Sunday, June 27, 2010

Warna "Islam" di Putaran II Loteng

Oleh: Astar Hadi*

Sejak zaman dahulu, demikian Karl Marx, agama dan pendeta selalu punya kecenderungan mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx, dianggap menindas rakyat.
Betapa pun telaknya serangan Marx tersebut, pergolakan politik di Thailand yang menumbangkan kekuasaan zalim Thaksin ketika itu juga dimotori oleh para biksu (pendeta) yang muak dengan arogansi (kapitalisme) kekuasaan. Sementara di Indonesia, Seoharto adalah salah satu contoh klimaks kemarahan rakyat bersama para intelektual dan tokoh-tokoh agama yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim otoriter Orde Baru (Orba) yang kokoh.
Bahwa teologi “politik” para Ulama –dalam konteks Nasional— dalam tesis Marx tidak sepenuhnya benar. Relasi kuasa antara Negara dan Agama secara relatif tidak dalam posisi “saling menyerang”, tidak pula “saling mendukung.” Yang ada, kedua ranah kekuasaan ini memposisikan diri dengan “malu-malu kucing” untuk “tidak” saling mengganggu otoritasnya. Benarkah demikian?
Menilik pada konstelasi politik pemilihan kepala Daerah (Pilkada) 2010 di Lombok Tengah (Loteng), “warna islam” relative masih kental. Poros kekuatan tokoh agama di bagian tengah Pulau Seribu Masjid ini mengisyaratkan masih kuatnya peran kuasa Tuan Guru –gelar ulama di Lombok—dalam membingkai “masa depan” masyarakat. Bahwa transformasi teologi memiliki peran signifikan dalam proses politik –dalam hal ini Pilkada.
Akan tetapi, transformasi teologis dalam kekuasaan politik di Loteng tidak serta-merta membawa nuansa “agamis” dan “bermoral” bagi wajah perpolitkan kita. Yang paling mungkin, menurut hemat penulis, bisa terjadi “pergolakan” pragmatisme cukup serius dalam “pagelaran” drama Pilkada yang berlangsung. Alih-alih memberikan pendidikan politik yang rasional, cerdas, dan santun, justru tidak menutup kemungkinan akan muncul klaim-klaim kepentingan “islamisme” sesaat dari setiap kubu/calon yang bertarung.
Indikasi ini semakin mencuat merujuk pada berbagai isu lokal yang belakangan muncul, terutama sekali setelah dua kubu pasangan, SALAM (TGH. L. Gede Wirasakti) vis a vis MAIQ MERES (H. Suhaeli Thohir Fadli-H. Lalu Normal Suzana), yang kemungkinan besar lolos ke putaran II. Paling tidak, kulminasi puncak dari gunung es strategi pemenangan antara keduanya tidak hanya akan “habis-habisan”, lebih jauh, ada upaya “pengkotak-kotakan” lumbung-lumbung suara pemilih ke dalam logika pencitraan dan propaganda islam “ini-itu”.

