitas petani, nelayan, mahasiswa, pers untuk membangun blok demokrasi dengan program-program perjuangan ekonomi dan politik menolak arus neoliberalisme.
Ketiga, gerakan buruh di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan substansial kaum buruh.
Kita tegaskan, gerakan buruh di Indonesia adalah gerakan yang memiliki basis dukungan dari komunitas, bukan gerakan akar jenggot yang tidak memiliki keanggotaaan komunitas pekerja.
Rumusan Masalah
Kontroversi UU No. 13/2003 yang sempat menjadi polemik beberapa waktu yang lalu memunculkan sejumlah pertanyaan tentang relavan tidaknya UU tersebut diberlakukan di Indonesia. Sementara kalangan berpendapat, ada indikasi yang cukup besar mengenai kecenderungan pemerintah “membela” kelompok pengusaha –pengusaha kelas atas— dalam rangka menciptakan iklim investasi asing yang kondusif di Indonesia dengan serta-merta mereduksi peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan. Logika ini juga tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam program neoliberalisme cs kebijakan pro-pasar (market-friendly policy) sebagai wilayah kebijakan ekonomi-politik rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dewasa ini.
Lantas, permasalahan yang kemudian muncul apakah dengan Revisi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, mampu memberikan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat atau justeru semakin menyebabkan bangsa kita semakin terpuruk dan bergantung secara ekonomi terhadap bangsa lain –Amerika Serikat— yang sudah maju?
Tinjauan Teoritik
1. Membaca Neoliberalisme
Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan nama “neo-liberalisme”), isu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil. Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu, semua yang membantu akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan minggir.
Bagaimana cara mencapai tujuan itu? Proses akumulasi kapital itu diorganisasikan melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi, dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dalam perhitungan haril kerja nasional itu karena, sekali lagi, tidak melibatkan transaksi pasar.
Bagaimana karakter metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal? Yang menonjol adalah positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variable yang bisa diukur (“Yang tidak terukur, tidak bisa dianalisis”). Akibatnya, banyak persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan. Bahkan pendukung metodologi ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”. Terutama bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui penggalakan transaksi di pasar. Yaitu, akumulasi kapital melalui pasar. Dan ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendoronf pertumbuhan kapital.
Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia dianggap banya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya kenyang orang akan mudah diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil, dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan menentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi.
Apa peran negara? Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yang mendukung bekerjanya pasar. Yang menarik adalah pandangan kaum ekonom liberal mengenai keluarga. Dalam ideologi ini, keluarga (rumah tangga) dipandang sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama, sebagai rumah tangga yang berfungsi sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang juga berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan keuntungan). Karena itu tiap hari rumah tangga kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai jenis barang dan jasa yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin getol rumah tangga mengkonsumsi barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi itu, demikian argumennya. Kedua, rumah tangga juga berfungsi sebagai produsen input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara menyebut tenaga kerja dengan sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur ideologi kapitalistik itu. Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan pabrik. Di sana bisa ditemui mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya manusia). Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya.
Karena itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai sumberdaya, manusia memerlukan ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang memadai, dan sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai manusia utuh, misalnya hak untuk berserikat dan hak-hak lain demi pengembangan identitas dirinya.
Pembahasan: Revisi UU No. 13/2003: Sebuah Kebijakan Pro Pasar yang Menindas
Fenomena ini merupakan sebuah peristiwa yang berhubungan erat dengan rentetan kejadian sebelumnya. Beberapa pekan sebelumnya, memang terjadi sebuah tarik ulur antara pemerintah dan para buruh. Hal ini disebabkan oleh rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, ribuan buruh turun ke jalan hampir setiap hari untuk menyatakan penolakannya atas rencana pemerintah itu.
Draft revisi UU Ketenagakerjaan memang sarat dengan “penindasan”. Di dalamnya pengusaha diberikan kelonggaran dalam menyediakan sarana dan prasarana perlindungan bagi para buruh. Demikian juga dalam aturan pemberian pesangon dan uang PHK, para pengusaha di dalam draft itu bak “tuan” tanah yang bisa berlaku dan berbuat apa saja kepada para “hamba sahayanya” yaitu para buruh. Argumentasi pemerintah kelihatannya masuk akal. Karena UU Ketenagakerjaan itu dianggap lebih berpihak kepada buruh, maka pemerintah beranggapan bahwa para investor akan enggan menanam modal di Indonesia. Lagipula, versi pemerintah menyatakan dengan masuknya investor asing nantinya pasca revisi, diharapkan akan membuka lapangan kerja lebih luas sehingga akan memberikan kesempatan kepada para penganggur.
