Friday, November 11, 2011

Pahlawan itu Ada Karna Memilih Merdeka

Oleh: Astar Hadi*

“Dengan kekayaan, tanah asing adalah negeri sendiri, sedang kemiskinan bahkan tanah sendiri menjadi negeri yang asing,” (Imam Ali bin Abi Thalib).


10 November sebuah hari yang “sangat” penting dan bahkan mungkin sangat berharga untuk kita renungkan. Menarik jauh ke belakang, bertepatan dengan tanggal tersebut, peristiwa bersejarah di tahun 1945, 66 tahun yang silam, mengingatkan kita pada sebuah perjuangan berdarah merebut kota Surabaya dari tangan penjajah Belanda. Bung Tomo, tokoh utama, yang menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan sampai mati itu, menjadi sebuah penanda sejarah yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sekaligus Hari Pahlawan.
Semangat bambu runcing, timah panas, darah, air mata, kematian, yang telah tercatat dalam tinta sejarah emas bangsa kita menorehkan banyak kisah betapa negeri ini dibangun melalui perjuangan luar biasa para pendahulu kita yang tidak pernah kenal kata menyerah. Kegigihan, keikhlasan dan keberanian dengan peralatan “seadanya” menyembul dalam satu semangat melawan musuh bersama bernama “tidak sudi dijajah orang/bangsa asing!!!.”
Para guru dan tumpukan buku sejarah banyak bercerita tentang haru-biru perjuangan dan epos kepahlawanan itu. Sejak SD kita sudah banyak dijejali nama-nama seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Kartini, Bung Tomo, dan lain-lain. Mereka adalah nisbat/sandaran yang melekatkan ingatan/hapalan kita pada banyak jejak yang melaluinya anak-cucu bangsa ini bisa menghirup udara segar tanpa darah dan air mata hingga saat ini. Begitulah guru-guru SD saya menjelaskan penuh semangat di depan papan tulis. Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknainya?
Pada tataran definitif, pahlawan bagi penulis, adalah mereka-mereka yang dulu pernah dan sedang hidup, yang mendedikasikan hidupnya untuk kita teladani karena jerih-payah tanpa pamrih, perjuangan dan kerja-keras tidak kenal menyerah, kepedulian pada perubahan, keikhlasan dan pengorbanan untuk suatu yang benar meskipun penuh resiko, yang memberi kebanggaan kepada kita dan mendorong rasa empati individual-social secara luas untuk berprilaku, berpikir dan bertindak demi kemaslahatan semua pihak.
Kondite etik dari jiwa kepahlawanan tersebut, secara mendasar, memproklamasikan sebuah penegasan penting bahwa “menjadi” pahlawan berarti meneguhkan tekad dan komitmen pada “asas kebermanfaatan/kemaslahatan” tubuh sosial masayarakat dalam merangkai kemerdekaan seluas-luasnya. Pada konteks ini, menurut penulis, hanya dengan kemerdekaan seutuhnya lah proyeksi makna pahlawan itu menemukan signifikansinya dalam kehidupan praktis. Relevansi kemerdekaan dan kepahlawanan itu satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan.

Genealogi Sejarah: Menentang Eksploitasi
Baru-baru ini kongres di Papua telah menyebabkan korban penembakan misterius atas nama “keutuhan” NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Di Freeport juga sedang terjadi mogok massal buruh demi “segepok nasi” dari hasil bumi sendiri yang, anehnya, menjadi “milik” perusahaan multinasional superkaya yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. Kita pun, mungkin, merasa “bangga” dengan hadirnya Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang mengeruk Sumbawa Barat. Mungkin juga kita merasa sebagai “pemenang” dengan mengetahui bahwa tembakau Virginia berkualitas nomer satu yang dibeli Phillip Morris itu berada di Lombok sementara para petaninya tetap miskin dan tertatih-tatih hanya untuk membeli pupuk.
Dari ilustrasi di atas dan di tengah momentum Hari Pahlawan ini, kita layak bertanya kembali makna besar sejarah kepahlawanan itu. Apakah sudah benar dengan mengatakan bahwa menghargai dan memaknai kepahlawanan berarti bekerja keras, berkarya dan, pada titik paling penting, melakukan perubahan? Apa makna positif pahlawan itu bagi sikap politik dan komitmen kebangsaan kita?
Tentu saja, tiap orang berhak menentukan siapa saja pahlawan bagi dirinya. Pada sisi yang paling subtil, di keluarga misalnya, kedua orang tua “sangat” layak diteladani sebagai pahlawan yang atas kasih-sayangnya yang luar biasa besar atas kehidupan anak-anaknya sampai tumbuh dewasa dan, bahkan, sampai meninggalnya. Merekalah para pahlawan yang “kasihnya sepanjang masa”, yang membanting-tulang menafkahi keluarga. Paling sederhana, nilai positif dari orang yang di-pahlawan-kan itu memberi efek yang mendorong/membimbing kesadaran subjek untuk melakukan tindakan-tindakan bermanfaat dan menyadari potensi kemerdekaan dirinya untuk terus berproses dan berkarya sebagai bentuk kesadaran kemanusiaannya.
Lebih jauh, jika melacak akar arke-genealogis sejarah, para pahlawan lebih dari sekadar jejak purba (arch signs) berupa monument, arsip-arsip, atau hapalan-hapalan di sekolah. Berbicara tentangnya berarti berbicara tentang kemerdekaan, tentang menjaga kesungguhan nasionalisme, tentang membangun kedirian dan kemandirian bangsa, tentang kesejahteraan rakyat, tentang politik bebas-aktif, dan tentang keberanian dan ketegasan sikap sebagai sebuah bangsa besar! Mengapa demikian?
Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo dan para pendiri negeri (founding fathers) yang lain merupakan peletak dasar sejarah perjuangan sebuah negeri yang menomor-satukan kemerdekaan dan kemandirian sebagai satu-satunya adagium dan praktek poltik (political will) utama untuk menjadi tegak berdiri sebagai bangsa bermartabat.
Tidak ada satu pun kisah-kisah di buku sejarah kepahlawanan Indonesia yang menjelaskan sebuah hubungan sangat “mesra” antara para pahlawan dengan para penjajah. Tidak pula kita pernah membaca atau mendengar bahwa para pahlawan mengamini dan menoleransi eksploitasi asing atas hasil bumi –rempah-rempah dan lain-lain— untuk dibawa dan dinikmati Negara lain. Justru, jika kita menengok jauh ke belakang, perlawanan demi perlawanan yang terbilang “tidak rasional” oleh karena persenjataan yang sangat minim ketika itu, merupakan bentuk paling telanjang betapa semangat kepahlawanan itu mengalir dalam setiap degup nadi rakyat Indonesia untuk satu tujuan bersama; kemerdekaan dan harga diri bangsa! Mereka ada karena memilih untuk merdeka.

Pahlawan yang Semakin “Ditinggalkan”
Sementara itu, setelah 71 tahun kemerdekaan, hampir semua sector kehidupan mengalami degradasi nilai yang sama menyedihkan. KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) semakin merajalela. Kasus Gayus, Bank Century, BLBI Gate, dan korupsi raja-raja kecil di daerah tidak kalah dahsyatnya. Di bidang pendidikan, kita melihat kapitalisme yang kian kentara. Jual-beli ijazah/gelar, tukang skripsi, biaya pendidikan yang semakin melangit, program kuliah/sekolah instan, sogok-menyogok yang “direstui” guru dan wali murid, menjadi hal yang sangat lumrah. Hukum yang menjadi corong keadilan diobok-obok oleh permainan hakim, jaksa dan pengacara nakal dalam kasus jual-beli perkara untuk kepentingan segelintir pemilik uang dan kuasa, sementara penjara hanya penuh sesak oleh maling –meminjam Iwan Fals— kelas coro. Bahkan agama pun diutak-atik sebatas ajang “ibadah” politik citra demi memuluskan akal-bulus hasrat untuk berkuasa (will to power).
Tidak kalah mirisnya, psikologi bangsa kita semakin terkoyak oleh politik “menjual” martabat bangsa dengan segepok Dollar untuk kepentingan perut sejumlah pihak melalui kebijakan yang “melegalisasi” imperialisme/penjajahan dengan gaya baru. Negara lain tidak lagi merasa perlu mengangkat senjata untuk menguasai Indonesia. Perlahan tapi pasti, neoliberalisme semakin kuat menancapkan akarnya di Indonesia dengan dalih “pembangunan” dan “pemberdayaan” Dunia Ketiga. Betapa tidak, Indonesia sekarang mencerminkan tingkat kesenjangan yang sosial yang semakin lebar. Sebab hanya 10 persen penduduk Indonesia yang menikmati hasil pembangunan yang digemborkan Pemerintah dengan kenaikan PDB sebesar 3.000 dollar AS per kapita pada tahun 2010. Sebab, dari 180.000 buah koperasi se-Indonesia yang memayungi ekonomi rakyat banyak hanya menyumbang 5 persen. Sebanyak 111,95 juta angkatan kerja keseluruhan, justru tergolong pengangguran terbuka (open unemployment), pengangguran terselubung (disguissed unemployment) dan setengah menganggur (under unemployment).
Setidaknya ada 8000 izin kuasa pertambangan di Indonesia yang dikendalikan oleh perusahaan asing dan menguasai 175 juta hektar lahan, atau 75 persen industri ekstraaktif dimonopoli perusahan asing. Ini telah pula merubah orientasi energi nasional seperti gas, minyak, batubara yang lebih banyak diekspor sehingga mengurangi konsumsi dalam negeri dan mematikan industri nasional.
Tetapi ekonomi imperialis tidak dapat begitu saja beroperasi tanpa ditegakkan oleh kekuasaan politik. Berbagai produk Undang-Undang Pro-asing memberikan legitimasi atas kegiatan ekspolitasi asing terhadap sumberdaya nasional. UU No.1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.11/1967 tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No.24/1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No.21/2001 tentang Migas, UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No.19/2003 tentang BUMN, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.30/2007 tentang Energi, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batu bara, UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, dan berbagai regulasi lainnya, seperti RUU Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial dan RUU Perkoperasian disusun dengan substansi yang kapitalistik.
Jika demikian, di manakah kita seharusnya meletakkan makna pahlawan itu di saat ruh perjuangannya semakin atau mungkin sengaja kita lupakan sebagai pribadi dan masyarakat? Cukupkah spirit kepahlawanan itu kita maknai dengan cara masing-masing tanpa upaya kolektif warga bangsa yang sadar akan kedirian dan kemandirianya yang merdeka? Pada titik ini, mungkin kita telah mengalami amnesia berjamaah. Padahal, sekali lagi, pahlawan itu ada karena mereka memilih merdeka atau mati. Selamat Hari Pahlawan!!!

*Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang

Saturday, October 29, 2011

SABDA PANDITA SUDRA

dalam gelap, cahaya berpendar
aku melihat semuanya
dalam terang, mata tertutup cahaya
aku kehilangan jejak

malaikat-malaikat, menyingkirlah
kalian hanyalah dogma
bagi para domba

setan-setan, mendekatlah
kalian adalah amarah pembangkit asa
mercusuar bagi para naga

maka menggeliatlah, wahai manusia
karena rasa sakit adalah moksa
dari sabda pandita sudra, paria dan candala

Kelana, Lombok, 25 Oktober. 11.25 WITA

Friday, October 28, 2011

Sebuah Manifesto: "Menanti Pemimpin Muda"

Mengapa pemimpin muda?! Pertanyaan ini tidak diposisikan dalam sebuah pertanyaan, akan tetapi ia merupakan sebuah manifesto, sebuah jawaban, sebuah keharusan, tentang masa depan bangsa, Indonesia! Kita, generasi muda, sudah saatnya untuk beranjak dari kungkungan konservatisme sebuah bangsa yang dipimpin oleh rezim “tua” yang tidak lagi punya cukup akal untuk merangkul beratus juta ummat yang notabene telah “melampui” definisi masa lalu yang membunuh masa depan; kaum tua dan keangkuhan patriarkalnya ! apa hal?

Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama, semangat kemerdekaan! Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.

Kata ‘kemerdekaan’, sebuah manifesto yang tidak akan pernah selesai bagi bangsa, bagi masyarakat, bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Untuk itu, motor penggerak kemerdekaan harus selalu berganti mesin, selalu dimodifikasi, agar tetap dinamis untuk menggerakkan speed, power and acceleration of democracy. Di antara beratus juta rakyat Indonesia pada kenyataannya, telah muncul “spare part-spare part” baru yang siap mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi sanggup melewati sirkuit-sirkuit kehidupan yang berkelok-kelok dan terjal.Inilah sebuah zaman di mana kompleksitas kehidupan sedang berjalan. Menegakkan tiang kemerdekaan tidak lagi berarti kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, yang justru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pemberangusan, penghancuran, penindasan terhadap realitas yang lain (otherness), perbedaan dan diversitas (diversity).

