Monday, August 29, 2011

Seolah-olah Mendamba-Nya

ku merayu,
berujar tanpa rasa

ku coba menyentuh,
titik-titik sensitif itu
tapi hasrat masih saja membeku

asa tidak terbilang
dalam puja-puji nama-nama Maha
sementara jiwa masih saja melanglang
mencerap pendar indahnya fana

apa mungkin ada cerita cinta
ketika rangsangan hanya mencari nikmat diri belaka
tanpa degup jiwa menghamba sepenuhnya?

nikmat bercinta
terasa melepas dahaga sementara
untuk Aku yang mengiba pinta dan pinta
sujud-simpuh pun menerbit pura-pura
dalam do'a-do'a malam
menggapai purna Seribu Bulan

Jakarta, 27 Ramadhan 1433 H / 16 Agustus 2012
02.31 WITA

Friday, August 19, 2011

Menu Dekonstruksi ala Nazarudin: Lupa yang Membuka Jalan Revolusi


Oleh: Astar Hadi

Bukan “Cinta Fitri”, tidak pula “Putri yang Ditukar.” Ini sebuah sinetron bangsa berdurasi jangka panjang yang akan mengaduk-aduk opini kita tentang sebuah cerita yang tidak melulu happy ending dan belum tentu bad ending.
Nazarudin. Judul besar sebuah sandiwara baru yang mengetengahkan dagelan politik dan hukum paling kentara di Indonesia. Nama baru, lakon baru, tapi cerita lama yang didaur ulang dalam scenario cerita yang sejatinya tidak akan jauh berbeda seperti kasus Gayus, Century, BLBI, dan banyak yang lain.
Mengingat kembali kasus-kasus sebelumnya, seperti Gayus dan Century, maka kasus Nazarudin mengangkat kesadaran kita atas luka-luka sebuah negeri yang tidak kunjung sembuh. Alih-alih, irisan demi irisan rasa sakit itu makin membuncah menggenangi mata beratus juta penduduk yang pada akhirnya merasakan lelah dan kantuk luar biasa sehingga tidak sanggup lagi untuk menahan diri dalam tidur panjang yang bertaburan mimpi-mimpi buruk korupsi, selamanya. Tragis !!!
Dari kicau burung Nazar yang sempat memberi harapan terungkapnya megaskandal korupsi, sampai akhirnya scenario yang “sudah terbaca” dari sang sutradara tangguh sebuah negeri kembali mengajak kita untuk tidur panjang berjamaah dengan melupakan apa yang sudah terjadi.

Perjuangan Melawan Lupa
Luar negeri, sepertinya, telah menjadi tempat paling indah bagi pembentukan kesadaran kita. Singapura, Thailand, Vietnam sampai Kolumbia, merupakan negeri persinggahan bagi otak kita untuk berjuang melawan lupa itu. Ingatan-ingatan sejarah kelam tentang para penjahat berdasi di negeri “percikan air surga” bernama Indonesia begitu nyaring terdengar dari Negeri-negeri antah-berantah tersebut.
Mantan Bendahara Demokrat itu kini telah kembali dalam pelukan manis “negeri surga” yang paling bersahabat bagi mereka-mereka yang bermandikan uang rakyat. Nazarudin pun lupa akan nama-nama itu. Gayus pun demikian. Mereka semua amnesia demi sebuah kenyamanan, demi sebuah ketenangan, demi sebuah kebaikan bersama dan demi sejarah bangsa masa depan yang menjadi milik minoritas elit-elit berpakaian kemeja rapi, berambut klimis dan murah senyum itu. Sementara cukupkah bagi rakyat “menikmati” tata-krama luhur bangsa dalam citra-citra sensual etika dan moral yang selalu menjadi kebanggan kultur ketimuran?!
Tentu tidak !!! Kita masih memiliki sejarah peradaban sebuah negeri yang harum bersama nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, yang tegak berdiri atas nama Negeri Besar dengan jiwa besar yang tegas dalam kata-kata, yang sederhana dalam laku dan selalu sadar dalam berbuat. Tapi, kita pun telah/hampir melupakannya. Karena, mungkin, kita dilatih untuk itu. Dan, dalam drama Nazarudin, pelupaan itu terjadi.

