Friday, February 3, 2012

Can the “Perempuan” (Subaltern) Speak?

Review Film “Perempuan Sasak Terakhir” karya Sutradara Muhammad Nur Sandi

Oleh: Astar Hadi*

Seorang intelektual-aktivis internasional asal India, Gayatri C. Spivak, mengawali gugatan besarnya atas feodalisme dan poskolonialisme yang mengakibatkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga dengan sebuah pertanyaan besar dan monumental; bisakah mereka yang berada di pinggiran, orang miskin kota, petani-petani kecil di desa, berbicara? Ya. Can the subaltern speak?!
Melalui penelitian panjang terhadap perkembangan dan dinamika sosial-budaya poskolonial di India, Spivak menemukan satu “kesimpulan” penting yang menjadi akar persoalan utama dari keterjajahan dan keterbelakangan mental masyarakat di negeri Shakhrukh Khan itu adalah matinya ruang “berbicara” rakyat kecil oleh hegemenoni kelas penguasa (borjuasi modern).
Siapakah “subaltern” itu? Istilah subaltern diadopsi dari pemikir Marxis asal Italia, Antonio Gramsci, yang menggunakan istilah ini bagi kelompok sosial subordinat/pinggiran, yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas berkuasa.
Pembacaan Spivak atas kondisi subaltern merupakan sebuah episode haru-biru pembodohan sistemik yang menjangkiti ke hampir setiap relung kesadaran eksistensial negara-negara dunia ketiga. Kehendak bebas untuk menentukan “nasib” sendiri sebagai sebuah bangsa bermartabat terbentur oleh gurita system politik-budaya yang mengekang dan mengontrol (otoritarianisme) setiap gerak warga negara untuk melakukan “tindak wicara” kritis, baik melalui penciptaan model-model kultural (system adat) dan structural (legal-formal).
Mengamati lebih jauh fenomena subaltern pada konteks Indonesia pasca-reformasi, tentu saja, kita telah, sedang dan akan melihat suatu pergeseran secara radikal system politik dan system informasi (teknologi komunikasi) yang telah “melampui” model-model otoritarianisme sentralistik kekuasaan “berganti” ruang public demokratis yang membuka kran kebebasan berbicara. Kini, melalui akses informasi supercepat (information super-higway) dan mimbar bebas menyampaikan pendapat, hampir –untuk tidak mengatakan keseluruhan— setiap fenomena/wacana politik-budaya sangat mudah kita dengar dan bicarakan tanpa harus takut dengan terror penculikan/pemenjaraan ataupun tindakan represif aparat seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru (Orba).
Jika demikian, apakah tesis Spivak tentang subaltern tidak menemukan relevansinya pada ranah Indonesia saat ini? Dan, jika itu memiliki tautan logisnya, apakah makna “tidak bisa bicara” yang dimaksud pakar kajian poskolonial ini, jika dibawa pada pembacaan kondisi subaltern di Indonesia dewasa ini? Atau, bagaimana melihat fenomena subaltern dalam konteks yang lebih local, di Lombok/NTB, terakhir?

