Tuesday, December 30, 2008

Happy Islamic New Year 1430 H

Hijrah, what is?! it means not (only) the move from one place to another...it's talking about an Ijtihad projects to make a better journey of life, to take a humanity projection, and then, toward liberation of human being from all the most allienated things... so that what well said as "humanity againsts discrimination".... Amin

HAPPY ISLAMIC NEW YEAR 1430 H
best wishses for all

Sunday, December 21, 2008

Internet dan Jejak Nyata Budaya Pop

Oleh: Astar Hadi
Globalisasi media massa membentuk visi yang hampir seragam bagi penikmatnya. Berita pagi ini dari kawasan Amerika, mungkin telah dinikmati orang kota di Indonesia, bahkan orang pedalaman sekalipun. Berita tidak lagi bersifat eksklusif milik kelompok pembentuk visi media itu sendiri, tapi telah menjangkau entitas seluruh lapisan masyarakat ke dalam satu entitas “perkampungan global” (global village, dalam bahasa McLuhan). Dan kira-kira seperti inilah yang terjadi dalam globalisasi media di era posmodern ini.
Media posmodern menjadi wadah hegemoni opini publik. Tafsiran atas fenomana atau realitas tergantung pada vested interest institusi media yang mengatur arus opini publik. Pembentukan visi subjektif media pada fenomena atau realitas demikian kuat, sehingga praktis publik mengkonsumsi kebenaran menurut visi subjektif sang penafsir. Semua sektor kehidupan ditafsirkan sesuai selera penafsir, bahkan sampai pada wilayah yang paling sakral. Lewat permainan bahasa, kepentingan sang penafsir tertutupi, namun tetap mampu mengendalikan alam bawah sadar yang mengkonsumsi. Susunan kata dalam bahasa media yang rapi mampu menyampaikan ide-ide skenario opini global. Susunan yang rapi ini diusahakan sedapat mungkin mengubah persepsi tentang fenomena atau realitas, dan sedapat mungkin membentuk visi baru. Maka terbentuklah sebuah jaringan budaya ciptaan media.
Masyarakat sebagai konsumen media secara tidak sadar telah menjadi produk. Kata “produk” di era posmodern dewasa ini tidak hanya menunjuk pada barang atau jasa, tapi sekaligus manusia buatan media. Citra, tanda-tanda, dan gaya hidup ciptaan media merupakan menu sehari-hari masyarakat sebagai komoditas primer untuk memenuhi hasrat penampilan diri, yang tentunya berkaitan erat dengan fenomena budaya massa/budaya pop dalam diskursus kritik budaya akhir-akhir ini.
Pencet aja tombol ON pada layar monitor komputer anda, maka lalu lintas informasi dan komunikasi yang penuh “polusi” telah menanti, menjemput dan mengajak anda untuk berbagi ekstase gado-gado sosial, budaya, politik –dan (terutama) juga “seks”— yang terbuka untuk anda lahap sekenyang-kenyangnya sampai perut pengetahuan dan imajinasi anda buncit oleh hiruk-pikuknya.
Sebuah ironisme budaya massa. Tentu saja, ya! Mengapa? Kita telah disuguhkan sebuah “wisata kuliner” di setiap ruang real time yang menunya terdiri atas histeria mesin hasrat (desiring machine) massa yang terus di-upgrade, di-update, untuk memenuhi mitos be and do it your self. Proses internalisasi (downloading) budaya global ke dalam langgam lokalitas paling subtil telah menjadikan yang global menjadi lokal dan sebaliknya secara terus menerus. Budaya, dengan demikian, merupakan sebuah lalu-lintas produksi, jejaring konsumsi, percepatan komoditas-komodifikasi, alih-alih, menjadi nilai, karakter, identitas, yang membedakan (diferensiasi) tatanan masyarakat secara sosiologis.
Dan, tentu saja, kalaupun ada yang harus ditunjuk sebagai penyebab dominan perkembangan budaya massa, tak lain itu adalah perkembangan teknologi yang memicu pertumbuhan ekonomi industri (baik kapitalis maupun sosialis), proses urbanisasi, dan perkembangan media massa (Budiman, 2002: 56).
Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena globalisme budaya massa/budaya pop dalam realitas media posmodern yang ditandai dengan masuknya sebuah medium baru (Internet), yang pertumbuhannya dipicu oleh perkembangan revolusioner di lingkungan bisnis komputer personal ini telah menggantikan peran media massa lama seperti televisi, radio dan media cetak. Tekonologi ini memiliki peran sangat signifikan dalam merengkuh seluruh fasilitas yang ada pada media sebelumnya. Gabungan seluruh isi media, termasuk teks, gambar bergerak, citra audiovisual dan realitas virtual bisa hadir sekaligus di dalamnya.
Di sinilah mengapa kemudian term budaya pop (posmodernisme) menjustifikasi titik temunya yang paling “rasional” dalam ruang lingkup media massa Internet. Artinya, seperti yang dijelaskan John Urry (Budiman, 1997: 180-181), bahwa term posmodernisme menunjuk pada sebuah sistem tanda atau simbol yang spesifik, baik dalam ruang maupun waktu. Urry melihat posmodernisme sebagai sebuah proses dediferensiasi, di mana masing-masing lingkaran aktivitas sosial, terutama budaya, diruntuhkan dan merasuki satu sama lain. Dan pada gilirannya, menurut Urry, yang paling mencolok, proses ini paling banyak melibatkan pertunjukan visual serta permainan.
Tampaknya apa yang diasumsikan Urry di atas memperlihatkan terjadinya proses globalisasi kesatuan budaya berupa terciptanya budaya massa atau budaya populer yang melibatkan pengaruh besar media massa posmodern dalam mengatur trik-trik visual, permainan tanda-tanda, citra, dan apa yang ditawarkan media Internet dalam ruang cyberspace serta realitas virtual yang dihasilkannya.
Pada titik ini, mengikuti Marshall McLuhan dalam tesisnya tentang global village, mengisayaratkan bahwa budaya dalam realitas posmodern telah menemukan signifikansi teoretis dan praktisnya pada apa yang dihasilkan oleh komputer, baik dalam fungsinya sebagai mesin komputasi maupun sebagai instrumen komunikasi dan informasi (Internet) dengan jangkauan yang sangat luas. Komputer telah berkembang melebihi fungsinya sebagai alat bantu, menjadi mesin-mesin produsen mitos yang dikonsumsi masyarakat kontemporer. Tidak hanya dilihat sebatas the modernist computational aesthetic yang merupakan perpanjangan dari mesin hitung, internet telah menjadi simulasi (budaya) posmodern sebagai media simulasi, navigasi, dan interaksi.
Permasalahan budaya massa memang sedemikian kompleksnya. Ia meliputi bagian-bagian terkecil dari fenomena budaya yang demikian rumit, termasuk seni populer dan lainnya. Dengan kata lain, bukan dalam proses mereduksi peran dari media massa yang lain, tetapi sekurang-kurangnya, internet dianggap paling mampu memberikan efek lain terhadap perselingkuhan budaya secara massif. Wassalam
*** Tulisan ini sebagian disarikan dari buku karya saya, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagad Maya (LKiS, 2005).

Friday, December 5, 2008

Jati Diri Bukan Milik Orang Miskin

Oleh: Astar Hadi

"Tak semua orang bergigi rapi. malah bisa dikata, kebanyakan orang bergigi silang selimpat. susunan giginya tidak rata, malah tak sedikit yang mempunyai gigi tongos. Rasanya, dalam hal gigi pun, manusia harus menerima taksdirnya sebagai ketidakadilan: mengapa gigi saya jelek, sedangkan gigi orang lain demikian baik? ..... Tak usah khawatir. Di zaman ini soal di atas dengan mudah diatasi. Pergi saja ke orthopedi, dan mintalah untuk dipasangi kawat gigi. Memang sekarang kawat gigi lagi ngetren. Siapa pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan cool", demikian Sindhunata memulai tulisannya untuk mengelaborasi telaah Filsuf Amerika, Michael J. Sandel, yang mengamati betapa dengan hanya kawat gigi saja sudah merupakan proses dari perampasan terhadap kebebasan manusia. Hemmmm... sebegitu kawat kah (eh salah, gawatkah) kondisi kita-kita dewasa ini?!
Kita dan Kebebasan
Sabtu malam, 30 Nopember 2008, kemarin, saya diundang untuk ngisi materi yang salah satunya tentang Individu dan Masyarakat. Salah seorang peserta bertanya yang initinya apakah kemudian kebebasan individu itu sesuatu yang mutlak diperlukan? Saya menjawab, "iya"!!! Bahwa kebebasan adalah suatu fitrah kemanusian yang sejak lahir sudah muncul. Kebebasan individu bersifat given, yang artinya ia hadir secara otomatis. Karena, pada dasarnya watak setiap individu tidak menginginkan keterkekangan, tidak butuh aturan yang mengikat, alih-alih, kita selalu berkehendak, selalu ingin bebas untuk melepas hasrat, passion, sampai pada titik terakhir kebebasan itu mewujudkan dirinya.
Dalam hal ini, kebebasan adalah jawaban atas individu yang otentik, khas, unik, yang membedakannya dari individu yang lain. Antara individu dan kebebasan adalah dua sisi mata uang yang sama. Saling merangkul, saling mendukung satu sama lain. Oleh karena "takdir" kebebasan pula manusia menujukkan eksistensinya, memperlihatkan perbedaan-perbedaannya dengan manusia yang lain. Orang menyebutnya sebagai "jati diri".
Sebaliknya, tanpa kebebasan, manusia bukan manusia akan tetapi lebih mirip dengan benda mati, tak bergerak, jumud, tak berkembang. Atau ibarat hewan yang bisa bergerak, bisa berjalan, tapi yang secara anatomi biologis hanya memiliki kemampuan instingtif (naluriah) sesuai dengan "takdir" yang telah dinisbatkan pada kehidupan mereka, tidak lebih.
Lantas, apakah kebebasan ini benar-benar dimiliki manusia? Apakah kebebasan individu sebagai salah satu bentuk paling tinggi dari otonomi manusia itu memang ada? Atau, paling tidak, ia merupakan sebuah upaya menuju "penyempurnaan" identitas yang otentik?
Kebebasan, sekali lagi, merupakan sesuatu yang menyifati diri setiap individu, yang membentuk alur "sejarah" setiap pribadi, setiap kehidupan; yang mengunduh, mencipta, merawat, melahirkan, mengeksplorasi, nilai-nilai dan norma kebudayaan. Melaluinya masyarakat lalu muncul, berkembang, menjadi apa yang kita sebut sebagai entitas (budaya) global.
Jati Diri yang Terjajah
Betapa pentingnya persoalan individu telah menjadi mainstream yang selalu menarik banyak pihak untuk terus mengkajinya. Telaah-telaah filsafat, psikoanalisis, agama, dan sampai pada wacana-wacana pop memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keunikan individu sebagai “inisial” kebebasan manusia.
Tentang ini, Rene Des Cartes mendasarkan filsafatnya pada “aku yang berpikir”, bahwa aku berarti diri yang bebas –berpikir— dalam kancah dialektis zaman untuk meraih “ada”-nya eksistensi diri setiap individu. Hal ini berlanjut pada Doktrin Cartesian yang menjunjung tinggi individualisme sebagai proyek modernisme yang menantang setiap orang untuk menunjukkan otonomi diri, yang bebas, yang unik, sebagai diri yang “sadar”.
Pun demikian, anak-anak gaul sebagai representasi generasi muda kita sekarang ini pasti akan sangat mengenal kata-kata seperti gw banget, gw gtu loh. Istilah-istilah pop ini secara simplisistis ingin menunjukkan “jati diri” tertentu yang melekat pada diri seseorang, yang menjadi label diri untuk bertindak “mencipta”, bergerak “mengeksplorasi” dunia kehidupannya.
Kontras dengan yang di atas, Sandel bahkan berpendapat, pada dasarnya otonomi pribadi sesunggunnya tidak ada, karena setiap manusia sejak lahirnya ditentukan oleh kekelompokan social. Lebih jauh dapat dipahami bahwa kebebasan individu sejatinya bukan kebebasan yang tercipta atas dasar identitas diri yang unik, akan tetapi ia selalu mengacu pada kenyataan dan keberadaan lingkungan (global) dan pengalaman social yang dihadapainya.
Merujuk pada kawat gigi, Sandel membawa kita pada kenyataan bahwa kebebasan kita telah mengalami erosi diri, degrdasi identitas. Mungkin kawat gigi terlihat remeh, akan tetapi ia telah secara mendalam menunjukkan bahwa proporsi diri yang seharusnya bertindak cerdik untuk sesuatu yang bermanfaat telah tergerus oleh diri global, yang alih-alih, mengeliminasi kita pada sebuah pemenuhan ekstase hura-hura tanpa rasa haru terhadap realitas social di sekeliling kita. Tentu saja, siapa yang pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan gaul, keren dan cool man. Dan, yang pasti memilikinya hanya orang-orang yang berduit, tidak untuk si miskin !
Jean Baudrilard, salah satu tokoh postmodern, di sisi lain menjelaskan, bahwa kondisi global telah mengalami proses orbital, di mana setiap individu telah berada pada satu garis edar globalisme yang menawarkan “kesatuan” salah satunya melalui fashion –kawat gigi, gaya rambut, pakaian— sebagai orbit identitas kita; sebuah jati diri global. Lebih jauh, Baudrillard melihat fenomena modernitas kita sebagai penggunduhan jati diri material yang di dalamnya menawarkan apa yang ia sebut the syistem of object. Di mana, ketika anda atau saya shopping mall, maka barang-barang yang ditawarkan didalamnya adalah sebuah gambaran tentang “eksistens diri”; yang gw banget, yang gaul abis.
Dengan kata lain, etalase toko/mall merupakan objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk yang ada di dalam toko tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem “identitas” untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia yang eksis”. Dalam sistem ini, kita mendasari jati diri sebagai jati diri material bahwa “aku belanja, maka aku ada”. Dengan demikian, hasrat akan pemenuhan perfeksionisme diri (self perfectionism) akan memunculkan lingkaran setan “ekstase spiritual” konsumerisme yang asosial, yang mendamba pemuasan jiwa melalui “ruh/spirit” material.
Hasrat akan penampilan diri yang sempurna berarti “mari kita berlomba dalam mengkonsumsi barang sebanyak-banyaknya”! Mungkin, anda atau saya yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu anda dan saya juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cincin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya. Dan pada akhirnya, lagi-lagi, orang miskin memang tidak akan pernah menemukan, lebih-lebih, memiliki “identitas” dirinya.