Lupa yang Mengingatkan

Surat “cinta” terbuka Nazarudin kepada pemimpin negeri ini adalah surat “cinta” paling mengharu-biru seorang anak nakal kepada bapaknya yang berisi niatan “baik” yang tidak tega mengumbar aib keluarganya sehingga ia merasa layak dihukum sendiri tanpa harus melibatkan anggota keluarga yang lain. Sebuah iktikad baik seorang anak yang tidak ingin menjadi anak durhaka di hadapan bapaknya, mungkin. Meski pada akhirnya, ia dengan “terpaksa” melupakan aib-aib keluarga itu.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Nazaruddin sudah dianggap anak durhaka. Dia sudah diusir dan bukan bagian dari anggota keluarga besar lagi. Rengekannya dalam surat yang secara tegas meminta Presiden SBY melindungi anak dan istrinya meski dirinya harus dihukum adalah rengekan seolah-olah (as-if), tangisan palsu, yang justru berarti satu hal; strategi dekonstruksi melawan lupa !!! apa itu?
Public sudah mengetahui. “saya juga berjanji tidak akan menceritakan apapun yang bisa merusak citra Partai Demokrat,” begitu salah satu isi surat itu. Public, tentu saja, bertanya-tanya apa makna dibalik isi surat tersebut. Artinya, keengganan Nazarudin bercerita semakin mengukuhkan opini kita tentang kebenaran sesuatu yang perlu dibongkar. Lupa di sini berarti mengingatkan dan “memaksa” pihak berwenang untuk melakukan sesuatu. Logika surat tersebut menjungkirbalikkan klaim sementara kalangan yang melihat ini sebagai “matinya” Nazarudin.
Jika Nazarudin benar-benar ingin menutup kasus ini dengan melakukan aksi bungkam, kenapa dia melayangkan surat terbuka kepada presiden dengan bahasa yang nyata-nyata mengandung arti sebaliknya dari sekadar melindungi keluarganya dari intimidasi dan hukuman?!
Sebuah menu dekonstruksi khas ala Nazarudin yang, pada kenyataannya, mengajak ingatan public untuk terus memantau secara terus-menerus perkembangan opini-opini dan atau fakta-fakta berkenjutan dari “kicau-kicau” barunya setelah berada di Indonesia.
Sejauhmana keseriusan pihak berwenang termasuk KPK dalam menuntaskan strategi lupa dan bungkam Nazarudin menjadi sesuatu yang sangat krusial untuk dikritisi ke depan. Karena KPK dan pemerintah bisa jadi akan benar-benar ditelanjangi oleh sinetron yang belum diketahui ending-nya ini.
Artinya, meski ada sutradara dibalik strategi lupa ini, Nazarudin sepertinya sedikit berbeda dengan Gayus. Karena ia ibarat OVJ (opera van java) yang bisa saja menjalankan scenario ceritanya sendiri keluar dari konsep sang Dalang. Jika demikian yang terjadi, maka pembongkaran atas lupa itu akan membuka jalan Revolusi Indonesia jilid selanjutnya. Wallohu a’lam