Kemerdekaan yang seutuhnya adalah kemerdekaan yang mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang selalu berimajinasi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda. Tentu saja, kemerdekaan semacam ini mungkin asing bagi mereka yang sudah sepuh (kalau boleh disebut demikian), tapi tidak bagi yang masih muda.

Kekuasaan? Tanya saja yang muda-muda. Kalau yang yang tua seringkali terseret dalam dua opisisi binner makna kekuasaan; hitam-putih. Yang tua hanya berpikir satu di antara dua jalan kebenaran. Sejarah membuktikan ini. Bagi mereka para sesepuh, kekuasaan berarti berkuasa untuk kepentingan satu pihak yang harus benar, yang harus dijaga, yang harus dimenangkan. Perbedaan pandangan dianggap menyesatkan, perbedaan ideology itu subeversif dan harus dilenyapkan. Tidak ada jalan tengah.

Masih ingat kah kita bagaimana kejinya Undang-Undang Subversi di era Orde Baru yang menjadi tameng kebenaran bapak-bapak kita untuk melenyapkan para aktivis, menghalalkan premanisme Petrus (penembak Misterius) untuk melabrak sipa saja yang dianggap mencoreng muka Bapak tanpa melalui proses hukum yang jelas.

Di era reformasi, setali tiga uang. Alias sama saja. White collar crime mendominasi panggung politik kita. Dengan gaya baru, tapi lebih halus, fatwa sesat terhadap terhadap keyakinan berbeda dilembagakan sedemikian rupa. Pembunuhan terhadap munir adalah bentuk “terindah” dari terror secara fisik dan mental terhadap berbagai aktifitas yang merongrong wibawa pemerintah.

Pembelokan sedemikian rupa terhadap prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 45 dengan munculnya “ayat-ayat” hukum yang mentoleransi kolonialisme melalui UU yang membebaskan pihak asing menjarah apa saja yang dimiliki bangsa ini. Lihat saja apa yang terjadi dengan kontrak-kontrak karya pejabat kita dengan para bule itu, yang alih-alih menguntungkan, justru menyeret kita semakin jauh dari kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bagaimana dengan yang muda? Kekuasaan bagi mereka bukan kekuasaan yang terjerembab dalam logika oposisi biner; mereka adalah generasi multitasking. Sebuah generasi yang memiliki seabrek ide dan kreativitas untuk ditelorkan. Sebuah generasi yang bisa melakukan berbagai aktivitas beragam di saat yang sama. Yang muda lebih memahami kenekaragaman karena mereka sudah terbisa menghadapinya, dan yang pasti mereka lahir di saat multiplisitas itu memang sedang berjalan. Idealisme mereka adalah idealisme muda yang penuh spirit, penuh kreatifitas, penuh kegairahan, selalu mengalir, tidak kaku, idealisme yang terbuka terhadap berbagai dialektika, yang terpacu dengan beraneka tantangan. Itulah dunia generasi muda. Semangat mereka adalah semangat mengejar impian menuju Indonesia Baru.

Wednesday, October 19, 2011

Menunda Makna

titik orgasme itu hampir saja membuncah
Derrida* menyela; "tunda" !!!
permainkan ia sebatas tanda
jgn biarkan makna merusak tariannya
itulah hakikat menjadi yg sementara, yg fana
dlm realita dunia kata2

tdk ada yg benar2 sempurna
sejatinya itu hanya warna dan rasa
yg selalu menyelipkan tanda tanya
pada dirinya.

Izinkan hasrat kembali saling menikmati,
dlm gairah asap yg berbaur dengan udara
seperti semula,
menjadi kosong, menjadi tiada,
dlm diri Sang Ada,
yg kembali berkarya
mencipta,
tanpa memaksa yg lain mengikutinya
itu lah sejatinya manusia,
yg punya daya tapi tidak baka


*Jean Jacques Derrida: pencetus "teori" Dekonstuksi yg jika disederhanakan, secara umum, mengandaikan teks sebagai suatu yang "otonom" dari "maknal". pembacaan dekonstruktif berarti sebuah pembacaan atas teks "yg tidak biasa" yg tdk mengikat teks pada harus adanya makna yg hanya berujung pada hasrat mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan kadang berupaya menemukan makna yg lbh benar, semantara teks itu sendri barangkali tdk pernah memuatnya. Lbh khusus, upaya "menunda" teks berarti meletakkan teks sebagai "tanda" utk trus menerus dilakukan tafsir atasnya tanpa upaya "menutupnya" dgn makna, karna itu sama saja "membunuh" teks pada satu "makna tunggal". karna pada dasarnya, "kegagalan" seringkali muncul ketika penulis/penafsir mencoba menutup teks itu. padahal penafsiran teks, sejatinya, adalah penulisan teks yg tidak berhenti, trus bergerak, yang selalu menunda makna.


Kelana, Lombok, 18 Oktober 2011. 13.05 WITA

Panoptisme Tubuh Mahasiswa, Media dan Matinya Agent of Change*

Oleh: Astar Hadi**

Jejak Generasi “Pemetik Bunga”

Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa tercatat sebagai creative minority -meminjam istilah Arnold Toynbee— yang selalu menjadi motor penggerak perubahan sejarah Indonesia. Jejak itu kembali terulang dalam peristiwa tumbangnya Rezim Soeharto yang notabene begitu digdaya selama 32 tahun lebih. Sebuah prestasi yang, tidak saja, mengukuhkan predikat mahasiswa sebagai “sang perubah sejarah”, ia sekaligus telah menjadi tubuh sosial bangsa yang melahirkan anatomi-anatomi kritisisme baru dalam gelanggang kebudayaan.

Posisi tawar mahasiswa dalam belantara pemikiran dan gerakan merupakan buah perjuangan estafet dari beberapa generasi mahasiswa mulai angkatan 66, angkatan 80-an, angkatan 90-an, angkatan 98 dan awal reformasi, yang didukung oleh kekuatan prodemokrasi lainnya.

Geliat semangat perjuangan mahasiswa pada periode-periode tersebut merupakan proses “puncak” anatomi tubuh gerakan mahasiswa yang menjadi peta “takdir” genealogis mereka dalam “menghasrati” wilayah geo-politik perjuangan melawan kukuatan-kekuatan tiranik rezim status quo.

Pada periode tersebut, mahasiswa mengalami masa-masa “kejayaan” sebagai agent of control dan agent of change yang mendapat “restu” dan kepercayaan publik begitu luas. Mahasiswa secara khusus, bersama kaum intelektual, LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan masyarakat, ibarat simbiosis mutulisme yang saling bahu-membahu menggangu otoritas kekuasaan –TNI dan pemerintah— melalui mimbar-mimbar publik dan forum-forum sipil lainnya.

Indikasi menguatnya posisi tawar mahasiswa terhadap pemerintah ketika itu hadir dalam kondisi yang serba terbatas. Sandera pemerintah terhadap mahasiswa yang, salah satunya, melalui UU subversi dan NKK BKK (normalisasi kehidupan kampus), alih-alih menenggelamkan aktivisme, justru menghasilkan daya kreatif dan daya dobrak psikologis massa yang menyembul dalam gerakan-gerakan terorganisasi dan terintegrasi dalam satu simpul ideologis yang sama; menentang tirani minoritas relasi kuasa.

Represi, tekanan dan teror secara fisik dan psikologis yang dilakukan pemerintah atas setiap aktivitas yang mencurigakan, semakin memperkuat gaung simpati masyarakat atas perlawanan yang dilakukan mahasiswa. Pada titik ini, mahasiswa memperoleh –jika bukan mengambil kesempatan— momentum idealisme gerakan yang “murni” membela kepentingan masyarakat di satu sisi, dan semangat counter-culture atas elitisme birokrasi di sisi lain.

Negara –rezim Orde Baru Soeharto— dengan dwifungsi ABRI-nya di masa itu berhasil menelikung pelbagai gerakan sipil dan intelektual yang dianggap melawan otoritas kekuasaan. Setiap forum publik/intelektual, seperti seminar, mendirikan organisasi baru, forum mahasiswa, dan lain-lain, dintimidasi, dibatasi, dikucilkan melalui kekuatan relasi kuasa yang kuat dan menyebar di setiap tempat. Tapi anehnya, lagi-lagi, mahasiswa yang merupakan wujud tubuh muda, penuh gejolak, bersemangat dan ambisius, high curiousity, sekaligus penuh paradoks, merupakan medan magnet berbeda yang “tidak cukup tersentuh” oleh teror penculikan misterius (petrus), penjara, senjata dan gas air mata aparat. Bak jamur di musim penghujan, di mana-mana, reorganisasi dan remodifikasi gerakan mahasiswa semakin tumbuh seiring menguatnya kontrol pemerintah ketika itu.

Secara khusus, pada masa pemerintahan Soeharto, ruh pergerakan mahasiswa berlangsung secara terus-menerus dalam agenda isu yang berbeda sesuai konteks periodik gerakannya. Masing-masing angkatan sedikit atau banyak memiliki kontribusi yang signifikan dalam melengserkan “kerajaan” Orde Baru.

Di masa Angkatan 1974, gerakan mahasiswa sudah muncul dengan mengoreksi kinerja pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978, sudah menyuarakan perlunya meminta pertanggungjawaban Soeharto melalui SI MPR dan menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.[1] Sementara itu, pada dekade 90-an, gurita otoritarianisme ekonomi “kolega”, kebijakan pelarangan berpolitik massa dan memuncaknya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang begitu kentara di tubuh kekuasaan berdampak pada agenda isu “tahap lanjut”, yaitu, orientasi gerakan mahasiswa ke wacana suksesi –mendesaknya pergantian pemimpin nasional. Tentunya, gaung wacana ini juga tidak lepas dari vokalitas Amien Rais –ketika itu menjabat PP Muhammadiyah— yang didukung secara massif oleh gerakan mahasiswa sejak 1994. Amien begitu getol menyuarakan urgensi sukesi nasional melalui khotbah-khotbah politik di samping menyampaikan fakta-fakta penyelewengan pemerintah terkait dengan ekploitasi tidak adil perusahaan asing seperti Blok Cepu dan sejumlah perusahaan asing lainnya.[2]

Eskalasi puncak dari aktivisme mahasiswa terjadi pada angkatan 1998. Berbeda dengan angkatan sebelumnya –termasuk angkatan 90-an awal— yang tidak mampu mencapai garis kemenangan karena ruang gerak perlawan belum sebanding dengan dominasi kekuatan Orba, angkatan 1998 justru berhasil memetik hasil “paling” monumental di akhir abad 20 ini dengan tumbangnya kerajaan “untouchable” Soeharto. Keberhasilan angkatan ini kemudian dikenal sebagai “generasi pemetik bunga.”[3]

Jejak sejarah gerakan mahasiswa, yang (berdarah) muda, yang berapi-api, yang penuh hasrat, menjumbuh dengan idealisme, semangat, keberanian, tekad, daya kreatif, kritisisme dan curiousity intelektualisme, merupakan perpaduan khas sebuah generasi masa depan. Dalam tiap fakta sejarah, pemuda seringkali menjadi “tombak” perjuangan, lokomotif perubahan, yang menggiring dinamika kebudayaan politik.



Mahasiswa Pasca Reformasi: Post-Movement?!

Diktum terkenal Cartesian, ‘cogito ergo sum’, yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes). Oleh mahasiswa, dalam sejarah gerakannya, diktum ini dijadikan sebagai puncak kesadaran yang menempatkan subjek berpikir sebagai kualitas nilai “kehadiran” dan “identitas” diri absolut dalam memerankan sosok pribadi independen dalam menukangi berbagai problem sosial yang ada.

Bahkan, mahasiswa, dalam beberapa dekade terakhir kemerdekaan RI, memainkan peran intelektual-organasisasional yang signifikan dan vital bagi kesadaran kritis masyarakat terhadap ketimpangan-ketimpangan dan otoritarianisme politik-kekuasaan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan bangsa kita. Kondisi ini memberi semat ideologis yang tidak ayal “mengangkat” posisi mahasiwa sebagai gerbong utama perubahan.