Putaran Dua “Islam”
Geliat yang diperlihatkan SALAM dengan menempati perolehan suara tertinggi pada pemungutan suara, 7 Juni 2010, yang lalu, bagi sebagian kalangan mungkin cukup mengejutkan. Tapi, kalau dianalisis lebih dalam, kemenangan itu terbilang sangat rasional dan wajar jika melihat “kekuatan” NW (Nahdhatul Wathan) yang notabene menjadi basis suara SALAM di loteng cukup signifikan. Lebih-lebih, momentum ishlah besar-besaran antara NW Anjani dan Pancor yang melibatkan Gede Sakti beberapa waktu yang lalu, merupakan “tonggak” bersatunya simpul-simpul kekuatan ormas ini ke dalam satu gerbong. Sementara enam pasangan calon yang lain, minus MAIQ MERES dan JARI (incumbent), “tidak memiliki” basis massa yang cukup signifikan kecuali “hanya” melalui perolehan suara yang bisa dibilang sporadis dan tidak terorganisasi dengan jelas (silent voters).
Baik SALAM maupun MAIQ MERES merupakan dua tokoh ”berpengaruh” yang memiliki basis akar rumput (grass roots) yang terbilang mengakar dan ideologis sebagai massa NW dan jamaah Yatofa/Bodak yang notabene sama-sama cukup besar. Kedua kekuatan ini “sama-sama” merupakan spektrum islam di Loteng yang, mau tidak mau, dianggap sebagai salah satu faktor utama yang meloloskan mereka ke putaran kedua. Meski pasangan calon wakil mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, khususnya Normal Suzana yang cukup popular dan “disukai” masyarakat di Loteng bagian selatan.
Mengangkat kembali puing-puing kekuatan “islam” yang berserakan oleh karena “kompromi” politik tidak lah salah, tapi sering kali tidak bertahan lama. Karena urgensi kekuasaan –dalam hal ini politik perebutan suara— adalah sebatas, “who gets what”, lebih bersifat prosedural politik ‘siapa mendapatkan apa’ ketimbang urgensi substansial demokrasi yang berorientasi jangka panjang dan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Logika ini tentunya merupakan preseden yang kurang baik bagi terciptanya kesadaran kritis dan pembangunan masyarakat Loteng ke depan.

Represi Wacana “Islam”?
Ketika sebuah wacana –dalam hal ini Islam— memasuki ranah politik, ia bisa bermakna ganda dan cendrung manipulatif (pseudo image). Di satu sisi, ia merupakan sebuah “alat” komunikasi persuasif, tetapi ia pun bisa menjadi “alat” komunikasi represif. Yang pertama, mengandaikan sebuah komunikasi nilai, semangat, dan prilaku keberislaman sebagai “sarana” untuk melegitimasi eksistensi pemangku kepentingan sebagai sosok yang “layak” mendapatkan pengakuan publik. Sebaliknya, yang kedua, seseorang yang berkepentingan untuk mendekati massa memposisikan islam-nya sebagai “sarana” kontrol menyeluruh terhadap upaya-upaya menguasai sejumlah orang dengan klaim-klaim “kebenaran” sepihak.
Logika terakhir di atas, seringkali terjadi di setiap upaya menjaga atau mengontrol massa yang besar untuk “tunduk” dalam satu bahasa tunggal wacana yang dimainkan oleh setiap orang yang berkepentingan terhadap kekuasaan. Jika menilik pada fenomena pilkada putaran II di Loteng yang melibatkan dua kekuatan besar “tokoh” Islam yang secara tersirat “bersandar” pada dua ormas besar (NU dan NW), maka ada kemungkinan “semangat” ini memasuki ranah represi wacana parokial “islam mana yang berhak” berkuasa di bumi Tatas Tuhu Trasna ini.
Bahwa wacana islam yang seharusnya bertujuan menjaga harmonisme keberagamaan (rahmatan lil alamin), dalam politik, ia bisa berubah menjadi pagelaran klaim kebenaran sepihak melalui anarkisme verbal yang memaksa setiap orang dalam ruang publik untuk memilih “yang ini” atau “yang itu”. Justifikasi kelayakan diri seorang calon tidak dinilai melalui argumentasi rasional komunikasi, program kerja atau kredibilitas dan kapabilitasnya, akan tetapi dengan “mengatasnamakan” citra dirinya dalam salah satu “islam” kepada publik.
Efek domino dari wacana reprsif semacam ini, jika muncul, bisa merasuki setiap tubuh social dan berimbas pada terjadinya “perang” klaim dan konflik horizontal dalam masyarakat tertentu secara berhadap-hadapan (vis a vis).
Adalah hanya dengan semangat yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi moralitas politik, proses demokratisasi bisa berjalan dengan baik dan memperoleh legitimasi yang kuat. Untuk itu, transformasi teologi dalam politik ke depan selayaknya mengedepankan manifestasi nilai-nilai islam sebagai “payung” kesadaran bersama untuk membina silaturrahim politik jangka panjang daripada “memaksakan” agregasi kepentingan sesaat yang notabene tidak hanya tidak layak untuk citra positif seorang calon, lebih-lebih, tidak kondusif untuk pembangunan Loteng yang cerah ke depan. Mari berpolitik dengan santun.