Tuesday, August 9, 2011

Ramadhan dan Kesalehan Entertainment

Oleh: Astar Hadi*

Dalam satu tahun terakhir, Ust. Jefri Al-Buchori adalah sosok da’i muda yang berkibar lewat tayangan-tayangan bernuansa “Islami” di hampir seluruh pertelevisian nasional. Buchori –disamping ustadz-ustadz muda lain tentunya— adalah contoh unik seorang ustadz yang saat ini semakin melejit lewat acara special Ramadlan di televisi. Ya, media telah melambungkan namanya tidak sekadar menjadi seorang da’i, ia sekaligus seorang selebriti “moral” yang pada gilirannya termasuk dalam kategori sekelompok minoritas orang yang “wajib” hadir menghiasi tayangan infotainment berbasis gosif, apapun namanya.
Terlepas dari persoalan tingginya rating acara-cara berbasis rohani, contoh di atas untuk menunjukkan bahwa media yang selama ini seringkali dianggap sebagai medium pemeluk budaya hura-hura dan konsumerisme tanpa rasa haru (mencangkok istilah Idy Subandi Ibrahim), semakin bersikap “permisif” dengan persoalan spritualitas. Sejauh mana efektifitas acara rohani berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat, tentu saja membutuhkan sebuah penelitian kritis tentangnya.
Yang menarik, seperti diungkapkan Marshall Mc.Luhan, seorang pakar komunikasi, medium is the message; bahwa media adalah pesan itu sendiri. Dengan kata lain, media berfungsi sebagai sebuah pesan berantai yang menghantarkan kepada masyarakat penonton sebuah nilai yang bersifat massif. Besarnya pengaruh media mampu menjungkirbalikkan imperatif-imperatif budaya yang sudah mapan.
Masyarakat sebagai objek pasif tontonan akan memilih berbagai pilihan karakter yang telah disuguhkan media melalui tayangannya. Dari sebatas menjadi seorang yang siap membela moral sampai penentang kebenaran merupakan entitas yang tak terhindarkan manakala media telah menjadi “eksistensi” masyarakat di era globalisme media sekarang ini.
Dalih bahwa berbagai pilihan yang disodorkan media adalah pilihan demokratis, yang artinya setiap orang bebas memilih dan memilah apa saja yang disukainya justeru menjadikan kita sesosok the silent majorities (mayoritas yang diam). Kesadaran kita sebagai mayoritas telah diambil-alih oleh keajaiban pemancar elektronik tersebut. Kita ibarat orang “dungu" yang tinggal menunggu hadirnya sebuah kesadaran (artificial) ciptaan media yang akan menjadi cerminan citra setiap langkah kita.
Secara sadar kita juga mengetahui, fenomena konsumerisme dan menjamurnya berbagai hypermarket bersimbiosis secara mutualis dengan semakin menguatnya globalisme media yang hampir tidak –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— menemukan tandingan budayanya. Media pada kenyataan merupakan desa global sebagai tempat berinteraksi dan bergumulnya kompleksitas gaya hidup dan hedonisme.
Bercermin pada acara dakwah yang banyak mengangkat persoalan etika dalam bingkai relegiusitas melalui televisi, kita dibawa pada sebuah pertanyaan apakah lantas pesan-pesan massif tersebut merupakan sebuah dialektika produk kesalehan yang dikomodifikasi sedemikian rupa sebagai counterculture terhadap pesona konsumerisme yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat perkotaan/modern?
Karenanya, menilik tesis McLuhan di atas tentang kemampuan media yang terbukti ampuh menjadi lokomotif “kesadaran” untuk bertindak, memungkinkan tayangan relegius tersebut memiliki akses yang kuat dalam menyampaikan kesalehan individual sekaligus sosial.
Untuk menariknya lebih jauh, apakah tayangan spesial Ramadlan atau yang serupa dengannya, yang melibatkan berbagai unsur termasuk para Ustadz dan seleberitis, bisa menggugah kesadaran masyarakat kepada amal shaleh.
Terlepas dari semua itu, justeru banyak bermuculan suara-suara kritis yang kemudian menilai bahwa kode kesalehan yang diciptakan media dianggap “hanya” sebatas kesalehan entertainment yang manipulatif. Kesalehan yang ditawarkan melalui media seringkali disinyalir sebuah ironisme yang tidak ditujukan pada kualitas komunikatif dari pesan-pesan (relegius) yang disampaikannya. Alih-alih, ia hanya sebatas hasrat pemuasan kapital produsen media berbasis rating.
Dalam pandangan semiotika Postrukturalisme dijelaskan, tanda-tanda, dalam hal ini tayangan bernuansa “Islami”, diproduksi bukan dengan tujuan untuk menyampaian pesan-pesan, dan konvensi-konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata.
Sebagai ilustrasi, di media pertelevisian nasional sekarang ini, kita melihat dengan mata telanjang sebuah “euphoria” ramadhan yang menghadirkan program acara sahur-berbuka dengan tema utama yang sebagian besar berbasis lawakan dan program acara konser musik live yang di keduanya menyertakan taushiyah-taushiyah dari para ustadz di penghujung acara. Pada titik ini, apakah kemudian bumbu ceramah yang notabene acara “selipan” mampu menawarkan sebuah kualitas nilai-nilai moral-religius bagi para penontonnya, atau sebaliknya, di saat yang sama para penonton keburu mematikan atau mengganti channel TV-nya dengan acara lain yang keluar dari konteks agama?
Dengan mata telanjang kita melihat dua paradoks, antara kelakar duniawiah dan keseriusan ajaran agama saling berkelindan satu sama lain. Di satu sisi, ini adalah sebuah realitas budaya yang tidak bisa ditolak, tetapi ia juga merupakan siklus ironis yang menawarkan kegairahan komunikasi media dengan segenap sensualitas budaya ngerumpi di satu sisi dan “pencerahan” agama di sisi lain. Madonna pun berdoa, “saya relegius”, “saya spiritual”, …saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katholik yang bersikeras memisahkan dan itu nonsense,” (Armahedi Mehzar, 1983). Lantas, apakah yang sejatinya menjadi fokus dari tontonan itu? Apakah sisi kegairahan sensual atau pencerahan dalil agama?