Indonesia dalam Realitas (Perempuan) Sasak
Jika kita mencoba menulusuri lebih jauh historiografi antropologis subaltern di Indonesia, baik dari masa pra-kemerdekaan sampai millennium kedua, ada pola umum yang hampir sama; bahwa pada diri perempuan lah melekat sebuah “representasi” subordinasi yang meletakkan mereka sebagai subyek sekaligus obyek penderita dari system hegemonik patriarchal. Perempuan, sebagai pribadi dan sebagai manusia, merupakan “kata ganti” orang pertama yang menjadi gambaran tegas untuk menguliti aspek-aspek terdalam dari setiap bentuk penindasan, peminggiran dan pelecehan setiap potensi “berbicara” kritis yang seharusnya ada dalam kelompok-kelompok subaltern. Dalam hal ini, perempuan “sudah menjadi” subaltern pada dirinya sendiri.
Kisah kejatuhan Adam dari surga yang serba indah ke bumi yang hina dan penuh konflik mengkambinghitamkan “kelemahan” iman Hawa yang tidak sanggup menahan diri untuk melahap buah khuldi (buah kekekalan), “hasrat” oedifus complex ala Sigmund Freud yang menempatkan kuasa psikoseksual pria –tahap perkembangan phallic (kemaluan pria) bayi laki-laki yg menghasrati ibunya (wanita)— atas wanita, adagium popular tentang “tugas” perempuan melayani pria “di dapur, di kasur dan di sumur,” mitos tentang “sembilan nafsu dan “cuma” satu akal perempuan, dan ayat kanonik agama yang membatasi perempuan sebagai yang harus tunduk pada pria, merupakan frase-frase politik pengetahuan dogmatik yang memperkuat makna ideologis posisi perempuan sebagai contoh paling telanjang dari “bisunya” bibir lembut sosok-sosok subaltern.
Judul besar ‘Perempuan Sasak Terakhir’ (PST) oleh sutradara muda Muhammad Nur Sandi –populer di Facebook dengan nama Sandi Amaq Rinjani (SAR)— terbilang cukup tepat dan memenuhi logika realitas. SAR mengelaborasi mitos gunung Rinjani dan Dewi Anjani pada titik terdalam realitas bangsa Sasak dalam sebuah dekonstruksi realitas yang melampui mitos itu sendiri menjadi jejak-jejak semiotik –ilmu tentang tanda dan penggunaannya dalam masyarakat— (realitas) subaltern. Artinya, keunikan film ini terletak pada kemampuan sutradara membongkar historiografi antropologis ketertindasan rakyat kecil dengan senjata semiotik bernama “perempuan” yang notabene sosok makhluk ciptaan Tuhan yang paling “tersubordinasi” dalam peta realitas dan wacana di Indonesia.
Kisah tentang membludaknya pasar tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia asal Lombok/NTB yang merupakan salah satu “pahlawan” devisa, streotif perempuan Sasak yang baik/sholeh berarti bisa memasak, mengambil air, taat dan patuh terhadap suami tanpa reserve, sosok protogonis cantik, cerdas dan lembut Anjani (lakon utama PST) menjadi bumbu cerita haru-biru subaltern dalam film ini. Di sisi lain, Wati (salah satu nama lakon) sebagai sosok antagonis yang terkena imbas mimpi modernitas orang desa menjadi orang kota “memperkuat” ide cerita yang menggambarkan realitas poskolonial Sasak yang gagap, yang lebung (rentan, lemah, gagap, reaksioner) –orang Sasak sering menyebut dirinya Sasak Lebung untuk menunjukkan bagaimana orang Lombok begitu cepat menyerap unsure-unsur di luar dirinya yang belum tentu baik dan sesuai— terhadap bentuk-bentuk “baru” perkembagan zaman.
SAR ingin menunjukkan pada kita bahwa perempuan adalah “wajah” kita. Perempuan sasak adalah syimbol “jati diri” warga Lombok yang hendak berbicara tentang keterbelakangan, tentang ketertindasan, tentang mentalitas yang lemah, tentang diskriminasi, dan tentang ketakutan-ketakutan kita dalam sosok seoarang bernama Wati. Melalui perempuan pula, film ini ingin berbicara lebih jauh, bahwa kecerdasan, eksotisme, keberanian menatap masa depan, ketegasan dalam bersikap, kelembutan cakrawala Sasak, menemukan ke-Lombok-annya dalam diri Anjani yang miskin tapi pantang menyerah. Di sinilah adagium popular yang menyatakan bahwa “baik-buruknya suatu bangsa ditentukan oleh wanita” dimunculkan.
Suguhan SAR melalui PST merupakan bentuk cara pandang dekonstruktif atas sosio-kultural Lombok dengan nisbat perempuan. Meskipun scenario cerita banyak memunculkan sosok pria, termasuk Sasak Adi –salah satu nama lakon utama yang di akhir cerita menikahi Anjani— dan ayahnya, beserta nasihat-nasihat magis-moral-normatif dengan pesan-pesan cukup “dalam,” penulis melihat bahwa yang “harus” bergeliat meneriakkan kredo kegelapan subaltern pada konteks “Sasak terakhir” adalah perempuan.
Mengapa perempuan? Menilik kembali pada gagasan Subaltern Spivak dalam wawancaranya (KOMPAS, 12 Maret 2006), “tidak bisa berbicara” menurutnya, adalah “metaphor karena ia mencoba bicara sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada 'cerita' subaltern. Para pembaca esai saya sepenuhnya mengabaikan kisah itu." Jawaban Spivak ini “menemukan” kontekstualisasi metafornya dalam cara SAR mengetengahkan (realitas) bangsa Sasak/Indonesia ke dalam sublimasi ketidakadilan dunia melalui, lagi-lagi, sosok-sosok perempuan.