* Astar Hadi adalah penanggung jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang dan peneliti pada INDOMATRIK (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur.

Friday, June 4, 2010

Wajah Buram Media Sebagai Alat Pemenangan Pilkada

Oleh: Astar Hadi**

Hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada) di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang menggelar pemilihan Gubernur (Pigub) dan sejumlah Pemilihan Bupati (Pilbup) secara serentak mulai memperlihatkan antusiasme dan partisipasi massa di berbagai Daerah. Gejolak perang visi-misi, program kerja, aksi politik dan haru biru pencitraan para kandidat mulai menunjukkan taringnya.

Tidak ketinggalan, media massa, sebagai salah satu sumber “kampanye” dan informasi penting pilkada bagi calon dan masyarakat, tidak kalah “garang” mengejar liputan-liputan pesta demokrasi di Daerah ini. Di samping merupakan momentum adu jualan janji politik, berita Pilkada sekaligus ajang “bisnis” informasi cukup laris bagi media dan para penikmatnya. Bisa dipastikan, arus lalu-lintas informasi dalam “pasar” media, khususnya di Kalteng, mengacu pada kondisi ini.

Gelar pesta rakyat yang rencananya berlangsung pada 5 Juni 2010 mendatang mengisyaratkan kuatnya pertarungan opini, prediksi-prediksi, isu jual beli suara (money politic), kemungkinan kampanye-kampanye hitam (black campaign) yang dialamatkan pada calon-calon tertentu. Fenomena ini adalah hal “lumrah” yang hampir selalu terjadi tiap kali Pilkada berlangsung.

Dalam konteks media, warna-warni demokrasi prosedural tersebut tentunya menjadi “barang dagangan” yang, di satu sisi, bertujuan memberikan informasi “apa adanya” terkait konstruk sosial-politik yang terjadi di suatu Daerah, sekaligus sebagai ajang penyadaran politik masyarakat untuk menilai mana layak dipilih atau tidak. Di sisi lain, dinamika politik semacam ini berkorelasi positif dengan logika bisnis media yang, pada titik tertentu, menguntungkan secara finansial. Rating, sebagai salah satu tolak ukur utama dalam keberlangsungan (survive) bisnis ini, meletakkan intensitas tinggi-rendahnya jumlah pembaca sebagai keniscayaan mutlak. Semakin tinggi minat pembaca semakin tinggi pula jumlah pemasang iklan di media tersebut.

Artinya, dominasi berita-berita politik –dalam hal ini Pilkada— memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi semakin tingginya pemasang iklan dan meningkatnya jumlah pembaca mengingat tingkat kedekatan (proximity) antara calon, isu-isu dan fakta-fakta yang diangkat bersifat faktual dan bersentuhan secara langsung dengan sasaran media.

Bak cendawan di musim penghujan, semakin merajalelanya bisnis media sebagai akibat laju teknologi informasi yang supercepat telah menjadi tempat pertarungan wacana dan opini publik yang paling berpengaruh dalam mengkonstruksi pikiran publik. Kasus Bank Century merupakan contoh paling kentara betapa media mampu menciptakan “realitas” politik yang mempengaruhi desain otak khalayak untuk mengikuti ke mana arah “pikiran” media itu. Media, dengan demikian, adalah mesin budaya baru yang memproduksi dan mengkonstruk “ideologi” masyarakat.

Media, tidak saja berfungsi informasi, tontonan atau hiburan semata, akan tetapi ia telah menjadi “kehidupan” yang mengatur hampir segala aspek keseharian, mulai dari urusan “baju apa yang harus saya pakai,” “jodoh yang pas buat saya” sampai pada persoalan “siapakah kandidat pemimpin yang harus saya pilih!”