Haruskah kita Berdamai dengan Kesalehan Entertainment?

Sebuah kritik, apapun bentuknya, acapkali cukup fasih meneriakkan ironi ketimpangan sosial dari sebuah fenomena sosial yang mapan. Tapi tidak kalah seriusnya, kritik kadang reduktif dan sulit melepaskan diri dari kecenderungan bombasme dan –mungkin saja— arogan.
Demikian halnya dengan fenomena (tayangan) relegiusitas di media yang makin marak belakangan ini. Sekurang-kurangnya, perlu disadari bahwa proses membangun keshalehan individual, dan lebih-lebih, secara sosial, perlu dibongkar dengan bahasa-bahasa media.
Karena pada kenyataannya, proses pembelajaran melalui acara-acara keagamaan di tempat-tempat suci semacam Majlis Ta’lim, Masjid/Gereja, ternyata tidak cukup mumpuni memberikan daya dobrak psikologis (psychological striking force) di saat kekuatan budaya massa dan melubernya pesona gaya hidup glamour yang justeru disuguhkan dengan sangat efektif oleh media.
Artinya, persoalan maraknya keshalehan entertainment adalah sebuah dialektika dunia hiburan yang secara terus menerus bermetamorfosis. Di satu sisi, tayangan keshalehan entertainment tidak lebih dari sekadar memanfaatkan logika pasar yang tidak serta-merta berkepentingan terhadap persoalan etika relegiusitas. Di lain sisi, sejatinya, kita harus membuka diri bahwa tayangan tersebut harus dilihat sebagai realitas kebudayaan Abad 21 yang ingin menemukan pengungkapannya dengan citra “gaul” budaya televisi yang notabene lebih digemari masyarakat ketimbang pergi ke guru ngaji lengkap dengan sarung dan kopiah.
Upaya mengawinkan secara harnonis antara faktor ekonomi, teknologi dan agama, tidak melulu berbicara soal (keburukan) kapitalisme, tidak juga mengatasnamakan (kebaikan) idealisme, tetapi manifestasi riil masyarakat tentang “cara lain merengkuh agama” melalui media –untuk yang terakhir ini memang lebih banyak diminati.
Akhirnya, Pesan keshalehan, seperti apa pun pengungkapannya, tetap memilki karakter “pencerahan” bagi manusia. Dan, karena “kiblat” (budaya) massa secara massif telah beralih pada budaya TV, tentu saja perkawinan antar agama dan media adalah alternatif yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Entah, apakah orang harus memberinya nama “kapitalisme relegius”, seperti dikatakan Muammar Khadafi, presiden Libya, yang sempat begitu mesra bersama Amerika Serikat.
Apakah keshalehan entertainment –yang disinyalir bersifat semu belaka— harus dipertentangkan? Sementara itu, masyarakat kita yang sudah terbius oleh budaya tontonan dan Facebook dewasa ini justeru tidak punya cukup waktu untuk menjemput ustadznya. Wallahu a’lam!

*Astar Hadi adalah Pemerhati Budaya dan Media. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005) dan Salah Satu penulis dalam Quovadis: Pragmatisme VS Idealisme (Litera Buku, Yogyakarta, 2011). Kini tinggal di Kelana Lombok Tengah.