Logika yang digunakan pemerintah sama saja dengan logika kebijakan yang pro-pasar (market friendly oriented). Menurut tesis Bank Dunia yang terangkum dalam The World Development Report 1991, kebijakan pro-pasar merupakan kebijakan yang menunjukkan peran Negara dalam memfasilitasi beroperasinya pasar melalui intervensi yang “non-selektif”, misalnya dengan malakukan investasi dalam infrastruktur fisik dan sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan dengan menyiapkan iklim yang sesuai bagi kegiatan bisnis swasta. Fungsi lain dari pemerintah dalam konsep ini adalah mempromosikan kompetisi domestic dan internasional dengan tujuan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi secara efisien. Ini hanya mungkin apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang netral (Mas’oed, 1994).
Kelihatannya maksud pemerintah amat manis. Namun para buruh melihat bahwa di baliknya, ada tangan kekerasan dan maksud buruk kepada para buruh. Dengan UU Ketenagakerjaan yang katanya “baru” itu, maka pengusaha akan lebih sewenang-wenang kepada para buruh, atas nama keamanan dan stabilitas usaha. Kelak, setiap buruh akan mudah di “buang” setelah “manisnya dipakai oleh pengusaha”, hanya atas alasan yang mungkin sangat sederhana tanpa konsekuensi apapun.
Rencana untuk melakukan revisi ini memang menjadi sebuah persoalan yang sarat dengan perspektif. Katakanlah bahwa selama ini para pengusaha selalu menjadikan buruh sebagai alat produksi. Mereka biasanya mengharapkan bahwa dengan memberikan kompensasi kepada para buruh berupa upah, mereka akan mendapatkan konsesi berupa produksi dan laba besar. Hanya sayangnya, di sebagian besar perusahaan yang terjadi adalah pengembalian prinsip ini ke dalam bentuk yang paling sederhana namun amat buruk, yaitu “pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Prakteknya, upah buruh ditekan seminim mungkin, namun dengan memberikan kewajiban yang kalau boleh dikatakan sungguh amat menyiksa. Banyak buruh di tanah air bekerja tanpa perlindungan apapun, termasuk dari bahaya fisik maupun jiwa. Para buruh juga kerap hanya hidup dari fasilitas yang pas-pasan, dengan berbagai keterbatasan yang sangat jauh dari memadai. Para pengusaha dengan kaca mata kuda hanya menjadikan buruh sebagai sekedar faktor produksi.
Keberadaan mereka hanya dikuantifikasikan atas jam kerja yang dijalani dan produktifitas yang dihasilkannya. Dengan mekanisme seperti ini maka buruh dipandang sebagai mesin yang menghasilkan output. Bongkar pasang terhadap mesin ini tentu saja dapat dengan mudah dilakukan.
Padahal, kalau kita perhatikan dengan baik dan seksama, sebenarnya UU Ketenagakerjaan yang selama ini diterapkan belum sempurna diterapkan di seluruh Indonesia. Hanya saja, secara politis, pemerintah kelihatannya terganggu dengan berbagai perjuangan kaum buruh yang cenderung membuat para pengusaha enggan bertandang ke Indonesia. Para pengusaha yang berada di balik pemerintah pasti sedang mencoba memaksa pemerintah kita mengikuti niat mereka untuk mendapatkan tenaga buruh yang tahunya hanya nurut.
Setiap kali para pengusaha diminta untuk meningkatkan kesejahteraan, alasan modal dan dana yang tidak memadai selalu menjadi alasan. Bahkan penetapan upah buruh yang penyusunannya melibatkan pengusaha tidak jarang menjadi sumber konflik. Pemerintahan ini, yang notabene diisi oleh para pengusaha yang menjadi pejabat negara, mereka adalah pemilik para buruh, yang pastilah berada di belakang para pengusaha. Itu sebabnya, rencana merevisi kelihatannya awalnya berjalan mulus karena “difasilitasi” oleh kalangan dalam pemerintahan sendiri. Nyata benar, bahwa pemerintah seolah tidak punya niat baik dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan keuntungan modal baginya.
Pemerintah memang terjebak di dalam berbagai asumsi makro ekonomi yang dibuatnya. Pada akhir kuartal I tahun ini, kelihatan sekali bahwa berbagai rencana pemerintah terancam bubar. Menteri keuangan sendiri sudah menyatakan hal itu di depan para Gubernur se-Indonesia dalam Musrenbang 2006 lalu.