Pun demikian, otonomi media massa sepertinya telah menjadi lokus sekaligus fokus “kesadaran budaya” manusia Indonesia untuk memintal harapan, optimisme, akan proyeksi hidup ke depan yang lebih baik. Melalui media pula, kita bisa melihat keputusasaan, pesimisme, tentang benang kusut kehidupan yang diporak-porandakan oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang semakin hari, semakin tidak menentu.

Sekian banyak peristiwa kelam, mulai dari pemiskinan sistemik yang dialami seorang bayi tak berdosa di Surabaya, degradasi sosial kapital oleh karena “premanisme” Negara terhadap hak (bertahan) hidup masyarakat kecil yang diambil atas nama “pembangunan” mercusuar ekonomi, sampai pada persoalan imagologi (pencitraan) kampanye politik yang aduhai dengan bumbu-bumbu “kecap selalu nomer 1”, menjadi hal biasa yang kita dengar dan tonton.

Pada posisi ini, media telah “berhasil” membangun kritisisme dan antusiasme partisipatif masyarakat dalam melihat gejala-gejala pembusukan politik (political decay) yang sering kita temukan dalam setiap adegan politik di tingkat Nasional dan Daerah.

Mewaspadai Pers dalam Pilkada

Akan tetapi, gejala semakin sengitnya pertarungan bisnis media akhir-akhir ini tidak melulu soal iklan, logika rating dan bagaimana meraih pembaca sebanyak-banyaknya. Ada kecenderungan kuat, bisnis ini menjalar pada relasi kuasa dalam menguasai pertarungan wacana dan menggenggam opini publik untuk tujuan-tujuan tertentu; memenangkan calon tertentu dalam Pemilu. Tentu saja, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi industri media dalam menjaga independensinya dari “pelacuran” kode etik jurnalistik.

Media sebagai arena pertarungan dan pendominasian wacana, dimana, antara kekuatan sosial-politik yang ada saling mempengaruhi, saling berlomba untuk mempengaruhi pendapat publik guna pemenangan suara pada pemilu. Dalam hal ini, media cetak dilihat sebagai perpanjangan tangan kekutaan politik tersebut.

Kepentingan media yang kongkalikong dengan kandidat tertentu dalam Pilkada sangat mungkin terjadi. Indikasi ini, menurut hemat penulis, memenuhi beberapa unsur yang menjurus pada praktik-praktik pemenangan kandidat di salah satu Daerah di Kalteng. Strategi penguasaan opini dilakukan melalui rekayasa sistemik media setempat yang secara implisit tergambar dalam pemberitaannya. Media bersekongkol dengan elit kepentingan untuk, meminjam istilah Noam Chomsky –kritikus media dari Amerika Serikat, mengontrol pikiran publik (control the public mind). Media mengontrol apa yang dirasakan, dipikirkan dan yang disikapi publik agar tetap berpihak terhadap tokoh politik tertentu.

Media Pemenangan

Belum lama ini, sebuah media cetak di Kalteng, entah disengaja atau tidak, telah melakukan “kecerobohan” prinsipil dalam pemberitaannya. Jika ditilik dari teori analisis teks media, terdapat kejanggalan yang sangat mencolok dan menyalahi “aturan main” logis sebuah pemberitaan. Ada indikasi pengambilan “suara” pemilih secara diam-diam (silent take over) melalui disinformasi opini oleh tokoh publik. Di mana, antara isi berita dan gambar yang dimunculkan sama sekali tidak sinkron dan cenderung kontradiktif. Hal ini sangat mengecoh dan menguntungkan kandidat yang diusung oleh salah satu partai politik (parpol) besar.

