Monday, September 9, 2013

Porno-Posmografi: Quo Vadis Seni?

Oleh: Astar Hadi

Perbincangan mengenai wacana seni dewasa ini seringkali dipertautkan dengan domain posmodernisme. Seperti halnya posmodernisme, dunia seni masih menyisakan perdebatan alot pada lingkup definitifnya. Banyak hal yang melingkupi wilayah posmodernisme, begitupun wacana seni. Sehingga pengertian tentang keduanya bukan pada ia harus berjalan, alih-alih, keduanya menunjuk pada realitas bagaimana bersikap postmodern dan atau menjadi seniman an scih.
Kalaupun harus kita sepakati –seperti diasumsikan orator-orator postmodern, istilah posmodernisme menemukan padanannya pada wilayah seni. Seni dan posmodernisme, sebut saja seni postmodern, seringkali dikaitkan dengan meleburnya kategori-kategori sosial, menyatunya dunia subjek-objek (seniman dan karya seni), dan atau dijunjung tingginya nilai-nilai pluralitas multidimensional.
Tampaknya dunia seni memang telah menemukan saudara kembarnya yang paling rasional, yaitu seni postmodern. Seni postmodern, dengan demikian, tidaklah mempertentangkan adanya polarisasi antara baik dan buruk, tidak mengenal adanya batasan-batasan normatif; moral dan etika, tidak ada –seperti dalam psikoanalisis Jacques Lacan— oposisi biner (binary opposition). Seni postmodern membatasi dirinya pada sejauhmana jangkauan estetik yang harus dicapai, bukan pada baik/buruk atau benar/salahnya sebuah karya (seni).
Dalam meninjau objek estetik seni sebagai sebuah wacana dan fenomena yang begitu marak akhir-akhir ini, seperti pada kasus pro-kontra tentang pornografi, setidaknya harus diamati sebagai sebuah gejala yang tentunya tidak mengenyampingkan rona-rona budaya, relasi pengetahuan, praktik-praktik sosial dan –terutama— motif kekuasaan yang membangun skenario besar bagi objek estetik seni.
Di dalam masyarakat paskaindustri –yang ditandai dengan kompleksitas tanda-tanda dan symbol (semiotika Ferdinand de Saussure), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa (language game ala Wittgenstein), dan atau terjadinya pembongkaran kembali nilai-nilai budaya dan seni (teori dekonstruksi Derrida)— setidaknya, seperti diungkapkan kembali oleh Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Dilipat, terdapat tiga bentuk kekuasaan mesin budaya yang berdiri di belakang layar produksi dan konsumsi objek estetik tersebut, yaitu kekuasaan capital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa. Ketiga kekuasaan ini beserta pengetahuan yang mendukung dan artikulasinya pada berbagai praktik sosial belakangan ini, mampu memayungi sekaligus menahbiskan dirinya sebagai “takdir” hidup-matinya seni kontemporer.
Jika seni postmodern harus menunjuk kasus pornografi dan pornoaksi yang begitu marak belakangan ini, maka ketiga kekuasaan tersebut sepertinya harus ditunjuk sebagai “biang keladi” yang membuka ruang gerak yang begitu besar, bukan saja pada sikap permisifnya, tapi ketiganya mampu mengolah atau mendekonstruksi patologi dan tabu-tabu sosial sampai pada titik paling ekstrim, yaitu pemberian cap “label halal” bagi pornografi itu sendiri dengan dalih “seni”.
Lantas, apa yang harus kita sepakati dengan pornografi jika ia harus masuk ke dalam wilayah seni (postmodern)?