Friday, November 21, 2008

Survey Sebagai Representasi Realitas

Oleh: Astar Hadi

Hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh empat lembaga survei, di antaranya Lembaga Survey Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional dan Puskaptis dalam Pilkada Jawa Timur putaran II membuat banyak pihak kecele. Quick count keempat lembaga tersebut memenangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KA-JI) atas pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KARSA) dengan selisih kurang lebih 1 persen berbeda kontras dengan hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim yang justru memenangkan pasangan KARSA sebagai Guburnur Jatim terpilih Periode 2009-2012.
Kasus di atas menyisakan sebuah pertanyaan penting tentang sejauhmana kelayakan sebuah lembaga survey benar-benar bisa dipercaya. Meski tidak ada sanksi tertentu yang bisa dialamatkan pada sebuah lembaga survey jika prediksinya berbanding terbalik dengan hasil “sesungguhnya” yang telah ditetapkan KPU, seharusnya ada suatu pertanggungjawaban etis yang sejatinya bisa menjadi referensi semua pihak atas “kesalahan” yang dilakukannya. Artinya, lembaga tersebut penting untuk menjelaskan pada masyarakat luas perihal variable-variabel lain yang sekiranya merupakan faktor-faktor ketidakakuratan dalam proses survey berlangsung.
Mengapa demikian? Sebuah kasus menarik bisa dijadikan landasan. Di mana di sejumlah media massa ditayangkan betapa kepercayaan massa pendukung KA-JI yang begitu tinggi terhadap validitas hasil quick count lantas merayakan “kemenangan” tersebut dengan beramai-ramai menggunduli kepala. Pun demikian, wawancara Khofifah di sebuah media massa cetak setelah hasil quick count tersebut dipublikasikan menunjukkan keyakinannya dengan menyatakan bahwa validitas hasil quick count tidak pernah salah.
Apa yang dilakukan oleh para pendukung tersebut memang tidak salah dan sebuah bentuk wajar dari hysteria massa. Tentunya, sah-sah saja bagi Khofifah untuk mengatakan demikian. Akan tetapi, ini merupakan bentuk ketidakpahaman masyarakat kita yang terlalu terburu-buru menyimpulkan hasil quick count yang pada dasarnya masih bersifat sementara dan tidak lebih sebagai representasi realitas dari realitas sesungguhnya.
Sebuah Representasi Realitas
Secara sederhana, analogi dari realitas survey bisa dibaratkan di saat seseorang ingin mengetahui rasa daging sapi, maka tidak harus ia memakan semua daging tersebut, cukup hanya dengan mencicipi secuil saja maka ia telah mengetahui rasa daging sapi tersebut.
Apakah analogi di atas tepat? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena survey sebagai sebuah metode ilmiah memiliki seperangkat metode-metode tertentu yang dianggap valid untuk menyampaikan “kebenaran” berdasarkan uji validitas dan uji realibilitas berdasarkan data dan fakta objektif. Artinya, klaim kebenaran ilmiah berbeda dengan hanya sekedar klaim subjektif seseorang yang mengatakan bahwa rasa sapi itu seperti ini atau itu, enak atau tidak. Meskipun sama-sama berdasarkan fakta, akan tetapi penjelasan tentang rasa daging sapi itu masih bersifat asumptif karena mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah tentang “keterukuran universal” dan “validitas objektif” sebuah penelitian.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, survey termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif yang menitikberatkan pada angka-angka sebagai tolak ukur analisis-definitif untuk mengetahui dan menunjukkan sejauh mana realitas yang diacunya itu benar adanya. Di mana, survey biasa dilakukan dengan cara pengambilan sampel dari suatu populasi tertentu yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan survey lapangan.
Logika pengambilan sampel mengisyaratkan sebuah representasi, sebuah keterwakilan realitas atas realitas yang diacunya. Sejumlah orang, katakanlah 100 orang, biasanya dijadikan sampel untuk merepresentasikan realitas 1000 orang atau lebih dalam populasi tertentu. Dengan demikian, apakah sampel tersebut bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya?
Suatu bentuk representasi selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa menyampaikan kebenaran terhadap realitas yang diacunya sejauh realitas tersebut memiliki hubungan korelatif yang kuat dengan representasinya. Di sisi lain, kebenaran itu bisa salah jika saja tidak ada hubungan korelatif yang kuat dengan representasi awalnya.
Sementara itu, ada suatu paradoks yang pada kenyataannya tidak bisa dilupakan dalam proses survey (opini) public, bahwa quick count memungkinkan adanya kesalahan prediksi oleh karena human error yang disebabkan oleh ketidakakuratan penentuan dan pengambilan sampel (sampling error) dari suatu populasi, atau yang lebih parah, terjadinya kesalahan-kesalahan di lapangan yang disebabkan oleh ketidaktepatan peneliti/surveyor dalam pengumpulan data, analisis, interpretasi hasil analisis dan variable-variabel lain yang tidak terduga.
Di samping itu, quick count berbeda dengan survey prapemilihan. Quick count berlaku ketika pemilihan berlangsung sehingga “kejutan-kejutan” di setiap TPS yang dijadikan sampel tidak secara langsung menunjuk pada kesesuaian pada apa yang diperoleh dari keseluruhan TPS yang ada. Contohnya, di satu kelurahan/desa terdapat 10 TPS, kemungkinan sampel yang diambil biasanya adalah 2/3 TPS. Katakanlah di semua sampel TPS yang diambil si calon A mengalahkan B dengan suara mutlak, maka kesimpulan yang bisa diambil bahwa, si A telah memenangkan pemilihan di kelurahan tersebut. Pertanyaannya, benarkah si A telah menang di kelurahan tersebut?
I am sorry... To be Contiuned.....

Tuesday, November 18, 2008

Obama-Biden = Osama bin Laden???

Anyway, as what I red on Irshad Manji's website, Obama-Biden = Osama Bin Laden?! who knows... but, Obama won the election... Congratulation
We just wait and see what Obama will do...