Disebutkan dalam judul besar Koran tersebut bahwa, “Pemilukada, Bupati Imbau Pilih yang Berkualitas.” Anehnya, justru gambar/foto yang ditampilkan menunjuk pada seorang calon yang akan bertarung di pilkada lengkap dengan gambar partai pengusungnya. Tagline yang menjelaskan arti gambar tertulis, “salah satu baliho bacalon bupati yang terpasang di sudut jalan.” Dalam isi berita juga terdapat kalimat yang mengatakan, “kita ini Negara demokrasi, sudah sewajarnya kalau pilihan kita belum tentu sama dengan yang lainnya. Namun saya berharap masyarakat cerdas dalam memilih pemimpin yang akan datang.”

Aristoteles, filsuf besar Yunani, secara sederhana menjelaskan bahwa hakikat kebenaran mengandung unsur logika yang kuat. Dalam contradictio interminis-nya, Aristoteles menegaskan bahwa tidak ada kebenaran dalam dua unsur yang berseberangan, kontradiktif dan tidak memiliki ikatan/hubungan logis. Tidak mungkin sebuah pernyataan A berarti B, begitupun sebaliknya. Sebagai contoh: “di luar terjadi hujan, maka hukum logisnya berarti di luar basah. Jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa di luar kering, berarti tidak benar dan tidak logis.” Jadi, hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dianggap benar jika keduanya memiliki hubungan logika yang kuat dan tidak saling menafikan

Jika ditilik dari teori analisis teks media, contradictio interminis Aristoteles tersebut inheren dengan terjadinya pengarahan opini/pikiran pembaca untuk mencoblos salah satu calon. Dalam framing (pembingkaian) teks media, beberapa unsur terkait teknik pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pengambilan sudut pandang (angle), pemunculan gambar/foto yang dilakukan surat kabar tersebut mengokohkan adanya kemungkinan “koalisi” mutualis antara sumber berita dan media penyampaian pesan tentang isi berita yang dimunculkan.

Yang aneh, pemunculan antara isi berita yang bertujuan mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas dan demokratis dengan gambar yang ditampilkan secara implisit merupakan bentuk pemihakan dan pengarahan terhadap seorang kandidat yang kebetulan terdapat dalam gambar tersebut. Sementara wajah sumber berita yang menyampaikan pesan tersebut justru tidak ada. Di sini, antara esensi berita dan gambar yang ditampilkannya selain tidak perlu, tidak pula ada keajegan (keserasian) makna secara prinsipil. Mengapa bukan wajah sumber berita yang dipampang? Mengapa justru wajah Kandidat dan Parpol pengusungnya yang ada? Masyarakat akan bertanya ada apa dibalik semua ini?

Tidak layak sebuah pesan yang berisi ajakan memilih dengan hati, tetapi dibarengi “pengarahan” yang secara tidak langsung mengajak khalayak untuk memilih kandidat yang ada di foto/gambar tersebut. Seharusnya, wajah sumber berita yang sekaligus pemangku pendapat (opinion leader) justru lebih tepat untuk dimunculkan disamping karena koheren dengan isi berita, juga berpengaruh positif dan signifikan dalam mengkonstruk pikiran pembaca.

Tapi akan berbeda maknanya jika pajangan semua wajah kadidat yang dimunculkan. Selain memenuhi asas keberimbangan, esensi dari judul berita yang bersifat mengajak itu lebih match dan memenuhi unsur kebenaran logisnya. Dalam konteks ini, tentu saja independensi media lebih terlihat.

Mana mungkin akan tercipta pilkada yang demokratis, bebas, rahasia, jujur dan adil (jurdil), jika yang dimaksud “pemilih cerdas yang memilih pemimpin berkualitas” justru dengan cara-cara yang tidak demokratis. Adalah sebuah ironisme kebebasan pers manakala mencederai kebebasan masyarakat untuk memilih sesuka hatinya melalui pengaburan fakta-fakta demi kepentingan politik elit tertentu.