“Kesadaran” ideologis mahasiswa sebagai diri yang berpikir merupakan sebuah gerakan intelektual yang berangkat dari etika pencerahan yang meletakkan dasar bagi berjalannya prinsip-prinsip dasar demokrasi; keterbukaan (transperency), kebebasan (liberty), pembebasan (liberation), humanisme (humanism), rasionalisasi dan modernisasi. Prinsip-prinsip ini merupakan kecenderungan utama dalam setiap gerakan intelektual di dunia yang dalam sejarahnya mampu melumpuhkan kekuatan-kekuatan rezim otoriter yang berkuasa ketika itu. Otoritarianisme Soeharto di Indonesia, tumbangnya Nazi/Hitler dan runtuhnya Tembok Berlin di Jerman, revolusi Iran atas dinasti Syah Reza Pahlevi, gelombang Prestroika dan Glasnost Goerbachev yang menumbangkan rezim komunisme di Uni Soviet –sekarang Rusia, kudeta terhadap Neoliberalisme Thaksin di Thailand dan berakhirnya kekuasaan Saddam di Irak, dan lain-lain, adalah contoh-contoh keterlibatan sekaligus keberhasilan gerakan-gerakan intelektual yang dimotori mahasiswa dan elemen pro-demokrasi lainnya dalam setiap masanya.

Keberhasilan, atau paling tidak, kekuatan gerakan mahasiswa ini menyembul dari suatu sikap politik yang, menurut hemat penulis, ekstra parlementer. Artinya, keberadaan mereka di luar sistem dengan mengambil jarak dari praktik-praktik politik secara langsung, memberi ruang yang jauh lebih luas bagi anak kampus untuk menggangu setiap aktifitas politik yang berorientasi penyelewengan kekuasaan. Advokasi “tanpa” kepentingan ini, secara psikologis, membawa efek sistemik terhadap perubahan-perubahan yang signifikan dalam sistem politik dan proses pengambilan kebijakan di tingkat elit. Tekanan-tekanan terhadap isu publik yang terus-menerus dan manjemen isu serta fakta yang begitu kuat di luar tembok istana oleh organisasi-organisasi mahasiswa mendorong suatu posisi tawar politik yang, salah satunya, berhasil menurunkan Soeharto dari kekuasaannya ketika itu.

Akan tetapi, kondisi gerakan mahasiswa pasca reformasi dinilai semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Beberapa faktor yang banyak diklaim menyebabkan terjadinya degradasi dan reduksi makna dalam gerakan mahasiswa pasca reformasi di antaranya:

Pertama, reformasi atau perubahan kekuasaan melalui pergantian struktur dan pelaku-pelakunya adalah tipe perubahan yang memandang perubahan akan selesai ketika pimpinan-pimpinan negera diganti. Reformasi akan menyandarkan perbaikan rakyat lewat suksesi presiden. Pengalaman gerakan mahasiswa dari dekade 60-an sampai 98 hanya menghasilkan pergantian kursi kepresidenan dan itu terus berulang. Kedua, kegagalan gerakan mahasiswa dalam mengidentifikasi musuh bersama sebagai faktor perekat gerakan yang menyebabkan hilangnya fokus gerakan sehingga menjadi cenderung sporadis dan parsial. Ketiga, proses depolitisasi dan sterilisasi kehidupan kampus menciptakan gap antara mahasiswa dan kehidupan rakyat kecil sehingga mayoritas mahasiswa kurang memiliki kepekaan sosial terhadap problematika rakyat kecil karena terus disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang tidak berkaitan langsung dengan isu-isu kerakyatan. Keempat, gerakan mahasiswa sering kali terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi tertentu yang berorientasi pada kekuasaan.

Anggapan-anggapan di atas cukup rasional jika menilik ke periode sebelum reformasi 1998. gerakan mahasiswa ketika itu, seperti telah diulas di atas, merupakan momentum pencapaian historis suatu gerakan yang bergerak dalam kesatuan isu/wacana perlawanan yang terorganisasi dengan cukup apik melalui bersatunya gerbong-gerbong organisasi mahasiswa dalam satu simpul kekuatan yang hampir sama dan saling bergandengan “mesra”. Muara konflik antar organisasi teratasi oleh agenda bersama yang jauh lebih besar dan krusial terkait problem sosial-kebangsaan. Kondisi ini menguatkan animo serta sikap politik mahasiswa vis a vis Negara ketimbang sentimen parokial (egosentrisme atau fanatisme) terhadap eksistensi organisasi pesaingnya.

Tapi, jika kita mau jujur, menilik pada gaung reformasi yang berkiblat pada arus deras demokratisasi, menguatnya pers bebas, ruang publik yang semakin terbuka, akses terhadap informasi yang tanpa batas, jalan raya wacana yang tidak lagi tertutupi tabir represi politik, menjamurnya organisasi-organisasi di luar pemerintah (LSM/NGO) –yang ketika Orde Baru sangat jarang kita lihat, dan kauskus dunia mahasiswa yang makin nge-tren, maka preseden stigmatik terhadap terjadinya degradasi nilai dan makna gerakan mahasiwa dewasa ini tidak cukup tepat dan atau tidak cukup logis jika menunjuk pada indicator-indikator tersebut di atas. Seharusnya, menilik pada perubahan-perubahan sosial dan politik pasca reformasi, gerakan dan atau organisasi mahasiswa saat ini menjadi semakin matang dan menemukan bentuk baru organisasi/gerakan yang “lepas” dari bayang-bayang (gerakan) masa lalu yang memang lebih “angker” dan “melulu” melawan pemerintah.

Idi Subandi Ibrahim, dalam tulisannya, dengan cukup “ganas” mengibaratkan mahasiswa periode akhir 90-an sebagai “generasi huru-hara tanpa rasa haru” yang tidak lagi gagah-berani menantang semprotan gas air mata, akan tetapi tunduk dalam harum semerbak semprotan parfum paris. Ibrahim juga dengan telak menodong mahasiswa sebagai generasi café dan generasi televisi (baca; MTV) yang meletakkan moralitasnya pada moralitas “selangkangan Madonna” yang terjebak pada “mitologi penampilan diri” yang, alih-alih, berpikir ke depan dan mampu bersikap kritis, mereka justru sibuk dengan narsisme polesan tubuh tanpa otak. Anehnya, tidak lama kemudian, gambaran bombastik Ibrahim ini, terjungkal oleh kekuatan-kekuatan anak muda “cengeng” yang melalui café-café dan semprotan wewangian berhasil menghimpun kekuatannya untuk turun ke jalan melawan semprotan gas air mata, senjata, dan penculikan aparat pada mei Berdarah 1998.[4] Hikmat budiman, di sisi lain, lantas melihat perubahan pola gerakan mahasiswa ini sebagai entitas budaya yang mengalami perubahan sedemikian rupa oleh gejolak aktifitas-aktifitas yang tidak lagi berarti dua oposisi yang bersebrangan, akan tetapi berjalan secara bersamaan dan riil. Inilah generasi multitasking, kilah Budiman.[5] Antara satu aktifitas, berdialektika dalam forum-forum/gerakan intelektual serius, dengan aktifitas lain, nongkrong bersantai ria dengan suasana secangkir kopi dan iringan merdu lagu-lagu pop, saling beriringan.

Apa yang teman-teman dan penulis lakukan melalui Komunitas Madzhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences[6] sejak dua tahun yang lalu (Desember 2008), adalah sebuah upaya memadukan antara yang serius dan “sepele”, antara diskusi dan “berkelakar”, antara hentakan lagu dan hentakan pikiran, antara seruput secangkir kopi dengan melepas dahaga ilmu pengetahuan, antara menghasrati lalu-lalang tubuh seksi setengah terbuka dan mengolah informasi yang juga semakin terbuka, “tidak menjadi” halangan untuk menghasilkan karya (tulisan) dan gerakan yang “bernas” secara intelektual.

Malah, penulis yang sempat “menikmati” trend “gaul” turun ke jalan dan forum diskusi pada masa-masa heroisme gerakan 1998 sampai awal-awal tahun 2000, merasa curiga, bahwa klaim “kemunduran” dan atau “kegagalan” gerakan mahasiswa pasca Refomasi hanya sebentuk cara pandang “keliru”, atau setidaknya, “kurang tepat”, yang coba mencari kambing hitam atas tidak tercapainya agenda reformasi ketimbang sebuah upaya untuk memahami dinamika warna gerakan yang mengalami pergeseran, berubah dan agak berbeda “sesuai” dengan konteks zaman kini. Dengan demikian, ada gejala lain yang mungkin lepas dari pengamatan kita atas perkembangan gerakan/organisasi mahasiswa yang terjadi 12 tahun terakhir pasaca reformasi ini.

Di sisi lain, modernisasi dan proses globalisasi yang ditandai dengan menyeruaknya overproduksi mesin budaya (cultural machine) teknologi komunikasi dan informasi yang supercepat dewasa ini, secara tidak langsung, membawa perubahan geliat tubuh “darah muda” yang disinyalir “menggangu” –kalau bukan merusak— aliran tubuh sosial mahasiswa sebagai agent of change menjadi “sekadar” tubuh “gaya hidup” yang berurusan dengan mitos tubuh ideal anak muda dan narsisme alter ego yang eksis dalam panggung budaya massa yang, salah satunya, dimanjakan melalui media perpanjangan system syaraf digital cyberspace (dunia maya internet). Di mana-mana, kita melihat membanjirnya shopping mall, fitness center dan bedah plastik (salon kecantikan), dan komunitas-komunitas “pencerahan” maya yang menjadi ruang eksistensi diri (pseudo existence) bernama Facebook, Twitter, Friendster dan lain-lain. Ketimbang melakukan gerakan-gerakan (advokasi) intelektual yang nyata, rigid dan well organized, sekarang ini, kita sudah terbiasa dengan “gerakan” sporadis, fragmented dan (dengan) “bergerak” bersama komunitas-komunitas maya (cyber community) yang tidak konsisten.

Dengan demikian, tidak kurang sulitnya untuk melacak kembali akar gerakan mahasiswa dewasa ini. Mahasiswa hampir –untuk tidak menyebut semuanya— bukan lagi sekelompok intelektual muda yang gigih memperjuangkan idealisme, tidak pula terintegrasi dalam satu spirit perlawanan terhadap rezim status quo. Alih-alih, yang paling mungkin kita lihat secara positif-realistik, bahwa mahasiswa pasca reformasi dan atau kader kampus di era millennium ini terpecah-pecah, paling tidak, dalam gelombang individualisasi dan profesionalime “sempit” dunia kerja (realitas instrumental) teknis yang mengikis format gerakan/organisasi menjadi sebatas “bagaimana memperoleh relasi/linkage sebanyak-banyaknya” dan “bagaimana merekayasa masa depan” untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang.

Jargon dan atau adagium bahwa mahasiswa merupakan agent of change tidak lagi menjadi sebuah ambisi dan spirit tubuh muda dalam mengelola perubahan secara terus-menerus untuk hasrat besar “mengubah dunia” kehidupan/kebudayaan yang kritis-transformatif-emansipatoris. Perubahan, pada konteks ini, berarti konstruk tubuh personal yang “terbelenggu” oleh logika psikologis pemenuhan diri biologis (basic needs) yang bersifat personal, bukan realisasi dan aktualisasi diri sosiologis (self realization/actualization) yang bertujuan “membongkar” konstruk tubuh sosial kemasyarakatan yang lebih besar.

Sementara itu, membongkar wacana gerakan mahasiswa pasca reformasi yang dianggap “mati suri”, sejauh ini, masih banyak bergelut pada wacana umum terkait sejarah, fenomena gerakan mahasiswa (abad 21), format dan strategi gerakan, serta ideology gerakan yang, menurut hemat penulis, bergerak pada alur yang sebagian besar –jika bukan semuanya— bersifat romantis-nostalgis –meski penulis sadari tidak cukup mudah melepaskan diri dari nuansa semacam itu. Bahwa, klaim terhadap “keberhasilan” gerakan mahasiswa terdahulu sebagai gerakan penuh spirit dan padu. Di mana, mereka acapkali disebut sebagai kekuatan pendobrak rezim –baik disaat menurunkan Soekarno (1966) maupun Soeharto (1998)— yang dalam kurun waktu itu, paling tidak, dikondisikan oleh dua hal; yaitu momentum yang tepat karena berbarengan dengan kondisi sosial-politik yang berubah dan yang kedua karena mahasiswa memiliki musuh bersama yang tersimbolisasikan dalam sebuah rezim pemerintahan. Masalahnya kemudian, ketika kiblat gerakan mahasiswa yang, lagi-lagi, apakah harus kembali mengambil “spirit 45-nya,” sementara mereka dibenturkan oleh kondisi social, budaya, ekonomi dan politik pasca reformasi dan atau abad millennium yang sejatinya cukup kontras dengan kondisi-kondisi sebelumnya.

