Wednesday, May 7, 2008

Rasa itu...

Aku hanya ingin bertutur pada cinta
bahwa aku tidak mampu membohongi rasa,
tidak mampu menyembunyikan asa.

Aku gak mo bertanya
tentang siapa, apa, kenapa, bagaimana,
karena semuanya sudah ada dan mengada
dalam sedalam-dalamnya jiwa

Aku cuma berupaya menjaga
apa yang sudah ada dan mengada
apa adanya.

Aku gak mo merusaknya,
karena aku percaya dan meyakini rasa itu
memang hadir dari dalam jiwa

Aku memang bukan siapa-siapa
yang mampu merubah yang sudah ada
dengan ada "bersamanya".

Jangan bertanya... !!!
Karena rasa sudah menjawabnya

00:27 WIB
Malang, 05-05-08
China dan Pembantu

Aku punya temen sekelas di masa kuliah S1 dulu yang “n’gilani” dan punya cita-cita yang cukup unik bin langka. “Cita-cita ku sederhana aja, pengen punya pembantu China,” tuturnya, setengah becanda. Mungkin juga, maksud temenku ntu cuma sekadar guyonan pembuka obrolan seserius apa pun. Maklum, dia emang rajanya fresh joke (guyonan segar kalee maksudnya). Meski demikian, aku sempat dibuat berpikir bahwa yang dikatakannya, ada benarnya. “Kebayang nggak”, lanjutnya, “kalo punya pembantu China kayaknya asyik banget, jarang-jarang loh orang punya pembantu China, sebaliknya malah kita-kita ini (non Chinesse, pen) yang kebanyakan jadi pembantu mereka, bukan begitu?!,” celotehnya menjelaskan.
Begitu lah temenku, si Blacky (Nama Samaran, kayak Koran aja), yang ternyata emang jago juga menggunakan logat “Mandarin” versi ngawurnya –kebetulan dia cuma bener pas nyebut kata Metro Xinwen dan Wu ai ni ketika itu, yang lainnya cuma ngepas-ngepasin doank. Ya, jujur aja, aku sempat berpikir kayak si Blacky. Lucu juga kalo pas naik mobil ntar orang-orang bisa salah kira, yang mana bos yang mana pembokat.... hahaha. Kalo menurut saya sich, pasti si Blacky deh yang dikira pembantunya. Ya maklum lah, setauku, selain item, pakean gak keurus, tampang awut-awutan, si Blacky –terakhir-akhir ne dia ganti nick-nya agak nge-Eropa Timur dengan sebutan Gosongkovic-- juga jarang mandi.
Lain Blacky, lain pula si Pepy (juga bukan nama sebenarnya). Si Pepy, kebetulan temenku juga, yang bekerja di sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS ini sich gak pengen punya pembantu China. Pria yang juga selalu membagi-bagi kondom –setidaknya aku mesti dikasih hampir di setiap kali ketemu— untuk healthy sex ini, Cuma merasa miris dengan fenomena economical gap yang dilihatnya akhir-akhir ini.
Berawal dari sekadar basa-basi di telepon, Pepy bercerita padaku, bahwa suatu malam, di bulan April 2008 yang lalu, ia dan temennya yang juga temanku berjalan-jalan ke Tunjungan Plaza (TP) Surabaya untuk melepas penat plus cuci mata selepas penelitian lapangan yang cukup melelahkan. Karena perut dah pada keroncongan, ia dan temennya ini langsung aja menuju lantai IV buat membuang waktu membeli suasana alias makan-minum + cangkrukan di sebuah CafĂ© di pusat perbelanjaan tersebut. “Aku jadi sedih ngeliat orang-orang kayak aku (orang Jawa) Cuma jadi pelayan di tempat itu,” keluhnya. Pria kondom ini, begitu aku memanggilnya, melihat orang-orang yang nyantap makanan di sekelilingnya rata-rata etnis Tionghoa, sementara yang “pribumi” bisa dihitung dengan jari. Nah loh?! Emang kenapa? Cemburu kalee…