Wednesday, August 3, 2011

Ramadhan, Konsumerisme dan Hiperealitas Religius

Oleh: Astar Hadi*

Bulan Ramadhan yang diyakini umat muslim sebagai bulan pelipatgandaan pahala amal ibadah baru saja tiba. Sebuah momentum menggali lebih dalam sakralitas keberimanan individual sekaligus sosial manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia telah menghampiri kita. Bulan ini, seperti dijanjikan Alloh, dianggap sebagai moment “keramat” untuk meraih keagungan malam seribu bulan bernama lailatul qadar.
Anjuran untuk melipatgandakan intensitas ibadah dan memperbaiki kualitas spritualitas menjadi sangat signifikan. Karena pada bulan ini pula, manifestasi “sibghotullah” atau sentuhan “tangan” Tuhan secara langsung dan tanpa hijab terejawantah bagi mereka yang mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada-Nya.
Akan tetapi, jika mengamati fenomena Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, gempita bermewah-mewahaan, hedonisme dan konsumerisme juga tidak kalah semarak oleh tawaran gaung spritualismenya yang suci. Bahwa proses penggalian nilai-nilai ibadah turut mengalami simulacrum spritualitas oleh gempita komodifikasi realitas yang hadir di setiap bulan penuh barkah ini menjelang.
Model komodifikasi realitas menawarkan suatu bentuk baru cara menyikapi spritualitas berpuasa melalui komoditas yang “di-Islam-kan” dengan produksi gaya yang seolah-olah islami yang dikonstruk oleh bangunan budaya dan media modern. Pada kondisi ini, nuansa-nuansa yang seolah-olah serba “islami” dan seolah-olah menawarkan “rahmah, barkah dan maghfirah” berpuasa melalui citra-citra relegius tersebut diterima sebagai salah satu bentuk kesalehan. Dan anehnya, ia “diamini” secara massif oleh banyak kalangan. Mengapa demikian?

Ekstase Shopping Ramadhan
Fakta bahwa setiap kali Bulan Ramadhan datang, konstruk pikiran kita hampir seragam. Bayangan tetang bulan puasa yang serba spesial membawa hampir –untuk tidak mengatakan semuanya— setiap orang untuk berduyun-duyun mempersiapkan diri menjemput kedatangnnya dengan sesuatu yang “spesial” pula.
Bukan sebuah kebetulan, sehari menjelang Ramdhan tahun lalu, saya masuk ke sebuah supermarket di bilangan Cakranegara, Mataram, NTB, terlihat berjubel orang berbelanja dengan jumlah barang yang “tidak biasa” kita temukan pada 11 bulan lainnya. Pun demikian, di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti yang diberitakan di televisi, masyarakat melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Sebuah wisata kuliner bernuansa “spiritual”. Mungkin.
“Kekhususan” bulan turunnya al-Qur’an ini sekaligus mempertontonkan citra wajah sosial umat muslim dalam hiruk-pikuk “iqra’” (membaca) peluang “bisnis spiritual” yang muncul di mana-mana. Bak cendawan di musim penghujan, beraneka warung-warung ataupun pedagang dadakan bermunculan menjemput oase barkah Ramadhan.
Lebih-lebih di penghujung Ramadhan, saat di mana aroma lebaran tercium, tiap orang yang semestinya menjemput Bulan Seribu Bulan ini dengan memperbanyak berdiam diri di masjid dalam suasana khusyuk, alih-alih, justru terjadi konversi “i’tikaf” dalam ekstase (kenikmatan) shopping di mall-mall. Spirit lailatul qadar tergerus oleh wujud perayaan “kemenangan” yang hyperreal.
Kecenderungan ke arah tindakan atau aktivitas yang hyperreal mewujud dalam sebuah kesadaran semu dalam memaknai dan atau menyikapi substansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam spirit Ramadhan.
Al-Imsak (menahan diri) yang berarti menjaga diri dari gejolak pelepasan hasrat biologis, fisiologis dan psikologis secara berlebihan justru terasa absurd. Betapa tidak, ajaran berpuasa sebagai medium kontrol terhadap hasrat konsumptivisme (baca: belanja), anehnya, di bulan ini pula mesin-mesin hasrat (desiring machine) itu begitu eksis dan dirayakan secara massal.
Perihal menjamurnya shopping mall, iming-iming mega diskon dengan iringan musik islami dan spanduk-spanduk “menyambut” Hari Kemenangan yang berjejer di pusat-pusat perbelanjaan secara tidak sadar diamini secara perseptual sebagai semangat kembali pada kesucian (Idul Fitri).