Realitas PST: Mendengar Subaltern Berbicara
Penulis, pada posisi ini, tidak akan mencoba mengkritisi aspek-aspek teknis sinematografik film. Selain karena tidak memiliki penguasaan atasnya, penulis lebih memproyeksikan diri pada sinkronisasi visi dan misi yang ingin disampaikan film tersebut. Di sinilah gagasan subaltern Spivak, sepertinya, menjadi term yang tepat untuk menganalisis kecenderungan-kecenderungan ideologis yang melatarbelakangi kemunculan PST.
Mengutip Antariksa dalam Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial, bahwa sejarawan India Ranajit Guha dari Kelompok Kajian Subaltern yang juga mengadopsi gagasan Gramsci semakin meneguhkan gagasan Spivak tentang subaltern:
“…karena ia memberikan kerangka yang lebih jernih buat menganalisis soal "siapa kawan, siapa lawan" dan memaksa kita buat memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser dikotomi-dikotomi "kolonial-antikolonial", "buruh-majikan", "sipil-militer", dsb. menjadi "elite-subaltern". Perhatian kita pada penindasan yang selama ini hanya terpusat pada "aktor-aktor luar", kini mesti ditambah dengan perhatian kepada "aktor-aktor dalam". Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial” (Antariksa, www.kunci.or.id).
Dalam PST, SAR “melepaskan” baju ideologisnya sebagai “pihak luar” –sutradara yang seolah-olah “hanya” menyorot highlight subaltern Sasak— yang tidak berusaha menafsirkan apa yang terjadi di dalam rumah tangga bangsa Sasak. Ia membiarkan penonton untuk menafsirkan sendiri realitas dalam film tersebut sesuai dengan kemampuan pembacaan masing-masing. “Kecerdasan” SAR mengolah cerita dengan membiarkan cerita itu berbicara atas dirinya tanpa “campur tangan” orang lain yang, seakan-akan, membisikkan bahwa “sudah saatnya subaltern/masyarakat berbicara” karena dari merekalah cerita-cerita “jujur” itu kita peroleh.