“Sama sekali nggak,” bantahnya tegas, menimpali celetukanku di telepon. Dengan nada yang kayaknya serius banget deh, ia jelasin ma aku bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ekonomi bangsa Indonesia yang justru dikuasai oleh etnis minoritas. Terjadinya ketimpangan ekonomi ini bukan terletak pada ketidakmampuan warga non-Tionghoa dalam mengelola sumber daya ekonomi yang ada, akan tetapi ada, yach, semacam pengebirian yang menempatkan warga “pribumi” pada posisi periferial. Gto loh !!! “Ini memang bukan salah Chinesse semata,” bebernya. Kebijakan pemerintah baik dalam jalur birokratis maupun secara politis sepertinya lebih condong "mempermudah" izin usaha yang dilakukan oleh warga Ras Kuning ini. Sementara itu, untuk warga Indonesia yang bukan Tionghoa, lebih-lebih yang miskin, seringkali dipersulit melalui birokrasi yang njlimet setiap kali mau mengurus izin usaha baru. benarkah? Mungkin kata2 teman saya ini berlebihan. karena, nyatanya, etnis Tionghoa bekerja berdasarkan kemampuannya, bukan atas dasar pilih kasih, lebih-lebih terkait izin usaha.
Yg pasti... orang miskin di larang naek pangkat kalee. Mending kayak di sinetron, itu tuh, biasanya yang awalnya jadi pengemis, ada gadis angkot, usut punya usut, ending-nya bisa berubah jadi kayak mendadak. Coz, ya ternyata si lakon ntu cucu ato anaknya orang the have yang kebetulan terlantar. Pokoknya kalo dah di sinetron, yang kere mudah banget jadi elite. Kali aja orang2 miskin jadi pada demen nonton sinetron gara-gara bayangan jadi kaya itu mudah bangetttttt... Moga aja aku ne keturunan, Bill Gates atau paling nggak, ya ada titisan keluarga Cendana lah, ya minimal sebagian hartanya nyerempet ke aku... yachhhh, jadi kebayang sinetron lagi dunk.... jadi ngelantur neh.. hehehe.
Oh ya, mpe lupa... begini loh, lebih jauh Pepy ngeliat, fakta-fakta shopping center dan basis-basis usaha industri manufaktur di Indonesia, khususnya Jawa Timur, kebanyakan dikuasai oleh etnis minoritas tersebut. Bahkan, tegasnya, kerajaan bisnis warga Tionghoa telah merambah bidang-bidang usaha lainnya seperti pertanian dan peternakan misalnya.
“Bukannya saya anti China, tapi pemerintah harus fair dong,” kritiknya. Bak seorang aktivis -wah hampir lupa kalo dia tuh emang seorang aktivis kelamin— dia menegaskan bahwa untuk melawan “ketidakadilan” ini diperlukan langkah ideologis yang mendorong terjadinya perubahan arah kebijakan ekonomi baik di tingkat Lokal maupun Nasional yang tidak diskriminatif, yang tidak hanya berpihak pada etnis-etnis tertentu, baik China, Jawa, Dayak, Arab, atau etnis lainnya di Indonesia. Semua komponen bangsa berhak secara adil untuk memperoleh kesejahteraan ekonominya melalui kebijakan yang berpihak pada semua kalangan, dan lebih khusus bagi yang berada di bawah garis kemiskinan, siapa pun itu.
Pada akhirnya, saya Cuma bisa mengangguk-anggukan kepala mendengar pemaparan melalui telepon tersebut. Tapi saya secara pribadi juga berpendapat, apa yang dikatakan Blacky yang mungkin sekadar guyonan maupun gaya serius Pepy mungkin "ada benarnya" juga. Keduanya, secara tidak langsung telah membeberkan fakta-fakta tentang terjadinya ketimpangan ekonomi yang begitu besar di tubuh negeri kita ini.
Karena pada prinsipnya, kita semua adalah bagian dari warga bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama (SARA) selayakanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam melakukan tindakan ekonomi masing-masing dengan syarat kebijakan yang nantinya ditelorkan tidak bersifat diskriminatif. Kan katanya kita-kita ne BHINEKA TUNGGAL IKA…Iya gak, iya gak?!
Capekkkk dehhhhh.... yeah, menurut hemat saya sich (bukan penghematan duit loh… hehehe), sudah saatnya ada gerakan yang lebih ideologis dalam menjajaki Visi Ekonomi Indonesia ke depan yang cucok bokkk alias egaliter, pro rakyat miskin (pro poor policy) dan tentunya tidak diskriminatif... Wallohu A’lam.

Friday, May 2, 2008

Aku, Kamu dan Gadis Pujaan Itu...