God bless America

Saturday, November 15, 2008

PARADOKS PEMBAGUNAN

Oleh: Astar Hadi
Sentralisme kekuasaan di Era Pembangunanisme rezim Orde Baru (Orba) yang diarsiteki mantan Presiden Soeharto –yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan— telah tumbang. Ini terjadi seiring dengan gejolak krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 yang melanda hampir seluruh kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia. Goncangan hebat krisis ini berdampak pada hancurnya kekuatan ekonomi politik pembangunan Indonesia yang sempat digadang-gadang akan menjadi ”macan Asia” oleh publik Internasional ketika itu.
Indonesia di bawah komando Soeharto sempat ”mengejutkan” publik Internasional, khususnya Asia, dengan penjelmaan kekuatan ekonominya yang berorientasi pada kebijakan pembangunan sektor agraria dengan tujuan menguatkan sektor pertanian dengan kebijakan ’swasmebada beras’ dan pangan pada tahun 1980-an, tiga dasawarsa silam. Keberhasilan pembangunan ini kemudian dikenal dengan jargon ”Revolusi Hijau”, yang mengangkat citra perekonomian dan kepemimpinan Soeharto di mata negara-negara lain, terlepas dari efek samping negatif yang selama ini hampir tidak terungkapakan dan tidak diketahui banyak orang.1
Sementara itu, dampak lain dari krisis ekonomi Asia yang sangat terasa bagi perekonomian Indonesia –melonjaknya kurs per Dollar Amerika (USD) terhadap mata uang Indonesia sampai pada bilangan Rp. 15 Ribu— ini berlanjut pada sidang rakyat terhadap kemimpinan mantan orang terkuat di era Orde Baru tersebut. Puncaknya pada 22 Mei 1998, unjuk rasa besar-besaran oleh hampir seluruh elemen bangsa melawan rezim yang berkuasa selama 32 tahun lebih, yang oleh banyak kalangan dianggap hampir-hampir tidak tersentuh (untouchable) oleh kekuatan politik apapun itu, pada akhirnya, lengser keprabon.
Era Pembangunanisme yang sangat sentralistik itu secara bersamaan ikut runtuh oleh kekuatan massa rakyat. Angin ”segar” perubahan Era Reformasi yang dikenal dengan jargon ”Reformasi Total” yang mengusung semangat ”baru” pembangunan Indonesia Pasca Soeharto, memunculkan euforia rakyat yang memimpikan terjadinya perubahan fundamental dalam berbagai asek kehidupan.
Elan vital transisi menuju demokrasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan sebagainya, dewasa ini, sedang gencar-gencarnya diwacanakan. Berbagai produk undang-undang (UU) dan hukum yang dianggap tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi secara silih berganti diperbaharui, dirubah dan diamandemen. Salah satunya, UU No. 05 tahun 1974 tentang desetralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang dianggap terlalu sentralistik diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 yang ingin membangun kembali Indonesia dengan spirit desentralisasi kekuasaan dalam bentuk balance of power antara pusat dan daerah. UU ini mengusung semangat desentralisasi politik yang bertujuan memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi setiap pemerintahan daerah untuk mengatur dan melaksanakan agenda kebijakan dan program-programnya berdasarkan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yang dimilikinya tanpa ”intervensi” dari Pemerintah Pusat. Di samping itu, UU ini bertujuan agar pemerintah daerah lebih menekankan dirinya pada prinsip demokrasi, yang melibatkan peran serta masyarakat secara utuh, pemerataan pembangunan, dan keadilan, sembari memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Apakah lantas dengan berakhirnya wacana dan praktik kekuasaan pada masa Orde Baru, berakhir pula proyek pembangunan bangsa ala Soeharto di Era Reformasi sekarang ini? Persoalan pembangunan bangsa adalah suatu keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa, khususnya bagi kesejahteraan rakyat miskin. Pembangunan dalam pengertian ini sangat kompleks, tidak saja menyangkut infrastruktur sosial secara fisik, akan tetapi juga menyangkut pembangunan modal sosial kapital (social capital) masyarakat Indonesia yang saat ini justru semakin mengalami erosi oleh karena semrawutnya kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum, selama kurang lebih sembilan tahun masa transisi menuju demokrasi sejak peralihan kekuasaan dari Kerajaan Cendana ketika itu.
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini mengalami pasang-surut pada level terendah di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Alih-alih mampu bersaing, SDM Indonesia dalam empat periode kepemimpinan di Era Refomasi ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Indonesia masih kalah jauh dari tetangga terdekat anggota ASEAN, seperti Thailand, Filipina, Vietnam dan –lebih-lebih— Malaysia. Berdasarkan HDI (Human Development Indexs) yang dikeluarkan pada Desember 2006 yang lalu, indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada peringkat 110 dunia, di bawah sejumlah negara ASEAN yang semestinya masih tergolong ”bau kencur.” Meskipun demikian, anjloknya pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dilangsir HDI 2006 tersebut tidak serta-merta dijadikan sebagai satu-satunya perspektif untuk melihat kondisi bangsa Indonesia yang notabene mengalami kompleksitas permasalahan internal yang sampai saat ini memang perlu untuk dievaluasi secara mendalam. Karena, pada kenyataannya bangsa kita sejauh ini masih bergulat dalam paradoks reformasi dan demokratisasi yang bukannya menciptakan hasil yang positif dan nyata, justru setelah hampir memasuki satu dekade pascareformasi ini, kita mengalami berbagai problem kebangsaan yang kompleks dan tidak bisa dikatakan semakin membaik, baik pembangunan dalam bidang sosial, politik, hukum, dan sebagainya.
Dalam bidang sosial misalnya, kerusuhan dan kekerasan massal menjadi fenomena keseharian yang biasa kita lihat dan baca di media massa, baik elektronik maupun cetak. Sulut api konflik mudah sekali terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam sembilan tahun terakhir, sejak 1998 yang lalu, peristiwa Mei Berdarah, Semanggi I dan II, pembantaian Etnik Tionghoa, Konflik Etnik di Poso dan tragedi Sambas di Kalimantan, pengusiran aliran Ahmadiyah dan pengusiran dengan kekerasan terhadap demonstran (perempuan) yang menentang pembangunan bandara Internasional Tanak Awu di Lombok, sampai pada kasus bentrokan antar mahasiswa di UISU (Universitas Islam Sumatera Utara), dan lain-lain, merupakan bentuk riil wajah bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Di samping itu, fenomena kelaparan, seperti busung lapar, rendahnya kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, dan terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan di beberapa daerah, adalah contoh-contoh lain dari lemahnya suprastruktur dan infrastruktur sosial masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pun demikian, dalam bidang politik, sejak awal reformasi, sembilan tahun yang lalu, konstelasi politik nasional mengalami pasang-surut tiada akhir. Dalam proses transisi menuju demokrasi ini, pambangunan bangsa kita dilanda oleh berbagai kerancuan produk pembangunan yang tidak jelas orientasinya. Sejumlah data menunjukkan bahwa, pembangunan (politik) pasca Orde Baru yang menitikberatkan diri pada pelibatan masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan nyata-nyata masih semacam retorika konseptual belaka. Masyarakat selama ini hanya dijadikan lip service ungkapan pembangunan supaya para penggagasnya tidak dikatakan asosial. Yang sebenarnya terjadi, pada kenyataannya, lebih pada sikap elit politik yang memanfaatkan wacana ruang publik sebagai gaung untuk memainkan dirinya dalam ”politik dagang sapi” dan bagi-bagi kue pembangunan dalam bentuk proyek pribadi antar elit dan pengusaha. Sementara, sampai sejauh ini, rakyat seharusnya menjadi tujuan pembangunan tetap saja tidak dapat menikmati hasilnya, kecuali janji-janji politik semata.
Lebih jauh, ”pemberatasan KKN” yang merupakan salah satu orientasi jargon massa rakyat dan mahasiswa di awal Reformasi untuk memperbaiki pembangunan di bidang hukum, nyatanya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada massa kekuasaan Rezim Soeharto. Kuatnya rekayasa politik terhadap hukum di Era Reformasi ini mengakibatkan tidak berjalannya rule of law. Banyak kalangan melihat, bahwa kesan pemberantasan KKN di Indonesia bersifat tebang pilih. Indikasi ini merujuk pada kasus-kasus besar yang melibatkan elit-elit pemerintahan, mulai dari korupsi Dana Non Budgeter Bulog, kasus BLBI (badan likuidasi bank indonesia), kasus pembunuhan terahadap aktivis HAM (hak asasi manusia) Munir yang diduga melibatkan elit penguasa, dan yang paling gres yaitu pembagian dana DKP oleh Mantan Menteri Kelautan, Rokhimin Dahuri, terhadap sejumlah pejabat pemanangan pemilu presiden 2004 dan sejumlah anggota DPR Pusat, sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pembangunan bidang hukum di negara kita masih berorientasi politis ketimbang penegakan rule of law dan reformasi hukum yang selama ini didengungkan.
Dari sejumlah fakta di atas, orientasi pembangunan pascareformasi yang bertujuan melakukan perubahan ”total” terhadap berbagai mekanisme kebijakan sentralistik dan otoriter di Era Soeharto menuju demokratisasi yang bersifat partisipatif belum –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— menemukan signifikasnsinya. Karena sampai sejauh ini, justru muncul wujud baru otoritararianisme dan sentralisme kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 25 tahun 2004 tentang Pembangunan Nasional bertujuan bahwa, “pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.” Ini berarti, bahwa pembangunan nasional mengisyaratkan pembangunan yang berasas “demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan” dalam bentuk pelibatan segenap stakeholders dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Bahwa secara substantif, masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam setiap kebijakan pembangunan di samping pemerintah dan pihak swasta, memiliki hak yang sama untuk menentukan langkah pembangunan ke depan.
Akan tetapi, mengutip Islamy dalam tulisannya, Membangun Masyarakat Partisipatif masyarakat yang sejatinya sebagai salah satu komponen dalam development policy stakeholders yang seharusnya diberdayakan dan diikutsertakan dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembangunan), secara de facto, mereka hanya ditempatkan pada posisi periferial, atau sengaja dipinggirkan dan menjadi objek pembangunan.2
Padahal, masih Islamy, menegaskan bahwa di dalam rakyat yang seharusnya ditumbuhkan self sustaining capacity, bahkan secara sistematik telah dibuat sedemikian rupa oleh elit pembangunan menjadi selalu tegantung menunggu subsidi dari elit domestik maupun luar negeri (IMF, World Bank, ADB, dan seterusnya).3
Pembangunan, merujuk pada UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2004 –yang secara lebih spesifik mengatur tata cara pemerintahan daerah daam kaitannya dengan keberhasilan pembangunan desa— mengisyaratkan adanya partisipasi aktif masyarakat (stakeholders) dalam berbagai arah kebijakan pemerintah yang menyangkut pembangunan daerah, baik fisik maupun non-fisik. Dalam pengertian lain, pembangunan terkait erat dengan upaya memperbaiki kondisi keberdayaan masyarakat, yang diperluas menjadi peningkatan keberdayaan serta penyertaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, semangat UU Otonomi Daerah (Otoda) di Era Reformasi kali ini, memandang bahwa pelaksanaan keterlibatan masyarakat dengan titik tekan pada strategi yang melihat masyarakat bukan hanya sebagai obyek pembangunan, alih-alih, ia merupakan subyek yang membangun, yang menetapkan tujuan, yang mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses pembangunan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan pembangunan yang lebih diprioritaskan pada pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan menegakkan citra pemerintah daerah dalam proses pembangunan.
Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan di daerah merupakan isu sentral, sehingga menjadi urgensi daerah untuk memberikan ruang yang proporsional bagi masyarakat, baik dalam proses perencanan dan pelaksanaannya. Artinya, suksesnya penyelengaraan pembangunan tidak terlepas dari peningkatan akses dan perluasan ruang lingkup kewenangan serta partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas program pembangunan sesuai tingkat kebutuhan riil masyarakat tersebut.
Agar pembangunan dapat berjalan, seharusnya diletakkan pada prinsip yang berbasis lokalitas. Perubahan dalam konteks pembangunan dari model sentralisme atau top down tersebut, berpengaruh terhadap orientasi pembangunan. Di masa sekarang, terdapat orientasi baru pada pengurangan kemiskinan. Pembangunan harus ”pro-kaum miskin”. Di mana, daerah seharusnya mengembangkan strategi pengurangan kemiskinan melalui mekanisme kemitraan yang aktif dan partisipatif dengan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga sipil lainnya.
Dalam hal ini, pelibatan stakeholder dari kalangan publik dalam penyelenggaraan pembangunan merupakan kebutuhan yang semakin sulit diingkari. Pada era yang lebih terbuka dan bebas seperti sekarang ini harus dibuka ruang untuk pelibatan peran publik atau jika tidak kegiatan pembangunan akan menghadapi resiko kemacetan atau kegagalan. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan dapat merasakan sendiri betapa menentukannya peran publik atau masyarakat dewasa ini sehingga tanpa penerimaan dan dukungan yang memadai dari kalangan masyarakat rencana proyek tak bisa dijalankan. Seriusnya masalah pelibatan publik antara lain misalnya dapat dilihat dari kasus-kasus proyek pembangunan Bandara Internasional di Lombok Tengah yang berlokasi di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah sampai saat ini masih “terkatung-katung.” Proyek yang sudah berjalan hampir 15 tahun sejak Rezim Soeharto masih berkuasa ini masih terus menyulut kontroversi dan konflik berkepanjangan antara pihak pemerintah-swasta vis a vis masyarakat, khususnya warga desa yang bertempat tinggal di sekitar areal pembangunan bandara tersebut..
Meski proses pembangunan proyek Bandara Internasional yang melibatkan PT. Angkasa Pura I sebagai donatur sekaligus pelaksana utama proyek tersebut yang rencananya bekerjasama dengan investor dari Internasional, seperti China dan Abu Dhabi sudah mulai berjalan, akan tetapi resistensi dari sejumlah warga masyarakat masih saja berlangsung.
Seperti publikasi yang dilangsir oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bahwa salah satu peristiwa yang kemudian bias dijadikan refleksi mendalam bagi pemangku kebijakan, di mana tepatnya pada hari Selasa 29 November 2005, Aparat gabungan (Polisi, TNI AD, dan Satpol PP – Satuan Polisi Pamong Praja) melakukan tindak kekerasan terhadap para petani penduduk desa Tanak Awu kecamatan Pujut kabupaten Lombok Tengah provinsi Nusa Tenggara Barat yang mempertahankan lahan sawahnya dari upaya pengerukan dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan bandara internasional.4
Pada tahun 2006 Demonstrasi Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (Serta-NTB), Rabu 25 Januari 2006 pukul 10.00 WITA, di depan kantor DPRD Lombok Tengah diserang segerombolan preman. Menurut Sekjen Serta NTB, Wahidjan, penyerangan itu mengakibatkan sedikitnya 18 orang luka-luka, 2 orang diantaranya luka parah dan saat ini berada di Rumah Sakit Umum di Kota Mataram. Para petani yang berjumlah sekitar 1300 orang menuntut kepada pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi dan penangkapan terhadap petani Tanak Awu. Mereka juga menuntut agar pemerintah memberikan tanah yang selama ini dipertahankan petani yang ingin diambil alih PT Angkasa Pura I untuk pembangunan bandara internasional. Petani juga meminta hak-haknya dilindungi. Demontrasi berawal dari kantor Bupati Lombok Tengah kemudian massa menuju kantor Polres dan berakhir di halaman gedung DPRD Lombok Tengah. Namun ketika massa aksi sampai di kantor DPRD sekitar pukul 12.30 WITA, secara mendadak datang segerombolan orang yang mengaku massa pro pembangunan Bandara Internasional di Tanak Awu. Gerombolan yang mengatasnamakan PAM Swakarsa yang berjumlah sekitar 200 orang itu datang tanpa keterangan apapun, dan langsung menyerang massa petani yang sedang melakukan demonstrasi. Para penyerang menggunakan senjata tajam, batu dan tongkat memukuli massa petani dan melakukan intimidasi agar petani membubarkan diri. Sementara itu aparat kepolisian dan TNI yang berada dilokasi kejadian tidak melakukan tindakan pengamanan yang optimal. Aparat terkesan membiarkan kejadian tersebut berlangsung di depan matanya sendiri. Padahal seharusnya aparat mengamankan jalannya demonstrasi dan melindungi para demonstran yang melakukan aksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Wahidjan menengarai penyerangan dilakukan secara terorganisasi. “Kami menduga penyerangan tersebut terkait dengan rencana pembangunan bandara internasional di Tanak Awu, Lombok Tengah yang selama ini ditentang oleh petani,” ujar Wahidjan. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) memandang bahwa tindakan penyerangan tersebut secara nyata telah melangar hak-hak kebebasan sipil paling mendasar yaitu kebebasan untuk berkumpul, berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Sekjen FSPI Henry Saragih menegaskan, “Aparat seharusnya bertanggung jawab terhadap keselamatan para petani yang melakukan aksi damai dan sudah sesuai dengan prosedur demonstrasi. Aparat harus segera menangkap dan menyelidiki para penyerang.” Atas tindakan penyerangan dan intimidasi yang dilakukan PAM Swakarsa tersebut, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebagai payung organisasi perjuangan kaum tani di tingkat nasional dari Serta NTB mendesak Presiden RI untuk segera memerintahkan Kapolri mengusut tuntas dan mengambil tindakan tegas atas pelaku penyerangan. Selain itu, FSPI menuntut Komisi III DPR RI untuk segera menekan pemerintah dan POLRI melakukan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang memerintahkan penyerangan dan pihak yang secara langsung terlibat penyerangan. Para petani sudah sejak lama menuntut hak-hak mereka atas tanah pertaniannya di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB. Mereka dipaksa meninggalkan lahan garapannya karena pemerintah bersama dengan PT Angkasa Pura I akan membangun bandara internasional di lahan yang digarap oleh para petani. Tanak Awu merupakan lahan konflik antara petani dengan Pemerintah dan PT Angkasa Pura I semenjak masa orde baru. Konflik itu, menurut FSPI, selalu merugikan petani karena prosesnya penuh dengan intimidasi dan teror. Sampai sekarang petani memilih untuk mempertahankan lahan garapannya kendati pemerintah sudah berulangkali melakukan tindakan penggusuran.5
Dari kasus ini terlihat bahwa ada tuntutan perubahan kebijakan yang datang dari masyarakat, hal ini disebabkan karena aktor-aktor (publik dan privat) yang terlibat dalam merealisasikan tujuan bersama itu saling beradu argumentasi mengenai suatu masalah kebijakan tertentu atas dasar sistem kepercayaan yang ada pada mereka. Kegiatan ini adalah inti dari apa yang disebut oleh Sabatier sebagai Koalisi Advokasi, yang merupakan sintesis dari nilai-nilai yang ada pada pendekatan atas-bawah dan pendekatan bawah-atas yang didasarkan atas sistem kepercayaan (belief system). Dan kenyataan di lapangan memang banyak bermunculan koalisi advokasi dan pihak-pihak (policy subsystem) untuk mempengaruhi kebijakan ini, karena memang kebijakan merupakan area kegiatan yang sangat mungkin bagi birokrasi, dunia usaha dan masyarakat selaku aktor untuk berinteraksi. Interaksi itu dapat berupa kerjasama (kolaborasi), sharing kepentingan bahkan boleh jadi persaingan atau kompetisi kepentingan. Karena memang isu kebijakan merupakan produk atau wahana dari adanya perdebatan yang tidak hanya sarat dengan muatan masalah atau ancaman melainkan juga peluang-peluang.6
Kenyataan proses implementasi Proyek Pembangunan Bandara Internasional Lombok Tengah tersebut cenderung menonjolkan perilaku aktor-aktornya. Perilaku yang belum sejalan semangat demokratisasi dan pelibatan publik. Artinya, sejauh ini, orientasi pembangunan dalam perspektif pembangunanisme yang “berideologi” pertumbuhan (growth) ala Rostow yang melihat bahwa indicator keberhasilan suatu negara dalam bidang social-ekonomi adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi makro suatu Negara mengalami pertumbuhan. Pengandaian ini “mengabaikan” factor masyarakat sebagai salah satu entitas penting dalam proses pembangunan karena model kebijakan yang digunakan bersifat top-down, yang memperanggapkan suatu model kebijakan yang seragam tanpa memperhatikan kearifan lokal (local genus). Pada titik ini, problem kesejahteraan atau kemakmuran secara ekonomis dan social pada tingkatan mikroskopik menjadi terabaikan. Sehingga wilayah-wilayah yang paling lolal, seperti Lombok Tengah misalnya, belum tentu memperoleh kue pertumbuhan itu sendiri yang senyatanya menumpuk di Pusat (Jakarta). Tentu saja, hal ini mencerminkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip pelaksanaan kebijakan serta penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Titik tolak dari kebijakan pembangunan seharusnya berupaya mengamini kearifan lokal yang ada sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. Istilah “kearifan lokal” menunjuk pada sekian pemahaman, pemikiran, perilaku, keinginan, keyakinan, pandangan dunia (world view), karakteristik budaya, dan berbagai entitas nilai yang melingkupi masyarakat di mana mereka berada dan mengada. Artinya, kearifan lokal dalam setiap proses pembuatan kebijakan berarti sebuah upaya pelibatan masyarakat secara aktif sebagai upaya sadar pihak pemerintah untuk memahami apa yang diinginkan masyarakat dalam membangun kehidupannya.
1 Ideologi yang memuat paradoks blame the victims sebetulnya telah semenjak era Orde Baru dipraktikkan. Dalam dasawarsa 1980-an, contohnya, kebijakan pembangunan sektor agraria di negeri kita, yang dijadikan sebagai contoh keberhasilan "Revolusi Hijau", ternyata sebenarnya telah banyak memakan korban. Justru di tengah puncak keberhasilan "revolusi" itulah jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar menyusut, dari sekitar 11 juta pada tahun 1980 menjadi sekitar 8,7 juta pada tahun 1983; proporsi rumah tangga di wilayah pedesaan yang hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 hektar telah meningkat dari sekitar 27 persen pada tahun 1960-an menjadi sekitar 43 persen pada tahun 1980-an, tepat ketika produksi beras rata-rata naik 5 persen per tahun dan swasembada beras tercapai pada tahun 1984 (White, 1986). Dampak seperti itu disebabkan pertama, "Revolusi Hijau" itu sendiri secara intrinsik lebih menguntungkan petani besar yang mampu memanfaatkan the economies of scale (lihat al, Lappe dan Collins, 1986; Feder, 1983). Kedua, khususnya di Indonesia, "revolusi" itu dijalankan menurut logika rezim bureaucratic polity yang mengakomodasi kepentingan untuk memelihara dukungan elite desa. Akibatnya, program intensifikasi pertanian tersebut lebih menguntungkan segelintir individu yang menjadi aset politik penguasa, yakni para elite politik desa yang bekerja sama dengan pemilik modal dari kota-kota besar, telah mendominasi lahan-lahan pertanian (lihat al, Mortimer, 1985; White, 1989). Akibat lebih jauh adalah muncul pemusatan pemilikan lahan, di mana pada era Orde Baru diperkirakan sekitar lebih dari 50 persen lahan pertanian dikuasai oleh kurang dari 10 persen petani (lihat al, MacAndrews, 1986; Siahaan, 1983; Kartodirdjo, 1988). Di lain pihak, berjuta-juta petani kecil telah mengalami transformasi, dari individu yang memiliki sendiri alat-alat produksi pertaniannya, menjadi "komoditas" yang menjajakan tenaganya kepada para pemilik modal di berbagai sektor, terutama di perkotaan. Namun dengan bekal pendidikan dan keterampilan terbatas, banyak di antara para korban "Revolusi Hijau" tersebut terpaksa memasuki sektor informal yang sering kali mengganggu kenyamanan kelas menengah perkotaan, seperti pedagang kaki lima, pengemis, pengamen, dan pekerja seks-dan karena itu pula terus-menerus menjadi sasaran dan korban berbagai kebijakan penertiban aparat di perkotaan. Tentang ini, baca artikel Dedy N. Hidayat, “Ideologi Pembangunan "Blame the Victims", Kompas Cyber Media (KCM), Rabu, 28 April 2004. www.kompas.coo.id.. Ulasan lebih detil tentang “proyek” Revolusi Hijau bisa dibaca dalam Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004: hal. 69-110.
2 Lihat M. Irfan Islamy, “Membangun Masyarakat Partisipatif”, dalam Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Universitas Brawijaya Malang, Vol. IV, No. 2, Maret-Agustus 2004, hal. 3.
3 M. Irfan Islamy, Ibid.
4 Tentang kasus tersebut bisa dibaca dari hasil publikasi Perhimpunan Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengenai “Aksi Merebut Kedaulatan Pangan”, 6 April 2006, dengan mengakses situs PBHI, www.pbhi.or.id.
5 Lihat, Publikasi Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) tentang “Aksi Petani di Lombok Tengah, NTB,” 26 Januari 2006. www.fspi.or.id
6 Sabatier, P., “An Advocacy Coalition Framework of Policy Change and Policy-Oriented Learning Therein”, Policy Sciences, 21, 1988, pp. 129–168.

