Thursday, December 27, 2012

Tangan Berjabat, Bekerja dan Berbuat Bersama Rakyat

(Sebuah Epistemologi Metapolitik BMD NTB)**

Oleh: Astar Hadi*

Barisan Massa Demokrat (BMD) NTB merupakan organisasi sayap Partai Demokrat (PD) yang baru saja dibentuk. Kehadiran organisasi baru ini merupakan langkah strategis politik yang diiniasi oleh kader PD NTB bersama kekuatan-kekuatan non-politik yang terdiri dari elemen pemuda, kaum perempuan, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan elemen-elemen civil society lainnya.
Konsekuensi selanjutnya dari kehadiran organisasi ini adalah memancang sebuah kesadaran politik berorientasi kemasyarakatan yang berupaya “melampui” kemandekan politik yang dialami semua partai politik, khususnya PD. Parpol telah mengalami impotensi representasi politik oleh karena praktik-praktik formalisme dan pragmatisme yang, pada fakta riil politik, telah kehilangan daya dan makna transformatif-emansipatifnya sebagai penopang aspirasi, partisipasi langsung terhadap kebutuhan masyarakat banyak.

Kebuntuan Politik Representasi
Sejak tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru, kebebasan berpolitik dan mendirikan parpol laksana pelita di malam hari yang, seolah-olah, memberi cahaya baru optimisme emansipasi yang menumbuhkan ruang partisipasi demokrasi secara luas bagi keberlangsungan taraf kehidupan bernegara yang lebih baik. Memang, energi positif keterbukaan ini telah kita rasakan begitu rupa. Ruang publik telah digelar di hampir seluruh substratum sosial-politik dalam berbagai bentuk dan kepentingannya. Puncaknya adalah pagelaran “tari” kekuasaan melalui mekanisme partai politik yang hendak menjadi jala untuk menjaring setiap kebutuhan dan aspirasi rakyat. Alih-alih menjadi representasi publik, parpol terjebak dalam gurita relasi kuasa politik dagang sapi yang mengebiri hak-hak rakyat dalam labirin kepentingan politik
Tersumbatnya keran demokratisasi dalam konteks hak-hak sipil politik yang paling elementer berupa kesejahteraan ekonomi warganegara berimbas pada kemelut panjang hubungan penguasa vis a vis rakyat yang tak terselesaikan. Lebih-lebih, jika menilik pada semakin menyeruaknya kasus korupsi yang menelan trilyunan uang rakyat dan melibatkan elit-elit Negara, munculnya raja-raja kecil serakah di daerah, kegenitan LSM-LSM oportunis haus fulus, dan konflik-konflik horizontal yang memakan korban tidak sedikit, sementara parpol mengalami ejakulasi syahwat politik yang “hanya” berurusan dengan “siapa dapat apa” (who gets what), menambah panjang catatan hitam kegagalan reformasi selama lebih dari satu dekade ini.
Kebuntuan politik di tengah kebebasan informasi dan gelegar ruang publik terjadi oleh karena terputusnya mata rantai agensi yang berkiblat pada politik an sich. Artinya, parpol merupakan sebuah fenomena rutin politik sehari-hari yang berurusan dengan realitas prosedural-institusional yang “mengindahkan” keberlangsungan kehidupan rakyat sebagai substansi pokok dari tujuan politik itu sendiri. Politik dimengerti sebagai sejenis kegiatan residual (pengurangan) berupa seremoni elitis yang tidak menyentuh nilai-nilai ultima kemanusiaan. Dan, kalau pun ada momen agung “keterlibatan” parpol dalam praksis-praksis berorientasi rakyat, ia seringkali hadir dalam bentuk-balutan citra “keberpihakan” kamuflatif di setiap menjelang pemilu/pilkada berlangsung.
Politik tengah mati suri. Sementara ruang publik, seperti LSM, acapkali lahir sebagai bantuk lain “campur tangan” dan “kepanjangan tangan” proseduralisme dan oportunisme politik ketimbang tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat.
Secara reflektif, tegangan-tegangan politik sehari-hari ini bukannya mendekatkan kita pada kebahagiaan bermasyarakat. Sebaliknya, mengikuti Rocky Gerung, ia menghadirkan konstruk massal anti-politik yang semakin apatis terhadap politik sebagai sebentuk nilai-nilai luhur yang lahir dari “ujud niat hidup bersama sebuah masyarakat”. Politik, pada akhirnya, “hanya” menghadirkan sebuah efisiensi teknoratis ibarat robot kaku dalam laku birokratisme yang menggantikan (amanah) kebijakan publik. Simulasi media massa pun menggantikan hubungan riil caleg dan capres dan atau cagub dengan konstituennya melalui pernak-pernik tebar pesona (imagology) yang terpancang indah dalam sebuah ruang tontonan. Beginikah hidup berpolitik kita? Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan politik ini?