Apakah gerakan mahasiswa dikatakan berhasil ketika ia “harus” selalu pada posisi oposisional terhadap pemerintah? Apakah keberhasilan mahasiswa sebagai agent of change, agent of control dan moral force diukur dengan seberapa jauh ia terlibat dalam praktik-praktik gerakan (organisasi) mahasiswa yang eksis dalam haru-biru idealisme, vokalisme demontrasi/advokasi, intelektualisme ruang publik, yang “selalu” berhadap-hadapan dengan senjata gas air mata polisi dan sewaktu-waktu siap “hilang” (diculik), gagah saat di penjara, seperti yang jamak kita lihat di era Orde Baru? Ini, yang mungkin, kita sebut eksistensi gerakan mahasiswa, dulu, kini dan ke depan. Sebuah episode romantis. Tentu saja.

Sejarah, memang, seringkali berbicara fasih tentang kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk masa depan. Dengan sejarah, setiap orang bisa meraba apa yang harus dilakukan hari ini dan ke depan. Dua filsuf besar, Alain dari Perancis dan Hannah Arendt di Amerika Serikat mengatakan, bahwa hanya dengan mewariskan dan menyebarkan masa lalu ke pada anak-anak kita, kita bisa memungkinkan mereka menemukan masa depannya sendiri. Hanya dengan menjadi konservatif secara budaya itulah kita bisa progresif secara politik.[7] Kedua pernyataan ini sangat masuk akal. Akan tetapi, masa kini adalah masa kini yang ingin menemukan sejarahnya sendiri, sebagaimana masa lalu yang juga pernah mencari sejarah kemasakiniannya sendiri. Dalam artian, tanpa melepas ikatan sejarah, penulis mencoba menilisik secara “baru” fenomena gerakan mahasiswa dewasa ini dalam simpul yang agak “berbeda”, yang (bahkan) “keluar” dari format wacana gerakan pada umumnya; gerak tubuh.



“Gerakan” Melalui Tubuh

Tidak sebagai organisasi, tidak pula sebagai gerakan, mahasiswa adalah manusia setengah baya. Mahasiswa adalah sebuah pribadi, sekelompok individu, komunitas masyarakat, yang dilengkapi anatomi fisio-biologis, organ otak (pikiran), dan juga psikologis, yang penulis sebut sebagai tubuh. Kerangka tubuh manusia yang kita sebut mahasiswa (juga manusia) ini adalah bukan sekadar sekumpulan organisasi badaniah –untuk membedakan tubuh dan badan, ia adalah sebuah kualitas menubuh manusia yang “mencipta” ruang; sebuah “cara mengada di dunia”. Di sini, konsep tubuh, mengikuti Maurice Marleau-Ponty, diartikan sebagai tubuh subjek yang mendahului ruang –seperti ketika saya melihat meja di depan saya, maka tubuh saya lah yang menjadikan (meja itu, pen) di sana bagiku sebagai sesuatu yang jauh, dekat, tinggi, atau rendah[8].

Pengalaman ruang terjadi oleh keberadaan tubuh, bukan karena keberadaan ruang yang “memang” sudah berada di sana. Tubuh lah yang membuat ruang itu menjadi ada dan bermakna. Pengertian sentral tubuh, dalam pemikiran ini, memposisikan dirinya sebagai tubuh-subjek –bukan tubuh-objek dalam ilmu fisiologi maupun ilmu kedokteran dan psikologi klinis yang menempatkan tubuh sebagai objek penderita.

Secara khusus, penulis mengambil jarak terhadap pendapat yang menyatakan bahwa tubuh itu objek pikiran (Descartes), yang “hanya” menjadi kuburan (sema) bagi jiwa dan menghalanginya meraih kesempurnaa (Plato), yang direpresi oleh agama dan tradisi filsafat karena dianggap sebagai seoonggok daging material “hina” tempat (mesin) hasrat bekerja. Dalam pengertian ini, penulis melihat tubuh sebagai bentangan “teks budaya” yang, sebagaimana Marleu-Ponty, mengurai dirinya sebagai subjek yang menghasrati, “berpikir” dan “cara mengada manusia” dalam dunia. Lebih jauh, pada posisi ini, kajian budaya (cultural studies) atas tubuh merupakan metode analisis yang penulis kembangkan untuk melihat perkembangan gerakan mahasiswa dewasa ini.

Mengapa tubuh? Mahasiswa adalah anak muda yang secara fisiografis merupakan usia antara yang berada pada periode setelah masa anak-anak dan belum dewasa. Secara psikologis, mahasiswa berada pada masa transisional yang secara umum dicirikan oleh instabilitas dan atau labilitas sikap, prilaku dan pikiran. Bahwa alasan ini tidak serta merta sebuah tendensi, sebuah klaim, atas citra diri mahasiswa yang erat dengan gejolak hasrat atas tubuh, akan tetapi lebih jauh, merupakan sebuah dekonstruksi cara memahami mahasiswa –dan manusia pada umumnya— sebagai tubuh yang merasa, menghasrati, bertindak dan berpikir.



Sekilas Studi Tubuh[9]

Ada 3 pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.

Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi: 1) Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral. 2) Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan? 3) Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh. 4) Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.

Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.

Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari dua jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.

Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.

Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh" (The Body and Society [1984]). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.

Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks dalam For a Sociology of the Body: An Analytical Review (1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi 4: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body.

Panoptisme Tubuh Mahasiswa

Era millennium adalah era di mana tubuh telah mengambil posisi terhormat sebagai lokus kesadaran akan pentingnya pemeliharaan citra tubuh ideal. Tubuh telah diproklamasikan tidak lagi sebagai kuburan bagi jiwa. Bukan sebatas organ fisik, lebih jauh, tubuh merupakan sebuah “identitas”, sebagai “sistem berpikir,” “cara mengada”, dan sebuah kompleksitas nilai dan makna yang padanya aturan dan control sosial berlaku.

Menurut Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah/mahasiswa, bahkan model hubungan seksual.

Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Bio-power dipertahankan dengan 2 metode: pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktiitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi.

Jika demikian, apa hubungan antara tubuh dan (“mundurnya”) gerakan mahasiswa dewasa ini? Sebagaimana Foucault, yang membagi tubuh dalam tiga kategori analisis: (1) Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. (2) The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. Dan (3) The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies".

Force relation, the body dan the social body atau relasi kuasa atas tubuh terjadi ketika Negara dengan lanskap kapitalisme telah memberi ruang yang sangat besar bagi proyek tubuh dengan segenap konsekuensinya. Di mana-mana, melalui iklan gadis-gadis cantik dan pria tampan, sosialisasi kesehatan, rumah sakit, salon kecantikan, agenda “moralitas” masyarakat postmodern disusun sedemikian rupa melalui representasi tubuh. Tubuh telah mengalami mekanisasi politik melalui perayaan komoditas produk kecantikan/kesehatan dan komodifikasi atas tubuh yang bertujuan menciptakan imperatif moral yang mendikte setiap sikap, prilaku, cara berpikir, dan bagaimana “bekomunikasi” yang baik.

Dalam relasi kuasa di dunia kampus, ilmu pengetahuan, tanpa kita sadari memiliki peluang yang sangat kuat mendikte gerak tubuh (gesture) mahasiswa sebagai cara berpikir “logis” yang harus tetap dijaga sebagai bentuk “kesadaran” yang artikulatif mengarahkan kita pada tata cara bergaul, berkomunikasi, bahkan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kita anggap timpang. Sebagai contoh, ilmu komunikasi, khusunya dalam studi public relation (humas) secara tidak langsung menolak citra-citra vokalitas tubuh yang “liar”, “urakan”, sebagai bentuk komunikasi interpersonal yang “efektif.” Pakaian yang rapi, rutinitas absensi mahasiswa, gerak tubuh (tangan, bibir, mata dan sebagainya) dan cara bicara yang lembut penuh intonasi dengan pilihan kata (diksi) yang tepat, merupakan system symbol sosial yang secara politik-akademik lebih bernilai ketimbang kritisisme itu sendiri. Tidak dalam arti menafikan sikap-sikap “baik” semacam itu, lebih jauh, secara tidak sadar kita telah menerima “normalisasi” pengetahuan yang berakibat pada munculnya oposisi pasangan (binary opposition); baik-buruk, lembut-keras. Bahwa sikap “ganas” dan vokalitas kritis mahasiswa kemungkinan akan dinilai sebuah sikap arogan dan banyak omong ketimbang sebagai “kesadaran” intelektual.

Dalam dunia psikiatri, kedokteran, psikologi, kriminologi, juga terjadi relasi kuasa pengetahuan atas tubuh yang didisiplinkan melalui model-model panoptisme tubuh. Di mana, panoptikon Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).

Pada konteks tubuh, pengawasan panoptik berlaku melalui mesin-mesin birokratik di kampus, di ruang publik, di depan dosen, di salon kecantikan, di mall-mall bahkan di depan negara. Represi ”kesadaran” kritis melalui tubuh terjadi manakala ruang-ruang klinis, ilmu psikologi, ”table manner” ilmu komunikasi, media massa menekan atau bahkan mendorong terjadinya impuls-impuls atas tubuh yang menghasrati dirinya sebagai ”kesadaran” cara mengada dan cara berpikir sebagai sebuah entitas, identitas dan eksistensi seseorang –dalam hal ini mahasiswa— dalam menyikapi dunia sekelilingnya.



Mitos Tubuh: Hipereality of Media and the End of Student

Dalam 12 tahun terakhir pasca reformasi, jejak gerakan mahasiswa yang seharusnya mengalami kematangan, baik dalam konteks organisasi maupun gerakan, sebagai imbas terbukanya kran demokrasi dan ruang publik yang jauh lebih luas dibanding era sebelumnya justru ditengarai semakin merosot ke dalam praktek-praktek personal mahasiswa yang terjun ke politik praktis. Euforia reformasi dan demokrasi bukannya melahirkan sesosok kekuatan moral force dan agent of change, alih-alih, semakin ”melempem”, tercerai-berai dengan kembalinya mahasiswa ke kampus masing-masing.

Padahal, jika melihat gejala semakin kentalnya praktik-praktik terbuka korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh negara pasca reformasi ini, ada harapan, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi yang diproklamasikan pada 98 yang lalu kembali ”bergairah” merebut posisinya yang sempat ”hilang.” Hiruk-pikuk ”kebangkitan” itu sempat muncul ketika kasus Bank Century (Century Gate) terungkap ke publik cukup berhasil menggalang kekuatan-kekuatan mahasiswa yang secara massif turun ke jalan. Tapi ”gairah” itu segera saja luntur setelah –menurut hemat penulis— gempita ”kemenangan” manipulatif kubu pendukung hak angket Century dalam voting terbuka yang dilakukan di DPR.

Seperti status yang pernah penulis tulis di akun Facebook ketika gempita kemenangan itu terjadi, bahwa kemanangan itu hanyalah imagologi politik atas citra pemerintahan yang, meminjam Baurillard, bersifat simulakrum politik atau sebatas pseudo-image untuk menjaga berjalannya status quo pemerintahan. Dalam pengertian ini, penulis ingin mengatakan bahwa, simulakrum politik berarti bahwa realitas kemenangan kubu pendukung hak angket bisa jadi buah dari proses agregasi kepentingan antara pihak-pihak yang pro-kontra yang tanpa asal usul realitas (kebenaran). Antara tanda dan makna (hipersemiotic) tidak mengacu pada realitas kasus Century an sich, tetapi lebih tepat merupakan politik citra untuk menjaga ”integritas” relasi kuasa DPR dan pemerintah daripada tujuan utama yang ingin diraih, yaitu; penegakan hukum (rule of law).

Tidak salah jika belakangan banyak muncul sikap apriori berbagai pihak terhadap menggejalanya simptom politik citra yang hadir dalam setiap sisi-sisi subtil relasi kuasa. Terjadi semacam ”koalisi kejahatan” yang hadir dalam ruang-ruang sosial, budaya dan politik, yang semakin sulit terendus. Secara bersamaan, kekuatan mahasiswa sebagai agent of change dikebiri oleh mesin-mesin hasrat (desiring machine) yang menyembul dalam lautan citra ”tubuh” sosial yang hadir bukan melalui praktek-praktek intimidasi, teror, dan bayang-bayang anarkhisme, atau penculikan. Tidak pula melalui undang-undang subeversi atau pun normalisasi kehidupan kampus yang menjadi ”momok” aktivisme yang pernah terjadi di era Pembangunanisme Soseharto.

Kali ini, di tengah optimisme global village-nya Marshal McLuhan dan bayangan cerah futurisme informasi Alvin Toffler, dan di saat perayaan media massa (mediamorfosa) yang telah mencapai bilik-bilik kamar mahasiswa –dan termasuk juga masyarakat awam, yang semestinya memberi harapan dan optimisme bagi munculnya kritisisme, melek (pencerahan) kebudayaan, sosial dan politik, justru tidak terjadi oleh karena informasi (media) tenggelam dalam pasar politik “jual-beli” tubuh. Hubungan relasional antara media dan masyarakat bukan hubungan antara dua “kesadaran” yang membingkai kebudayaan dalam “rezim” kritisisme, alih-alih, terjerembab dalam mitisme tubuh (the myth of the body).