PILKADA & SIGNIFIKANSI SURVEY PUBLIK


Oleh: Tim Indomatrik


I. LATAR BELAKANG
A. PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG

Indonesia memasuki era baru. Setelah presiden dipilih secara langsung, mulai 2005, kepala daerah dipilih secara langsung. Keputusan ini terjadi setelah DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU Otoda). Dengan UU baru ini, gubernur dan bupati/wali kota akan dipilih secara langsung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung ini akan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan biayanya ditanggung APBD. Saat ini pemerintah tengah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengatur secara teknis revisi UU tersebut. Beberapa PP yang sedang disiapkan antara lain menyangkut tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung, pertanggungjawaban kepala daerah, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, tata hubungan antara penyelenggara pemerintahan daerah, kedudukan keuangan kepala daerah, dan organisasi pemerintahan daerah.
Pemilihan kepala daerah secara langsung itu akan mulai dilakukan Juni 2005. Seluruh daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada kurun waktu Juni 2005 akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung untuk mencari gubernur dan bupati/wali kota yang baru. Data dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan, kepala daerah yang habis masa kerjanya sampai tahun 2005 mencapai 185 untuk Bupati / Walikota dan 7 orang untuk Gubernur. Sementara kepala daerah yang sebenarnya telah habis masa kerjanya tahun 2004 ( tapi diperpanjang hingga 2005 karena ada Pemilu), berjumlah 31 orang untuk Bupati / Walikota dan 4 orang untuk gubernur.
Total selama tahun 2005 ada 227 pemilihan kepala daerah secara langsung, yang terdiri dari Pemilihan Bupati / Walikota sebanyak 216 orang, dan Gubernur sebanyak 4 orang. Ini memang angka teoritis. Karena jadi tidaknya pemilihan kepala daerah secara langsung tergantung kepada kesiapan dari daerah masing-masing. Tetapi paling tidak selama 2005, ada lebih dari 100 pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilakukan secara langsung. Departemen Dalam Negeri sendiri menargetkan, sampai lima tahun ke depan (2009), diproyeksikan semua provinsi dan Kabupaten / Kotamadya di Indonesia telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung ini sangat berbeda dengan sistem yang ada saat ini. Sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kedudukan dan posisi kepala daerah sangat tergantung kepada DPRD. Proses pemilihan kepala daerah acapkali diwarnai oleh lobi dan politik dagang sapi. Tidak jarang, di banyak wilayah, pemilihan kepala daerah ditandai dengan jual beli suara dan politik uang. Rakyat pemilih tidak bisa menentukan sendiri pilihan mereka, karena kandidat tergantung kepada anggota DPRD. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat bisa menentukan sendiri siapa yang dipilih sebagai kepala daerah.
Lewat pemilihan kepala daerah secara langsung, posisi kepala daerah akan jauh lebih kuat karena mendapat legitimasi dari pemilih secara langsung. Sebelumnya, posisi kepala daerah juga tidak kuat. Pemerintah kepala daerah bisa mudah digoyang oleh DPRD. Banyak kebijakan daerah yang dibuat dengan berkompromi----tidak jarang disertai dengan jual beli suara dan politik uang. Lewat pemilihan secara langsung, kepala daerah bisa bekerja tanpa khawatir digoyang oleh DPRD. Posisi kepala daerah jauh lebih kuat.


B. APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH KANDIDAT KEPALA DAERAH
Dengan pemilihan secara langsung, politik dagang sapi dan politik uang akan semakin sulit dilakukan. Pemilihan Presiden tahun 2004 lalu menunjukkan, politik uang tidak bekerja sama sekali dalam menentukan pilihan pemilih. Ada dua konsekuensi penting dari pemilihan kepala daerah secara langsung. Pertama, suara pemilih akan sangat menentukan. Kemenangan seorang kandidat tergantung kepada seberapa besar kepala daerah dipilih oleh pemilih. Kandidat kepala daerah harus bisa menarik simpati pemilih sebesar mungkin. Pada titik ini, lobi atau politik uang tidak bekerja sama sekali. Kedua, keberhasilan seorang kandidat kepala daerah bisa diukur dari seberapa mampu seorang kandidat menjangkau pemilih.
Untuk sampai kepada dukungan pemilih, ada tiga aspek yang harus dipunyai oleh kandidat kepala daerah. Pertama, popularitas (sejauh mana kandidat dikenal oleh pemilih). Dalam pemilihan secara langsung, kandidat membutuhkan popularitas. Logikanya, pemilih hanya akan memilih seorang kepala daerah yang dia kenal. Semakin dikenal seorang kandidat oleh pemilih akan semakin baik. Kedua, acceptabilitas (diterima oleh pemilih). Kandidat tidak hanya butuh popularitas, kandidat juga membutuhkan penerimaan publik. Pada titik ini, citra kandidat memainkan peranan penting. Apakah kandidat kepala daerah dipersepsikan secara baik atau buruk oleh pemilih. Apakah kandidat kepala daerah dipersepsikan oleh pemilih sebagai sosok yang kompeten atau tidak dalam menyelesaikan masalah yang ada di daerah. Ketiga, preferensi (pilihan). Pada akhirnya popularitas yang tinggi, penerimaan pemilih yang baik, harus bisa diubah menjadi preferensi. Pemilih akan memilih kandidat kepala daerah pada hari pencoblosan.
Jika kandidat kepala daerah ingin memenangkan pemilihan kepala daerah, ia harus menjangkau tiga aspek tersebut. Kandidat harus bisa dikenal oleh sebanyak mungkin pemilih. Setelah dikenal, kandidat harus juga menanamkan citra yang positif di mata pemilih. Dan pada akhirnya, mendorong pemilih agar menentukan pilihan pada kandidat kepala daerah. Hanya lewat proses inilah kandidat bisa diterima dan dipilih oleh pemilih. Tidak diperlukan lagi politik uang. Tidak diperlukan lagi lobi atau pengumpulan massa. Keberhasilan seorang kandidat tidak diukur dari seberapa banyak ia bisa mengumpulkan massa dalam jumlah besar di lapangan saat kampanye. Yang diperlukan oleh kandidat kepala daerah ada terjun dan merebut hati pemilih secara langsung.