Epistemologi Metapolitik BMD: Kami “Yang Politis”
BMD NTB hadir dalam konteks “mengatasi” kegamangan politik yang dialami parpol, khususnya Partai Demokrat, yang akhir-akhir ini mengalami goncangan dahsyat oleh berbagai kasus yang malandanya. Partai Demokrat sadar dan harus segera berbenah seraya menginisiasi pentingnya menerobos kebekuan-kebekuan politik yang dialami oleh hampir –jika bukan semuanya— segenap entitas politik dewasa ini.
Menilik pada konteks tersebut di atas, organisasi sayap yang diketuai Indra Jaya Usman ini menginisiasi pentingnya melakukan “pelampuan” politik melalui pembentukan agensi model baru yang hendak mendampingi DPD Demokrat NTB dalam hal distribusi alokasi politik non-partisan. Apa artinya?
“Melampui” merupakan sebuah kategori yang berupaya menembus prosedur-prosedur dan etika politik formal yang melulu berhubungan dengan birokratisme dan konsensus-konsensus normatif. Bahwa kehadiran BMD ingin “menjauh” dari tetek-bengek politik keseharian yang ujung-ujungnya adalah kulminasi kontestasi antar elit kuasa yang menghasilkan kompromi-kompromi konsensual “sama-sama senang” (win win solution) berlatarbelakang pengabaian masyarakat.
Pada titik inilah, BMD NTB lahir dengan tujuan “menjauhi” politik untuk mengakrabi dan merangkul “yang politis.” Jika “politik” (the politic) berhubungan dengan rutinitas dan syarat-syarat legal-formal yang membatasi keberadaan diri pada jangkauan tarik-menarik kepentingan antar elit di atas. Sebaliknya, “yang politis” (the political), seperti ditegaskan Alain Badiou –seorang filsuf politik kontemporer— tidak berurusan dengan hukum formal, perilaku kelembagaan dan aktor-aktornya. “Yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) –dalam hal ini NTB sebagai yang bersatu dalam kemajemukan— untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
“Yang politis” adalah subyek yang menyadari ketidakmungkinan politik formal untuk mengada secara mendalam dalam spektrum realitas masyarakat secara langsung. Di sinilah BMD NTB berupaya membuka jeratan yang menyumbat ruang publik politis untuk mengambil tindakan dan kerja praksis yang dialamatkan kepada penguatan lanskap marwah politik (high politic) Partai Demokrat –khususnya di NTB— untuk membangun sikap politik non-partisan yang, artinya, menggerakkan elemen-elemen masyarakat yang ada untuk terlibat, berpartisipasi dan bekerja bersama dalam agenda-agenda (kemaslahatan) publik ke depan.
Kesadaran subyek “yang politis” ini berkelindan dengan apa yang teruang dalam visi-misi Partai Demokrat yang berbunyi: “bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera”.
Dengan demikian, Partai Demokrat, mau tidak mau, harus “melepas” identitasnya sebagai the ruling party untuk merangkul masyakarat dengan cara memberi ruang yang luas bagi kontestasi setiap warganegara untuk mengkritisi dan menentang kegenitan ego purba kekuasaan yang banyak dialami setiap pelaku politik. Setiap antagonisme dan sikap kritis tidak lagi diartikan sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Dialektika politik yang antagonistik dan konfliktual diamini sebagai syarat niscaya untuk mendulang setiap aspirasi yang muncul dari setiap keberadaan sosial masyarakat kita. Pada posisi ini, sinyalemen yang mengatasnamakan negasi terhadap kerja-kerja politik dan kebijakan pemerintah/parpol pendukungnya harus disambut sebagai jembatan penghubung yang riil antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri ketimbang sebagai “musuh” politik yang harus diabaikan.
Pengertian di atas sekaligus ingin menunjukkan sikap dan langkah politik BMD NTB ke depan dalam mengafirmasi poltical will Partai Demokrat untuk segera berbenah dan bergegas menjangkau masyarakat melalui –mengikuti Badiou— “kesetiaan pada tindakan” (truth event) daripada busa-busa lip service politik di media massa dan atau terjebak “hanya” pada agregasi politik prosedural sehari-hari yang tak kunjung usai. Terjemahan lokalnya, BMD NTB siap melanjutkan ikhtiar ibu kandungnya untuk selalu setia pada tindakan praksis di tengah badai kedangkalan berpolitik pasca-reformasi ini.
Mengutip apa yang disampaikan Gubernur NTB yang sekaligus Ketua DPD Demokrat NTB, TGH. Muhammad Zainul Majdi –atau yang akrab dipanggil TGB— di acara pelantikan DPD BMD NTB beberapa waktu yang lalu, bahwa yang perlu kita lakukan bersama adalah menginisiasi keterlibatan setiap kader Partai Demokrat untuk terjun ke masyarakat, mendengar keluh-kesah mereka, berempati pada penderitaan mereka seraya membuka ruang bagi mereka untuk berpartisipasi membangun dan bekerja secara kolektif untuk kesejahteraan masyarakat NTB tanpa terkecuali. TGB menegaskan kepada kader BMD NTB untuk tidak perlu berbusa-busa menyebut identitas partainya, tidak juga penting memakai simbol-simbol partai karena keikhlasan (kesetiaan, pen) pada tindakan lah Partai Demokrat menyiratkan dirinya sebagai partai besar. Inilah makna terdalam dari epistemologi metapolitik “yang politis” itu. Pada kondite etik inilah BMD NTB harus berangkat dan bergerak bersama masyarakat. Wallohu a’lam.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB

**Pernah dimuat di Lombok Post edisi 22 & 23 Desember 2012