Aku tak berdaya. Ya, aku gak sanggup lagi menjaga “persahabatan” yang telah kita jalin begitu lama. Lebih lama dari sekadar ukuran waktu, 3 tahun memang. Tapi dinamika rasa, cinta, kasih-sayang, konflik, canda tawa, yang telah bersemayam dalam ikatan kebersamaan kita melampui semua definisi waktu yang ada. Kita seakan bertemen, bersahabat, bersaudara, berawal dari nol waktu dan berakhir tanpa akhir. Kamu pun tau itu…
Tapi entahlah… karena cinta pula waktu telah menguji aku, kalau tidak bisa disebut “kita.” Aku, kamu dan atau kita, sekarang berada dimana? Apakah kita masih bersama atau justru telah berpisah? Aku gak tau. Yang ku tau, waktu seakan tertawa terhadap keabadian makna persahabatan. Ia seakan mengejek otak dan hatiku, mungkin juga kamu, yang ternyata sama-sama berkelahi atas nama “cinta”. Saling berebut, saling mencakar, hanya untuk membunuh keabadian. Kata orang, persahabatan itu abadi, sementara cinta seakan menjadi biang keladi.
Mungkin juga. Entah ini salah siapa. Trus, siapa yang benar? Gak ada yang salah, gak ada yang benar. Kamu atau aku selayaknya mengakui, menyadari, bahwa kita sama-sama jatuh dalam pelukan cinta yang sama, bernama Gadis Pujaan. Gadis pujaan itu, aku atau kamu sama-sama mengerti, yang mengawali lahirnya biang keladi persaingan memenangkan jiwa yang narsistik… “Dia Milikku” Yovie n The Nuno mungkin sangat tepat mendendangkan bahwa antara aku dan kamu juga ingin berkata.. “Dia milikku, Bukan milikmu.”
Bullshit !!! siapa yang bilang persahabatan itu lebih abadi dari cinta, atau sebaliknya. Toh, semuanya akan berakhir dikubur. Seharusnya cinta menhargai persahabatan. Persahabatan juga harus fair donk, selayaknya untuk menghargai cinta juga. Baik persahabatan maupun cinta tidak pernah salah, begitu pula Gadis Pujaan. Yang salah, tentunya, aku dan kamu, yang tidak mampu menyikapi keduanya apa adanya. Gadis Pujaan pun menjadi korban “keganasan” ruang dan waktu yang telah mempertemukan kita bertiga.
Apa daya… realitas kita adalah realitas ruang dan waktu. Tempat dan saat bersuanya perasaan cinta dan persahabatan yang tidak mungkin baka. Aku dan kamu hanya bisa sama-sama berjuang meraih apa yang ada di depan mata, Gadis Pujaan. Moga saja kita sama-sama sadar bahwa aku dan kamu sama-sama manusia fana yang belajar untuk menghargai rasa tanpa perlu saling mencerca dan mencela… karena aku dan kamu adalah sahabat yang sama-sama bisa jatuh cinta pada siapa saja. Wallohu A’lam…
Malang
Jum’at, 02 Mei 2008. 10.00 WIB

ARTI CINTA....

Entah hujan, entah gerimis
Itu sama saja...
Suatu peristiwa, jatuhnya air dari langit
Membasahi semesta
Begitu pula,suka dan duka
Tiada yang berbeda...
Sama-sama memberi makna
Memperluas cakrawala
Memberi dinamika
Biarkan semuanya mengada
Bermain dalam diri Sang Ada
Mencipta jejak yang sejatinya tiada
dalam sedalam-dalamnya jiwa
Demikianlah....
Cinta bercerita tentang apa adanya,
tentang bentuk tandanya
tentang makna tiadanya
yang berada di mana-mana
dan, tidak ke mana-mana
Malang, 27-04-08, 22.39 WIB