C. PERLUNYA SURVEI BAGI KANDIDAT KEPALA DAERAH
Keberhasilan kandidat pada Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tergantung kepada berhasil tidaknya kandidat mempengaruhi pemilih. Karena itu kandidat membutuhkan data yang akurat: dari soal popularitas, acceptabilitas hingga preferensi pemilih. Di level popularitas misalnya. Kandidat membutuhkan data seberapa besar ia dikenal oleh pemilih. Segmen masyarakat mana saja yang belum mengenal, apa strategi yang bisa dilakukan untuk mendekatkan diri dengan pemilih agar lebih dikenal dan sebagainya. Di level acceptabilitas, seorang kandidat juga membutuhkan data yang akurat mengenai bagaimana penilaian publik terhadap personalitas dan kompetensi kandidat. Bagaimana pemilih menilai kandidat: apakah dicitrakan baik atau buruk. Aspek citra positif apa saja yang melekat pada diri kandidat sehiingga bisa dimaksimalkan lewat strategi kampanye. Aspek citra negatif apa yang ada pada diri kandidat sehingga bisa dilakukan langkah antisipasi, dan sebagainya. Sementara pada level prefersensi, kandidat juga membutuhkan data terpercaya mengenai seberapa besar dukungan pemilih pada kandidat. Bagaimana potensi kandidat dan lawan politik pada hari pencoblosan. Apa strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan dukungan pemilih. Pendek kata, di semua level kandidat membutuhkan data yang terpercaya dan akurat.
Pertanyaannya, alat apa yang bisa dipakai oleh kandidat kepala daerah untuk mendapatkan data tersebut? Kebanyakan politisi melihat besar tidaknya popularitas atau dukungan dari pengumpulan massa saat kampanye. Semakin besar massa yang datang di saat kampanye menandakan ia populer, diterima (acceptabel) dan didukung. Fakta ini seringkali menipu. Banyaknya orang yang berhasil digalang, tidak secara otomatis menandakan besarnaya popularitas dan dukungan pemilih pada seorang kandidat. Pengalaman Pemilu Presiden Tahun 2004 yang lalu memberikan pelajaran tersebut. Meskipun kampanye pasangan Megawati-Hasyim selalu dipenuhi oleh massa, ternyata dukungan riil dalam Pemilu tidak sebesar yang diduga. Pasangan Megawati-Hasyim justru kalah dibandingkan dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla.
Satu-satunya jalan untuk mendapatkan data tersebut adalah lewat jajak pendapat, atau juga dikenal sebagai survei opini publik. Jajak pendapat telah terbukti sebagai alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat masyarakat di banyak negara termasuk Indonesia. Karena itu, survei atau jajak pendapat bisa dimanfaatkan oleh kandidat yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah.


II. TUJUAN DAN KEGUNAAN SURVEI
Tujuan survei adalah mengukur secara akurat, kekuatan dan kelemahan kandidat. Data ini penting sebagai landasan dalam menyusun strategi bagi kandidat dalam memenangkan pemilihan. Paling tidak ada tiga survei yang bisa dikerjakan dan berguna bagi kandidat. Pertama, survei mengukur tingkat pengenalan ( popularitas) kandidat. Kedua, survei mengukur tingkat penerimaan pemilih pada kandidat. Ketiga, survei mengukur besar kecilnya dukungan pemilih pada kandidat.
Survei berguna bagi kandidat. Data survei menjadi cermin bagaimana pemilih melihat kandidat. Data survei juga berguna sebagai bahan membuat strategi untuk mendekati pemilih. Dengan data yang tepat, strategi yang dipakai juga bisa tepat sasaran.


III. METODE SURVEI
A. BAGAIMANA SURVEI DILAKUKAN

Survei atau jajak pendapat adalah cara modern untuk mengetahui pendapat masyarakat. Disebut modern karena survei memakai teknik dan metode penelitian ilmiah untuk mengukur pendapat masyarakat. Surevi adalah cara untuk mengetahui pendapat masyarakat atau pilihan pemilih, hanya dengan mewawancarai sedikit orang. Tetapi metode yang dipakai haruslah benar agar sedikit orang itu mewakili (representasi) dari suara banyak orang. Bayangkanlah Anda memakan daging sapi. Untuk mengetahui bagaimana rasa daging sapi ini, kita tidak perlu memakan satu ekor sapi. Cukup memakan satu cuil daging sudah bisa mengetahui bagaimana kira-kira rasa daging sapi itu. Hal yang sama bisa disejajarkan dengan pendapat masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana pilihan masyarakat pemilih di satu daerah, kita tidak perlu mewawancarai semua pemilih. Cukup diambil perwakilannya (sampel). Kalau di daerah A ada pemilih sejumlah 10 juta, kita hanya perlu sampel sekitar 1.000 orang saja. Untuk mengambil 1.000 orang (sampel) itu diperlukan satu metode, sehingga sampel itu hasilnya sama atau paling tidak mendekati populasi. Ilmu pengetahuan berupa statistik telah memberi banyak petunjuk bagaimana sampel itu diambil.
Asal dilakukan dengan benar dan dengan metode yang ketat, sampel ini tidak pernah salah dalam menggambarkan suara masyarakat. Metode survei telah dibuktikan di banyak tempat, dan di banyak negara.


B. JENIS SURVEI YANG BISA DIPILIH OLEH KANDIDAT
Ada tiga pilihan survei yang bisa dipilih oleh kandidat kepala daerah: Pertama., individual survei. Survei dilakukan satukali saja sepanjang periode pemilihan. Misalnya, Pemilihan Kepala Daerah Bulan Agustus 2005. Kandidat bisa memilih, kapan survei dilakukan---apakah bulan Januari, Mei atau Juli. Wawancara survei hanya dilakukan satu kali saja. Kelebihan dari survei ini, menghemat dari segi biaya. Kelemahannya, survei ini tidak bisa menangkap trend perubahan pendapat masyarakat. Opini publik umumnya sangat dinamis, mudah bergerak dan berubah. Perubahan ini tidak bisa ditangkap dalam individual survei. Karena survei hanya dilakukan satu kali saja sepanjang periode pemilihan.
Kedua, tracking survei. Pada tracking survei, wawancara (survei) dilakukan berkali-kali. Berapa jumlah survei, tergantung permintaan dari kandidat kepala daerah. Jadi kalau hari Pemilihan Kepala Daerah bulan Agustus 2005 mislanya, survei bisa dilakukan 3 atau 4 kali sebelum bulan Agustus 2005. Kelebihan dari tracking survei, karena survei dilakukan berkali-kali, bisa diketahui perubahan opini publik. Kandidat kepala daerah bisa mengetahui naik turunnya popularitas, atau naik turunnya dukungan pemilih pada dirinya. Hasilnya bisa terus menerus dievaluasi dan dijadikan bahan dalam penyusunan strategi. Kelemahan dari tracking survei pada biayanya yang relatif mahal. Karena survei dilakukan 3-4 kali, secara otomatis biayanya 3-4 kali lipat lebih besar dari pada individual survei.
Ketiga, panel survei. Jenis survei ini adalah pemecahan kelemahan dari tracking survei. Sama dengan tracking survei, panel survei adalah jenis survei yang dilakukan beberapa kali sebelum hari pemilihan. Bedanya, dalam panel survei, responden yang diwawancarai dari satu survei ke survei lain sama. Karena responden sama ( panel), maka biaya survei bisa lebih ditekan. Kelebihan lain, sama dengan tracking survei, kandidat kepala daerah bisa mengetahui trend suara dan dukungan pemilih dari satu waktu ke waktu lain.
Pilihan survei yang mana yang akan diambil oleh kandidat, tergantung kepada kandidat itu sendiri. Dalam hal ini pertimbangan strategi, data/informasi yang dibutuhkan dan dan yang tersedia bisa menjadi alasan pemilihan jenis survei.


C. METODE PENARIKAN SAMPEL
Metode penarikan sampel adalah aspek paling penting dari survei atau jajak pendapat. Sampel yang didapat dan nantinya diwawancarai haruslah mewakili ( representasi) dari suara semau pemilih yang ada di daerah tersebut. Metode sampel yang dipakai untuk mendapatkan sampel yang representatif adalah metode penarikan sampel bertingkat (multistage random sampling). Metode ini adalah metode yang lazim dipakai dalam praktek survei atau jajak pendapat di Indonesia. Metode ini dipakai untuk mendapatkan sampel dari karakter populasi yang heterogen seperti di Indonesia.
Seperti namanya, penarikan sampel dilakukan secara bertingkat. Pertama, menarik sampel secara random (acak) kecamatan. Peneliti akan mendata semua kecamatan yang ada dalam satu daerah ( kabupaten / kotamadya). Dari situ lalu diambil secara random kecamatan terpilih. Proses ini bisa ditiadakan. Dalam arti, klien bisa memilih langsung random ke desa / kelurahan, tetapi berakibat pada wilayah yang tersebar dan biaya survei yang relatif lebih mahal. Kedua, setelah kecamatan terpilih, kemudian di data desa terpilih dalam kecamatan tersebut. Lalu secara random (acak) diambil desa terpilih. Ketiga, dari desa terpilih ( bisa sekitar 30-40 desa), peneliti menerjunkan pewawancara. Satu desa akan ditempati oleh satu pewawancara. Pewawancara datang ke desa, dan mendata semua RT ( Rukun Tetangga) yang ada dalam desa tersebut. Proses berikutnya, dilakukan random atas RT. Keempat, dari RT terpilih, pewawancara lalu mendata KK (Keluarga) yang ada dalam RT tersebut. Setelah didata, lalu dilakukan proses random (acak) lagi sampai ditemukan KK terpilih. Kelima, dari KK terpilih itu, pewawancara datang ke masing-masing KK yang telah terpilih dalam proses random. Dengan menggunakan Kish Gris, pewawancara akan menarik sampel responden dari anggota keluarga yang ada dalam satu KK. Dari situ wawancara bisa dilakukan.
Lewat metode acak bertingkat ini, bisa dijamin sampel yang representatif. Sampel yang terpilih adalah pencerminan dari suara populasi masyarakat pemilih.


IV. PELAKSANAAN SURVEI
A. PERIODE SURVEI
Kandidat kepala daerah bisa memilih, kapan survei dilakukan. Secara umum, survei terbagi ke dalam, survei pra pemilihan, hari pemilihan dan pasca pemilihan. Periode survei itu tentu saja mempunyai tujuan yang berbeda. Survei pra pemilihan lebih ditujukan untuk mengetahui pendapat dan opini pilihan masyarakat, termasuk perkembangan dan dinamikanya. Sementara survei pasca pemilihan, lebih ditujukan untuk evaluasi: keberhasilan atau kegagalan pemilihan.
Untuk survei pra pemilihan, waktunya juga bisa dipilih oleh kandidat kepala daerah. Bisa 3 bulan, 2 bulan atau 1 bulan menjelang hari pemilihan. Bahkan bisa pula 1 minggu atau beberapa hari menjelang hari pemilihan. Semua periode waktu survei itu membawa konsekuensi pada tujuan dan sasaran yang berbeda. Survei yang dilakukan jauh menjelang hari pemilihan lebih dimaksudkan untuk mendapatkan input sebanyak mungkin, data dan informasi jauh-jauh hari menjelang pemilihan. Sebaliknya, survei yang dilakukan beberapa hari menjelang pemilihan lebih dimaksudkan untuk prediksi perolehan suara.


B. PROSES PENGERJAAN SURVEI
Survei dilakukan dengan proses sebagai berikut. Prose speratam kali adalah desain riset. Jika desain riset disetuji (tujuan, fokus dan metode survei) akan dieksekusi lewat instrumen survei. Instrumen survei ini yang akan dipakai dalam wawancara lapangan. Setelah wawancara lapangan, dilanjutkan dengan proses input dan analisa data/ Semua proses akan melibatkan klien ( kandidat kepala daerah). Semua proses itu ( dari desain riset hingga analisa data) bisa dikerjakan dalam 14 hari atau 2 minggu.

**Disarikan dari Indomatrik Files

Friday, October 3, 2008

Minal Aidin Wal Faidzin

If there is a day, There Must Be a nightIf there is a black, there must be a white If there is a mistakes, there must be forgiveness

Mata kadang salah melihat....Mulut kadang salah berucap....Hati kadang salah menduga.....
Maafkan segala kekhilafan yang pasti ada....
Tanpa Disadari 11 bulan banyak kata sudah diucapkan dan dilontarkantak semua menyejukkan,
11 bulanbanyak perilaku yang sudah dibuat dan diciptakantak semua menyenangkan,
11 bulanbanyak keluhan, kebencian, kebohonganmenjadi bagian dari diri,
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429H
Minal 'Aidin wal Faidzin Mohon Maaf Lahir dan Bathin
TAQOBBALALLOHU MINNA WA MINKUM
TAQOBBAL YA KARIIIIM

Tuesday, September 2, 2008

Tua-Muda dalam Logika Kekuasaan

Sambungan (Pemimpin Muda dan Ghiroh Multikulturalisme) .....
Tua-Muda dalam Logika Kekuasaan
Kekuasaan? Tanya saja yang muda-muda. Kalau yang yang tua seringkali terseret dalam dua opisisi binner makna kekuasaan; hitam-putih. Yang tua hanya berpikir satu di antara dua jalan kebenaran. Sejarah membuktikan ini. Bagi mereka para sesepuh, kekuasaan berarti berkuasa untuk kepentingan satu pihak yang harus benar, yang harus dijaga, yang harus dimenangkan. Perbedaan pandangan dianggap menyesatkan, perbedaan ideology itu subeversif dan harus dilenyapkan. Tidak ada jalan tengah.
Masih ingat kah kita bagaimana kejinya Undang-Undang Subversi di era Orde Baru yang menjadi tameng kebenaran bapak-bapak kita untuk melenyapkan para aktivis, menghalalkan premanisme Petrus (penembak Misterius) untuk melabrak sipa saja yang dianggap mencoreng muka Bapak tanpa melalui proses hukum yang jelas.
Di era reformasi, setali tiga uang. Alias sama saja. White collar crime mendominasi panggung politik kita. Dengan gaya baru, tapi lebih halus, fatwa sesat terhadap terhadap keyakinan berbeda dilembagakan sedemikian rupa. Pembunuhan terhadap munir adalah bentuk “terindah” dari terror secara fisik dan mental terhadap berbagai aktifitas yang merongrong wibawa pemerintah. Pembelokan sedemikian rupa terhadap prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 45 dengan munculnya “ayat-ayat” hukum yang mentoleransi kolonialisme melalui UU yang membebaskan pihak asing menjarah apa saja yang dimiliki bangsa ini. Lihat saja apa yang terjadi dengan kontrak-kontrak karya pejabat kita dengan para bule itu, yang alih-alih menguntungkan, justru menyeret kita semakin jauh dari kemerdekaan yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan yang muda? Kekuasaan bagi mereka bukan kekuasaan yang terjerembab dalam logika oposisi biner; mereka adalah generasi multitasking. Sebuah generasi yang memiliki seabrek ide dan kreativitas untuk ditelorkan. Sebuah generasi yang bisa melakukan berbagai aktivitas beragam di saat yang sama. Yang muda lebih memahami kenekaragaman karena mereka sudah terbisa menghadapinya, dan yang pasti mereka lahir di saat multiplisitas itu memang sedang berjalan. Idealisme mereka adalah idealisme muda yang penuh spirit, penuh kreatifitas, penuh kegairahan, selalu mengalir, tidak kaku, idealisme yang terbuka terhadap berbagai dialektika, yang terpacu dengan beraneka tantangan. Itulah dunia generasi muda. Semangat mereka adalah semangat mengejar impian menuju Indonesia Baru.