Belenggu Normativisme Perempuan dalam PST
Lepas dari itu, memuji film ini secara terus-menerus akan menjebak kita pada bombasme. Sebagai sebuah genre film realis yang mengangkat persoalan local (Lombok), penulis melihat sejumlah kelemahan substansial yang “tidak terpikirkan” dan atau “tidak diperhatikan” oleh SAR, baik dalam hal “kekayaan” wacana semiotic maupun dialektika historis nilai-nilai Sasak yang, menurut hemat penulis, “harus” muncul dalam PST. Dengan demikian, sinkronisasi lokalitas yang berangkat dari imajinasi dan pengetahuan sutradara, tidak boleh tidak, harus menelusuri dan meneropong secara cermat dalam menghadirkan nama, tempat, narasi dan setiap visualitas yang ingin ditampilkannya.
Dengan demikian, sebagai penafsir, penulis mencoba melampui “bayangan” SAR tentang perempuan dan bangsa Sasak pada umumnya. Tanpa sebuah upaya mengklaim bahwa sang Sutradara memang melibatkan diri dalam pergulatan wacana pada gagasan Spivak tersebut, penulis bertindak sebagai juru hermeneutis yang sengaja meletakkan dasar-dasar pemikiran SAR dalam PST untuk langkah kritisasi selubung normativisme yang ingin ditanggalkan tapi tak terhindarkan dalam film tersebut.
Meskipun SAR “hanya” ingin jadi “penonton cerdas” tentang drama realitas sasak yang diciptakannya, ia alfa menyorot siklus lingkaran setan hegemoni yang secara substansial “menghantui” masyarakat Lombok, khususnya perempuan. Kealfaan SAR mengejawantah dalam sekelumit narasi tentang siapa Anjani sejatinya. Haruskah ia menjadi seperti Kartini? Kenapa Anjani tidak membiarkan dirinya berbicara sebagai sosok perempuan bernama Anjani yang me-Lombok, yang tidak men-Jawa, mem-Batak atau mem-Papua? Atau kenapa tidak membiarkan Anjani berbicara tanpa baju “identitas” tertentu kecuali hanya sebagai subaltern yang ingin berbicara? Anjani itu Lombok sekaligus Indonesia yang berada dalam langgam identitas “bhineka tunggal ika” yang tidak perlu bercerai dari (gunung) Rinjani untuk menjadi Lombok dan menjadi Indonesia yang tercerahkan. Kegagalan menerjemhkan mitos dalam realitas film, secara ideologis, bisa berpengaruh pada “makna” menjadi Perempuan Sasak yang sebenarnya.
Kenapa penulis begitu memperhatikan persoalan “sepele” tentang Anjani yang tercerahkan harus lebih dulu menjadi Kartini, tidak terlepas dari politik pengetahuan yang sering melanda intelektual, LSM dan pemerintah yang seringkali mengebiri secara congkak pengetahuan subaltern atas dirinya yang dianggap “tidak sanggup berbicara” dan harus dibicarakan/diwakilkan tanpa upaya interelasi yang jujur terhadap kehendak mereka tentang suatu hal.
Kasus-kasus berdarah seperti di Bima, Mesuji dan Papua, merupakan contoh paling fasih bercerita bahwa ada yang salah ketika kita secara banal memposisikan subaltern sebagai “yang lain” (others), sebagai yang tidak tahu apa-apa bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa.
Begitu pula, dekonstruksi yang dilakukan SAR masih terkesan normatif. Suguhan demi suguhan tragis realitas tidak dibarengi dengan “kesungguhan” melacak akar sosio-historis keterbelakangan masyarakat Sasak. Paling tidak, jejak-jejak feodalisme dan kolonialisme dihadirkan secara singkat dalam narasi-narasi dan atau lakon antagonistik untuk memperjelas hubungan konflik yang melatarbelakangi ketertindasan dan keterbelakangan mental masayarakat dan bagaimana mereka membicarakannya dalam perspektif “orang awam”.
Masih terlalu kuatnya pesan-pesan naratif lakon pria, seperti Sasak Adi dan ayahnya, mengindikasikan kelemahan judul besar PST masih dikuasai semangat patriarchal dalam film ini. Sementara Anjani dan Wati yang berbicara sebagai dua sosok bersebrangan dan mewakili ilustrasi perempuan sasak dengan narasi-narasi yang kurang “binal” dan “takluk” pada petuah-petuah magis lelaki, tidak memberi “godaan” mengejutkan dalam bagaimana seharusnya pencerahan itu muncul berbicara melalui perempuan (subaltern). Dalam hal ini, PST, lagi-lagi, harus terjebak pada belenggu normativisme lelaki (elit) yang tidak sanggup dielakkan SAR. PST, seakan-akan, hanya wajah perempuan yang memang benar-benar tidak bisa bicara atas nasibnya ke depan. Pada posisi inilah, gubahan ‘subaltern’ Spivak menjadi perempuan’ oleh SAR membentangkan haru-biru realitas tentang keterbelakangan berbicara kepada kita begitu dekat.

Pada akhirnya, penulis kembali memberi pujian pada sang sutradara. SAR merupakan salah satu sutradara muda bertalenta dari Indonesia Timur yang mampu melepaskan diri dari pengaruh cerita bombastik percintaan, hantu-hantuan dan alur konflik umum yang banyak kita tonton dalam genre film layar lebar, FTV ataupun Sinetron yang banyak digandrungi kawula muda. SAR telah beranjak lebih jauh membentangkan epos realisme dan kritisisme dengan pesan-pesan “berbobot” yang tidak melulu happy ending. Sebagai wajah “baru” dalam sinema Indonesia dengan keluarnya PST sebagai film layar lebar pertamanya dengan biaya produksi yang sangat murah –isunya, total biaya yang dikeluarkan untuk film ini “hanya” Rp. 1,5 Miliar— dibanding film-film lain yang rata-rata di atas Rp. 2,5 Miliar untuk ukuran film layar lebar, tentu saja, SAR layak diperhitungkan. Selamat menikmati hidangannya.