Wednesday, September 16, 2009

HIPEREALITAS RAMADHAN

Hiperealitas Ramadhan

Oleh: Astar Hadi*

Jejak Ramadhan 1430 H tinggal beberapa hari lagi. 10 hari terakhir, sepert dijanjikan Alloh, dianggap sebagai moment “keramat” untuk meraih keagungan lailatul qadar juga telah tiba. Pada saat inilah, anjuran untuk melipatgandakan ibadah dan memperbaiki kualitas spritualitas menjadi sangat signifikan. Malam Seribu Bulan, merupakan manifestasi “sibghotullah” atau sentuhan “tangan” Tuhan secara langsung ke bumi manusia bagi mereka yang mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada-Nya.

Di saat yang sama, proses penggalian nilai-nilai ibadah mengalami simulacrum spritualitas oleh gempita komodifikasi realitas Ramadhan. Dalam model komodifikasi ini muncul nuansa-nuansa yang seolah-olah serba “islami” dan seolah-olah menawarkan “rahmah, barkah dan maghfirah” berpuasa melalui citra-citra yang dikonstruk oleh bangunan media tertentu, yang anehnya, “diamini” secara massif oleh banyak kalangan.

Ekstase Shopping Ramadhan

Fakta bahwa setiap kali Bulan Ramadhan datang, konstruk pikiran kita hampir seragam. Bayangan tetang bulan puasa yang serba special membawa hamper –untuk tidak mengatakan semuanya— setiap orang untuk berduyun-duyun mempersiapkan diri menjemput kedatangnnya dengan sesuatu yang “spesial” pula.

Bukan sebuah kebetulan, sehari menjelang Ramdhan, saya masuk ke sebuah supermarket di bilangan Cakranegara, Mataram, NTB, terlihat berjubel orang berbelanja dengan jumlah barang yang “tidak biasa” kita temukan pada 11 bulan lainnya. Pun demikian, di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti yang diberitakan di televisi, masyarakat melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Sebuah wisata kuliner bernuansa “spiritual”. Mungkin.

“Kekhususan” bulan turunnya al-Qur’an ini sekaligus mempertontonkan citra wajah sosial umat muslim dalam hiruk-pikuk “iqra’” (membaca) peluang “bisnis spiritual” yang muncul di mana-mana. Bak cendawan di musim penghujan, beraneka warung-warung ataupun pedagang dadakan bermunculan menjemput oase barkah Ramadhan.

Lebih-lebih di penghujung Ramadhan, saat di mana aroma lebaran tercium, tiap orang yang semestinya menjemput Bulan Seribu Bulan ini dengan memperbanyak berdiam diri di masjid dalam suasana khusyuk, alih-alih, justru terjadi konversi “i’tikaf” dalam ekstase (kenikmatan) shopping di mall-mall. Spirit lailatul qadar tergerus oleh wujud perayaan “kemenangan” yang hyperreal.

Kecenderungan ke arah tindakan atau aktivitas yang hyperreal mewujud dalam sebuah kesadaran semu dalam memaknai dan atau menyikapi substansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam spirit Ramadhan. Al-Imsak (menahan diri) yang berarti menjaga diri dari gejolak pelepasan hasrat biologis, fisiologis dan psikologis secara berlebihan justru terasa absurd. Betapa tidak, ajaran berpuasa sebagai medium kontrol terhadap hasrat konsumptivisme (baca: belanja), anehnya, di bulan ini pula mesin-mesin hasrat (desiring machine) itu begitu eksis dan dirayakan secara massal.

Perihal menjamurnya shopping mall, iming-iming mega diskon dengan iringan musik islami dan spanduk-spanduk “menyambut” Hari Kemenangan yang berjejer di pusat-pusat perbelanjaan secara tidak sadar diamini secara perseptual sebagai semangat kembali pada kesucian (Idul Fitri).

Hiperealitas Religius

Kecenderungan semesta tanda dan pencitraan ini mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Kita disuguhkan realitas tanda-tanda dan citra simulatif yang mengaburkan makna “al-imsak”, “hari kemenangan”, dalam bentuk realitas makna yang kontras; sebuah hiperealitas.

Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Dalam banyak hal, ada semacam “kelembutan”, “kesyahduan”, “kekhusyukan” dan “keteduhan” yang dibangun melalui penciptaan model-model realitas baru yang dikontekskan dengan momen-momen tertentu –seperti Ramadhan atau Idul Fitri misalnya— semisal menghadirkan sense of Ramadhan di mall atau tempat lain, seperti musik atau spanduk berbau religius. Dengan demikian, hal tersebut akan membentuk kesan di masyarakat yang seolah-olah kesediaan untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang disodorkan pada kita adalah bagian dari prosesi yang niscaya dalam setiap menyambut kedatangan Ramadhan maupun Idul Fitri

Semakin menyeruaknya overproduksi tanda yang hadir melalui pencitraan media sedemikian rupa, membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan mencerap antara yang sejati dan semu. Artinya, fakta social yang ada di sekeliling kita, bahwa “identitas” shopping lebaran dan wisata kuliner Ramadhan yang selalu dan terus-menerus dijejalkan melalui berbagai media, terutama sekali iklan-iklan di televisi, mampu menggeser imperatif nilai yang semakin jauh dari spirit/makna awalnya.

Kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed.” Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baurillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu.

Kedua, solisi imajiner merupakan ciri lain hiperealitas. Pada konteks ini, tercipta proses menjadikan sesuatu yang non-empiris menjadi seperti nyata. Terjadi objektivikasi kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menghasilkan suatu fakta yang dapat dirasa, diraba atau dilihat. Berbagai teknik komunikasi pesan yang, seolah-olah, islami, seperti iklan layanan “Reg (spasi) bla…bla..bla”, publisitas acara spesial Ramadhan di media massa, dan lain-lain, telah menyebabkan kita terjerembab dalam komodifikasi gaya hidup orang berpuasa yang “harus serba lengkap”; harus ini, harus itu. Hubungan antara kenyataan hidup yang serba kurang atau pas-pasan dan “seruan” kamuflatif menjalankan ibadah puasa atau menyambut idul fitri dengan sesuatu yang “harus spesial” memaksa kita untuk berbondong-bondong mewujudkannya. Namun, karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduannya. Pada akhirnya, menikmati “barkah” ramadhan berarti menjalani ibadah dengan syarat-syarat citra diri yang (dipaksa) melampui kemampuan dasar/kebutuhannya.

Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006) mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas shopping mall –dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri— yang pada titik tertentu dianggap sebagai bagian dari rangkaian “ibadah” di bulan suci ini.

Pada akhirnya, betapapun realitas wajah sosial masyarakat sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa, Ramadhan dan Idul Fitri tetap menjadi momentum kesadaran kritis bagi umat muslim dalam upaya menjaga semangat al-Imsak dan upaya kembali ke titik kesucian (fitrah) dalam artian sesungguhnya. Selamat Hari Raya Idul Fitri…

*Astar Hadi adalah Penanggung jawab/Pengasuh Jurnal Madzhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences, Malang. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005)