Friday, August 29, 2008

Pemimpin Muda dan Ghiroh Multikulturalisme

Pemimpin Muda dan Ghiroh Multikulturalisme
Mengapa pemimpin muda?! Pertanyaan ini tidak diposisikan dalam sebuah pertanyaan, akan tetapi ia merupakan sebuah manifesto, sebuah jawaban, sebuah keharusan, tentang masa depan bangsa, Indonesia! Kita, generasi muda, sudah saatnya untuk beranjak dari kungkungan konservatisme sebuah bangsa yang dipimpin oleh rezim “tua” yang tidak lagi punya cukup akal untuk merangkul beratus juta ummat yang notabene telah “melampui” definisi masa lalu yang membunuh masa depan; kaum tua dan keangkuhan patriarkalnya ! apa hal?
Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama, semangat kemerdekaan! Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.
Kata ‘kemerdekaan’, sebuah manifesto yang tidak akan pernah selesai bagi bangsa, bagi masyarakat, bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Untuk itu, motor penggerak kemerdekaan harus selalu berganti mesin, selalu dimodifikasi, agar tetap dinamis untuk menggerakkan speed, power and acceleration of democracy. Di antara beratus juta rakyat Indonesia pada kenyataannya, telah muncul “spare part-spare part” baru yang siap mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi sanggup melewati sirkuit-sirkuit kehidupan yang berkelok-kelok dan terjal.
Inilah sebuah zaman di mana kompleksitas kehidupan sedang berjalan. Menegakkan tiang kemerdekaan tidak lagi berarti kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, yang justru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pemberangusan, penghancuran, penindasan terhadap realitas yang lain (otherness), perbedaan dan diversitas (diversity). Kemerdekaan yang seutuhnya adalah kemerdekaan yang mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang selalu berimajinasi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda. Tentu saja, kemerdekaan semacam ini mungkin asing bagi mereka yang sudah sepuh (kalau boleh disebut demikian), tapi tidak bagi yang masih muda.
Bersambung....

Wednesday, July 23, 2008

KHOFIFAH DAN DEKONSTRUKSI POLITIK PATRIARKHAL

Oleh: Astar Hadi
Setelah Era Megawati Soekarno Putri yang merupakan satu-satunya presiden wanita pertama di Indonesia, wacana politik tentang peran wanita di luar ranah domestik semakin menguat. Posisi wanita menemukan momentum kebangkitannya vis a vis hegemoni budaya politik patriarchal.
Di beberapa daerah, sejumlah sosok wanita –yang identik dengan citra kasur, dapur dan sumur— mulai merangsek naik ke panggung politik. Bahkan, salah satu di antaranya sedang menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Banyuwangi, sebuah wilayah tapal kuda yang notabene secara kultur memiliki tradisi yang masih sangat kuat dengan dominasi pejantan tangguhnya.
Trend menguatnya wanita sebagai figur representatif dalam mewujudkan demokratisasi politik di daerah juga ditandai oleh semakin banyaknya peminat dari partai-partai politik yang meminang mereka untuk menjadi calon kepala daerah dalam fenomena Pilkada belakangan ini. Tentu saja, “keberanian” parpol dalam melamar calon pengantin daerah ini sangat mungkin ditengarai oleh pergeseran dinamika politik yang melihat adanya kecenderungan prilaku massa pemilih yang mulai berkiblat pada sosok wajah baru dalam arti yang sebenarnya. Apakah fenomena ini merupakan wujud dekonstruksi opsisi biner (binary opposition) politik terhadap hegemoni penguasa laki-laki?
Dekonstruksi Politik
Rasa “bosan” dengan sosok “yang itu-itu saja” (lelaki) dan terbukti banyak tidak mampu mewujudkan janji-janji kesejahteraan untuk rakyat, secara psikologis akan berdampak pada pengalihan referensi politik pada “sesuatu” yang lain, yang baru, yaitu wanita. Hal ini tidak berarti sebuah generalisasi yang menunjukkan tidak adanya rasionalitas pilihan terkait dengan popularitas, akseptabilitas, dan terutama sekali, kredibilitas calon tersebut.
Pertama, untuk fenomena di Indonesia yang belum benar-benar “melek” politik, persoalan popularitas seorang aktor dalam panggung politik menjadi hal yang cukup signifikan sebagai orientasi pilihan publik. Lebih-lebih, ketika popularitas itu dimiliki seorang wanita, maka itu akan menjadi sebuah nilai “beda” atau credit point ketimbang popularitas itu dimiliki oleh laki-laki yang notabene sudah “lumrah”. Artinya, manakala wanita sudah mampu berapresiasi sedemikian rupa dalam ranah politik yang didominasi pria, secara tidak langsung itu menunjukkan “keunggulan” yang patut diperhitungkan.
Kedua, akseptabilitas atau penerimaan seorang wanita masih bersifat resistant. Dalam sejarah panjang demokrasi di Indonesia, harus diakui, kedudukan wanita sebagai pemimpin baik dalam wacana agama, politik dan budaya masih sangat minim dan bahkan masih dianggap “zona terlarang” bagi mereka. Akan tetapi, manakala akseptabilitas itu diperolehnya dalam wilayah publik dan politik, alih-alih suatu bumerang, hal tersebut justru menjadi privilege (hak istimewaa) yang mengangkat citra mereka melambung dalam rimba laki-laki.
Ketiga, kredibilitas seorang calon pemimpin. Kredibilitas yang bisa diasosiakan dengan persoalan kemampuan manajerial, intelektualitas, dan kenegarawanan, merupakan hal yang paling utama bagi seorang pemimpin politik baik pria maupun wanita. Dalam hal ini, ada sebuah animo yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa “pria dianugerahi 9 akal dan 1 nafsu/perasaan dan wanita sebaliknya” menjadi terbantahkan tatkala semakin banyaknya wanita yang keluar dari lajur domestik dan mampu berbicara banyak dalam konstelasi politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Dan lagi-lagi, secara psikologis, mereka adalah minoritas pengecualian yang sangat mungkin menjadi alternatif perubahan (alternate change) bagi sebuah dinamika politik yang “melulu” dikuasai pria yang terbukti banyak tidak mampu melakukan perubahan yang “cukup berarti”.
Menurut hemat penulis, referensi pilihan masyarakat terkait popularitas, akseptabilitas dan kredibilitas, seorang pemimpin, berpeluang memunculkan kembali berbagai kejutan politik yang sudah terbukti dimenangkan calon-calon yang dianggap “underdog” seperti yang terjadi pada pilpres 2004, pilkada Jawa Barat, dan lain-lain. Apakah hal ini bisa terjadi di Pilkada di Jawa Timur yang salah satu calonnya adalah wanita (Khofifah Indar Parawangsa) yang juga di dukung oleh koalisi partai-partai kecil? Jawabannya, sangat mungkin!
Fenomena “Underdog”
Berdasarkan temuan-temuan dari dua kali survey untuk Pilkada Jatim yang dilakukan Institut Survei Publik (ISP) Jakarta pada periode Mei-Juli 2008, bahwa kejutan-kejutan baru akan sangat mungkin terjadi lagi. Ada sejumlah temuan yang menunjukkah indikasi tersebut.
Pertama, Pilkada Jatim hanya akan berlangsung satu putaran saja. Karena dari dua kali hasil survey menunjukkan dukungan terhadap para kandidat pasangan tidak menyebar secara merata.
Kedua, trend dukungan terhadap pasangan kandidat “underdog” sepertinya semakin meningkat secara signifikan di sejumlah daerah pemilihan Jatim. Kandidat-kandidat yang didukung partai besar yang selama ini diunggulkan sangat mungkin terjungkal meski sudah lebih dulu memasuki arena pertarungan. Yang cukup mengejutkan, dukungan terhadap satu-satunya calon wanita, Khofifah Indarparawangsa-Mudjiono (KA-JI), memperoleh peningkatan yang signifikan dalam dua bulan terakhir priode Mei-Juli ini. Dan, jika trend ini berlangsung secara konsisten, maka peluang Khofifah cukup besar untuk memenangi Pilkada Jatim dalam satu putaran. Sementara trend dukungan terhadap pasangan kandidat lain menunjukkan stagnasi dan bahkan penurunan.
Ketiga, presentase dukungan menunjukkan bahwa popularitas Khofifah semakin menguat (63%) dan semakin diakui pemilih (71,6%). Yang lebih menguatkan, bahwa Jatim yang merupakan basis utama pemilih NU menempatkan Khofifah sebagai calon Gubernur representasi warga NU (32%), sementara Soekarwo (19,3%), Achmadi (9,4%), Soenarjo (5,5%), dan Soetjipto cuma (4,1%).
Perolehan Suara Pilkada Jatim Mei-Juli 2008 (ISP)

Kandidat Hasil Survey Mei 2008 Hasil Survey Juli 2008
Khofifah IP.-Mujiono (KA-JI) 8,0% - 16,6%
Soetjipto-Ridwan Hisyam (SR) 10% - 10,2%
Soenarjo-Ali Maschan Musa (SALAM) 14,8% - 10,9%
Achmadi-Suhartono (ACHSAN) 3,2% - 3,7%
Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KARSA) 23% - 25,7%
Belum memutuskan (Undecided) 41% - 32,9%
Dalam analisis lanjutan (Markov Chain Analysis) yang dilakukan ISP, trend perpindahan suara pemilih (swing voters), terjadi pergeseran jumlah dukungan dan urutan pemenang. Dalam analisisnya, pasangan KA-JI berpotensi naik dari 17-24 persen, sementara KARSA berpotensi turun dari 26-22 persen. Kemungkinan ini memperlihatkan akan terjadinya persaingan perebutan suara yang ketat antara dua pasangan kandidat, KA-JI dan KARSA.
Dengan demikian, terlepas dari apakah analisis ini nantinya terbukti atau tidak, setidaknya temuan-temuan ISP di atas kembali mempertontonkan fakta-fakta sosial tentang pergeseran prilaku pemilih dan fenomena perubahan sosio-kultur masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Tentunya, secara tidak langsung masyarakat mulai mengalami “konversi” ideologis, keyakinan, cara pandang, harapan, dan imajinasi untuk masa depan yang lebih baik, yang oleh Jean Jacques Lacan disebut sebagai citra cermin (mirror image), yang memantulkan kembali subyek pada obyek awalnya, yaitu citra ibu (wanita) yang santun, yang selalu siap mengayomi dan memanjakan anaknya dengan kesejahteraan ekonomi. Wallohu A’lam bi Al-Showab.
* Astar Hadi adalah Peneliti dan Asisten Koordinator pada Indomatrik (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur dan Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik Unibraw Malang.

