Friday, January 16, 2009

Kuli yang Benar-benar Kuli Tinta: Siapa Mereka?

“Jancuk…jancuk…jancuk…”, (maaf) kata-kata ini meluncur tiba-tiba dari mulut embongan-ku sesaat setelah membaca sebuah tulisan berjudul “Ketika Kuli Jadi Novelis”, Kompas 11 Januari 2009. Memang, saya atau anda pantas merasa malu. Itu pasti. Bukan begitu?!
Ada sesuatu yang janggal, aneh, lucu dan menyakitkan, setelah mengetahui bahwa lalu-lintas dan pasar karya-karya fiksi justru muncul dari luar sangkar masyarakat akademik, termasuk saya, yang dianggap punya kapasitas dan kapabilitas lebih untuk menelorkan berbagai jenis karya berbasis tulisan, apapun namanya !
Apakah kita, saya atau anda, yang setiap harinya “bekerja” sebagai agent of change, yang melewati malam-malam dengan tugas-tugas terstruktur bermodal kepala, tinta, computer, dalam memindai ide-ide ilmiah harus kalah dengan “mereka” yang justru tidak dipersiapkan dan tidak terlatih untuk itu?
Siapa mereka? Sebagian besar dari kalangan yang sebenarnya hampir tidak tersentuh oleh dunia otak-atik ilmiah. Buruh, koki, ibu rumah tangga, atau TKW, adalah sosok baru penulis yang meramaikan blantika dunia sastra, seperti novel dan cerpen, dewasa ini.
Nama-nama seperti Siti Maryam Ghozali seorang TKW (40), si buruh panggul Sakti Wibowo (30), koki hotel Nurhadiansyah (26), dan ibu rumah tangga Sinta Yudisia (34), dan mungkin masih banyak yang lain mampu, menyodorkan warna “baru” bagi dunia sastra kita dengan coretan-coretan indah mereka.
Siti yang hanya tamatan Madrasah Tsanawiyah telah menghasilkan lebih dari 22 cerpen dan dibukukan. Sakti tidak hanya kuat memanggul dengan ototnya, ia malah berhasil mengangkut 40 buku, 15 di antaranya novel, dengan otaknya yang hanya tamatan SMEA. Nyonya Sinta yang sehari-hari berada di ruang domestik mengurus empat anaknya dan memasak sanggup mengepulkan asap dapurnya ke wilayah publik dengan 40 buku, kebanyakan novel dan cerpen. Dan, Nurdiansyah tidak hanya koki masakan, ia sekaligus “koki” kata-kata yang telah meracik menu-menunya sedemikian rupa menjadi sebuah novel.

Lompatan Sosial: Menyindir yang (sok) Akademis
Lewat tulisan, tentu saja, mereka mengekspresikan diri dan melakukan lompatan social besar yang “mengangkangi” kejumudan dunia akademis yang selama ini, menurut saya, melulu berbicara soal “apa yang bisa saya dapatkan kelak”, bukan “apa yang bisa saya lakukan nantinya”. Mereka para pelopor sebuah generasi yang tidak terpaku oleh sebuah identitas, gelar akademis, yang saat ini sangat ramai diperjual-belikan. Mereka menunjukkan kualitas melalui orisinalitas karya yang tidak berpretensi pada perburuan “nilai sastra”, tidak pula mengejar orientasi kampus yang ujung-ujungnya “IP saya berapa” (kata mahasiswa), “pokoknya harus punya buku” (kata dosen). Mereka menulis dengan hati dan otak yang bersih dari seputar “pokoknya bisa wisuda, cepat kerja, pokoknya ngumpulin tugas, copy-paste kan enak”. Bravo the originator !!!!
Fenomena penulis-penulis “tidak terdidik” ini seakan menyindir, memperolok-olok dunia pendidikan kita tentang bagaimana pendidikan itu sejatinya. Kita yang sudah terbiasa dengan standardisasi, spesifikasi, hanya bisa taat pada prakondisi-prakondisi akademis yang mengharuskan kita mengikuti tradisi-tradisi “percepatan” tempo pengerjaan tugas ilmiah yang, alih-alih, berujung sebuah kejujuran, orisinalitas, sebagai bentuk idealisme pendidikan, ia justru menciptakan robot-robot intelektual siap pakai tapi miskin kreasi dan imajinasi. Wallohu A'lam

Wednesday, January 7, 2009

Sosialisme dan Ironi Jalan Ketiga

Oleh: Astar Hadi

Pertanyaan paling mendasar tentang sosialisme adalah bukan semata-mata pada konsepsi-konsepsi ideologis yang mengatasnamakan “perlawanan” terhadap penindasan, penyelewengan-penyelewangan pasar terhadap ketidakberpihakannya kepada kaum prolaterat dan alienasi sosial. Hal yang paling urgen dalam tubuh sosialisme adalah, apakah yang bisa kita lakukan saat ini?
