Sunday, January 8, 2012

Tragedi Bima, Bual Penguasa dan Simulacrum Politik

Oleh: Astar Hadi*

Tragedi berdarah di pelabuhan Sape Bima, NTB, belum genap sebulan. Ingatan kita akan kebrutalan aparat yang menewaskan Arif Rachman (19), Saiful (17) dan Afifudin A. Rahman (45), perlahan tapi pasti, “mulai” terkubur seiring meleburnya jasad mereka yang bakal menjadi “pupuk organik” bernilai bagi kesuburan tambang di bumi Ngahi Rawi Pahu.
Ya. Di setiap jengkal kasus besar bangsa yang melibatkan kejahatan kerah putih (white collar crime), selalu ada daya kreasi politik pengetahuan yang luar biasa nan ciamik yang menggiring kita untuk alfa dan lupa atas apa yang baru saja terjadi. Demikian halnya dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa saudara sebangsa kita di Lambu, Bima.
Bupati Bima, Fery Zulkarnain, menyulap fakta-fakta besar penghisapan kapitalisme neoliberal dan tragedy berdarah itu menjadi sebatas “muatan politis” yang, tentu saja, masih sangat “mistis”. Dalam keterangan persnya, salah satu keturunan Sultan Bima ini, menyemburkan kata-kata “magis” yang seolah-olah lebih nyata dari apa yang telah terjadi (simulacrum of reality).
Sebagaimana slogan umum para politisi, alasan yang melulu muatan politis selalu menjadi jurus pamungkas, di saat mereka kehabisan akal, enggan disalahkan dan atau berupaya lari dari tanggung jawab. Artinya, klaim dan asumsi diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih terang dari penyerbuan “peristiwa shubuh” yang masih gelap-gulita, di Pelabuhan Sape, 24 Desember 2011, yang lalu.
Zulkarnain, dalam hal ini, mungkin, bermulut sama. Ia mengklaim, ‘’Saya sudah tangkap ini (muatan politis, pen.), maka saya sampaikan mari kita sama-sama membangun daerah ini, kalau memang ingin berkompetisi kita tunggu tahun 2013 mendatang,’’ (www.suarantb.com edisi 07/01/12).
Sah-sah saja Bupati tersebut membela diri. Tapi sungguh terasa ironis dan lucu manakala ruang hidup rakyat yang bernafas dengan bercocok tanam harus dibungkam oleh fakta-fakta tragis kapitalisme (pertambangan) yang, alih-alih, memahami kearifan lokal masyarakat setempat. Sebaliknya, peristiwa-peristiwa berdarah, seperti di Papua, Mesuji dan, terakhir, di Bima, mengungkap begitu kentara sebuah desain modernisme dan korporasi global yang justru sangat bermuatan politis (political economy) ketimbang ucap gombal incumbent atas nasib rakyat ke depan.
Pun demikian, kita lebih banyak mendengar kisah pilu massa yang didesak semakin ke pinggir, dibunuh dan dimiskinkan oleh premanisme kebijakan (public policy) atas nama pembangunan mercusuar ekonomi yang menjadi pemanis lidah (lip service) belaka. Sementara di sisi lain, ia dengan sangat mudah dimaknai begitu simplisistis oleh bahasa penguasa sebagai kampanye hitam (black campaign) yang merongrong wibawa mereka dengan, lagi-lagi, mengatasnamakan amanat penderitaan rakyat segala.
Zulkarnaen berhak melempar klaim sejauh ia sanggup menunjukkan fakta-fakta empiris keterlibatan pihak-pihat tertentu yang mendalangi aksi pemblokiran pelabuhan yang berakhir pada aksi brutal aparat dan kematian tiga orang tak berdosa. Jika tidak, maka citra buruk kebijakan izin pertambangan yang sedari awal ditolak rakyat tersebut semakin mengindikasikan terjadinya kebijakan salah kaprah dalam kepemimpinannya.

Membaca Fakta

Mengutip Pius Ginting (www.berdikarionline.com edisi 26/12/11), bahwa pada tanggal 28 April 2010 merupakan tanggal disahkannya paket 15 buah izin usaha pertambangan oleh Bupati Bima. Adalah janggal izin pertambangan dikeluarkan sebanyak itu sekaligus di tingkat Kabupaten, mengingat pertambangan membutuhkan ruang yang luas. PT. SMN dapatkan IUP bernomor 188/45/357/004/2010, seluas 24.980 Ha; dan PT. Indo Mineral Cipta Persada mendapatkan 3 Izin Usaha Pertambangan. Luas Izin Usaha Produksi mineral logam minimal 5.000 (lima ribu) hektare dan maksimal 100.000 (seratus ribu) hektar, menurut Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Luas ke-15 izin perusahaan tersebut, masih Pius Ginting, jauh diatas luas minimum, seperti tambang SMN. Ke-15 izin ini dikeluarkan dua bulan jelang Pilkada Bima, 7 Juni 2010. Sudah sering dilaporkan aktivis dan media bahwa para kepala daerah yang ikut lagi dalam ajang pilkada obral izin untuk dapatkan dana pemenangan. Ridha Saleh, dari Komnas HAM menyatakan dana izin pertambangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumbent untuk menghimpun dana kampanye pilkada. Indikasinya, pemerintah daerah royal mengeluarkan izin pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah.
Pilkada Bima 2010 terbilang sengit. Betapa tidak, kantor partai kandidat yang menang pilkada dibakar warga yang kecewa calonnya kalah. Tentu saja gejolak yang ditumbulkannya berbanding lurus dengan besar biaya yang dikeluarkan. Sengketa pilkada ini pun berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, namun pengadilan tetap memenangkan kandidat incumbent yang keluarkan izin tambang tersebut.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memahami politik klaim yang, salah satunya, dinyatakan Zulkarnaen, jika melihat fakta-fakta di atas?