Mitos tubuh ideal yang six packs (macho), tegak, tinggi, langsing, berkulit putih, adalah bahasa sosial simbolik yang “mengatasnamakan” demi kesehatan dan kebugaran tubuh menjelma menjadi semacam nilai baru interaksi manusia sebagai disiplin dan “tata krama” budaya urban –bahkan mulai merasuki daerah pinggiran/desa. Pada posisi ini, mahasiswa sekaligus telah menjadi agen citra diri tubuh yang hampir selalu hadir di setiap café, shopping center, tempat hiburan malam (night club), yang anehnya, semakin menjamur di setiap kota. Pada tempat-tempat tersebut, hasrat terhadap penampilan diri menjadi bahasa, identitas, prilaku dan sikap manusia di Indonesia saat ini.

Mike Featherstone, dalam The Body in Consumer Culture (1982), mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).[10]

Menurut Featherstone, dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.

Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Media iklan, sinetron, industri film adalah kreator utama citra tersebut. Signifikansi informasi bagi perubahan social memang telah terjadi. Laju industri media, sebagai “anak emas” teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi magnet utama masyarakat dalam meng-upload kompleksitas nilai yang disodorkannya. Nyaris –untuk mengatakan sebagian besar— tidak ada satu pun yang bisa lepas dari rengkuhan (informasi) media.

Jaminan Alvin Toffler akan kedigdayaan informasi sebagai syarat “kehidupan”, sampai saat ini, malah cenderung menghasilkan bunuh diri kehidupan. Informasi seharusnya bermakna memberi “pengetahuan”, edukasi, dan kritisisme. Kini, informasi “hanya” berarti skandal, selebritas, fashion, gaya hidup dan perayaan atas tubuh. Bagi gerakan mahasiwa, tentu saja, ini telah menjadi “virus” yang penularannya begitu lembut tapi mampu menjangkiti setiap tubuh sosial kita ke dalam labirin perjalanan kebudayaan yang hanyut oleh ekstase gaya hidup yang pada akhirnya melemahkan urgensi gerakan.

Pengawasan panoptik yang terjadi dalam gerakan mahasiswa dewasa ini jauh lebih ampuh dilakukan melalui hegemoni budaya dan globalisasi media. Politik pembiaran terhadap entitas budaya atau citra visual atas tubuh patut dicurigai sebagai bentuk hegemoni relasional media (kapitalisme) dan Negara terhadap melempemnya gerakan mahasiswa. Relasi kuasa informasi memenjarakan masyarakat dalam “logosentrisme” baru yang mendekonstruksi klaim logosentrisme Descartes yang berpusat pada “Aku yang berpikir” –cogito ergo sum— menjadi “tubuh yang berpikir,” yang pada akhirnya, tidak lebih merupakan konstruk hegemoni relasi kuasa politik dan pengetahuan yang co-existence dengan kegairahan gaya hidup yang mengkonstruksi kompleksitas kehidupan mahasiswa dan masyarakat dewasa ini yang berkiblat pada “perayaan” konsumerisme, bukan kritisisme.



Bibliografi

Budiyarso, Edi. Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa 77/78. Grasindo. Jakarta. 2000.

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Comte-Sponville, Andre. 2007. Spritualitas tanpa Tuhan. Alvabet. Tanggerang.

Hadi, Astar. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka terhadap Jagat Maya. LKiS. Yogyakarta.

Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta.

Ibrahim, Idi Subandy (ed.). 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan.

Juliastiti, Nur’aini. 1999. “Studi Tubuh.” Newsletter KUNCI, 01 Juli 1999, atau bisa diakses di http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm

Manan, Munafrizal. Gerakan Rakyat Melawan Elit. Resist Book. Yogyakarta. 2005.

McLuhan, Marshall. 1999. Understanding Media: The Extension of Man. Cambridge, Massachusets: MIT Press.

Prasetyantoko, A., Indriyono, Ign. Wahyu, dkk. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia, YHDS, Jakarta, 2001.


[1] Lihat Edi Budiyarso, Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa 77/78, Grasindo, Jakarta, 2000.

[2] Penulis masih menyimpan kaset rekaman hasil pidato Amin Rais pada tahun 1997 yangmemberi khotbah cukup panjang terkait urgensi suksesi Nasional pada khotbah Idul Adha di Lapangan Sepakbola Stadion Gajayana Malang yang dibanjiri jama’ah dan terutama sekali membludaknya antusiasme mahasiswa mengikuti shalat tersebut. Di samping itu, di koran-koran nasional periode 1997-1998, sedikit banyak melangsir isu-isu politik semacam itu yang didukung oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat baik secara tertutup maupun terbuka.

[3] Keberhasilan mereka “memetik bunga” sedikit banyak didukung oleh pematangan situasi, puncak krisis ekonomi moneter, konflik politik elit dan public distrust terhadap rezim, kesamaan sikap atas musuh bersama (common enemy) dan dukungan yang sangat luas dari seluruh elemen masyarakat. Tentang ini, lihat Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elit, Resist Book, Yogyakarta, 2005, hal. 179. Ulasan lain, baca juga, A. Prasetyantoko, Ign. Wahyu Indriyono, dkk., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia, YHDS, Jakarta, 2001, hal. 75.

[4] Baca Hikmat Budiman, 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

[5] Multitasking merupakan sistem kerja komputer yang mampu merangkum berbagai aktivitas komputasi dalam waktu yang bersamaan. Analogi Hikmat Budiman dalam melihat kecenderungan budaya dalam masyarakat yang tidak lagi harus memilih satu aktivitas dari banyak pilihan yang ada. Ibid, Budiman, 2002. Lihat juga Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005.

[6] Madzhab Djaeng adalah nama yang diberikan kepada sebuah komunitas diskusi mahasiswa lintas etnik yang pertama kali lahir di Kopi Djaeng (warung kopi), Malang. Sampai saat ini, komunitas tersebut secara rutin melakukan diskusi setiap malam Jum’at di warung/cafe tersebut. Dalam waktu dekat, sejumlah tulisan dari hasil diskusi rencananya akan dipublikasikan melalui jurnal yang kami beri nama Jurnal Madzhab Djaeng. Komunitas ini bergerak pada studi-studi budaya dan kelimuan sosial yang bermarkas di Malang, Jawa Timur.

[7] Andre Comte-Sponville, Spritualitas tanpa Tuhan, Alvabet, Tanggerang, 2007.

[8] F. Budi Hardiman. 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta, hal. 49-50.

[9] Sebagaian besar perkembangan sejarah teoritik dari studi tubuh ini penulis ambil dari artikel Nuraini Juliastuti, “Studi Tubuh,” yang dimuat di Newsletter KUNCI, 01 Juli 1999, dan atau bisa dilihat di http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm

[10] Ibid. Nur’aini Juliastuti, Studi Tubuh.


*Salah satu tulisan yg dimuat dalam buku Quo Vadis: Pragmatisme VS Idealisme (Kerjasama Forum Diskusi Madzhab Djaeng (for Cultural Studies & Social Sciences) Malang dan Litera Buku Jogjakarta, 2011)

**Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB, penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005). Sejumlah tulisannya pernah di muat di Jurnal dan di beberapa Media Massa Nasional maupun Lokal.

Tuesday, October 11, 2011

Mewaspadai Optimisme Ekonomi-Politik BIL

Oleh: Astar Hadi**

Bandara Internasional Lombok (BIL) baru saja beroperasi. Berbagai cerita tentang euphoria di media massa, jejaring social (social network), dan celoteh girang warga Pulau Seribu Masjid telah memberi tempat bagi ruang “baru” optimisme kesejahteraan yang telah begitu lama diidamkan masyarakat Lombok secara khusus, dan NTB pada umumnya.
Di awal beroperasinya BIL, kita melihat kerumunan massa yg begitu antusias menikmati “wisata” baru modernitas yang disuguhkan di daerah kering-kerontang dan “jauh” dari peradaban kota, di Tanak Awu, Lombok Tengah (Loteng). Masyarakat rela berjejalan di tengah terik panas mentari untuk sekadar menyaksikan lalu-lalang pesawat, memanfaatkan situasi untuk mengais rezeki ala “pasar kaget” dan, mungkin juga, turut menyublim dalam hysteria mimpi masyarakat urban yang datang dan pergi dari luar negeri maupun seluruh wilayah Indonesia.
Jejak pesawat-pesawat berlabel internasional itu sudah mulai membekas dan menancapkan pundi-pundi rupiah yang bakal “tersebar” di NTB. Sementara itu, kaki-kaki telanjang berlumpur tanah sawah di sekitarnya sudah cukup siapkah menggelar “karpet merah” peradaban urban yang cepat atau lambat akan hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka?
BIL memang telah mengusung optimisme itu. Sebuah semangat optimisme dalam logika pembangunanisme (growth theory) ala Rostow yang melihat makroskopik pertumbuhan ekonomi sebagai “jalan” kesejahteraan dan sebagai indikator kemajuan ekonomi yang mengandaikan satu titik poros pertumbuhan yang nantinya memberi efek domino (trickle down effect) bagi kemajuan-kemajuan di bidang lainnya. Pada konteks ini, BIL merupakan “jalan” kemajuan yang disiapkan untuk masyarakat Lombok.
Jejak tahap lanjut dari optimisme BIL tersebut berkelindan dengan program Visit Lombok-Sumbawa 2012 yang mengusung semangat turisme/pariwisata sebagai bentuk file project kebijakan “satu paket” dalam rangka membawa nama NTB bergaung tidak hanya dalam negeri, lebih-lebih, menjadi “harum” di dunia internasional. Sebuah proyek “ambisius” ekonomi-politik sebuah daerah yang notabene ingin berlari mengejar ketertinggalan IPM (indeks pembangunan manusia) dan tergolong “termiskin” secara ekonomi di banding daerah-daerah lain di Indonesia.
Tentu saja, dalam pembacaan sederhana kita, beroperasinya BIL akan memberi angin “segar” dan gairah baru bagi perekonomian local. Logika pembangunan ini mengafirmasi sebuah semangat homo economicus yang meletakkan dasar materialisme sebagai wujud “given” (niscaya) manusia yang hendak memproduksi kapital sebanyak-banyaknya melalui proses-proses produksi, distribusi dan konsumsi yang nantinya akan mengalami penyebaran secara “rasional” ke berbagai wilayah ekonomi publik.
Contoh paling sederhana dari gerak penyebaran di atas bisa dilihat dari munculnya euphoria dan antusiasme ekonomi yang ditunjukkan public dengan cara-cara yang bahkan sangat tradisional, “lucu” dan unik. “Pasar kaget”, merimbunnya PKL (pedagang kaki lima), munculnya tukang ojek dadakan, pemberi jasa (guide) wisata dan lain-lain, menunjuk pada “optimisme” paling banal dari optimisme “tangan tidak terlihat” (invisible hand) Adam Smith –peletak dasar teori Ekonomi Klasik— yang percaya bahwa bahwa pemerintah tidak perlu repot-repot mengatur masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, karena individu-individu dalam masyarakat akan memperjuangkan kepentingan ekonominya sendiri-sendiri. Perjuangan kepentingan ekonomi individu-individu itu di samping menciptakan persaingan, juga menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.
Untuk memperjelas hal tersebut, Adam Smith pernah menulis begini: “….Jika seorang membuat roti untuk dijual kepada orang lain, maka motivasinya bukan karena ia orang baik hati yang tak ingin melihat orang lain kelaparan, melainkan karena ia sendiri butuh uang untuk makan yang bisa ia dapat dengan membuat dan menjual roti itu.