Seni Pornografi = De-Estetika?
Kata ‘porno’ dan ‘grafi’ merupakan derivasi dari dua kata: ‘porne’ berarti wanita dan ‘grafis’ berarti gambar/foto. Secara etimologis, ia mencerminkan sisi seksualitas wanita secara keseluruhan sebagai sebuah tontonan. Walaupun pada kenyataannya, pengertian tentangnya telah meluas menjadi seni tubuh (seksual) manusia secara umum.
Pengertian di atas tidak dimaksudkan untuk membuat definisi secara utuh tentangnya. Sekurang-kurangnya, ia menjadi sebuah deskripsi awal untuk membuka pemahaman kita, pada konteks apa ia harus diperbincangkan atau diperdebatkan. Artinya, pro-kontra terhadap pornografi biasanya –untuk tidak mengatakan pasti— diletakkan pada koridor seni dan estetika sebagai wilayah yang dianggap otonom dari imperative nilai-nilai.
Dengan ini, tentunya, seperti halnya seni postmodern, pornografi memperanggapkan sebuah dunia yang jauh dari intervensi nilai-nilai. Sehingga, ia tidak perlu mengikat dirinya dengan dunia lain yang penuh tatanan, mengingkari kungkungan norma-norma, karena ia memiliki bahasa, identitas, karakter, dan realitas sendiri, yaitu ruh seni. Nilai-nilai yang diusungnya adalah estetika bukan etika, bukan pula moralitas tetapi kreatifitas.
Berarti, merujuk pada paradigm postmodern, pornografi adalah bentuk-bentuk “pengingkaran” terhadap tabu-tabu sosial dan realitas sosial pada umumnya. Dengan semangat dekonstruksi –suatu metode analisis yang dikembangkan Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan (baik-buruk, hitam-putih), sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir— kini, pornografi tidak lebih dari sekadar sebuah upaya pengeksposan tubuh melalui citraan-citraan media yang tanpa bungkus.
Dengan demikian, pornografi ataupun pornoaksi hanyalah sebuah ontology citraan. Keduanya, di samping mencerminkan gaya hidup masyarakat kita saat ini, alih-alih menjadi bagian dari stereotype masyarakat dan atau otoritas seni, ia bahkan menjadi sebuah fenomena paling telanjang dan sekaligus melampiaskan kesenangan/kenikmatan bermain (ekstasi permainan) dengan stereotif porno (tubuh) itu sendiri –yang lantas mencitrakan dirinya melalui kedok-kedok seni (postmodern).
Pornografi memang selalu ditopang oleh seni. Seperti yang ditulis di Tabloid Bestari “Tidak Ada Pornografi dalam Seni”, menunjukkan sebuah realitas (atau bahkan otoritas?) bahwa karena nilai senilah sesuatu itu dianggap tidak menjadi porno atau tabu, sebab ia adalah seni itu sendiri.
Bukan dalam arti mereduksi peran seni, tetapi pornografi bahkan lebih jauh melampui ungkapan, fungsi dan tujuan estetik seni itu sendiri. Di balik gejolak paradigma seksual dan semngat dekonstruksinya, pornografi menghadapkan kita pada citraan-citraan langsung tanpa pagar pembatas, yaitu politik tubuh; suatu bentuk pengeksploitasian wilayah-wilayah seksual sebagai konsumsi masyarakat, komoditas dan komodifikasi gaya hidup generasi kita saat ini.
Dengan sendirinya, ia bukan lagi estetika (seni) melainkan de-estetika; sebuah hiperestetika yang mendekonstruksi tujuan dan fungsi seni menjadi tidak lebih dari sekadar wacana parody –seni parodi seni. Parodi yang semulanya berfungsi sebagai bentuk kritik sosial melalui karya seni, karena pornografi, ia telah menjadi seni yang anti kritik. Porno, dengan demikian, menurut Baudrillard dalam The Ecliptic of Sex, “merupakan satu bentuk dekonstruksi realitas –satu bentuk pelanggaran terjauh dari batas-batas seks”.
Jika pengertian-pengertian di atas dibawa pada realitas belakangan ini, seperti pada kasus pro-kontra Goyang Ngebor Inul, atau aksi gugat terhadap sebuah tabloid remaja (BB, red.), maka porno tidaknya atau estetik tidaknya status pornografi menjadi sangat interpretable (dan juga permisif?). sebab alasan yang seringkali mencuat melulu bersifat lokal-kontekstual (di sini dan saat ini); bahwa setiap produk seni tidak menganut prinsip-prinsip normative selama wacana lokal dan konteks zaman membenarkan dan atau bersikap apatis dalam melihat setiap kemunculannya. Contoh kasus, mandi bersama pria dan wanita di kali dengan tubuh tanpa busana menjadi pemandangan yang lumrah di Bali.
Thus, bagaimana jika pornografi dilihat dengan kacamata ke-Indonesia-an kita? Sepertinya masalah ini akan tetap menyisakan problem-problem yang tak mudah diselesaikan. Karena bagaimanapun, Indonesia saat ini bukanlah era di mana seks merupakan fenomena yang tabu –lagi-lagi kita harus terjebak pada nihilisme. Seks lebih dari sekadar alasan pendidikan –yang acapkali diagungkan oleh mahasiswa sendiri. Alih-alih mempunyai nilai edukatif, seks, lebih-lebih merupakan manifest kesenangan bermain dengan (pendidikan) seks itu sendiri. Dan tampaknya, inilah strategi fatal ala Baudrillard yang harus kita jalani, yaitu bergulat dengan dunia ekstasi (seks) sebagai sebuah realitas “takterhindarkan”.

Berdamai dengan Tabu

Indonesia kita memang sudah banyak berubah. Saat ini, bukan saja pornografi, tetapi hampir di setiap sudut-sudut realitas terkecil masyarakat kita, telah mengalami perubahan radikal dalam segala hal. Imperative-imperatif lama memang mulai tergusur oleh derasnya gelombang lalu-lintas informasi dan komunikasi.
Tapi satu hal yang harusnya dicermati, bahwa tabu ternyata masih memiliki peranan yang sangat penting dalam mendefinisikan dan membentuk realitas kita. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang pantas dan tidak pantas. Tabu telah mengajarkan kita betapa tingginya nilai sebuah rahasia. Dengan adanya dunia rahasia, kita masih bisa merasakan adanya getaran-getaran fantasi dan rasa keingintahuan kita terhadap objek-objek di sekitar kita. Tabu, sekali lagi, seperti diungkapkan oleh Dick Hebdige dalam Subculture: The Meaning of Style, “…menjamin adanya transparansi (dapat diterimanya) makna.

**Pernah dimuat di Tabloid Bestari UMM No. 179/TH.XIV/Juni/2003