Sunday, July 13, 2008

"AKU GAK TAU"

berawal dari "aku gak tau"....
hidup adalah sebuah nuansa yang menyemati setiap langkah ku, kalo tidak bisa dibilang semua manusia. nuansa yang bisa saja bernama cinta, cita, rasa, kuasa, yang bergumul dalam paradoks.
harapan-keputusasaan, optimisme-pesimisme, bergelayut memenuhi "ruang" nuansa kehidupan. mereka bertabrakan satu sama lain, berseteru, memperebutkan ruang tersebut.
ini lah sebuah proses menjadi untuk, dan proses tidak menjadi untuk... KEHIDUPAN !. well, di sini lah kehidupan menampakkan senyum manis sekaligus kelesuan yang bertengger bersama memenuhi cakrawala dan sekaligus bianglala....
apa daya...?!
karena pada dasarnya, daya adalah sebuah upaya kehidupan, daya adalah nestapa kehidupan, yang selalu merangkak, merangsek, naik mengejar apa saja dalam wujud yang bagaimana saja.
ini niscaya.... bahwa jalan kita terlalu panjang, tidak berarti terjal, tidak berarti lancar. yang pasti, niscaya kita adalah niscaya sejarah kehidipan yang selalu berulang. ya, sebuah sejarah kehidupan yang penuh nuansa, tentang cinta, tentang cita, tentang rasa, tentang kuasa, dalam diri paradoks bernama manusia !!!!
dan akhirnya, tetap saja "aku gak tau"

Wednesday, May 7, 2008

Rasa itu...

Aku hanya ingin bertutur pada cinta
bahwa aku tidak mampu membohongi rasa,
tidak mampu menyembunyikan asa.

Aku gak mo bertanya
tentang siapa, apa, kenapa, bagaimana,
karena semuanya sudah ada dan mengada
dalam sedalam-dalamnya jiwa

Aku cuma berupaya menjaga
apa yang sudah ada dan mengada
apa adanya.

Aku gak mo merusaknya,
karena aku percaya dan meyakini rasa itu
memang hadir dari dalam jiwa

Aku memang bukan siapa-siapa
yang mampu merubah yang sudah ada
dengan ada "bersamanya".

Jangan bertanya... !!!
Karena rasa sudah menjawabnya

00:27 WIB
Malang, 05-05-08
China dan Pembantu

Aku punya temen sekelas di masa kuliah S1 dulu yang “n’gilani” dan punya cita-cita yang cukup unik bin langka. “Cita-cita ku sederhana aja, pengen punya pembantu China,” tuturnya, setengah becanda. Mungkin juga, maksud temenku ntu cuma sekadar guyonan pembuka obrolan seserius apa pun. Maklum, dia emang rajanya fresh joke (guyonan segar kalee maksudnya). Meski demikian, aku sempat dibuat berpikir bahwa yang dikatakannya, ada benarnya. “Kebayang nggak”, lanjutnya, “kalo punya pembantu China kayaknya asyik banget, jarang-jarang loh orang punya pembantu China, sebaliknya malah kita-kita ini (non Chinesse, pen) yang kebanyakan jadi pembantu mereka, bukan begitu?!,” celotehnya menjelaskan.
Begitu lah temenku, si Blacky (Nama Samaran, kayak Koran aja), yang ternyata emang jago juga menggunakan logat “Mandarin” versi ngawurnya –kebetulan dia cuma bener pas nyebut kata Metro Xinwen dan Wu ai ni ketika itu, yang lainnya cuma ngepas-ngepasin doank. Ya, jujur aja, aku sempat berpikir kayak si Blacky. Lucu juga kalo pas naik mobil ntar orang-orang bisa salah kira, yang mana bos yang mana pembokat.... hahaha. Kalo menurut saya sich, pasti si Blacky deh yang dikira pembantunya. Ya maklum lah, setauku, selain item, pakean gak keurus, tampang awut-awutan, si Blacky –terakhir-akhir ne dia ganti nick-nya agak nge-Eropa Timur dengan sebutan Gosongkovic-- juga jarang mandi.
Lain Blacky, lain pula si Pepy (juga bukan nama sebenarnya). Si Pepy, kebetulan temenku juga, yang bekerja di sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS ini sich gak pengen punya pembantu China. Pria yang juga selalu membagi-bagi kondom –setidaknya aku mesti dikasih hampir di setiap kali ketemu— untuk healthy sex ini, Cuma merasa miris dengan fenomena economical gap yang dilihatnya akhir-akhir ini.
Berawal dari sekadar basa-basi di telepon, Pepy bercerita padaku, bahwa suatu malam, di bulan April 2008 yang lalu, ia dan temennya yang juga temanku berjalan-jalan ke Tunjungan Plaza (TP) Surabaya untuk melepas penat plus cuci mata selepas penelitian lapangan yang cukup melelahkan. Karena perut dah pada keroncongan, ia dan temennya ini langsung aja menuju lantai IV buat membuang waktu membeli suasana alias makan-minum + cangkrukan di sebuah Café di pusat perbelanjaan tersebut. “Aku jadi sedih ngeliat orang-orang kayak aku (orang Jawa) Cuma jadi pelayan di tempat itu,” keluhnya. Pria kondom ini, begitu aku memanggilnya, melihat orang-orang yang nyantap makanan di sekelilingnya rata-rata etnis Tionghoa, sementara yang “pribumi” bisa dihitung dengan jari. Nah loh?! Emang kenapa? Cemburu kalee…
“Sama sekali nggak,” bantahnya tegas, menimpali celetukanku di telepon. Dengan nada yang kayaknya serius banget deh, ia jelasin ma aku bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ekonomi bangsa Indonesia yang justru dikuasai oleh etnis minoritas. Terjadinya ketimpangan ekonomi ini bukan terletak pada ketidakmampuan warga non-Tionghoa dalam mengelola sumber daya ekonomi yang ada, akan tetapi ada, yach, semacam pengebirian yang menempatkan warga “pribumi” pada posisi periferial. Gto loh !!! “Ini memang bukan salah Chinesse semata,” bebernya. Kebijakan pemerintah baik dalam jalur birokratis maupun secara politis sepertinya lebih condong "mempermudah" izin usaha yang dilakukan oleh warga Ras Kuning ini. Sementara itu, untuk warga Indonesia yang bukan Tionghoa, lebih-lebih yang miskin, seringkali dipersulit melalui birokrasi yang njlimet setiap kali mau mengurus izin usaha baru. benarkah? Mungkin kata2 teman saya ini berlebihan. karena, nyatanya, etnis Tionghoa bekerja berdasarkan kemampuannya, bukan atas dasar pilih kasih, lebih-lebih terkait izin usaha.
Yg pasti... orang miskin di larang naek pangkat kalee. Mending kayak di sinetron, itu tuh, biasanya yang awalnya jadi pengemis, ada gadis angkot, usut punya usut, ending-nya bisa berubah jadi kayak mendadak. Coz, ya ternyata si lakon ntu cucu ato anaknya orang the have yang kebetulan terlantar. Pokoknya kalo dah di sinetron, yang kere mudah banget jadi elite. Kali aja orang2 miskin jadi pada demen nonton sinetron gara-gara bayangan jadi kaya itu mudah bangetttttt... Moga aja aku ne keturunan, Bill Gates atau paling nggak, ya ada titisan keluarga Cendana lah, ya minimal sebagian hartanya nyerempet ke aku... yachhhh, jadi kebayang sinetron lagi dunk.... jadi ngelantur neh.. hehehe.
Oh ya, mpe lupa... begini loh, lebih jauh Pepy ngeliat, fakta-fakta shopping center dan basis-basis usaha industri manufaktur di Indonesia, khususnya Jawa Timur, kebanyakan dikuasai oleh etnis minoritas tersebut. Bahkan, tegasnya, kerajaan bisnis warga Tionghoa telah merambah bidang-bidang usaha lainnya seperti pertanian dan peternakan misalnya.
“Bukannya saya anti China, tapi pemerintah harus fair dong,” kritiknya. Bak seorang aktivis -wah hampir lupa kalo dia tuh emang seorang aktivis kelamin— dia menegaskan bahwa untuk melawan “ketidakadilan” ini diperlukan langkah ideologis yang mendorong terjadinya perubahan arah kebijakan ekonomi baik di tingkat Lokal maupun Nasional yang tidak diskriminatif, yang tidak hanya berpihak pada etnis-etnis tertentu, baik China, Jawa, Dayak, Arab, atau etnis lainnya di Indonesia. Semua komponen bangsa berhak secara adil untuk memperoleh kesejahteraan ekonominya melalui kebijakan yang berpihak pada semua kalangan, dan lebih khusus bagi yang berada di bawah garis kemiskinan, siapa pun itu.
Pada akhirnya, saya Cuma bisa mengangguk-anggukan kepala mendengar pemaparan melalui telepon tersebut. Tapi saya secara pribadi juga berpendapat, apa yang dikatakan Blacky yang mungkin sekadar guyonan maupun gaya serius Pepy mungkin "ada benarnya" juga. Keduanya, secara tidak langsung telah membeberkan fakta-fakta tentang terjadinya ketimpangan ekonomi yang begitu besar di tubuh negeri kita ini.
Karena pada prinsipnya, kita semua adalah bagian dari warga bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama (SARA) selayakanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam melakukan tindakan ekonomi masing-masing dengan syarat kebijakan yang nantinya ditelorkan tidak bersifat diskriminatif. Kan katanya kita-kita ne BHINEKA TUNGGAL IKA…Iya gak, iya gak?!
Capekkkk dehhhhh.... yeah, menurut hemat saya sich (bukan penghematan duit loh… hehehe), sudah saatnya ada gerakan yang lebih ideologis dalam menjajaki Visi Ekonomi Indonesia ke depan yang cucok bokkk alias egaliter, pro rakyat miskin (pro poor policy) dan tentunya tidak diskriminatif... Wallohu A’lam.

Friday, May 2, 2008

Aku, Kamu dan Gadis Pujaan Itu...


Aku tak berdaya. Ya, aku gak sanggup lagi menjaga “persahabatan” yang telah kita jalin begitu lama. Lebih lama dari sekadar ukuran waktu, 3 tahun memang. Tapi dinamika rasa, cinta, kasih-sayang, konflik, canda tawa, yang telah bersemayam dalam ikatan kebersamaan kita melampui semua definisi waktu yang ada. Kita seakan bertemen, bersahabat, bersaudara, berawal dari nol waktu dan berakhir tanpa akhir. Kamu pun tau itu…
Tapi entahlah… karena cinta pula waktu telah menguji aku, kalau tidak bisa disebut “kita.” Aku, kamu dan atau kita, sekarang berada dimana? Apakah kita masih bersama atau justru telah berpisah? Aku gak tau. Yang ku tau, waktu seakan tertawa terhadap keabadian makna persahabatan. Ia seakan mengejek otak dan hatiku, mungkin juga kamu, yang ternyata sama-sama berkelahi atas nama “cinta”. Saling berebut, saling mencakar, hanya untuk membunuh keabadian. Kata orang, persahabatan itu abadi, sementara cinta seakan menjadi biang keladi.
Mungkin juga. Entah ini salah siapa. Trus, siapa yang benar? Gak ada yang salah, gak ada yang benar. Kamu atau aku selayaknya mengakui, menyadari, bahwa kita sama-sama jatuh dalam pelukan cinta yang sama, bernama Gadis Pujaan. Gadis pujaan itu, aku atau kamu sama-sama mengerti, yang mengawali lahirnya biang keladi persaingan memenangkan jiwa yang narsistik… “Dia Milikku” Yovie n The Nuno mungkin sangat tepat mendendangkan bahwa antara aku dan kamu juga ingin berkata.. “Dia milikku, Bukan milikmu.”
Bullshit !!! siapa yang bilang persahabatan itu lebih abadi dari cinta, atau sebaliknya. Toh, semuanya akan berakhir dikubur. Seharusnya cinta menhargai persahabatan. Persahabatan juga harus fair donk, selayaknya untuk menghargai cinta juga. Baik persahabatan maupun cinta tidak pernah salah, begitu pula Gadis Pujaan. Yang salah, tentunya, aku dan kamu, yang tidak mampu menyikapi keduanya apa adanya. Gadis Pujaan pun menjadi korban “keganasan” ruang dan waktu yang telah mempertemukan kita bertiga.
Apa daya… realitas kita adalah realitas ruang dan waktu. Tempat dan saat bersuanya perasaan cinta dan persahabatan yang tidak mungkin baka. Aku dan kamu hanya bisa sama-sama berjuang meraih apa yang ada di depan mata, Gadis Pujaan. Moga saja kita sama-sama sadar bahwa aku dan kamu sama-sama manusia fana yang belajar untuk menghargai rasa tanpa perlu saling mencerca dan mencela… karena aku dan kamu adalah sahabat yang sama-sama bisa jatuh cinta pada siapa saja. Wallohu A’lam…
Malang
Jum’at, 02 Mei 2008. 10.00 WIB

ARTI CINTA....