Hal ini sama dengan sikap Marx terhadap agama, bahwa yang penting adalah bukan menolak sentimen religius karena sentimen tersebut ‘tidak benar’, tanpa dasar, dan kemudian merencanakan sebuah bentuk agama baru. Tetapi, kita harus menemukan aspek-aspek dari cara hidup yang menimbulkan adanya agama, dan kemudian merevolusionerkan aspek-aspek tersebut. Agama adalah ‘hati dari dunia yang tidak berhati’, sehingga yang penting adalah untuk mendirikan sebuah dunia dengan hati. Daripada sebuah solusi yang bersifat ilusi, kita harus, di dalam praktek, menemukan solusi yang bersifat riil.1
Pun demikian Kritik Marx terhadap karya filosofis Hegel adalah sebuah upaya untuk meringkas essensi daripada keseluruhan sejarah filsafat, dan baginya hal itu adalah sejarah secara keseluruhan. Sehingga, kritik Marx terhadap Hegel adalah sebuah kritik terhadap ilmu filsafat itu sendiri. Ia mengambil kesimpulan bahwa filsafat tidak dapat menjawab pertanyaan yang telah dibawa oleh filsafat ke permukaan. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bersifat filosofis, tetapi bersifat praktis. Ketika Marx mengklaim bahwa karyanya bersifat ilmiah (wissenschaftlich), ini tidaklah berarti bahwa dia sedang mengelaborasi seperangkat doktrin, yang terdiri dari ‘teori-teori’, tetapi, dengan melacak kontradiksi dari ilmu pengetahuan yang ada ke akarnya. Artinya, problem-problem sosial, seperti alienasi sosial, penindasan kelas pekerja dan atau cara hidup manusia yang tidak manusiawi, dapat dijelaskannya. Bahwa, kebutuhan untuk merevolusionerkan cara hidup tersebut, harus berani beranjak dari kontemplasi ke solusi revolusioner yang ‘kritis-praktis’.
Hal ini sedikit sekali berhubungan dengan cerita kuno mengenai Hegel, sang idealis, dan Marx, sang materialis, mengenai transisi dari ‘idealisme’ dan ‘demokrasi’ ke ‘materialisme’ dan komunisme, atau mengenai Marx yang melemparkan sistem konservatif Hegel, untuk mempertahankan metode revolusionernya.
Apabila kita menerima seperangkat prasangka yang dulu pernah disebut dengan ‘Marxisme’, maka kita tidak dapat bahkan untuk menjawab pertanyaan yang pertama. Hampir di dalam seluruh hidupnya, Marx secara terus-menerus kembali kepada Hegel. Setiap saat mempertajam analisis sosialnya, menyangkut perbedaan maupun persetujuannya dengan Hegel.
Marx memulai kritiknya terhadap Hegel dengan sejarah daripada filsafat Yunani, di dalam tesis doktoralnya. Ia mengamati secara kritis ringkasan Hegel mengenai sejarah daripada filsafat politik, yang berjudul Philosophy of Right (Filsafat Hukum). Setelah memperlihatkan bahwa konsepsi Hegel mengenai negara modern didasarkan pada relasi ekonomi borjuis, Marx dapat mengidentifikasi sudut pandang Hegel mengenai ekonomi politik.
Sekarang, ia dapat memulai kritiknya terhadap pencapaian-pencapaian dari pemikiran ekonomi borjuis, sebagai ekspresi yang tertinggi dari ketidakmanusiawian masyarakat borjuis. Dan, di dalam setiap tahap dari kerjanya, Marx menggunakan studinya terhadap Hegel untuk menembus ke dalam koneksi yang essensial antara sikap filsafat terhadap dunia dan bentuk-bentuk keterasingan sosial yang secara alamiah tidak manusiawi, eksploitatif, dan menindas.