Rakyat dalam Optimisme BIL

BIL adalah sejarah niscaya tentang modernisasi dan tawaran globalisasi yang hendak meletakkan dasar ekonomi-politik dalam ranah pemerintahan dan publik sekaligus. Pada konteks ini, pertimbangan hadirnya BIL, secara idealistik, merupakan bentuk “perjuangan” pemerintah untuk membangun kesejahteraan ekonomi di Lombok dan NTB secara umum. Apresiasi penting dari “kesadaran” ekonomis BIL ini layak diamini secara relatif sebagai salah satu factor yang akan memberi “ruang” lebih besar terhadap menjamurnya pasar potensial dan sector riil di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak, inilah optimisme rezim ekonomi-politik berkuasa yang telah ditawarkan kepada masyarakat local menuju tahapan kemakmuran yang lebih baik. Mengapa demikian?
Penjelasan teoritik tentang model ekonomi-politik BIL ini bisa dipahami dengan model pilihan rasional (rational choice theory) yang memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus. Bahwa hidangan “kue” internasionalisme ini menyajikan sebentuk rasionalitas pelayanan publik (public service) yang berakar pada motivasi dan kepentingan politik individu-individu di elit kekuasaan (pemerintah/pemangku kebijakan) yang sekaligus memperanggapkan dirinya sebagai “yang sama” dengan rakyat yang dipimpinnya dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan. Rakyat diposisikan sebagai makhluk ekonomi yang “diuntungkan” oleh beroperasinya BIL yang memberi efek domino langsung dan atau tidak langsung bagi hadirnya perbaikan infrastruktur jalan yang tadinya burung/kurang baik, terbukanya pasar yang lebih luas dan kompetitif, munculnya usaha-usaha baru bidang jasa dan lain-lain.
Ilustrasi pilihan rasional sangat optimis ditunjukkan Baiq Dyah R. Ganefi, seorang anggota DPD RI asal NTB, tentang keberadaan BIL tersebut. Dalam sebuah Grup di Facebook (FB), Ganefi menulis: “… Bayangkan saja, ketika bandara baru ini dapat membawa turis yang lebih banyak ke NTB itu akan lebih mudah lagi. Pengerajin kita yang lesu akan tersenyum kembali seperti sebelum Bom Bali dan Krisis Moneter dulu. Tamu-tamu asing itu akan langsung berdarmawisata ke rumah pengerajin dan akan menumpahkan dolar mereka disana… Bayangkan saja jika ongkos pengiriman itu turun. Para petani-petani kita dapat membanjiri supermarket-supermarket besar di Denpasar, Surabaya dan Jakarta dengan Kangkung Lombok yang manis dan renyah itu. Juga dengan wortel, kubis, kelapa, manggis, rumput laut, rambutan atau cabai merah ekstra pedas yang kini harganya sedang jatuh itu… Inilah yang saat kita belajar Ekonomi Publik dulu disebut sebagai eksternalitas positif. Yakni dampak langsung dari keberadaan satu aktifitas ekonomi terhadap lingkungan sekitar.”
Apa yang dikatakan Ganefi di atas, jauh-jauh hari, pernah ditulis sangat baik oleh James Buchanan, sang pencetus Rational Choice Theory yang membawanya meraih Nobel Ekonomi. Dua abad silam, Bapak Ekonomi Adam Smith pun mengikrarkan “laissez faire” (perdagangan bebas) sebagai tonggak “kejayaan” ekonomi modern.
Logika manis kapitalisme selalu memberi harapan. Gerak laju “tangan tak terlihat” Adam Smith dan pilihan rasional Buchanan telah banyak dipraktekkan dalam setiap kebijakan ekonomi sebuah negeri/daerah. Tapi ada satu hal yang sering terlupakan bahwa realitas “mode of production” (produksi, konsumsi dan distribusi) kapitalisme seringkali menghasilkan alienasi (keterasingan) ketimbang memberi jalan keluar bagi pemerataan ekonomi.
Sumberdaya ekonomi yang terbatas dengan tingkat kebutuhan ekonomi tidak terbatas secara otomatis melahirkan persaingan ketat antara para pelaku ekonomi. Pada titik ini, oligarki elit kuasa (pemerintah/DPR) yang berkelindan dengan elit pengusaha (korporasi) memiliki otoritas ekonomi paling besar atas hasil-hasil usaha ekonomi public. Lebih-lebih, jika kualitas SDM pendidikan masyarakat di Lombok saat ini masih tergolong “rendah,” maka optimisme “eksternalitas positif” yang disebut Ganefi itu, mungkin, hanya cantik di buku-buku Ekonomi tapi bersifat manipulatif pada wilayah riil persaingan usaha yang jelas-jelas sangat tidak seimbang.
Pada titik tertentu, harapan itu tetap ada. Masyarakat bawah yang tergolong mayoritas besar di NTB, tentu saja, mendapat imbas positif dari BIL tersebut. Tapi akan sangat sulit untuk mangatakan mereka bakal memperoleh bagian yang cukup merata dari berhamburannya Dollar ke Lombok karena ia sudah terlanjur masuk ke dalam kantong-kantong minoritas penguasa kapital. Tentu saja. Mengapa?

BIL = Euforia-Diaspora-Fantasmogoria?!
Kebijakan pembangunan BIL memang telah bergaung sejak Orde Baru. Potensi pariwisata dan turisme di Lombok yang sangat menjanjikan menjadi salah satu daya tarik utama pembangunan ini. Setelah dua decade, dari era 90-an sampai sekarang, pembangunan bandara ini, anehnya, mengalami banyak protes sementara kalangan oleh karena tidak adanya persiapan dan kesiapan matang mencipta skill lokal layak pakai sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam bingkai demokratisasi dan pelaksanaan good governance di era otonomi daerah (otoda).
Wajar jika kemudian hal ini memantik kecurigaan bahwa proses pembangunan yang terjadi berorientasi ekonomi murni (economic oriented) yang mengabaikan factor-faktor SDM local untuk terlibat dalam “gawe besar” pembangunan. Artinya, jejak-jejak sentralisme Jakarta dan korporasi masih berperan sangat besar menggawangi tahapan proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan BIL yang memungkinkan “kontrak politik” bagi-bagi “kue” tidak begitu memperhatikan kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, khususnya Tanak Awu dan sekitarnya. Dan, jika preseden ini terbukti benar, “mau dibawa kemana” dollar itu dan untuk siapa saja?
Andai saja para pemangku kebijakan (stakeholders) dalam rumusan good governance benar-benar berjalan, menurut hemat penulis, sejatinya tidak akan mengabaikan ranah pemetaan sosio-pskologis-politik local dan pelibatan masyarakat sebagai domain kerja suatu kebijakan. Akan tetapi, ketika analisis ini dibawa pada santernya opini-opini dan atau fakta-fakta miring tentang “tidak adanya” atau rendahnya skill local mumpuni yang siap berkerja secara professional, bisa ditengarai ada missing link yang melepas rantai kearifan local dengan “hanya” mementingkan pembangunan fisik semata.
Egosentrisme prilaku elit politik seperti di atas, dengan demikian, semakin menunjukkan apa yang pernah ditulis Karl Marx sebagai teori nilai-lebih (surplus value) kapitalisme yang mengutamakan keuntungan (produktivitas) ekonomi di satu sisi, sementara di sisi lain menghilangkan (alienasi) kerja-kerja non-ekonomis, seperti manusia.
Kesimpulan sementara yang bisa ditarik dari benang merah ekonomi politik BIL ini adalah sebuah gugatan epistemologis atas labirin pembangunanisme yang di satu sisi memberi harapan perubahan dan optimisme kesejahteraan ekonomi dengan segepok euforia. Di sisi lain, jika gurita kapitalisme pemilik modal dengan penjaga “moral hazard” politik kekuasaan saling bersanding kokoh, maka alamat “palsu” kesejahteraan ekonomi akan selalu menjadi sebatas euforia yang menaruh masyarakat di bawah kaki pencakar langit peradaban.
Pada akhirnya, manakala sebuah pembangunan fisik tidak benar-benar disertai akar (kebijakan) budaya SDM lokal, maka euforia PKL, “pasar kaget”, tukang ojek dadakan, celoteh girang masyarakat penonton (society of spectacle) pengantin pembangunan dan lain sebagainya, harus segera bersiap-siap terbang bersama pesawat di BIL untuk ber-diaspora (menyebar) –menjadi TKI/TKW misalnya— meninggalkan daerahnya karena merasa “asing” dan harus “kehilangan” tempat oleh desakan-desakan budaya baru urban dan pengambil-alihan hak ekonomi secara diam-diam (silent take over) oleh skill mumpuni pelaku ekonomi dari “luar” yang jamak terjadi setiap kali “peradaban” kota dimulai. Dan titik kulminasi dari logika ekonomi-politik semacam ini seperti menanam benih harapan di bumi penuh mimpi dan khayalan semu (fantasmogoria) yang seolah-olah sudah berada di depan mata, tapi ternyata ilusi belaka.
Sekali lagi, tengara modernitas dan globalisasi telah banyak menciptakan sejarah peradaban yang besar. Bangunan-bangunan megah pencakar langit telah menjadi saksi bisu betapa kekuatan ekonomi Cina semakin digdaya dalam percaturan global. Lombok secara khusus dan NTB secara umum “baru” saja memulainya. BIL adalah pertaruhan dan jaminan awal berdirinya hutan beton lainnya yang sangat mungkin mengikis “eksternalitas positif” pertanian Gumi Paer berganti “eksternalitas negatif” yang terlalu panas bagi orang Sasak “lebung” (rapuh/ringkih) untuk terlibat dalam persaingan merebut pasar “tangan tak terlihat” itu. Optimisme itu memang masih ada. Di sini dan kini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?! Selamat Datang BIL… !!! Wallohu a’lam bi alshawab.

**Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB dan Peneliti sosial-politik di INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik dan Kebijakan) Malang.

Tuesday, September 20, 2011

POLITIK IDENTITAS DAN TAFSIR SUBALTERN ATAS SEJARAH SASAK: WHY NOT??? (Catatan Singkat atas Tulisan/Resensi Paox Iben Mudhaffar berjudul "van der Kraan, Dunia Post Kolonial Dan Topi Para Pesulap")



Oleh: Astar Hadi

Jika membawa kritik Hasan Hannafi atas orientalisme, "serangan" Edward Said terhadap cara2 Barat membaca/menjajah Timur, sampai Mansour Fakih "menolak" logika Dunia Ketiga buatan Barat, ada suatu hal yg harus dipetakan ke dalam ruang geopolitik sebuah bangsa --dlm hal ini Sasak, tentu saja. bicara oksidentalisme ke dalam wilayah yg lebih lokal Sasak, itu harus dipahami dlm pembacaan yg "berbeda". bahwa dalam labirin "can subaltern speaks?" harus ada problematisasi atasnya. artinya, subaltern dlm pemaknaan hirarkis kasta2 yg mgkin berada dlm hirarki Sudra dan ato bhkan Paria/Candala, tetap harus dilakukan "uji" kritis utk memaknai posisi sejarahnya. dsini, subaltern, dlm "kamus" Gayatry Sphivak mngandung arti sebuah sinyalemen penting bagi intektual organik yg harus mmbuat mereka jadi "bicara".
sy tdk ingin berdebat soal intelektual sok humanis, akan tetapi sy ingin mengatakan bahwa kaum intelektual (baik dr Tuan Guru, ningrat, profesional, petani, dll) sudah seharusnya membongkar kredo fatalistik subaltern menjadi suatu yg "hadir", dirasakan, dialami dan dihayati sbg sebuah strategi politik-budaya yg bertujuan mengafirmasi perjuangan kaum tertindas kedepan. Dengan demikian, subaltern bukan sesuatu yg harus disesali, akan tetapi sesuatu yg memang harus diangkat ke permukaan vi a vis homogenisasi/hegemoni teknokrasi, oligarki dan borjuasi ala baru yg terjadi saat ini dan disini (Sasak, red). jadi, tafsir atas POLITIK IDENTITAS memang tdk harus dimaknai sbg oposisi biner; yg mana bangsawan yg mana bukan, yg mana Bali yg mana Lombok, yg mana NU-NW-Muhammadiyah, dsb.
Elaborasi tafsir POLITIK IDENTITAS atas tipologi subaltern harus dipahami sbg langkah ideologis yg "mempertemukan" ide2 politis menyeluruh "dari bawah" untuk dibuat "bicara", utk dibuat "menjadi", utk dibuat "ada" dlm hubungannya dgn relasi kuasa melalui agensi-agensi intelektual organik!!!. apa "suara dari bawah" itu; suara para Subaltern? suara2 mereka ttg "PRODUKSI, DISTRIBUSI dan KONSUMSI" material yg merata, baik itu terkait social capital ataupun financial capital... pada posisi ini, POLITIK IDENTITAS SUBALTERN itu bersifat WAJIB !!!
van der Kraan mgkin benar ttg sejarah itu. Benar pula ketika kita mengatakan POLITIK IDENTITAS cenderung mengarah pada politik kepentingan. tetapi satu hal yg harus ditegaskan disini, bahwa POLITIK IDENTITAS berarti upaya menegaskan/mendefinisikan "diri" yg disini, daya "mendisinikan" yg disini (Sasak/Lombok), semangat "mensinergikan" kearifan2 lokal kita yg disini melalui "suara2" para SUBALTERN, siapa pun itu !!!
Baik Hassan Hanafi, Spivak, Said, Mansour Fakih, Gramsci, ingin dan tau para Subaltern itu bisa "bicara". dan satu koreksi penting (secara khusus) utk seluruh pembaca/penafsir SUBALTERN STUDIES dlm essai panjang Spivak berjudul "CAN SUBALTERN SPEAK, bahwa ada "kesalahan" fundamental yg sering terjadi dgn mengatakan bahwa SUBALTERN itu tdk bisa bicara, lebih-lebih dianggap tdk ada, apalagi hanya sekadar utk dibantu bicara oleh para intelektual. sama sekali tidak !!! "Tidak dapat berbicara adalah metaphor karena ia mencoba berbicara sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada 'cerita' subaltern", kilah Spivak dlm sebuah wawancara dlm kunjungannya ke Indonesia pada suatu waktu...
nah "cerita" SUBALTERN inilah yg menjadi tugas Intelektual organik untuk megangkatnya menjadi startegi POLITIK IDENTITAS masyarakat Sasak. dan mgkin dekonstruksi yg di maksud Paox Iben di atas adalah "membongkar" van der Kraan melalui tafsir SUBALTERN atas sejarah Sasak sesungguhnya?! Wallohu a'lam
wasssalam...