IPDN dan Mentalitas Orde Baru

IPDN dan Mentalitas Orde Baru
Oleh: Astar Hadi*

Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain. Pendidikan menjadi penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Setiap upaya membangun generasi bangsa yang beradab, berkarakter dan bervisi ke depan, membutuhkan modal sosial (social capital) yang mensyaratkan di dalamnya daya kritis (kritisisme), sikap luwes dan energi kreatif, yang seharusnya muncul pertama-tama melalui generasi muda sebagai lokomotif perubahan. Hanya melalui generasi muda terdidik, peradaban sebuah bangsa dimulai.
Sejauh ini, menunjuk pada ”kesepakatan” umum, solusi kongkret yang menjadi indikator paling rasional untuk meraih social capital handal itu hanya melalui jenjang pendidikan. Benarkah demikian?
Membanggakan pendidikan, lebih-lebih peradaban bangsa, negara kita mungkin harus selalu kecewa –kalau tidak bisa dibilang terluka. Betapa tidak! Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini Indonesia kembali dihadapkan pada peristwa memalukan dalam dunia pendidikan kita. Dari peristiwa ”kecil” Ospek di setiap tahun ajaran baru dimulai, media massa cetak maupun elektronik selalu diwarnai berita-berita seputar kekerasan senior terhadap juniornya. Alasan yang seringkali muncul menjadi tameng penangkis hampir tidak pernah berubah; menguji mental. Cara-cara militer pun acapkali dianggap ”manusiawi.” Sudah cukup?
Ternyata tidak! Belum pulih ingatan kita atas meninggalnya Wahyu Hidayat –siswa STPDN yang sekarang berganti nama menjadi IPDN— yang ditengarai karena penyiksaan fisik oleh seniornya, kali ini kasus serupa juga menewaskan Cliff Muntu, calon Praja IPDN Sumedang, Jawa Barat.
Lagi-lagi, bukan intelektualitas-moralitas, tapi faktor ”kekerasan” menjadi salah satu ”syarat” lulus dan layaknya seseorang menggandeng gelar calon pegawai pemerintah yang (katanya) nantinya menjadi pengayom masyarakat. Mentalitas pendidikan kita, pada akhiranya, akan melahirkan mentalitas Orde Baru, ”tidak manut, gebuk aja, semua pasti beres bos!”
Mentalitas Orde Baru: Pendidikan Panoptikon
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Dengan dalih menjaga “moralitas” bangsa, kekuasaan menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantui berbagai aktivitas publik. Berbagai bentuk aktivitas selalu dicurigai, dibatasi, ditekan sedemikian rupa untuk menjaga harmonisme kekuasaan.
Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk dunia pendidikan. Kebijakan NKK-BKK yang memasung kritisime dan nalar kreatif mahasiswa di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah pendidikan panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (senior).
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior, seperti kasus yang terjadi di IPDN tersebut, adalah bentuk serangan mental negatif yang sangat mungkin bertujuan membangun trauma psikologis makhluk terdidik. Artinya, kendati ada pembelajaran yang merangsang kecerdasan otak, panoptikonisasi mampu ”menganulir” kecerdasan yang dimiliki pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap tindakan menyimpang dari atasan (senior) sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kecerdasan) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Alih-alih pendidikan mampu membentuk –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis (critical consciousness) bagi masyarakat, justru karena model kekerasan (panoptik) yang diciptakan, kita tidak lebih hanya sebagai ”pajangan” panjang gelar intelektual yang, layaknya buku, ”hanya berjejer indah dan rapi di lemari tanpa pernah kita tahu apa yang harus kita lakukan dengannya”. Yang kita tahu bahwa kita telah menjadi ”milik” orang-orang tertentu yang bebas melakukan apa saja.
Menanggalkan IPDN-isme
Dulu STPDN, sekarang IPDN. Hasilnya sama saja. Sikap otoriter masih saja dipraktekkan. Pihak pemerintah, khusunya Depdagri, tidak perlu reaksioner dan grusa-grusu dengan mengganti nama lagi atau membubarkannya kalau saja kebijakan atau sistem pendidikan yang ada tetap saja berbau otoriter. Ini akan berbuntut panjang, yaitu membentuk calon pelayan rakyat yang berorientasi pada ”kepatuhan” dan ”ketaatan” tanpa reserve dengan cara-cara ”menghalalkan” kekerasan.
Unsur-unsur panoptik ’IPDN-isme” dalam pendidikan akan menghasilkan sejumlah banyak orang ”cerdas” yang tidak mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Ibarat mesin, kita pada akhirnya, hanya sanggup berkata ”ya” pada remote control kekuasaan, meskipun harus menzalimi (kebenaran) yang lemah.
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari kasus IPDN atau pendidikan yang memasukkan unsur kekerasan adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan kaeadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek otoritarianisme pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskrimanatif, bangsa kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus pemerintahan.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society

  • Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society
    (Review Singkat atas Sosiologi Postmodernisme karya Scott Lash)
    1
    Oleh: Astar Hadi