Hiperealitas Religius
Kecenderungan semesta tanda dan pencitraan ini mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Kita disuguhkan realitas tanda-tanda dan citra simulatif yang mengaburkan makna “al-imsak”, “hari kemenangan”, dalam bentuk realitas makna yang kontras; sebuah hiperealitas.
Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Dalam banyak hal, ada semacam “kelembutan”, “kesyahduan”, “kekhusyukan” dan “keteduhan” yang dibangun melalui penciptaan model-model realitas baru yang dikontekskan dengan momen-momen tertentu –seperti Ramadhan atau Idul Fitri misalnya— semisal menghadirkan sense of Ramadhan di mall atau tempat lain, seperti musik atau spanduk berbau religius. Dengan demikian, hal tersebut akan membentuk kesan di masyarakat yang seolah-olah kesediaan untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang disodorkan pada kita adalah bagian dari prosesi yang niscaya dalam setiap menyambut kedatangan Ramadhan maupun Idul Fitri
Semakin menyeruaknya overproduksi tanda yang hadir melalui pencitraan media sedemikian rupa, membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan mencerap antara yang sejati dan semu. Artinya, fakta social yang ada di sekeliling kita, bahwa “identitas” shopping lebaran dan wisata kuliner Ramadhan yang selalu dan terus-menerus dijejalkan melalui berbagai media, terutama sekali iklan-iklan di televisi, mampu menggeser imperatif nilai yang semakin jauh dari spirit/makna awalnya.
Kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed” (simulasi realitas yang pada dasarnya tidak pernah ada). Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baurillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu. Hal ini berarti bahwa esensi utama berpuasa telah mengalami pergeseran fundamental oleh karena sesuatu yang lain yang pada kenyataannya lebih banyak mengandung semangat konsumerime ketimbang spirit pengendalian diri
Kedua, solisi imajiner merupakan ciri lain hiperealitas. Pada konteks ini, tercipta proses menjadikan sesuatu yang non-empiris menjadi seperti nyata. Terjadi objektivikasi kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menghasilkan suatu fakta yang dapat dirasa, diraba atau dilihat. Berbagai teknik komunikasi pesan yang seolah-olah islami, seperti iklan layanan “Reg (spasi) bla…bla..bla”, publisitas acara spesial Ramadhan di media massa, suguhan shopping berwajah “agama” dan lain-lain, telah menyebabkan kita terjerembab dalam komodifikasi gaya hidup orang berpuasa yang “harus serba lengkap”; harus ini, harus itu.
Hubungan antara kenyataan hidup yang serba kurang atau pas-pasan dan “seruan” kamuflatif menjalankan ibadah puasa atau menyambut idul fitri dengan sesuatu yang “harus spesial” memaksa kita untuk berbondong-bondong mewujudkannya. Namun, karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduannya. Pada akhirnya, menikmati “barkah” ramadhan berarti menjalani ibadah dengan syarat-syarat citra diri yang (dipaksa) melampui kemampuan dasar/kebutuhannya.
Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006) mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas shopping mall –dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri— yang pada titik tertentu dianggap sebagai bagian dari rangkaian “ibadah” di bulan suci ini.
Pada akhirnya, betapapun realitas wajah sosial masyarakat sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa, Ramadhan dan Idul Fitri tetap menjadi momentum kesadaran kritis bagi umat muslim dalam upaya menjaga semangat al-Imsak dan upaya kembali ke titik kesucian (fitrah) dalam artian sesungguhnya. Marhaban ya Ramadhan…

*Astar Hadi adalah Pemerhati Budaya dan Media. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005) dan Quovadis: Pragmatisme VS Idealisme (Litera Buku, Yogyakarta, 2011). Kini tinggal di Kelana Lombok Tengah.

Tuesday, August 2, 2011

Jejak-jejak Cinta

kamu bukan skema
yang terpajang penuh rencana,
yang terbilang melalui angka-angka,
yang tertuang melalui indahnya kata-kata

kamu adalah enigma
menawarkan aura tanpa cahaya
tersembunyi dalam warna-warna
menyembul dari balik gerhana
tenggelam dalam kilau purnama

kamu itu cakrawala,
hanya memberi penanda,
tapi membebaskan petanda
dalam tanda tanya,
dalam yang tidak terduga-duga

kamu itu cinta yang menghiasi dunia-dunia
sehingga hidup tidak menjadi perkara suka-duka
bagi yang bisa bersikap bijaksana

Lombok, 01.59 WITA
16 Juli 2011 (Nishfu Sya'ban, 1432 H)