Simulacrum Politik
Salah satu “temuan” penulis dalam survey-survei/penelitian pilkada di sejumlah daerah selama hampir tiga tahun menunjukkan pentingnya kejujuran -di samping bebas KKN— sebagai salah satu aspek utama sosok pemimpin yang didamba masyarakat. Hampir sekitar 85% rata-rata pemilih (responden) yang dipilih secara acak (random sampling) menempatkan kejujuran sebagai yang ultima dan harus dimiliki seorang pemimpin.
Gambaran di atas, jika dibaca secara terbalik, ingin menunjukkan rasa muak publik atas goresan fakta sejarah politik pembungkaman dan atau pembohongan yang lahir dari rahim rezim Soeharto hingga era kekuasaan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), di tiga dekade terakhir ini. Pembohongan demi pembohongan publik atas nama kesejahteraan rakyat berlanjut dalam oligarki raja-raja kecil di daerah yang tidak kalah garang, termasuk fakta tragis di Bima.
Mengutip kembali komentar Zulkarnaen yang menyebutkan adanya rekayasa oknum-oknum tertentu yang menjadi dalang dibalik aksi massa dan pemblokiran pelabuhan Sape sebagai upaya agar dirinya dianggap melanggar UU dan sumpah jabatan sehingga di-impeachment oleh DPRD (www.suarantb.com edisi 07/01/12), menurut penulis, merupakan politik simulacrum yang berupaya mengaburkan fakta-fakta ekonomi-politk nyata menjadi sebatas ilusi sejarah.
Fisuf Posmodern Perancis, Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation menjelaskan bahwa simulacrum dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baurillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu.
Dalam hal ini, Baudrillard memberi contoh aparatus represif (pemerintah, polisi, dll., pen.) pada umumnya menggambarkan sesuatu yang “nyata” tentang dirinya sebagai yang mengayomi dan tidak melakukan tindak kekerasan sebagai suatu “kebenaran riil”, sebaliknya setiap kekerasan ataupun perampasan atas hak milik (pertambangan rakyat, pen.) adalah “bukan” dirinya yang berarti hanya “ilusi/kebohongan.” Lebih jauh, ia menegaskan, bahwa simulasi/simulacrum jauh lebih berbahaya oleh karena selalu menempatkan dirinya di atas dan atau melampui kenyataan obyeknya (kasus pertambangan dan tragedi berdarah Bima, pen.). Dengan demikian, setiap kekerasan dan atau perampasan itu hanya ilusi dan setiap upaya mengayomi dan mensejahterakan itu adalah “kebenaran.” Dan, pelanggaran maupun kekerasan yang terjadi, lanjut Baudrillard, sangat mungkin dianggap sebagai kurang/tidak serius oleh karena ia “hanya” bentuk distributif/ikutan yang tidak nyata/tidak prinsipil.
Sinkronisasi bahasa politik incumbent atas apa yang menimpa masyarakat Lambu Bima, menegaskan simulacrum realitas yang tidak berbanding lurus dengan harapan dan keluhan masyarakat yang dipimpinnya. Tengara muatan politis di balik aksi-aksi massa yang juga banyak muncul di jejaring social, seperti Facebook, seolah-olah menegaskan upaya “berdamai” dan “meremehkan” tragedi social bangsa yang sudah sedemikian biasa terjadi ini sebagai “realitas kedua/kesekian” yang berada di bawah “realitas” yang dianggap jauh lebih penting; politik tungang menunggang!!!
Korban nyawa dan aksi penolakan massa atas kebijakan pertambangan publik ini justru mengarah pada permainan asumsi dan klaim pengaburan realitas yang menohok hidung kambing hitam alias oknum yang belum jelas juntrungnya. Yang tidak kalah lucu, urusan publik malah menjadi sebatas urusan “pribadi” antara incumbent dengan makhluk antah-berantah yang, konon, ingin melengserkannya.
Pemimpin besar adalah sosok bertanggung jawab yang tidak cuci tangan setelah setelah kecipratan darah. Kedok pengkambing-hitaman dengan melempar klaim kesalahan terhadap sesuatu di luar dirinya atas peristiwa tragis kemanusiaan yang terjadi dalam rumah tangga yang dipimpinnya sendiri, secara tidak langsung, telah mengelabui akal sehat dan empati kemanusiaan kita sebagai bangsa yang, katanya, beradab dan bertanggung jawab.
Dalih muatan politis, sudah jelas, merupakan bentuk muatan politis paling vulgar dan telanjang yang dilancarkan Zulkarnaen untuk mengalihkan isu besar kejahatan neoliberalisme yang mencengkeram nafas hidup dan nyawa rakyat Bima menjadi sebatas bual politis tidak bertanggung penguasa atas amanat rakyat yang tertera dalam pasal 33 UUD yang sudah jamak terjadi di setiap wilyah bumi pertiwi , bumi pertiwi. Kesadaran kritis kita pun tahu, mana yang nyata-nyata politis, mana yang bukan?!
Rakyat Bima, Mesuji, Papua, dan lain-lain, tentu saja, masih ingat betul akan irisan luka yang ditorehkan oleh arogansi kuasa yang meminggirkan dan mengebiri harkat hidup mereka di bawah rezim kepentingan kapital. Sebagai rakyat, kita tinggal memilih, di mana kaki berpijak. Diam atau tetap melawan?! Wallohu a’lam

*Astar Hadi adalah pemerhati sosial politik dan media