Kelana, Lombok Tengah
20 September 2011

Monday, August 29, 2011

Seolah-olah Mendamba-Nya

ku merayu,
berujar tanpa rasa

ku coba menyentuh,
titik-titik sensitif itu
tapi hasrat masih saja membeku

asa tidak terbilang
dalam puja-puji nama-nama Maha
sementara jiwa masih saja melanglang
mencerap pendar indahnya fana

apa mungkin ada cerita cinta
ketika rangsangan hanya mencari nikmat diri belaka
tanpa degup jiwa menghamba sepenuhnya?

nikmat bercinta
terasa melepas dahaga sementara
untuk Aku yang mengiba pinta dan pinta
sujud-simpuh pun menerbit pura-pura
dalam do'a-do'a malam
menggapai purna Seribu Bulan

Jakarta, 27 Ramadhan 1433 H / 16 Agustus 2012
02.31 WITA

Friday, August 19, 2011

Menu Dekonstruksi ala Nazarudin: Lupa yang Membuka Jalan Revolusi


Oleh: Astar Hadi

Bukan “Cinta Fitri”, tidak pula “Putri yang Ditukar.” Ini sebuah sinetron bangsa berdurasi jangka panjang yang akan mengaduk-aduk opini kita tentang sebuah cerita yang tidak melulu happy ending dan belum tentu bad ending.
Nazarudin. Judul besar sebuah sandiwara baru yang mengetengahkan dagelan politik dan hukum paling kentara di Indonesia. Nama baru, lakon baru, tapi cerita lama yang didaur ulang dalam scenario cerita yang sejatinya tidak akan jauh berbeda seperti kasus Gayus, Century, BLBI, dan banyak yang lain.
Mengingat kembali kasus-kasus sebelumnya, seperti Gayus dan Century, maka kasus Nazarudin mengangkat kesadaran kita atas luka-luka sebuah negeri yang tidak kunjung sembuh. Alih-alih, irisan demi irisan rasa sakit itu makin membuncah menggenangi mata beratus juta penduduk yang pada akhirnya merasakan lelah dan kantuk luar biasa sehingga tidak sanggup lagi untuk menahan diri dalam tidur panjang yang bertaburan mimpi-mimpi buruk korupsi, selamanya. Tragis !!!
Dari kicau burung Nazar yang sempat memberi harapan terungkapnya megaskandal korupsi, sampai akhirnya scenario yang “sudah terbaca” dari sang sutradara tangguh sebuah negeri kembali mengajak kita untuk tidur panjang berjamaah dengan melupakan apa yang sudah terjadi.

Perjuangan Melawan Lupa
Luar negeri, sepertinya, telah menjadi tempat paling indah bagi pembentukan kesadaran kita. Singapura, Thailand, Vietnam sampai Kolumbia, merupakan negeri persinggahan bagi otak kita untuk berjuang melawan lupa itu. Ingatan-ingatan sejarah kelam tentang para penjahat berdasi di negeri “percikan air surga” bernama Indonesia begitu nyaring terdengar dari Negeri-negeri antah-berantah tersebut.
Mantan Bendahara Demokrat itu kini telah kembali dalam pelukan manis “negeri surga” yang paling bersahabat bagi mereka-mereka yang bermandikan uang rakyat. Nazarudin pun lupa akan nama-nama itu. Gayus pun demikian. Mereka semua amnesia demi sebuah kenyamanan, demi sebuah ketenangan, demi sebuah kebaikan bersama dan demi sejarah bangsa masa depan yang menjadi milik minoritas elit-elit berpakaian kemeja rapi, berambut klimis dan murah senyum itu. Sementara cukupkah bagi rakyat “menikmati” tata-krama luhur bangsa dalam citra-citra sensual etika dan moral yang selalu menjadi kebanggan kultur ketimuran?!
Tentu tidak !!! Kita masih memiliki sejarah peradaban sebuah negeri yang harum bersama nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, yang tegak berdiri atas nama Negeri Besar dengan jiwa besar yang tegas dalam kata-kata, yang sederhana dalam laku dan selalu sadar dalam berbuat. Tapi, kita pun telah/hampir melupakannya. Karena, mungkin, kita dilatih untuk itu. Dan, dalam drama Nazarudin, pelupaan itu terjadi.

Lupa yang Mengingatkan

Surat “cinta” terbuka Nazarudin kepada pemimpin negeri ini adalah surat “cinta” paling mengharu-biru seorang anak nakal kepada bapaknya yang berisi niatan “baik” yang tidak tega mengumbar aib keluarganya sehingga ia merasa layak dihukum sendiri tanpa harus melibatkan anggota keluarga yang lain. Sebuah iktikad baik seorang anak yang tidak ingin menjadi anak durhaka di hadapan bapaknya, mungkin. Meski pada akhirnya, ia dengan “terpaksa” melupakan aib-aib keluarga itu.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Nazaruddin sudah dianggap anak durhaka. Dia sudah diusir dan bukan bagian dari anggota keluarga besar lagi. Rengekannya dalam surat yang secara tegas meminta Presiden SBY melindungi anak dan istrinya meski dirinya harus dihukum adalah rengekan seolah-olah (as-if), tangisan palsu, yang justru berarti satu hal; strategi dekonstruksi melawan lupa !!! apa itu?
Public sudah mengetahui. “saya juga berjanji tidak akan menceritakan apapun yang bisa merusak citra Partai Demokrat,” begitu salah satu isi surat itu. Public, tentu saja, bertanya-tanya apa makna dibalik isi surat tersebut. Artinya, keengganan Nazarudin bercerita semakin mengukuhkan opini kita tentang kebenaran sesuatu yang perlu dibongkar. Lupa di sini berarti mengingatkan dan “memaksa” pihak berwenang untuk melakukan sesuatu. Logika surat tersebut menjungkirbalikkan klaim sementara kalangan yang melihat ini sebagai “matinya” Nazarudin.
Jika Nazarudin benar-benar ingin menutup kasus ini dengan melakukan aksi bungkam, kenapa dia melayangkan surat terbuka kepada presiden dengan bahasa yang nyata-nyata mengandung arti sebaliknya dari sekadar melindungi keluarganya dari intimidasi dan hukuman?!
Sebuah menu dekonstruksi khas ala Nazarudin yang, pada kenyataannya, mengajak ingatan public untuk terus memantau secara terus-menerus perkembangan opini-opini dan atau fakta-fakta berkenjutan dari “kicau-kicau” barunya setelah berada di Indonesia.
Sejauhmana keseriusan pihak berwenang termasuk KPK dalam menuntaskan strategi lupa dan bungkam Nazarudin menjadi sesuatu yang sangat krusial untuk dikritisi ke depan. Karena KPK dan pemerintah bisa jadi akan benar-benar ditelanjangi oleh sinetron yang belum diketahui ending-nya ini.
Artinya, meski ada sutradara dibalik strategi lupa ini, Nazarudin sepertinya sedikit berbeda dengan Gayus. Karena ia ibarat OVJ (opera van java) yang bisa saja menjalankan scenario ceritanya sendiri keluar dari konsep sang Dalang. Jika demikian yang terjadi, maka pembongkaran atas lupa itu akan membuka jalan Revolusi Indonesia jilid selanjutnya. Wallohu a’lam

Tuesday, August 9, 2011

Ramadhan dan Kesalehan Entertainment

Oleh: Astar Hadi*

Dalam satu tahun terakhir, Ust. Jefri Al-Buchori adalah sosok da’i muda yang berkibar lewat tayangan-tayangan bernuansa “Islami” di hampir seluruh pertelevisian nasional. Buchori –disamping ustadz-ustadz muda lain tentunya— adalah contoh unik seorang ustadz yang saat ini semakin melejit lewat acara special Ramadlan di televisi. Ya, media telah melambungkan namanya tidak sekadar menjadi seorang da’i, ia sekaligus seorang selebriti “moral” yang pada gilirannya termasuk dalam kategori sekelompok minoritas orang yang “wajib” hadir menghiasi tayangan infotainment berbasis gosif, apapun namanya.
Terlepas dari persoalan tingginya rating acara-cara berbasis rohani, contoh di atas untuk menunjukkan bahwa media yang selama ini seringkali dianggap sebagai medium pemeluk budaya hura-hura dan konsumerisme tanpa rasa haru (mencangkok istilah Idy Subandi Ibrahim), semakin bersikap “permisif” dengan persoalan spritualitas. Sejauh mana efektifitas acara rohani berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat, tentu saja membutuhkan sebuah penelitian kritis tentangnya.
Yang menarik, seperti diungkapkan Marshall Mc.Luhan, seorang pakar komunikasi, medium is the message; bahwa media adalah pesan itu sendiri. Dengan kata lain, media berfungsi sebagai sebuah pesan berantai yang menghantarkan kepada masyarakat penonton sebuah nilai yang bersifat massif. Besarnya pengaruh media mampu menjungkirbalikkan imperatif-imperatif budaya yang sudah mapan.
Masyarakat sebagai objek pasif tontonan akan memilih berbagai pilihan karakter yang telah disuguhkan media melalui tayangannya. Dari sebatas menjadi seorang yang siap membela moral sampai penentang kebenaran merupakan entitas yang tak terhindarkan manakala media telah menjadi “eksistensi” masyarakat di era globalisme media sekarang ini.
Dalih bahwa berbagai pilihan yang disodorkan media adalah pilihan demokratis, yang artinya setiap orang bebas memilih dan memilah apa saja yang disukainya justeru menjadikan kita sesosok the silent majorities (mayoritas yang diam). Kesadaran kita sebagai mayoritas telah diambil-alih oleh keajaiban pemancar elektronik tersebut. Kita ibarat orang “dungu" yang tinggal menunggu hadirnya sebuah kesadaran (artificial) ciptaan media yang akan menjadi cerminan citra setiap langkah kita.
Secara sadar kita juga mengetahui, fenomena konsumerisme dan menjamurnya berbagai hypermarket bersimbiosis secara mutualis dengan semakin menguatnya globalisme media yang hampir tidak –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— menemukan tandingan budayanya. Media pada kenyataan merupakan desa global sebagai tempat berinteraksi dan bergumulnya kompleksitas gaya hidup dan hedonisme.
Bercermin pada acara dakwah yang banyak mengangkat persoalan etika dalam bingkai relegiusitas melalui televisi, kita dibawa pada sebuah pertanyaan apakah lantas pesan-pesan massif tersebut merupakan sebuah dialektika produk kesalehan yang dikomodifikasi sedemikian rupa sebagai counterculture terhadap pesona konsumerisme yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat perkotaan/modern?
Karenanya, menilik tesis McLuhan di atas tentang kemampuan media yang terbukti ampuh menjadi lokomotif “kesadaran” untuk bertindak, memungkinkan tayangan relegius tersebut memiliki akses yang kuat dalam menyampaikan kesalehan individual sekaligus sosial.
Untuk menariknya lebih jauh, apakah tayangan spesial Ramadlan atau yang serupa dengannya, yang melibatkan berbagai unsur termasuk para Ustadz dan seleberitis, bisa menggugah kesadaran masyarakat kepada amal shaleh.
Terlepas dari semua itu, justeru banyak bermuculan suara-suara kritis yang kemudian menilai bahwa kode kesalehan yang diciptakan media dianggap “hanya” sebatas kesalehan entertainment yang manipulatif. Kesalehan yang ditawarkan melalui media seringkali disinyalir sebuah ironisme yang tidak ditujukan pada kualitas komunikatif dari pesan-pesan (relegius) yang disampaikannya. Alih-alih, ia hanya sebatas hasrat pemuasan kapital produsen media berbasis rating.
Dalam pandangan semiotika Postrukturalisme dijelaskan, tanda-tanda, dalam hal ini tayangan bernuansa “Islami”, diproduksi bukan dengan tujuan untuk menyampaian pesan-pesan, dan konvensi-konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata.
Sebagai ilustrasi, di media pertelevisian nasional sekarang ini, kita melihat dengan mata telanjang sebuah “euphoria” ramadhan yang menghadirkan program acara sahur-berbuka dengan tema utama yang sebagian besar berbasis lawakan dan program acara konser musik live yang di keduanya menyertakan taushiyah-taushiyah dari para ustadz di penghujung acara. Pada titik ini, apakah kemudian bumbu ceramah yang notabene acara “selipan” mampu menawarkan sebuah kualitas nilai-nilai moral-religius bagi para penontonnya, atau sebaliknya, di saat yang sama para penonton keburu mematikan atau mengganti channel TV-nya dengan acara lain yang keluar dari konteks agama?
Dengan mata telanjang kita melihat dua paradoks, antara kelakar duniawiah dan keseriusan ajaran agama saling berkelindan satu sama lain. Di satu sisi, ini adalah sebuah realitas budaya yang tidak bisa ditolak, tetapi ia juga merupakan siklus ironis yang menawarkan kegairahan komunikasi media dengan segenap sensualitas budaya ngerumpi di satu sisi dan “pencerahan” agama di sisi lain. Madonna pun berdoa, “saya relegius”, “saya spiritual”, …saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katholik yang bersikeras memisahkan dan itu nonsense,” (Armahedi Mehzar, 1983). Lantas, apakah yang sejatinya menjadi fokus dari tontonan itu? Apakah sisi kegairahan sensual atau pencerahan dalil agama?