    Posmodernisme
    Posmodernisme. Aliran macam apa lagi ini? Istilah posmodernisme pertama kali digunakan sejak tahun1917 oleh seorang filsuf Jerman, Rudoplh Pantwitz. Panwitz menggunakan istilah ini setelah mengamati adanya gejala nihilisme
    2 kebudayaan Barat Modern. Secara kritis Panwitz melihat adanya kecurigaan mendasar dari para dedengkot penganut aliran “kecurigaan” yang lekat pada sosok Nietzsche, Rousseau dan Schopenhauer. Mereka menganggap modernisme sebagai wacana dominan ketika itu sebagai isme yang tidak lagi “layak jual” dalam menghadapi gejolak dunia yang sudah sedemikian kompleks.
    Posmodernisme, dengan demikian, merupakan wacana pemikiran baru yang meng-conterdiscourse wacana modernisme. Kritik posmodernisme terhadap modernisme seringkali disandarkan pada “kecongkakan” klaim modernime tentang adanya kebenaran mutlak sebagai subjek yang sadar, rasional dan otonom. Klaim ini merujuk pada sekian asumsi yang menyatakan bahwa “kodrat” manusia sebagai makhluk berakal yang memiliki sikap “objektif” dan “rasional” terhadap eksistensi ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
    Kesadaran modernisme adalah kesadaran dogmatisme ilmu yang menjadi landasan absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Ruh Absolut (Hegel), adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover (Aristoteles) dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes).
    Konsep kesadaran modernisme di atas dianggap tidak memadai oleh posmodernisme. Penolakan posmodernisme terhadap klaim-klaim tersebut karena menyadari tidak ada lagi kapabilitas subjek untuk mengenal realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep kosong” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan tanda yang tumpang-tindih dengan hanya mengandalkan hirarki ruh absolut yang tunggal.
    Sudah saatnya memainkan paralogi
    3 di saat manusia berahadapan dengan logika yang tidak linier (Lyotard). Mental kebenaran universal hanya akan menciptakan oposisi-oposisi biner baru yang justeru menghancurkan yang lain dari kearifan yang dimilikinya, maka harus ada upaya dekontruksi “kebenaran” (Derrida). Modernisme terlalu congkak dalam memahami otonomi manusia sebagi subjek berpikir yang melegitimasi epistemologi sebagai suatu yang netral, bersih, suci dari na’jis hasrat untuk berkuasa (Nietzsche dan Faucoult).
    Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang kemudian dikenal dengan nama posmodernisme. Posmodernime sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana yang sedikit banyak dibahas Scott Lash dalam Sosiologi Posmodern. Di antaranya: (1) wacana kritis terhadap estetika modernisme; (2) wacana kritis terhadap arsitektur modern; dan (3) wacana kritis terhadap filsafat modern.

    Sosiologi “Posmodernisme” Scott Lash: Bias Modernisme?
    Scott Lash adalah seorang modernis, demikian kilah Bambang Sugiharto dalam pengantar untuk buku tersebut. Apakah bias modernisme akan muncul dan mereduksi “definisi” posmodernisme ketika seorang Modernis, seperti Lash, yang coba menyodorkan pemahamannya tentang posmodernisme itu sendiri? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengetahui apakah pengarang cukup memiliki netralitas, tidak tendensius dan tidak tenggelam dalam gempita vis a vis modernisme dan posmodernisme. Scott Lash menulis:
    Bagi saya, posmodernisme bukan suatu kondisi, juga bukan sesuatu yang memiliki jalinan dengan posindustrialisme, jenis masyarakat, dalam arti bahwa orang berbicara mengenai masyarakat industri, atau masyarakat kapitalis, atau masyarakat modern. Menurut saya, posmodernisme terkungkung dalam lingkup kultur. Posindustrialisme merupakan salah satu sifat penting dari ekonomi kapitalis kontemporer. Akan tetapi, ini hanyalah sifat yang sepenuhnya ekonomis, bukan cultural. Oleh sebab itu, posindustrialisme bukan bagian dari posmodernisme, seperti yang diyakini oleh Jean-Francois Lyotard… Namun, hal ini berhubungan dengan kompatibilitas (kesesuaian) dan hubungan kompatibilitas khusus dengan ekonomi kapitalis posindustri. (Hal. 13-14).