Akibatnya, pemerintah keteter dan bisa kehilangan kepercayaan, termasuk dari masyarakat. Tidak tercapainya berbagai indikator makro tersebut diperkirakan akan memperburuk nama pemerintah, yang sesungguhnya sedang mencari “tabungan” sosio-psiko-ekonomi menjelang pemerintahan baru yang masih lama menjelang.
Rekomendasi: Melihat Buruh Sebagai ‘Manusia’ Postmodern
Dalam perspektif kemanusiaan saja, para buruh kita selama ini telah menjadi korban yang luar biasa dalam sistem ketenagakerjaan yang amat memihak kepada pengusaha. Para buruh kerap harus “dipaksa” bekerja di luar batas normal demi sekedar mendapatkan uang lembur menambahi penghasilan mereka yang tidak seberapa. Di dalam berbagai kasus, para buruh juga harus menerima bahwa jaminan dan perlindungan terhadap mereka terlalu sering diabaikan. Masalah tidak disediakannya alat pelindung diri yang memadai, fasilitas kesehatan yang minim, cuti, dan prospek masa depan, adalah sedikit dari banyak masalah yang dengan sengaja diabaikan oleh para pengusaha.
Jadi, alangkah tidak bisa dimengertinya bahwa penerapan UU Ketenagakerjaan yang masih memerlukan perbaikan justru dibalikkan menjadi sebuah aturan yang semakin lebih longgar. Pemerintah memang harus didesak supaya tidak menghalalkan segala cara —lagi karena sebelumnya sudah sering melakukan cara yang sama — untuk mencapai tujuannya.
Bagaimanapun, buruh adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia, yang tidak kurang atau tidak lebih dari keberadaan manusia “pengusaha” itu sendiri. Mereka harus ditempatkan sebagai seorang yang memiliki hak dan kewajiban. Lagipula, kalau kita melihat catatan konstitusi kita, memiliki pekerjaan yang layak dan hidup sejahtera, adalah hak setiap individu, yang tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun bahkan oleh penguasa sekalipun.
Buruh adalah manusia, seperti halnya pemerintah ataupun pengusaha. Untuk itu, bias kebijakan yang melulu ekonomis teknis dan yang memandang buruh hanya sebatas “utility-maximizing machine” dalam paradigma positivisme dan saintisme dari rasionalitas pencerahan modernisme harus segera ditinggalkan. Terkait ini, kritik posmodernisme terhadap modernisme pada proyek “kecongkakan” rasionalismenya –khususnya teori pilihan rasional berbasis pasar (rational choice theory) dan keahlian teknokratis menjadi alternative lain yang lebih “manusiawi” bagi buruh ke depan.
Posmodernisme bagi buruh berarti, melampui model “baik-buruk” dalam mekanisme kebijakan pro-pasar, yang mana, komitmen utama posmodernisme terletak pad aide tentang “wacana” ketimbang pada objektivitas pengukuran atau analisis rasional terhadap resolusi (penyelesaian) persoalan-persoalan public. Bahwa wacana otentik yang ideal melihat administrator pemerintah, kalangan pengusaha dan masyarakat secara umum saling terlibat satu sama lain, tidak semata-mata mendasarkan pada kepentingan pribadi tiap individu secara rasional, akan tetapi sebagai partisipan yang saling terlibat satu sama lain. Hubungan individual dan sosial tidak dilihat hanya pada ukuran-ukuran rasional (untung-rugi) akan tetapi bersifat eksperensial, intuitif dan emosional.
Daftar Bacaan
Cobb, John B. Jr. 2005. “Kebijakan Sosial Posmodern” (terj.) dalam David Ray Griffin (Ed.). Visi-visi Posmodern: Spritualitas dan Masyarakat. Kanisius. Yogyakarta.
George, Susan. 2000. “A Short History of Neoliberalism: Thirty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Changes”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard dan Kamal Malhotra (Eds.). 2000. Global Financ: New Thinking on Regulating Speculative Capital Market. Zed Books. London.
Hirschman, Abert O. 1981. Essays in Trespassing: Economics to Politics and Beyond .Cambridge: Cambridge University Press.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Resist Press. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. 2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi Politik tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UGM. Yogyakarta.