Berangkat dari kritik Marx terhadap filsafat Hegel dan Agama, dengan demikian, menunjukkan bahwa sosialisme merupakan sebuah payung ideologis yang tidak berarti mempertentangkan antara filsafat maupun agama, seperti banyak dilansir oleh pihak-pihak yang tidak cukup sepakat atau “tidak memahami” secara esensial dengan tesis-tesis yang diajukan Marx sendiri.
Menurut hemat penulis, marxisme adalah sebuah penamaan yang dilekatkan terhadap diri seorang Karl Marx. Tetapi hal ini tidak berujung pada sebuah asumsi yang menolak secara tegas varian-varian pemikiran Marx. Karena pada kenyataannya, Marx adalah manusia “pemberontak” yang hidup dalam latar-belakang sejarah dan lingkungan yang ketika itu melihat, baik agama atau filsafat zaman pertengahan belum mampu mewujudkan kerja praktis “pencerahan kemanusiaan” terhadap –yang oleh Marx disebut— alienasi sosial oleh borjuasi.
Untuk lebih mengenal lebih dekat dan memahami awal mula sosialisme-marxisme, dan apa saja konsep yang melatarbelakanginya, penulis akan mengetengahkan sejarah singkat lahirnya sebutan ‘sosialisme’ dan cita-citanya.

Sejarah Awal Sosialisme
Sosialisme muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan social yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industri ini memang memberikan keberkahan buat para pemilik fabrik pada saat itu, tetapi dilain pihak para pekerja justru malah semakin miskin. Semakin menyebar ide sistim industri kapitalis ini, maka reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat.
Sebagaimana pernah dilontarkan oleh Theimer, “gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua, bahwa pemilikan bersama lebih baik dari milik pribadi. Menurut ajaran ini, pemilikan bersama akan menciptakan dunia yang lebih baik, membuat sama situasi ekonomis semua orang, meniadakan perbedaan antara miskin dan kaya, menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian sumber segala keburukan social akan dihilangkan, tidak akan ada perang lagi, semua orang akan menjadi saudara.”2
Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan ide-ide yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiran-pemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang di kemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Marxisme.
Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum “utopian socialists”, seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam artian tidak terlalu mengedepan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengedepankan kerjasama daripada kompetisi. Saint-Simon berpendapat bahwa negara yang harus mengatur produksi dan distribusi, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperan besar adalah komunitas kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komunitas (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini di beberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets).
Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang ide-idenya lebih ke arah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis di tahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh di antara kaum sosialis di awal dan pertengahan abad ke-19.
Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militan dari faham sosialisme. Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teori-teorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation).
Karl Marx adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx. Ia lahir pada tahun 1918, di kota Trier, perbatasan Jerman yang waktu itu termasuk Prussia. Hirschel Marx adalah seorang pengacara dan karena gerakan anti-Semitism kemudian meninggalkan agama Yahudinya ketika Karl masih kecil. Meskipun mayoritas penduduk Trier adalah katolik, Marx memutuskan untuk menjadi seorang protestan dan mengganti namanya dari Hirschel menjadi Heinrich III.
Jejak-jejak Sosialisme
Secara umum, sosialisme terbagi dua: di satu sisi adalah mereka yang berpendapat tentang pentingnya perjuangan kelas dan keharusan melakukan revolusi (revolusionis), dan di sisi lain adalah mereka yang berfaham bahwa cita-cita sosialisme ini hendaklah diwujudkan melalui cara-cara yang lebih gradual dan tanpa kekerasan.
Revolusionis diwakili oleh Marxism. Di dalam karya-karyanya, Marx menyerang kaum sosialis sebagai para pemimpi utopia teoritis yang mengabaikan pentingnya perjuangan revolusi untuk mengimplementasikan doktrin-doktrinnya. Pada tahun 1848, Marx dan Engels menulis Communist Manifesto yang di dalamnya mereka menuliskan prinsip-prinsip yang disebut Marx sebagai scientific socialism. Di sini Marx mengajukan kemestian adanya konflik revolusioner antara modal dan buruh.
Sejalan dengan marxisme, beberapa jenis sosialisme lainnya yang lebih memilih jalan perjuangan gradualis juga bermunculan, misalnya sosialisme Kristiani dengan tokohnya Frederick Denison Maurice dan Carles Kingsley. Juga muncul sosialisme yang perjuangannya diwadahi dalam bentuk partai. Di tahun 1870-an sudah bermunculan partai-partai sosialis di banyak negara Eropa.