    Apa benang merah yang dapat ditarik dengan pendapat Lash di atas? Lash benar ketika mengatakan posmodernisme bukan sebuah kondisi yang melekat pada semacam gejala umum menyangkut aktifitas masyarakat di era industri atau posindustri. Karena, posmodernisme tidak berbicara mengenai kondisi dan atau aktifitas masyarakat.
    Alih-alih, Posmodernisme menyangkut isme yang berada pada jalur yang mempertentangkan “paradoks konseptual” modernisme yang meletakkan dirinya sebagai paham akan adanya grand narrative (narasi agung) berupa kebenaran universal, otonomi subjek dan objektifitas ilmu pengetahuan yang superordinat terhadap narasi-narasi kecil, sebagai konsekuensi dari logika pencerahan atas dunia lain yang irasional, marjinal dan tidak berperadaban.
    Terkait di atas, perlu dipahami bahwa, mungkin, Lash ataupun pemikir lain hampir sepakat, bahwa antara posmodernisme dan posmodernitas harus dibedakan. Bahwa gambaran sosiologis tentang masyarat posindustri, aktifitas yang dilakukan, logika kerja, logika konsumsi dan segala bentuk prilaku masyarakat secara umum dalam suatu kondisi, merupakan gejala yang ditunjuk sebagai posmodernitas, bukan posmodernisme.
    Secara teoritis saya cukup sepakat dengan pendapat Lash tentang Posmodernisme. Di mana, tidak ada klaim tertentu yang manganggap bahwa wilayah sosiologi posmodernisme sudah definitif. Tapi Lash tidak cukup paham dengan posmodernisme ketika menganggapnya hanya terkungkung pada lingkup kultur. Sebab, bagi saya, kultur tidak ada hubungannya dengan posmodernisme. Pada titik ini, kultur merupakan sifat terpenting dari kondisi posmodernitas masayarakat posindustri yang meletakkan kerja sebagai bentuk pemuas hasrat untuk kenikmatan memperoleh konsumsi sebanyak-banyaknya. Sementara aspek terpenting posmodernisme adalah pada paradigma hasrat yang membongkar tatanan discourse modernisme yang mapan.
    Menunjuk pada kondis kultur tertentu yang dicirikan oleh beralihnya moda produksi yang secara tegas melihat adanya pertentangan kelas borjuis vs proletar, menuju logika konsumsi yang memperjelas “keruntuhan” logika alienasi Karl Marx oleh perayaan konsumerisme masyarakat posindustri. Kerja bermakna tidak sebatas pada siapa mendominasi siapa, bukan pula meyakini adanya nilai yang inheren dalam kerja itu sendiri. Alih-alih, kerja semata-mata sebagai sarana pemuas dorongan kenikmatan. Jadi, masyarakat tidak lagi mempersoalkan apakah kerja yang dilakukannya itu membuatnya tearasing atau tidak.
    Lantas di mana posisi sosiologi posmodernisme Lash? Untuk tidak mengatakan paradoks atau bias modernisme, Lash memang “mampu” mengamati gejala posmodernitas dengan gamblang yang secara sosiologis dicirikan oleh terfragmentasinya kelas-kelas social pada berbagai bentuk kepentingan dan permainan tanda budaya yang tidak bisa distratifikasi secara utuh. Akan tetapi, lash tidak cukup kritis dalam memahami posmodernisme karena ia lebih dulu terjebak pada paham modernisme yang meletakkan estetika pada rasionalitas substantif dalam menekankan pentingnya hasrat dan kreatifitas estetik. Wallahu A’lam


    1 Makalah ini disampaikan pada Tadarrus Buku Ba’da Tarawih oleh lingkar diskusi Mazhab Tlogomas di Warung Hendra, tanggal 14 Oktober 2006, Malang.
    2 Nihilisme adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Nietzsche untuk menggambarkan kondisi peradaban barat yang menuju ketiadaan karena berfondasikan tradisi filsafat Socrates dan Yudeo-Kristiani yang mematikan kehendak berkuasa demi harmoni dan keselarasan.
    3 Paralogi, kurang lebih, merupakan tawaran Lyotard yang memperanggapkan tidak memadainya “metanarasi” Logos sebagai konsep kebenaran universal yang menegasikan narasi-narasi kecil yang justeru memiliki kearifan. Untuk itu, harus ada logos-logos lain dalam melihat kompleksitas yang ada, yang kemudian disebutnya Paralogi