Entah hujan, entah gerimis
Itu sama saja...
Suatu peristiwa, jatuhnya air dari langit
Membasahi semesta
Begitu pula,suka dan duka
Tiada yang berbeda...
Sama-sama memberi makna
Memperluas cakrawala
Memberi dinamika
Biarkan semuanya mengada
Bermain dalam diri Sang Ada
Mencipta jejak yang sejatinya tiada
dalam sedalam-dalamnya jiwa
Demikianlah....
Cinta bercerita tentang apa adanya,
tentang bentuk tandanya
tentang makna tiadanya
yang berada di mana-mana
dan, tidak ke mana-mana
Malang, 27-04-08, 22.39 WIB

IPDN dan Mentalitas Orde Baru

IPDN dan Mentalitas Orde Baru
Oleh: Astar Hadi*

Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain. Pendidikan menjadi penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Setiap upaya membangun generasi bangsa yang beradab, berkarakter dan bervisi ke depan, membutuhkan modal sosial (social capital) yang mensyaratkan di dalamnya daya kritis (kritisisme), sikap luwes dan energi kreatif, yang seharusnya muncul pertama-tama melalui generasi muda sebagai lokomotif perubahan. Hanya melalui generasi muda terdidik, peradaban sebuah bangsa dimulai.
Sejauh ini, menunjuk pada ”kesepakatan” umum, solusi kongkret yang menjadi indikator paling rasional untuk meraih social capital handal itu hanya melalui jenjang pendidikan. Benarkah demikian?
Membanggakan pendidikan, lebih-lebih peradaban bangsa, negara kita mungkin harus selalu kecewa –kalau tidak bisa dibilang terluka. Betapa tidak! Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini Indonesia kembali dihadapkan pada peristwa memalukan dalam dunia pendidikan kita. Dari peristiwa ”kecil” Ospek di setiap tahun ajaran baru dimulai, media massa cetak maupun elektronik selalu diwarnai berita-berita seputar kekerasan senior terhadap juniornya. Alasan yang seringkali muncul menjadi tameng penangkis hampir tidak pernah berubah; menguji mental. Cara-cara militer pun acapkali dianggap ”manusiawi.” Sudah cukup?
Ternyata tidak! Belum pulih ingatan kita atas meninggalnya Wahyu Hidayat –siswa STPDN yang sekarang berganti nama menjadi IPDN— yang ditengarai karena penyiksaan fisik oleh seniornya, kali ini kasus serupa juga menewaskan Cliff Muntu, calon Praja IPDN Sumedang, Jawa Barat.
Lagi-lagi, bukan intelektualitas-moralitas, tapi faktor ”kekerasan” menjadi salah satu ”syarat” lulus dan layaknya seseorang menggandeng gelar calon pegawai pemerintah yang (katanya) nantinya menjadi pengayom masyarakat. Mentalitas pendidikan kita, pada akhiranya, akan melahirkan mentalitas Orde Baru, ”tidak manut, gebuk aja, semua pasti beres bos!”
Mentalitas Orde Baru: Pendidikan Panoptikon
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Dengan dalih menjaga “moralitas” bangsa, kekuasaan menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantui berbagai aktivitas publik. Berbagai bentuk aktivitas selalu dicurigai, dibatasi, ditekan sedemikian rupa untuk menjaga harmonisme kekuasaan.
Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk dunia pendidikan. Kebijakan NKK-BKK yang memasung kritisime dan nalar kreatif mahasiswa di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah pendidikan panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (senior).
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior, seperti kasus yang terjadi di IPDN tersebut, adalah bentuk serangan mental negatif yang sangat mungkin bertujuan membangun trauma psikologis makhluk terdidik. Artinya, kendati ada pembelajaran yang merangsang kecerdasan otak, panoptikonisasi mampu ”menganulir” kecerdasan yang dimiliki pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap tindakan menyimpang dari atasan (senior) sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kecerdasan) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Alih-alih pendidikan mampu membentuk –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis (critical consciousness) bagi masyarakat, justru karena model kekerasan (panoptik) yang diciptakan, kita tidak lebih hanya sebagai ”pajangan” panjang gelar intelektual yang, layaknya buku, ”hanya berjejer indah dan rapi di lemari tanpa pernah kita tahu apa yang harus kita lakukan dengannya”. Yang kita tahu bahwa kita telah menjadi ”milik” orang-orang tertentu yang bebas melakukan apa saja.
Menanggalkan IPDN-isme
Dulu STPDN, sekarang IPDN. Hasilnya sama saja. Sikap otoriter masih saja dipraktekkan. Pihak pemerintah, khusunya Depdagri, tidak perlu reaksioner dan grusa-grusu dengan mengganti nama lagi atau membubarkannya kalau saja kebijakan atau sistem pendidikan yang ada tetap saja berbau otoriter. Ini akan berbuntut panjang, yaitu membentuk calon pelayan rakyat yang berorientasi pada ”kepatuhan” dan ”ketaatan” tanpa reserve dengan cara-cara ”menghalalkan” kekerasan.
Unsur-unsur panoptik ’IPDN-isme” dalam pendidikan akan menghasilkan sejumlah banyak orang ”cerdas” yang tidak mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Ibarat mesin, kita pada akhirnya, hanya sanggup berkata ”ya” pada remote control kekuasaan, meskipun harus menzalimi (kebenaran) yang lemah.
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari kasus IPDN atau pendidikan yang memasukkan unsur kekerasan adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan kaeadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek otoritarianisme pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskrimanatif, bangsa kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus pemerintahan.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society

  • Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society
    (Review Singkat atas Sosiologi Postmodernisme karya Scott Lash)
    1
    Oleh: Astar Hadi

    Posmodernisme
    Posmodernisme. Aliran macam apa lagi ini? Istilah posmodernisme pertama kali digunakan sejak tahun1917 oleh seorang filsuf Jerman, Rudoplh Pantwitz. Panwitz menggunakan istilah ini setelah mengamati adanya gejala nihilisme
    2 kebudayaan Barat Modern. Secara kritis Panwitz melihat adanya kecurigaan mendasar dari para dedengkot penganut aliran “kecurigaan” yang lekat pada sosok Nietzsche, Rousseau dan Schopenhauer. Mereka menganggap modernisme sebagai wacana dominan ketika itu sebagai isme yang tidak lagi “layak jual” dalam menghadapi gejolak dunia yang sudah sedemikian kompleks.
    Posmodernisme, dengan demikian, merupakan wacana pemikiran baru yang meng-conterdiscourse wacana modernisme. Kritik posmodernisme terhadap modernisme seringkali disandarkan pada “kecongkakan” klaim modernime tentang adanya kebenaran mutlak sebagai subjek yang sadar, rasional dan otonom. Klaim ini merujuk pada sekian asumsi yang menyatakan bahwa “kodrat” manusia sebagai makhluk berakal yang memiliki sikap “objektif” dan “rasional” terhadap eksistensi ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
    Kesadaran modernisme adalah kesadaran dogmatisme ilmu yang menjadi landasan absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Ruh Absolut (Hegel), adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover (Aristoteles) dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes).
    Konsep kesadaran modernisme di atas dianggap tidak memadai oleh posmodernisme. Penolakan posmodernisme terhadap klaim-klaim tersebut karena menyadari tidak ada lagi kapabilitas subjek untuk mengenal realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep kosong” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan tanda yang tumpang-tindih dengan hanya mengandalkan hirarki ruh absolut yang tunggal.
    Sudah saatnya memainkan paralogi
    3 di saat manusia berahadapan dengan logika yang tidak linier (Lyotard). Mental kebenaran universal hanya akan menciptakan oposisi-oposisi biner baru yang justeru menghancurkan yang lain dari kearifan yang dimilikinya, maka harus ada upaya dekontruksi “kebenaran” (Derrida). Modernisme terlalu congkak dalam memahami otonomi manusia sebagi subjek berpikir yang melegitimasi epistemologi sebagai suatu yang netral, bersih, suci dari na’jis hasrat untuk berkuasa (Nietzsche dan Faucoult).
    Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang kemudian dikenal dengan nama posmodernisme. Posmodernime sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana yang sedikit banyak dibahas Scott Lash dalam Sosiologi Posmodern. Di antaranya: (1) wacana kritis terhadap estetika modernisme; (2) wacana kritis terhadap arsitektur modern; dan (3) wacana kritis terhadap filsafat modern.

    Sosiologi “Posmodernisme” Scott Lash: Bias Modernisme?
    Scott Lash adalah seorang modernis, demikian kilah Bambang Sugiharto dalam pengantar untuk buku tersebut. Apakah bias modernisme akan muncul dan mereduksi “definisi” posmodernisme ketika seorang Modernis, seperti Lash, yang coba menyodorkan pemahamannya tentang posmodernisme itu sendiri? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengetahui apakah pengarang cukup memiliki netralitas, tidak tendensius dan tidak tenggelam dalam gempita vis a vis modernisme dan posmodernisme. Scott Lash menulis:
    Bagi saya, posmodernisme bukan suatu kondisi, juga bukan sesuatu yang memiliki jalinan dengan posindustrialisme, jenis masyarakat, dalam arti bahwa orang berbicara mengenai masyarakat industri, atau masyarakat kapitalis, atau masyarakat modern. Menurut saya, posmodernisme terkungkung dalam lingkup kultur. Posindustrialisme merupakan salah satu sifat penting dari ekonomi kapitalis kontemporer. Akan tetapi, ini hanyalah sifat yang sepenuhnya ekonomis, bukan cultural. Oleh sebab itu, posindustrialisme bukan bagian dari posmodernisme, seperti yang diyakini oleh Jean-Francois Lyotard… Namun, hal ini berhubungan dengan kompatibilitas (kesesuaian) dan hubungan kompatibilitas khusus dengan ekonomi kapitalis posindustri. (Hal. 13-14).

    Apa benang merah yang dapat ditarik dengan pendapat Lash di atas? Lash benar ketika mengatakan posmodernisme bukan sebuah kondisi yang melekat pada semacam gejala umum menyangkut aktifitas masyarakat di era industri atau posindustri. Karena, posmodernisme tidak berbicara mengenai kondisi dan atau aktifitas masyarakat.
    Alih-alih, Posmodernisme menyangkut isme yang berada pada jalur yang mempertentangkan “paradoks konseptual” modernisme yang meletakkan dirinya sebagai paham akan adanya grand narrative (narasi agung) berupa kebenaran universal, otonomi subjek dan objektifitas ilmu pengetahuan yang superordinat terhadap narasi-narasi kecil, sebagai konsekuensi dari logika pencerahan atas dunia lain yang irasional, marjinal dan tidak berperadaban.
    Terkait di atas, perlu dipahami bahwa, mungkin, Lash ataupun pemikir lain hampir sepakat, bahwa antara posmodernisme dan posmodernitas harus dibedakan. Bahwa gambaran sosiologis tentang masyarat posindustri, aktifitas yang dilakukan, logika kerja, logika konsumsi dan segala bentuk prilaku masyarakat secara umum dalam suatu kondisi, merupakan gejala yang ditunjuk sebagai posmodernitas, bukan posmodernisme.
    Secara teoritis saya cukup sepakat dengan pendapat Lash tentang Posmodernisme. Di mana, tidak ada klaim tertentu yang manganggap bahwa wilayah sosiologi posmodernisme sudah definitif. Tapi Lash tidak cukup paham dengan posmodernisme ketika menganggapnya hanya terkungkung pada lingkup kultur. Sebab, bagi saya, kultur tidak ada hubungannya dengan posmodernisme. Pada titik ini, kultur merupakan sifat terpenting dari kondisi posmodernitas masayarakat posindustri yang meletakkan kerja sebagai bentuk pemuas hasrat untuk kenikmatan memperoleh konsumsi sebanyak-banyaknya. Sementara aspek terpenting posmodernisme adalah pada paradigma hasrat yang membongkar tatanan discourse modernisme yang mapan.
    Menunjuk pada kondis kultur tertentu yang dicirikan oleh beralihnya moda produksi yang secara tegas melihat adanya pertentangan kelas borjuis vs proletar, menuju logika konsumsi yang memperjelas “keruntuhan” logika alienasi Karl Marx oleh perayaan konsumerisme masyarakat posindustri. Kerja bermakna tidak sebatas pada siapa mendominasi siapa, bukan pula meyakini adanya nilai yang inheren dalam kerja itu sendiri. Alih-alih, kerja semata-mata sebagai sarana pemuas dorongan kenikmatan. Jadi, masyarakat tidak lagi mempersoalkan apakah kerja yang dilakukannya itu membuatnya tearasing atau tidak.
    Lantas di mana posisi sosiologi posmodernisme Lash? Untuk tidak mengatakan paradoks atau bias modernisme, Lash memang “mampu” mengamati gejala posmodernitas dengan gamblang yang secara sosiologis dicirikan oleh terfragmentasinya kelas-kelas social pada berbagai bentuk kepentingan dan permainan tanda budaya yang tidak bisa distratifikasi secara utuh. Akan tetapi, lash tidak cukup kritis dalam memahami posmodernisme karena ia lebih dulu terjebak pada paham modernisme yang meletakkan estetika pada rasionalitas substantif dalam menekankan pentingnya hasrat dan kreatifitas estetik. Wallahu A’lam


    1 Makalah ini disampaikan pada Tadarrus Buku Ba’da Tarawih oleh lingkar diskusi Mazhab Tlogomas di Warung Hendra, tanggal 14 Oktober 2006, Malang.
    2 Nihilisme adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Nietzsche untuk menggambarkan kondisi peradaban barat yang menuju ketiadaan karena berfondasikan tradisi filsafat Socrates dan Yudeo-Kristiani yang mematikan kehendak berkuasa demi harmoni dan keselarasan.
    3 Paralogi, kurang lebih, merupakan tawaran Lyotard yang memperanggapkan tidak memadainya “metanarasi” Logos sebagai konsep kebenaran universal yang menegasikan narasi-narasi kecil yang justeru memiliki kearifan. Untuk itu, harus ada logos-logos lain dalam melihat kompleksitas yang ada, yang kemudian disebutnya Paralogi