Di akhir abad 19, kaum revolusionis berada di atas angin dikarenakan kondisi perburuhan semakin baik dan tidak terlihatnya tanda-tanda bahwa kapitalisme akan mati. Puncaknya mungkin adalah di Rusia ketika Partai Sosial Demokratis Buruh Rusia pecah dalam Bolshevisme (revolusionis) dan Menshevisme (gradualis). Para pendukung bolshevisme inilah yang kemudian mengambil alih kekuasaan melalui Revolusi Rusia di tahun1917 dan mereka kemudian membentuk Partai Komunis Uni Soviet.
Sejak keruntuhan komunisme di Uni Soviet pada tahun 1991 yang kemudian melebur menjadi negara-negara kecil dan runtuhnya Tembok Berlin yang membatasi Jerman Barat -dan Jerman Timur –mewakili rezim sosialisme-komunisme yang melebur menjadi satu Jerman, disinyalir awal dari matinya Sosialisme Eropa, sekaligus matinya revolusi. Benarkah demikian?

Ironi Jalan Ketiga Menuju Demokrasi Sosial
So what after sosialism? Dengan cukup simpatik (dan mungkin juga simplistik?), Anthony Giddens dalam bukunya, berupaya membuka jalan lain menuju “surga” kesejahteraan sosial yang disebutnya ‘the third way’, jalan ketiga menuju pembaruan demokrasi sosial. Menurut Giddens, program jalan ketiga itu di antaranya: pusat yang radikal, negara demokratis baru (negara tanpa musuh), masyarakat madani yang aktif, keluarga demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, negar berinvestasi sosial (social investment state), bangsa kosmopolitan dan demokrasi kosmopolitan.3
Apa yang ada di benak Giddens adalah sebuah utopia ‘jalan ketiga’ menuju demokrasi sosial yang sejak lama telah ada dan tidak jauh berbeda dengan cita-cita sosialisme utopis; bahwa sosialisme demokratis adalah sebuah asas bagi pembentukan suatu tatanan politik dan sosial yang di dalamnya semua orang akan memiliki kebebasan yang sama di semua bidang kehidupan melalui solidaritas dan organisasi masyarakat. Bedanya, Giddens lebih menekankan konsep ‘jalan ketiga’-nya pada prinsip-prinsip yang “diperhalus” menjadi –menurut hemat penulis— “kapitalisme tanpa kelas.” Artinya, dalam babakan baru setelah hancurnya komunisme di Soviet, sebuah negara seharusnya diproyeksikan sebagai kekuatan yang membuka kran kebebasan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang bertikai (sosialis-kapitalis) untuk menjalankan proses kreatif untuk bertahan hidup dari ketidakpastian ekonomi (manufactured uncertainty) yang melanda dunia sejak krisis Asia tahun 1997. Apa jawabannya? Dengan mengutip David Osborne dan Tod Gaebler dalam bukunya yang sangat monumental ‘Reinventing Government’, Giddens berpendapat bahwa “…restrukturisasi pemerintah kadang-kadang berarti pengadopsian solusi yang berdasarkan pada pasar, tetapi hal itu juga berarti penegasan kembali efektifitas di pasar.”4
Secara politik, ini berarti pemerintah suatu negara memberikan kepercayaan ke pada pasar untuk merealisasikan kerja kapitalnya untuk pertumbuhan ekonomi dan “kepentingan masyarakat umum” (public goods), tepatnya swastanisasi. Secara ekonomis, ini merupakan penegasan kembali terhadap konsep ekonomi campuran (mixed economy) dalam kerangka strategi ekonomi Keynes –yang juga menjadi agenda utama Konsensus Washington, di mana keterlibatan dan interaksi pemerintah pada sector swasta dianggap perlu dan sangat diharapkan.
Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa Giddens “keburu terbangun dari mimpi ‘jalan ketiga’-nya gara-gara digrogoti nyamuk moral hazard (aji mumpung), yang penulis sebut ‘kapitalisme tanpa kelas.’ Dalam perkataan lain, upaya kapitalisasi dengan semangat memberikan kebebasan ke pada masyarakat luas untuk menentukan sendiri alur kebutuhan ekonomisnya di bawah bendera fair trade (keseimbangan pasar) dan free trade (pasar bebas) bukannya memberikan peluang menjadi orang yang tercukupkan secara materi. Alih-alih menjadi mapan, justeru gelembung ekonomi semakin menguatkan posisi kaum borjuis (negara-negara industri maju) yang menginvestasikan sahamnya secara liar di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Apa yang terjadi dengan perselingkuhan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport di Papua sekarang ini, merupakan contoh nyata dari impian Giddens mengenai ‘jalan ketiga’ yang pada dasarnya bertujuan “mulya” untuk demokratisasi sosial, tapi ternyata mimpi buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang. Karena pada kenyataannya fair trade tidak akan pernah ada tanpa adanya fondasi ekonomi yang kuat dalam suatu negara.
Bibliografi
Engineer, Asghar Ali. 2003. Islam dan Teologi Pembebasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jamal, Mumia Abu.1998. “Apa Yang Telah Diperbuat Sosialisme Untuk Rakyat Kuba” (diterjemahkan oleh Mohammad Rozak). Sumber: http://www.poptel.org.uk/cuba-solidarity/index.html
Lingkar Studi Amerika. “Mengenal Sosialisme Lebih Dekat”. Bisa diakses di http://pk-sejahtera.us/kastra/articles/mengenal-sosialisme/
Smith, Cyril. Kritik Marx terhadap Hegel. Makalah Seminar Hegel. 18 Juni 1999.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
1 Hegel yang pertama kali mengetahui bahwa ‘setiap filsafat...diperuntukkan untuk zamannya sendiri dan terperangkap di dalam keterbatasan-keterbatasan zaman yang bersangkutan’. Tetapi hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sebuah pandangan filsafat dapat tetap hidup sesudah ‘zamannya’ lewat? Jawaban daripada pertanyaan ini membawa kita melebihi argumentasi filosofis ke sebuah penetrasi yang lebih mendalam mengenai ‘zamannya’ dan zaman kita. Itulah mengapa kunci untuk menuju apa yang masih hidup dari pemikiran Hegel terdapat di dalam kritik Marx terhadapnya.
2 Apa yang dilontarkan Theimer tersebut merupakan salah satu gagasan tentang cita-cita sosialisme Purba yang dicetuskan jauh sebelum Karl Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Baca, Franz Magnis Suseno… hal. 14 dan pada Bab II secara keseluruhan
3 Anthony Giddens… hal. 80.
4 Ibid, hal. 86.

Geliat TV Lokal dalam Bayang-bayang TV Nasional

Oleh: Astar Hadi
Media Massa dan Hegemoni TV Nasional
Tidak dapat disangkal bahwa kemajuan teknologi komunikasi berupa televisi (TV) mempunyai dampak yang luar biasa dalam proses perubahan sosial manusia modern, termasuk dalam proses transisi politik dari otoriterisme kepada demokrasi. Berkat tabung gelas ajaib tersebut, fakta-fakta aktual yang terjadi dapat dihadirkan sedemikian jelas, lengkap dengan cuplikan-cuplikan peristiwa sebenarnya, hanya sesaat setelah kontak listrik dengan pesawat televisi dilakukan.
Secara umum, media massa sendiri memang mempunyai pengaruh pada proses sosial, karena ia merupakan alat par excellence untuk menyampaikan informasi mengenai current affairs kepada jumlah populasi yang besar, dengan beragam tingkat sosial, yang kerap menimbulkan emosi bersama dan mengarahkan perhatian pada konteks yang seragam.
Berbeda dengan media cetak, "dampak televisi lebih dahsyat". Di mana letak kedahysatan itu? Media informasi audiovisual seperti televisi dapat dinikmati oleh jumlah pemirsa yang secara teoritis dapat tidak terbatas (karena tidak terjebak oplah), praktis oleh hampir semua kalangan, termasuk yang buta huruf, walaupun tingkat efektifitas dan kedalaman pengaruhnya bisa saja berbeda-beda.
Namun letak kedahsyatan dampak televisi barangkali, seperti disinyalir Joshua Myrowitz (dalam Kusnandi, 1996: 18) adalah pada kemampuan televisi untuk memasuki dan mengekspos 'halaman belakang' ('back region') yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan demikian televisi adalah juga alat 'transportasi' yang membawa pemirsa ke tempat aktual terjadinya peristiwa dan oleh karena itu menyaksikannya praktis secara langsung, meskipun raganya berada di tempat lain.