_______. 2002. “Perpolitikan Untuk Mendukung Ekonomi Alternatif?”. Jurnal Ekonomi Rakyat Edisi Th. I/No. 8/Oktober/2002.
Yulianto, T. 2006. “Quo Vadis Gerakan Buruh di Indonesia: Refleksi Hari Buruh 1 Mei 2006”. www.google.com. Edisi 05 Mei 2006.
Wibowo, I. dan Wahono (Eds.). Neoliberalisme. Cindelaras. Yogyakarta. 2003
Zaluchu, Fotarisman . 2006. “Buruh: Kekuatan Politik Baru?”. www.mamboteam.com. Edisi 02 Mei 2006.
The World Development Report. 1991.
*Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang dan Penulis Buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005) yang saat ini sedang aktif dalam komunitas diskusi Mazhab Tlogomas

Pasar Bebas: Sebuah Modus Eksistensi Neoliberalisme
Oleh: Astar Hadi
Pendahuluan
Pasar bebas, oleh banyak kalangan, sering dipertautkan dengan neoliberalisme. Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas.
Banyak di antara kita terpaku pada bapak pasar bebas dan persaingan bebas, sekaligus sebagai bapak ilmu ekonomi, Adam Smith (Skotlandia, 1723-1790), dengan bukunya An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurutnya, pasar bebas berdasar kebebasan inisiatif partikelir (freedom of private initiative) akan melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui pengaturan "tangan tak tampak" (invisible hand). Pengaturan oleh "tangan tak tampak" adalah pengaturan melalui mekanisme bebas permintaan dan penawaran, atau mekanisme pasar bebas berdasar free private enterprise, yang oleh Paul Samuelson, pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi (1970), disebut competitive private-property capitalism.
Adam Smith, tokoh teori ekonomi klasik ini dianggap sebagai perintis lahirnya konsep pasar bebas dengan konsep “laissez faire” yang menjadi cikal bakal ekonomi modern dewasa ini. Titik berangkatnya berawal dari Revolusi Perancis yang bersandar pada pemikiran liberal John Locke tentang pentingnya kebebasan individu. Bahwa moral liberalisme mengasumsikan bahwa setiap individu mampu berpikir rasional untuk membangun moralitas individunya. Logika liberalisme ini dibawa Smith pada logika ekonomi; setiap individu berhak menentukan tindakan ekonominya dengan anggapan bahwa mereka memiliki rasionalitas (moral) yang akan mengatur roda ekonomi sehingga intervensi dari luar (pemerintah) menjadi tidak perlu –sebelum Revolusi Perancis, cengkraman pemerintah dalam pola kesejahteraan (ekonomi) publik sangat kuat. Hal ini juga merupakan bentuk kritik Renaissance tentang manusia rasional yang bebas terhadap hegemoni dogmatis gereja Zaman pertengahan.
Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya.
Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan poteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi.
Sekilas tentang Pandangan Kaum Libertarian
Bagi kaum liberal, pada awalnya kapitalisme dianggap menyimbolkan kemajuan pesat eksistensi masyarakat berdasarkan seluruh capaian yangg telah berhasil diraih. Bagi mereka, masyarakat pra-kapitalis adalah masyarakat feodal yang penduduknya ditindas. Bagi John Locke, filsuf abad 18, kaum liberal ini adalah orang-orang yg memiliki hak untuk 'hidup, merdeka, dan sejahtera'. Orang-rang yang bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun, termasuk dalam kebebasan untuk 'hancur', bebas hidup tanpa tempat tinggal, bebas hidup tanpa pekerjaan.
Kapitalisme membanggakan kebebasan seperti ini sebagai hakikat dari penciptaannya. dan dalam perjalanannya, kapitalisme selalu menyesuaikan dan menjaga kebebasan tersebut. Misalnya masalah upah pekerja, menurut konsepsi kapitalis, semua keputusan pemerintah atau tuntutan publik adalah tidak relevan. Kemudian paham yang terbentuk bagi kaum liberal adalah kebebasan, berarti: ada sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yg akan kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan. Apakah anda bernilai bagi orang lain, ataukah orang lain akan dengan senang hati memberi sesuatu kepada anda. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu menggunakan hak-hak tsb dengan memperkecil turut campur nya aturan pihak lain. "kita berhak menjalankan kehidupan sendiri"
Saat ini, ekonom seperti Hayek dan Milton Friedman kembali mengulangi argumentasi klasik Adam Smith dan JS Milton, menyatakan bahwa: masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yangg bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi. Kepentingan dan keuntungan pribadi adalah motor yang mendorong masyarakat bergerak dinamis.
