Thursday, April 30, 2009

OMONG-OMONG BUDAYA

Oleh: Astar Hadi

‘Culture is to society what memory is to individuals’
(Harry C. Triandis)
‘Culture is the software of the mind’
(Gert Hofstede)
Budaya itu Apa?
Apakah budaya? Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana sekaligus “menjebak”. Persoalan budaya adalah “persoalan” sehari-hari kita. Sederhana, karena ia sangat dekat dengan diri kita, dengan aktifitas-aktifitas yang kita lakukan, dengan bahasa yang kita gunaan, dan “menyatu” dengan lingkungan tempat tinggal kita. Ia menjebak, karena berurusan dengan “pandangan hidup”, selalu diagung-agungkan sebagai sesuatu yang “sempurna” bagi sebuah karya cipta manusia yang adiluhung.
Lagi-lagi, budaya adalah sebuah pertanyaan dan pernyataan yang telah ditanyakan dan dinyatakan dari sejak munculnya manusia ke bumi, atau paling tidak, sejak “kemarin sore” di saat gebyar pemilu yang menghadirkan para caleg yang siap untuk manciptakan “peradaban” baru bangsa Indonesia ke depan.
“10 X 10 = C(e/a)pek Deh” adalah sebuah metafora tentang jejak budaya kalau kita mengartikan sebuah budaya sebagai representasi riil suatu masyarakat yang membagun dunianya dalam konteks “cara belajar dan cara mengada” kita saat ini. Ia merupakan proses kreatif dan bentuk pengungkapan terhadap fenomena yang ada, saat ini, dan di sini. Mungkinkah?
Tidak kurang sulitnya untuk mendefinisikan konsep budaya. Tampaknya, ia terlalu mudah ketika dipahami sebagai “kejadian” sehari-hari yang “apa adanya” dan terasa sangat berat ketika kita disodorkan dengan tetek-bengek nilai, norma, kualitas kehidupan, karya cipta, dan lain-lain. Problem ini disikapi secara menarik oleh Ignas Kleden dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1987) dengan melihat bahwa kebudayaan tidak semata-mata perkara value judgement, melainkan juga bentuk dari kenyataan objektif yang melahirkan problem reality judgement. Kleden mengajak kita untuk memasuki wilayah diskusi baru, bahwa budaya bukan hanya perbincangan tentang wilayah nilai-nilai akan tetapi ia juga manifestasi realitas objektif yang inheren dengan dunia manusia
Dari perspektif di atas, Kleden melihat dua kecenderungan dominan terkait cara orang menghadapi kebudayaan. Yang pertama, mereka yang menyikapi kebudayaan sebagai “kata benda”, dan yang kedua adalah mereka yang menyikapinya sebagai sebuah “kata kerja”. Tentang ini, ia menjelaskannya dalam kalimat-kalimat sebagai berikut:
“kalau dalam konsep nativistik para eksekutif kebudayaan seakan-akan ditempatkan di masa lampau; kalau dalam konsep ilmiah para ilmuan social kebudayaan ditempatkan di masa sekarang; maka dalam konsep kreatif para budayawan dan seniman kebudayaan seakan-akan ditempatkan di masa depan. Untuk kelompok pertama adalah “warisan budaya”; untuk kelompok kedua: “kehidupan budaya dan perubahan budaya”; dan untuk kelompok ketiga: “daya cipta budaya”. Demikan pun, para eksekutif dan politisi dirisaukan oleh persoalan identitas budaya, para ilmuwan sibuk dengan masalah social budaya dan dampak kebudayaan, sedangkan para budayan dan seniman resah oleh krisis, kemandegan, atau impasse kebudayaan. Secara singkat, golongan terakhir inilah yang secara khas memandang dan memperlakukan kebudayaan sebagai kata kerja dan bahkan sebagai pekerjaan itu sendiri.”

Melacak Gagasan-gagasan Budaya
Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu komunikasi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan bahasa akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental.
Salah satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.
Budaya dalam definisi diatas berarti mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya. Hanya sebagian kecil dimensi manusia yang tidak dicakup dalam konsep budaya, yakni yang terkait dengan insting serta naluri. Hal serupa dikemukakan oleh Van Peursen (1988) yang menyatakan kebudayaan sebagai proses belajar yang besar.
Melacak gagasan konseptual tentang budaya, tidak sedikit yang coba menelaahnya dari asal-usul katanya (etimologis). Beberapa tokoh penting dalam perkembangan kebudayaan Indonesia di pra dan pasca-kemerdekaan, seperti Ki Hadjar Dewantara, Poerbatjaraka, Zoetmulder, Moh. Natsir, Drijarkara, Notonegoro dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), sama-sama mengamini budaya sebagai derivasi “budi” dan “daya” dari kata jamak “Buddhayah” dalam bahasa Sangsekerta , yang berarti “daya dari budi” atau kekuatan budi manusia yang meliputi cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari semua itu (Koentjaraningrat, 1990: 181; Kayam, 1981) yang terutama ditujuakan pada peningkatan kualitas hidup manusia menjadi lebih luhur atau mulia.
Di sisi lain, ada yang coba mendefinisikan budaya dengan menyelidiki kata kebudayaan sebagai sebuah terjemahan dari kata “kultur” dalam bahasa Jerman atau “cultuur” (Belanda) dan hampir sepadan dengan kata “culture” (Inggris dan Prancis) atau kata “colere” atau kata “cultivare” (Latin). Dalam hal ini, budaya memiliki pengertian dasar “mengolah atau mengembangkan” kehidupan sehingga menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Kedua pelacakan terserbut, menurut hemat penulis, baik secara etimologis maupun transliterasinya, menunjuk pengertian yang, paling tidak, hampir sama, yaitu sebagai sebuah produk histories manusia dalam proses mencipta dan mengolah kualitas kehidupannya untuk kepentingan peradaban.
Sementara itu, Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian juga budaya yang berbeda akan membuat manusia berbeda.
Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia memakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Software, kita tahu adalah program yang membuat sebuah komputer bekerja. Tanpa software, komputer hanya seonggok benda mati yang tidak berguna. Software-lah yang menentukan kerja komputer. Jadi, Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya ketika ia menganalogikan budaya sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna.
Lain kesempatan disambung lagi... :)
Daftar Bacaan
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi: Cetakan Kedelapan. Rineka Cipta. Jakarta.
1 Makalah ini disampaikan dalam diskusi Malam Jum’at di Djaeng Coffe, 16 April 2009.