Dari aspek yang lebih teknis, kedahsyatan itu tentunya berkaitan erat dengan teknik kamera yang menjadikan berita jauh lebih aktual. Praktis tidak ada jurang waktu (time-gap) yang berarti: berita disuguhkan dan diterima secara instan, dalam waktu yang sama (kecuali selisih relatif dalam hitungan detik), sehingga pemirsa merasa jauh lebih terlibat dengan perkembangan peristiwa yang diberitakan tersebut.
Perbedaan mendasar antara dampak media cetak dan televisi terdahap publik adalah menyangkut aspek psikologisnya. Jika media cetak selalu memungkinkan pembaca berhenti sejenak untuk merenung atau berfikir, sehingga aspek rasionalitasnya bisa lebih mencuat, berita sajian televisi mengalir cepat tanpa tertunda, dan oleh sebab itu pemirsa dituntut untuk memusatkan perhatian penuh, dan tentu saja dengan dampak psikologis yang jauh lebih dalam.
Namun harus diakui, karena televisi cenderung lebih sebagai media transitory, artinya lebih bersifat meneruskan, kekurangannya tentu saja menyangkut ketidakpermanenan suguhan berita itu sendiri, di samping adanya keterikatan pada jam tayang yang tertentu, yang oleh sebab itu setelah acara usai tidak dapat dijadikan rujukan yang bisa diakses sewaktu-waktu. Kendati dengan keterbatasan inheren yang ada, adalah pasti bahwa televisi telah mendapatkan tempat yang sentral dalam kehidupan masyarakat modern. Persoalannya tentu saja akan menjadi lebih kompleks ketika televisi, khususnya dalam fungsinya sebagai media berita (news media), diharapkan dapat memberikan pelayanan umum yang khas di tengah beragam produk media massa lainnya, baik sebagai alternatif kompetitif maupun secara komplementer, dalam mendorong perubahan sosial masyarakat pada suatu bangsa.
Terkait di atas, televisi di samping sebagai media berita, ia juga berfungsi menghibur (enrtainment) bagi masyarakat. Lebih-lebih karena kemampuannya memberikan efek psikologis-audio visual secara langsung, televisi menjadi ajang pelepas penat yang paling ”berharga” bagi masyarakat luas. Kondisi ini memungkinkan bagi televisi untuk bersaing memuaskan audiensnya.
Lebih jauh, akses TV bagi publik begitu besar. Format penayangan yang bersifat nasional masih mendominasi acara-acara TV secara keseluruhan. Di samping karena eksistensi TV nasional telah terbukti bertahun-tahun mampu memberi suguhan variatif yang memberi informasi baru, hiburan, edukasi (sekaligus dedukasi) bagi masyarakat luas untuk melepas dahaga ”rasa ingin tahunya”.
Bahkan beberapa hari yang, seperti yang saya baca di Harian Surya terkait lenyapnya channel TV Trans TV, Trans 7, TV One, Metro TV di wilayah Malang, menampik sejumlah komentar rada gelisah warga masyarakat terhadap ”penghilangan” tersebut. Betapa masyarakat, khususnya di malang, merasakan perasaan kehilangan yang tidak kecil di saat sejumlah TV nasional tidak tayang di daerahnya. Ini membuktikan bahwa besarnya ”candu” hegemoni TV nasional dalam akses informasi, hiburan dan lain-lain masih di atas TV Lokal yang juga sudah banyak bermunculan. Hal ini juga berarti bahwa demam TV adalah realitas yang paling nyata ketimbang media massa lain, seperti koran, yang hanya dinikmati oleh penikmat ”tertentu” yang umumnya berada di kota. Tentu saja, membanjirnya sejumlah televisi swasta di Indonesia dalam hampir dua dasawarsa ini tidak terlepas dari kecenderungan ini.
Sementara itu, sejak bergulirnya Undang-Undang (UU) Penyiaran No. 32/2002 sebagai dampak dari proses desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) memacu geliat daerah untuk mengenalkan potensi daerahnya melalui program-program yang ditayangkan melalui televisi baik lokal maupun nasional.