Kekalahan liberalisme
Sejak masa kehancuran Wall Street (dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depression) hingga awal 1970-an, wacana negeri industri maju masih 'dikuasai' wacana politik sosial demokrat dengan argumen kesejahteraan.
Kaum elit politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial lainnya.
Dalam sebuah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada 1944, setelah Perang Dunia II. Konferensi yang dikenal sebagai konferensi Bretton Woods ini bertujuan mencari solusi untuk mencegah terulangnya depresi ekonomi di masa sesudah perang. Negara-negara anggota PBB lebih condong pada konsep negara kesejahteraan sebagaimana digagas oleh John Maynard Keynes. Dalam konsep negara kesejahteraan, peranan negara dalam bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.
Pada kondisi dan suasana seperti ini, tulisan Hayek pada tahun 1944, The Road Of Serdom, yangg menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan dinilai janggal. Tulisan Hayek ini menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberal, kekalahan kebebasan individualisme.
Kebangkitan Neoliberalisme
Perubahan kemudian terjadi seiring krisis minyak dunia tahun 1973, akibat reaksi terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur, dimana mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya, serta melipatgandakan harga minyak dunia, yang kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana dominan, tidak hanya di tingkat nasional dalam negeri tapi juga di tingkat global di IMF dan World Bank.
Pada 1975, di Amerika Serikat, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul "Anarchy, State, and Utopia", yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah "Reaganomics".
Di Inggris, Keith Joseph menjadi arsitek "Thatcherisme". Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran Locke, sedangkan Thatcherisme mengaitkan dengan pemikiran liberal klasik Mill dan Smith. Walaupun sedikit berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme".
Paham ekonomi neoliberal ini yang kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman.
Neoliberalisme
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.
Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan.
Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.
Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.
Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum. Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional.
Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.
Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO, akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme.
Penyebaran Neoliberalisme
Penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agenda-agenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Sebagaimana dikemukakan Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.
Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Dalam penggunaan di Amerika Serikat, istilah neoliberalisme dihubungkan dengan dukungan untuk perdagangan bebas dan welfare reform, tapi tidak dengan tentangan terhadap Keynesianism atau environmentalism. Dalam konteks AS, misalnya, ekonom Brad DeLong adalah seorang neoliberal, walaupun ia mendukung Keynesi, income redistribution, dan pengritik pemerintahan George W. Bush. Dalam penggunaan AS, neoliberalisme ("liberalisme baru") biasanya dihubungkan dengan the Third Way, atau sosial-demokrasi di bawah gerakan New Public Management. Pendukung versi AS menganggap bahwa posisi mereka adalah pragmatis, berfokus pada apa yang dapat berhasil dan melebihi debat antara kiri dan kanan, walaupun liberalisme baru mirip dengan kebijakan ekonomi center-of-left (seperti halnya di Kanada di abad ke-20).
Kedua penggunaan ini dapat menimbulkan kebingungan. The overlapping of these usages can create considerable confusion. Dalam penggunaan internasional, presiden Ronald Reagan dan United States Republican Party dipandang sebagai pendukung neoliberalisme. Tapi Reagan tidak pernah digambarkan demikian dalam diskusi politik di AS, di mana istilah ini biasanya diterapkan pada Democrats seperti Democratic Leadership Council.
Kritik
Kritik terhadap neoliberalisme terutama sekali berkaitan dengan negara-negara berkembang yang aset-asetnya telah dimiliki oleh pihak asing. Negara-negara berkembang yang institusi ekonomi dan politiknya belum terbangun tetapi telah dikuras sebagai akibat tidak terlindungi dari arus deras perdagangan dan modal. Bahkan dalam gerakan neoliberal sendiri terdapat kritik terhadap banyaknya negara maju telah menuntut negara lain untuk meliberalisasi pasar mereka bagi barang-barang hasil industri mereka, sementara mereka sendiri melakukan proteksi terhadap pasar pertanian domestik mereka.
Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" tetapi tidak ada pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh.
Daftar Bacaan
Azhar, Syafruddin, ”Pasar Bebas dan Globalisasi”. Suara Pembaruan (28 Februari 2005). http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/01/index.html
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mas’oed, Mohtar. 2002. Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi Politik tentang Globalisasi Neoliberal. Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UGM. Yogyakarta.
Shutt, Harry. 2005. Runtuhnya Kapitalisme. Jakarta. Teraju