Pemilihan judul berita, pemilihan gaya bahasa yang khas, penampilan gambar, memang merupakan hak prerogatif surat kabar yang bersangkutan. Namun, sesuai dengan prinsip jurnalistik, jangan sampai judul berita maupun gambar yang dihadirkan menghilangkan dan atau mengaburkan makna kebenaran sebuah fakta. Karena dalam prinsip kerja (code of conduct) media massa, persoalan netralitas pemberitaan (cover both side), faktualitas (factuality), bersifat mengikat dan fardu ‘ain alias wajib. Mari kita memilih dengan benar-benar cerdas ! Wassalam….

**Astar Hadi adalah Peniliti pada INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik & Kebijakan), Malang Jawa Timur dan Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies and Social Scieces)

Memimpin dengan Hati

Oleh: Astar Hadi

“Jika saja akhir dari kehidupan di depanku, dalam hitungan lima belas kaki sedang aku masih memiliki kesempatan sekadar menanam biji kurma untuk masa depan anak-anakku,maka aku pun akan menanamnya Sehingga kehidupan itupun menghampiriku.” (Ali Bin Abu Thalib)

Kata-kata indah lagi bijak yang diucapkan oleh Sayyidina Ali di atas menggambarkan sosok seorang bapak yang welas-asih, seorang bapak yang selalu tertanam dalam jiwanya sebuah bayangan optimis masa depan, seorang bapak yang selalu sabar menjalani hidup, seorang bapak yang istiqomah atau berpegang teguh pada nilai-nilai kehidupan yang bertujuan menciptakan perubahan yang lebih baik, seorang bapak yang berjiwa amanah dalam menggenggam prinsip kepemimpinan, bahwa hidup adalah secercah kesempatan untuk berbuat dan bergerak bagi kepentingan dan kemaslahatan kehidupan manusia.

Wejangan dari salah seorang Sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW ini memang singkat, tapi mengandung makna yang sangat luar biasa dan penuh inspirasi. Ibarat air yang mengalir di setiap hulu dan hilir sungai, cipratan pesannya meneteskan sebuah daya, sebuah semangat dan sebuah rasa cinta dari hati yang selalu ingin menyirami, mengaliri dan membasahi berjuta kehidupan di depannya.

Dalam diri setiap manusia telah dianugerahi Alloh SWT hati, otak dan tubuh yang sempurna. Dengannya kita diberkahi bekal berharga untuk menanam, mengolah, benih “biji kurma”, “biji padi”, “biji sawit”, dalam setiap hitungan “lima belas kaki”, dalam setiap petak lahan/ladang, dalam setiap jantung desa dan kota, dan dalam setiap denyut nadi kehidupan yang ada di sekitarnya. Inilah sebuah gambaran jiwa pemimpin sejati yang bisa mewujud dalam setiap pribadi, setiap keluarga, setiap tempat, setia[ pemerinthan dan dalam setiap kesempatan.

“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah SAW terdapat teladan yang baik” (Al-Hadits). Dalam diri Nabi Muhammad SAW telah tertanam jiwa seorang pemimpin sejati, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin ummat. Beliau adalah pemimpin yang mampu menyatukan semua golongan, merangkul setiap pribadi, menanamkan etos kerja, tidak membeda-bedakan suku, mentoleransi hak-hak setiap keyakinan (agama) untuk hidup dan bermasyarakat. Karena keberhasilan kepemimpinan beliau pula, cikal-bakal (istilah) masyarakat madani menjadi idaman setiap desa, kota, bahkan sebuah Negara, bisa terwujud.

Tongkat estafet kepemimpinan itu berlanjut pada pribadi-pribadi Khulafa’urrasyidin, Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Keempat sahabat Nabi SAW ini merupakan sosok pemimpin yang sabar, adil, hasanah, amanah, tawaddu’, dan istiqomah, dalam mengayomi dan melayani kesejahteraan rakyatnya.