Peluang ini ditangkap oleh pihak-pihak di daerah untuk mencoba berlomba mengenalkan warna-warni potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) lokal melalui bisnis TV Lokal, yang mau tidak mau, harus siap bersaing secara ketat dengan TV nasional yang lebih dulu eksis dan dikenal secara luas.
Tentu saja, perkembangan ini memantik sejumlah produsen media untuk mengakses berita-berita daerah dengan mendirikan televisi lokal, setelah sebelumnya dikuasai oleh televisi-televisi swasta yang berskala nasional, seperti SCTV, RCTI, Indosiar, dan lain-lain. Melubernya jumlah televisi lokal, seperti Jawa Pos TV (Surabaya), Malang TV, Batu TV, ATV, Gajayana TV (Malang), Dhoho TV (Kediri), Lombok TV (Lombok), dan masih banyak yang lain, merupakan upaya mendekati masyarakat secara lebih ”akrab” dengan lingkungan sekitarnya, di samping untuk kepentingan bisnis tentunya.
Apakah kemudian televisi lokal sanggup memposisikan dirinya sebagai televisi yang bervisi kedaerahan dan sanggup bersaing dengan televisi nasional yang telah berpengalaman, profesional dan dikenal secara luas?
Peluang dan Eksistensi TV Lokal
Pertama-tama, dalam teori media massa disebutkan bahwa secara psikologis, khalayak akan merasa lebih berminat dan tertarik ketika suatu acara yang dikemas mengetengahkan peristiwa-peristiwa yang bertalian erat dengan lingkungan di mana khalayak (pemirsa) itu tinggal.
”Terhadap tempat kejadian suatu peristiwa, orang umumnya lebih tertarik pada tempat-tempat yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Dengan kata lain, perhatian khalayak terhadap suatu peristiwa berbanding terbalik dengan jarak antara tempat tinggal khalayak yang bersangkutan. Makin dekat tempat terjadinya suatu peristiwa makin tinggi pula perhatian atau minat untuk mengetahuinya. Seandainya suatu saat terjadi kenaikan tarif bus kota di Bandung, misalnya, peristiwa itu tentunya akan menjadi perhatian penduduk bandung saja. Sedangkan penduduk Medan, misalnya, tenang-tenang saja.” (Suhandang, 2004: 140).
Tesis di atas menunjukkan bahwa peran TV lokal tetap penting dan relevan dengan semangat otonomi daerah dan kebebasan pers di era reformasi sekarang ini. Artinya, kedekatan (proximity) antara televisi dan khalayak pemirsanya secara tidak langsung akan membentuk siklus ”keajegan” di antara keduanya yang di satu sisi menjadi sarana transformasi informasi dan di sisi lain, televisi tetap bisa eksis dengan ”mengandalkan” kedekatannya dengan pemirsa setempat. Dalam perkataan lain, melalui progam-progam acara, baik yang bersifat edukatif, informatif, entertainment, yang diolah berdasarkan kepentingan masyarakat lokal, akan memungkinkan tercapainya dua manfaat ganda sekaligus, yaitu: televisi bisa memacu transformasi nilai-nilai kebudayaan lokal dan secara komersial televisi mampu bersaing dengan televisi nasional sekalipun. Semudah itukah?
Salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi UMM sekaligus praktisi media massa, Nurudin, menganggap tidak kurang sulitnya untuk memetakan alur persaingan yang terjadi antara TV Lokal dan Nasional. Menurutnya, sejauh mana peluang TV lokal untuk menjadi media massa unggulan di daerah hanyalah masalah proses. Sebab, selama ini masyarakat terlanjur memiliki budaya nonton TV Nasional. Akan tetapi, Nurudin tetap merasa optimis bahwa dengan adanya UU No. 32/2002 peluang yang dimiliki TV Lokal di daerah dalam menanyangkan aktifitas-aktifitas di daerah jarang di miliki TV Nasional. Di samping itu, TV lokal hendaknya bisa mengelola dirinya secara baik dan profesional agar bisa berkembang (Bestari, No. 209/Th. XVIII/Nopember/2005).