Haruskah kita Berdamai dengan Kesalehan Entertainment?

Sebuah kritik, apapun bentuknya, acapkali cukup fasih meneriakkan ironi ketimpangan sosial dari sebuah fenomena sosial yang mapan. Tapi tidak kalah seriusnya, kritik kadang reduktif dan sulit melepaskan diri dari kecenderungan bombasme dan –mungkin saja— arogan.
Demikian halnya dengan fenomena (tayangan) relegiusitas di media yang makin marak belakangan ini. Sekurang-kurangnya, perlu disadari bahwa proses membangun keshalehan individual, dan lebih-lebih, secara sosial, perlu dibongkar dengan bahasa-bahasa media.
Karena pada kenyataannya, proses pembelajaran melalui acara-acara keagamaan di tempat-tempat suci semacam Majlis Ta’lim, Masjid/Gereja, ternyata tidak cukup mumpuni memberikan daya dobrak psikologis (psychological striking force) di saat kekuatan budaya massa dan melubernya pesona gaya hidup glamour yang justeru disuguhkan dengan sangat efektif oleh media.
Artinya, persoalan maraknya keshalehan entertainment adalah sebuah dialektika dunia hiburan yang secara terus menerus bermetamorfosis. Di satu sisi, tayangan keshalehan entertainment tidak lebih dari sekadar memanfaatkan logika pasar yang tidak serta-merta berkepentingan terhadap persoalan etika relegiusitas. Di lain sisi, sejatinya, kita harus membuka diri bahwa tayangan tersebut harus dilihat sebagai realitas kebudayaan Abad 21 yang ingin menemukan pengungkapannya dengan citra “gaul” budaya televisi yang notabene lebih digemari masyarakat ketimbang pergi ke guru ngaji lengkap dengan sarung dan kopiah.
Upaya mengawinkan secara harnonis antara faktor ekonomi, teknologi dan agama, tidak melulu berbicara soal (keburukan) kapitalisme, tidak juga mengatasnamakan (kebaikan) idealisme, tetapi manifestasi riil masyarakat tentang “cara lain merengkuh agama” melalui media –untuk yang terakhir ini memang lebih banyak diminati.
Akhirnya, Pesan keshalehan, seperti apa pun pengungkapannya, tetap memilki karakter “pencerahan” bagi manusia. Dan, karena “kiblat” (budaya) massa secara massif telah beralih pada budaya TV, tentu saja perkawinan antar agama dan media adalah alternatif yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Entah, apakah orang harus memberinya nama “kapitalisme relegius”, seperti dikatakan Muammar Khadafi, presiden Libya, yang sempat begitu mesra bersama Amerika Serikat.
Apakah keshalehan entertainment –yang disinyalir bersifat semu belaka— harus dipertentangkan? Sementara itu, masyarakat kita yang sudah terbius oleh budaya tontonan dan Facebook dewasa ini justeru tidak punya cukup waktu untuk menjemput ustadznya. Wallahu a’lam!

*Astar Hadi adalah Pemerhati Budaya dan Media. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005) dan Salah Satu penulis dalam Quovadis: Pragmatisme VS Idealisme (Litera Buku, Yogyakarta, 2011). Kini tinggal di Kelana Lombok Tengah.

Wednesday, August 3, 2011

Ramadhan, Konsumerisme dan Hiperealitas Religius

Oleh: Astar Hadi*

Bulan Ramadhan yang diyakini umat muslim sebagai bulan pelipatgandaan pahala amal ibadah baru saja tiba. Sebuah momentum menggali lebih dalam sakralitas keberimanan individual sekaligus sosial manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia telah menghampiri kita. Bulan ini, seperti dijanjikan Alloh, dianggap sebagai moment “keramat” untuk meraih keagungan malam seribu bulan bernama lailatul qadar.
Anjuran untuk melipatgandakan intensitas ibadah dan memperbaiki kualitas spritualitas menjadi sangat signifikan. Karena pada bulan ini pula, manifestasi “sibghotullah” atau sentuhan “tangan” Tuhan secara langsung dan tanpa hijab terejawantah bagi mereka yang mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada-Nya.
Akan tetapi, jika mengamati fenomena Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, gempita bermewah-mewahaan, hedonisme dan konsumerisme juga tidak kalah semarak oleh tawaran gaung spritualismenya yang suci. Bahwa proses penggalian nilai-nilai ibadah turut mengalami simulacrum spritualitas oleh gempita komodifikasi realitas yang hadir di setiap bulan penuh barkah ini menjelang.
Model komodifikasi realitas menawarkan suatu bentuk baru cara menyikapi spritualitas berpuasa melalui komoditas yang “di-Islam-kan” dengan produksi gaya yang seolah-olah islami yang dikonstruk oleh bangunan budaya dan media modern. Pada kondisi ini, nuansa-nuansa yang seolah-olah serba “islami” dan seolah-olah menawarkan “rahmah, barkah dan maghfirah” berpuasa melalui citra-citra relegius tersebut diterima sebagai salah satu bentuk kesalehan. Dan anehnya, ia “diamini” secara massif oleh banyak kalangan. Mengapa demikian?

Ekstase Shopping Ramadhan
Fakta bahwa setiap kali Bulan Ramadhan datang, konstruk pikiran kita hampir seragam. Bayangan tetang bulan puasa yang serba spesial membawa hampir –untuk tidak mengatakan semuanya— setiap orang untuk berduyun-duyun mempersiapkan diri menjemput kedatangnnya dengan sesuatu yang “spesial” pula.
Bukan sebuah kebetulan, sehari menjelang Ramdhan tahun lalu, saya masuk ke sebuah supermarket di bilangan Cakranegara, Mataram, NTB, terlihat berjubel orang berbelanja dengan jumlah barang yang “tidak biasa” kita temukan pada 11 bulan lainnya. Pun demikian, di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti yang diberitakan di televisi, masyarakat melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Sebuah wisata kuliner bernuansa “spiritual”. Mungkin.
“Kekhususan” bulan turunnya al-Qur’an ini sekaligus mempertontonkan citra wajah sosial umat muslim dalam hiruk-pikuk “iqra’” (membaca) peluang “bisnis spiritual” yang muncul di mana-mana. Bak cendawan di musim penghujan, beraneka warung-warung ataupun pedagang dadakan bermunculan menjemput oase barkah Ramadhan.
Lebih-lebih di penghujung Ramadhan, saat di mana aroma lebaran tercium, tiap orang yang semestinya menjemput Bulan Seribu Bulan ini dengan memperbanyak berdiam diri di masjid dalam suasana khusyuk, alih-alih, justru terjadi konversi “i’tikaf” dalam ekstase (kenikmatan) shopping di mall-mall. Spirit lailatul qadar tergerus oleh wujud perayaan “kemenangan” yang hyperreal.
Kecenderungan ke arah tindakan atau aktivitas yang hyperreal mewujud dalam sebuah kesadaran semu dalam memaknai dan atau menyikapi substansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam spirit Ramadhan.
Al-Imsak (menahan diri) yang berarti menjaga diri dari gejolak pelepasan hasrat biologis, fisiologis dan psikologis secara berlebihan justru terasa absurd. Betapa tidak, ajaran berpuasa sebagai medium kontrol terhadap hasrat konsumptivisme (baca: belanja), anehnya, di bulan ini pula mesin-mesin hasrat (desiring machine) itu begitu eksis dan dirayakan secara massal.
Perihal menjamurnya shopping mall, iming-iming mega diskon dengan iringan musik islami dan spanduk-spanduk “menyambut” Hari Kemenangan yang berjejer di pusat-pusat perbelanjaan secara tidak sadar diamini secara perseptual sebagai semangat kembali pada kesucian (Idul Fitri).

Hiperealitas Religius
Kecenderungan semesta tanda dan pencitraan ini mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Kita disuguhkan realitas tanda-tanda dan citra simulatif yang mengaburkan makna “al-imsak”, “hari kemenangan”, dalam bentuk realitas makna yang kontras; sebuah hiperealitas.
Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Dalam banyak hal, ada semacam “kelembutan”, “kesyahduan”, “kekhusyukan” dan “keteduhan” yang dibangun melalui penciptaan model-model realitas baru yang dikontekskan dengan momen-momen tertentu –seperti Ramadhan atau Idul Fitri misalnya— semisal menghadirkan sense of Ramadhan di mall atau tempat lain, seperti musik atau spanduk berbau religius. Dengan demikian, hal tersebut akan membentuk kesan di masyarakat yang seolah-olah kesediaan untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang disodorkan pada kita adalah bagian dari prosesi yang niscaya dalam setiap menyambut kedatangan Ramadhan maupun Idul Fitri
Semakin menyeruaknya overproduksi tanda yang hadir melalui pencitraan media sedemikian rupa, membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan mencerap antara yang sejati dan semu. Artinya, fakta social yang ada di sekeliling kita, bahwa “identitas” shopping lebaran dan wisata kuliner Ramadhan yang selalu dan terus-menerus dijejalkan melalui berbagai media, terutama sekali iklan-iklan di televisi, mampu menggeser imperatif nilai yang semakin jauh dari spirit/makna awalnya.
Kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baurillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu. Hal ini berarti bahwa esensi utama berpuasa telah mengalami pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada kenyataannya lebih banyak mengandung semangat konsumerime ketimbang spirit pengendalian diri
Kedua, solisi imajiner merupakan ciri lain hiperealitas. Pada konteks ini, tercipta proses menjadikan sesuatu yang non-empiris menjadi seperti nyata. Terjadi objektivikasi kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menghasilkan suatu fakta yang dapat dirasa, diraba atau dilihat. Berbagai teknik komunikasi pesan yang seolah-olah islami, seperti iklan layanan “Reg (spasi) bla…bla..bla”, publisitas acara spesial Ramadhan di media massa, suguhan shopping berwajah “agama” dan lain-lain, telah menyebabkan kita terjerembab dalam komodifikasi gaya hidup orang berpuasa yang “harus serba lengkap”; harus ini, harus itu.
Hubungan antara kenyataan hidup yang serba kurang atau pas-pasan dan “seruan” kamuflatif menjalankan ibadah puasa atau menyambut idul fitri dengan sesuatu yang “harus spesial” memaksa kita untuk berbondong-bondong mewujudkannya. Namun, karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduannya. Pada akhirnya, menikmati “barkah” ramadhan berarti menjalani ibadah dengan syarat-syarat citra diri yang (dipaksa) melampui kemampuan dasar/kebutuhannya.
Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006) mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas shopping mall –dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri— yang pada titik tertentu dianggap sebagai bagian dari rangkaian “ibadah” di bulan suci ini.
Pada akhirnya, betapapun realitas wajah sosial masyarakat sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa, Ramadhan dan Idul Fitri tetap menjadi momentum kesadaran kritis bagi umat muslim dalam upaya menjaga semangat al-Imsak dan upaya kembali ke titik kesucian (fitrah) dalam artian sesungguhnya. Marhaban ya Ramadhan…

*Astar Hadi adalah Pemerhati Budaya dan Media. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005) dan Quovadis: Pragmatisme VS Idealisme (Litera Buku, Yogyakarta, 2011). Kini tinggal di Kelana Lombok Tengah.