Berbuat untuk Semua

Merenungkan kembali ucapan Ali Bin Abi Thalib di atas, setidaknya, tersirat tiga sikap yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin. Pertama, pemimpin yang istiqomah atau berkomitmen terhadap masa depan. “Di akhir kehidupan di depanku, dalam hitungan lima belas kaki,” ucap beliau, menyiratkan sebuah sikap istiqomah, memperlihatkan komitmen dan pendirian teguh terhadap visi dan misi kehidupan. Layaknya burung walet yang setiap tetes air liurnya bermanfaat buat kesehatan, dan perumpamaan seekor lebah yang setiap tetas “kotorannya” menghasilkan madu, seorang pemangku jabatan, atau saiapa pun, bahkan dalam sejengkal akhir hayatnya, sejatinya selalu menjwai sikap teguh pendirian terhadap kesejahteraan rakyat, terhadap masa depan sebuah negeri.

Kedua, pemimpin yang melayani dan atau perhatian terhadap masa depan rakyat. Alloh berfirman, “wa tawashau bilhaq watawashau bis shobri”, selalu saling mengingatkan dalam kebaikan (kebenaran) dan kesabaran. Merujuk pada kalimat Ali selanjutnya, “sedang aku masih memiliki kesempatan sekadar menanam biji kurma untuk masa depan anak-anakku,” adalah sikap hati yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat atas kepentingan diri sendiri. Antara isi ayat dan petuah putra Abu Thalib ini, mewartakan kedewasaan, jiwa kepemimpinan, yang hendak menggugah relung keasadaran terdalam calon pemimpin untuk senantiasa memberi ruang dan membuka peluang –bukan janji palsu— bagi anak-anaknya (baca: masyarakat) untuk mengairi sawah atau ladangnya, mengepulkan asap dapurnya, sehingga tidak ada lagi cerita miris tentang banyak maling kelas teri yang divonis secara tidak adil karena kemiskinan dan pemiskinan. Para pemimpin yang perhatian pada rakyat adalah mereka-mereka yang selalu memberi umpan, menyiapkan kail, agar para pemancing (rakyat) tidak lagi kesulitan memancing ikan-ikan kesejahteraan dari hulu sampai hilir di setiap sudut Pulau Seribu Masjid ini.

Ketiga, pemimpin yang terus bergerak dan berbuat untuk kemaslahatan. “Maka aku pun akan menanamnya sehingga kehidupan itu pun menghampiriku.” Mutlak dibutuhkan sebuah kualitas pribadi yang tidak cukup “sekadar” memperhatikan, memberi ruang dan membuka peluang. Lebih dari itu, terpatri sesosok diri berkarakter yang bisa menjadi magnet, menarik, mengajak, menanamkan benih-benih kesadaran yang jadi senjata picu bagi masyarakat untuk berlomba-lomba menjaga harmonisme bermasyarakat, bekerja, berbuat untuk kemaslahatan. Rasulullah bersabda, “khoirunas anfa’uhum linnas,” sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat buat manusia lainnya. Arti penting seorang pemimpin manakala ia tidak pernah berhenti untuk menanam, menyemai, menyirami, mengaliri secara terus-menerus dunianya, rakyatnya, sehingga mendarahdaging, menyatu, dalam hati, benak dan pikiran tiap orang yang dipimpinnya. Dengan demikian, seorang bapak yang baik adalah bapak yang selalu mengayomi, melayani, melindungi, selalu bergerak dan berbuat agar benih-benih tanaman kemakmuran tersemai bagi anak-anaknya hingga kehidupan selalu terjaga. Dan, pada akhirnya, semoga saja di Pilkada kali ini, kita menemukan sosok pemimpin Daerah yang memiliki “kesanggupan” dan komitmen kuat untuk menanam dan mengolah “biji kurma” itu agar semai kesejahteraan bisa terwujud di bumi Nusa Tenggara Barat ini. Wallahu A’lam Bis Shawab.

*Astar Hadi adalah alumni Ponpes Nurul Hakim, Kediri, Lobar, dan Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences), Malang, Jawa Timur.