Optimisme semacam di atas barangkali cukup beralasan. Bahwa potensi TV Lokal dewasa ini memang telah menemukan momentumnya yang paling tepat dan rasional. Tepat berarti, bahwa TV Lokal berada pada kondisi di mana menjamurnya media massa ibarat ”cendawan di musim hujan”, yang muncul di saat kebutuhan akan informasi begitu tinggi dan menuntut adanya akses ruang publik yang besar pula, khususnya bagi masyarakat sekitar untuk menyampaikan aspirasinya dengan lebih mudah. Rasional berarti, TV Lokal lahir di saat upaya menyiasati perubahan fundamental otonomi yang diserahkan pada daerah untuk mengelola potensi daerahnya sendiri, maka di butuhkan akses cepat saji terkait kemajuan daerah yang hanya ”bisa” dilakukan melalui membuka ruang bagi mumculnya media lokal, khusunya TV, sebagai wahana komunikasi kritis publik dengan pemerintah setempat.
Secara teoretis, diktum bad news is good news bagi media massa adalah benar, meskipun tidak selalu harus dipahami sesederhana itu. Situasi krisis di satu pihak dan kebutuhan publik atas informasi yang faktual dan dekat dengan hati mnasyarakat di pihak lain adalah kutub supply dan demand yang membutuhkan media (lokal) –khususnya televisi— untuk mempertemukannya. Inilah momentum itu.
Adapun dari perspektif publik sendiri, mengikuti Effendy (1993), yang dicari dari media berita baik cetak maupun elektronik, pada intinya sederhana, yakni informasi aktual yang kritis, berani dan terpercaya (reliable), karena itu berarti mengungkapkan apa sebenarnya terjadi. Sekalipun masyarakat sosial memiliki segementasi yang sangat beragam, pada umumnya mereka selalu "good in nature", artinya bahwa seluruh komponen masyarakat, kecuali yang menjadi objek berita, lebih menyukai pemberitaan yang menunjukkan atau membongkar kebobrokan sistem di sekitarnya, demi harapan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang lebih pantas dimiliki.
Meskipun apa yang disampaikan Effendi di atas terdengar klise karena masyarakat sudah ”jauh” melintasi batas lokal, tapi setidaknya dari perspektif ini, tidaklah berlebihan kalau program televisi swasta lokal dianggap akan memenuhi banyak harapan publik tentang corak media massa yang diinginkan. Pada akhirnya, TV lokal tetap layak untuk bersaing dan menunjukkan eksistensinya sebagai media yang punya pengaruh bagi ”identitas” masyarakat lokal, terutama sekali, dalam menyodorkan kompleksitas wajah lokal yang sangat beragam. Dan, gaung TV Lokal dalam beberapa tahun ke depan sangat mungkin semakin diminati sejauh ia mampu menawarkan atribut lokalnya dengan cara yang lebih canggih seperti yang, menurut penilaian penulis, telah dimulai dengan cukup apik oleh JTV. Wallohu A'lam bi Al-Showwab
Daftar Bacaan
Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Citra. Jakarta.
Nurudin. ”Persaingan, Pacu Kreatifitas TV Lokal”. Bestari, No. 209/Th. XVIII/Nopember/2005.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik. Nuansa. Bandung.
**Astar hadi adalah mahasiswa Pascasarjana Prodi Kebijakan Publik Univ. Brawijaya dan alumni Ilmu Komunikasi UMM. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (2005).

Friday, January 2, 2009

HAPPY NEW YEAR 2009

Jejak selalu meninggalkan tanda dalam setiap persimpangannya... baik/buruk, susah/senang adalah suatu yang niscaya terjadi dalam setiap pribadi atau kelompok... itulah sejarah bagi diri. itulah cermin, yang memantul sebagai objek refleksi, sebagai "iqro", sebagai nilai, untuk dibiaskan kembali sebagai introspeksi dan retrospeksi bagi subjek yang berpikir, merasa, dan bertindak...
yeah... !!! ibarat sebuah oase di tengah padang pasir tandus, langkah (selanjutnya) tidak akan pernah berhenti untuk mencari di mana tetesan air kehidupan itu...awal dari baru tahun, baru saja dimulai sebagai pentas drama berjudul "imajinasi masa depan". Akankah tahun baru akan mewujud dalam realitas bahwa kita selalu akan menjadi baru? akankah kepompong akan menetas menjadi kupu-kupu yang cantik... ??? why not?! karena tahun selalu saja baru di mulai utk di-make up secantik mungkin... karena tiap hari adalah tiap awal tahun untuk selalu menjadi yang baru, yang lebih baik, yang lebih cantik... selamat untuk selalu memulainya....
HAPPY NEW YEAR 2009
wish u all the best