Friday, November 11, 2011

Pahlawan itu Ada Karna Memilih Merdeka

Oleh: Astar Hadi*

“Dengan kekayaan, tanah asing adalah negeri sendiri, sedang kemiskinan bahkan tanah sendiri menjadi negeri yang asing,” (Imam Ali bin Abi Thalib).


10 November sebuah hari yang “sangat” penting dan bahkan mungkin sangat berharga untuk kita renungkan. Menarik jauh ke belakang, bertepatan dengan tanggal tersebut, peristiwa bersejarah di tahun 1945, 66 tahun yang silam, mengingatkan kita pada sebuah perjuangan berdarah merebut kota Surabaya dari tangan penjajah Belanda. Bung Tomo, tokoh utama, yang menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan sampai mati itu, menjadi sebuah penanda sejarah yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sekaligus Hari Pahlawan.
Semangat bambu runcing, timah panas, darah, air mata, kematian, yang telah tercatat dalam tinta sejarah emas bangsa kita menorehkan banyak kisah betapa negeri ini dibangun melalui perjuangan luar biasa para pendahulu kita yang tidak pernah kenal kata menyerah. Kegigihan, keikhlasan dan keberanian dengan peralatan “seadanya” menyembul dalam satu semangat melawan musuh bersama bernama “tidak sudi dijajah orang/bangsa asing!!!.”
Para guru dan tumpukan buku sejarah banyak bercerita tentang haru-biru perjuangan dan epos kepahlawanan itu. Sejak SD kita sudah banyak dijejali nama-nama seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Kartini, Bung Tomo, dan lain-lain. Mereka adalah nisbat/sandaran yang melekatkan ingatan/hapalan kita pada banyak jejak yang melaluinya anak-cucu bangsa ini bisa menghirup udara segar tanpa darah dan air mata hingga saat ini. Begitulah guru-guru SD saya menjelaskan penuh semangat di depan papan tulis. Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknainya?
Pada tataran definitif, pahlawan bagi penulis, adalah mereka-mereka yang dulu pernah dan sedang hidup, yang mendedikasikan hidupnya untuk kita teladani karena jerih-payah tanpa pamrih, perjuangan dan kerja-keras tidak kenal menyerah, kepedulian pada perubahan, keikhlasan dan pengorbanan untuk suatu yang benar meskipun penuh resiko, yang memberi kebanggaan kepada kita dan mendorong rasa empati individual-social secara luas untuk berprilaku, berpikir dan bertindak demi kemaslahatan semua pihak.
Kondite etik dari jiwa kepahlawanan tersebut, secara mendasar, memproklamasikan sebuah penegasan penting bahwa “menjadi” pahlawan berarti meneguhkan tekad dan komitmen pada “asas kebermanfaatan/kemaslahatan” tubuh sosial masayarakat dalam merangkai kemerdekaan seluas-luasnya. Pada konteks ini, menurut penulis, hanya dengan kemerdekaan seutuhnya lah proyeksi makna pahlawan itu menemukan signifikansinya dalam kehidupan praktis. Relevansi kemerdekaan dan kepahlawanan itu satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan.

Genealogi Sejarah: Menentang Eksploitasi
Baru-baru ini kongres di Papua telah menyebabkan korban penembakan misterius atas nama “keutuhan” NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Di Freeport juga sedang terjadi mogok massal buruh demi “segepok nasi” dari hasil bumi sendiri yang, anehnya, menjadi “milik” perusahaan multinasional superkaya yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. Kita pun, mungkin, merasa “bangga” dengan hadirnya Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang mengeruk Sumbawa Barat. Mungkin juga kita merasa sebagai “pemenang” dengan mengetahui bahwa tembakau Virginia berkualitas nomer satu yang dibeli Phillip Morris itu berada di Lombok sementara para petaninya tetap miskin dan tertatih-tatih hanya untuk membeli pupuk.
Dari ilustrasi di atas dan di tengah momentum Hari Pahlawan ini, kita layak bertanya kembali makna besar sejarah kepahlawanan itu. Apakah sudah benar dengan mengatakan bahwa menghargai dan memaknai kepahlawanan berarti bekerja keras, berkarya dan, pada titik paling penting, melakukan perubahan? Apa makna positif pahlawan itu bagi sikap politik dan komitmen kebangsaan kita?
Tentu saja, tiap orang berhak menentukan siapa saja pahlawan bagi dirinya. Pada sisi yang paling subtil, di keluarga misalnya, kedua orang tua “sangat” layak diteladani sebagai pahlawan yang atas kasih-sayangnya yang luar biasa besar atas kehidupan anak-anaknya sampai tumbuh dewasa dan, bahkan, sampai meninggalnya. Merekalah para pahlawan yang “kasihnya sepanjang masa”, yang membanting-tulang menafkahi keluarga. Paling sederhana, nilai positif dari orang yang di-pahlawan-kan itu memberi efek yang mendorong/membimbing kesadaran subjek untuk melakukan tindakan-tindakan bermanfaat dan menyadari potensi kemerdekaan dirinya untuk terus berproses dan berkarya sebagai bentuk kesadaran kemanusiaannya.
Lebih jauh, jika melacak akar arke-genealogis sejarah, para pahlawan lebih dari sekadar jejak purba (arch signs) berupa monument, arsip-arsip, atau hapalan-hapalan di sekolah. Berbicara tentangnya berarti berbicara tentang kemerdekaan, tentang menjaga kesungguhan nasionalisme, tentang membangun kedirian dan kemandirian bangsa, tentang kesejahteraan rakyat, tentang politik bebas-aktif, dan tentang keberanian dan ketegasan sikap sebagai sebuah bangsa besar! Mengapa demikian?
Soekarno-Hatta, Jenderal Soedirman, Bung Tomo dan para pendiri negeri (founding fathers) yang lain merupakan peletak dasar sejarah perjuangan sebuah negeri yang menomor-satukan kemerdekaan dan kemandirian sebagai satu-satunya adagium dan praktek poltik (political will) utama untuk menjadi tegak berdiri sebagai bangsa bermartabat.
Tidak ada satu pun kisah-kisah di buku sejarah kepahlawanan Indonesia yang menjelaskan sebuah hubungan sangat “mesra” antara para pahlawan dengan para penjajah. Tidak pula kita pernah membaca atau mendengar bahwa para pahlawan mengamini dan menoleransi eksploitasi asing atas hasil bumi –rempah-rempah dan lain-lain— untuk dibawa dan dinikmati Negara lain. Justru, jika kita menengok jauh ke belakang, perlawanan demi perlawanan yang terbilang “tidak rasional” oleh karena persenjataan yang sangat minim ketika itu, merupakan bentuk paling telanjang betapa semangat kepahlawanan itu mengalir dalam setiap degup nadi rakyat Indonesia untuk satu tujuan bersama; kemerdekaan dan harga diri bangsa! Mereka ada karena memilih untuk merdeka.

Pahlawan yang Semakin “Ditinggalkan”
Sementara itu, setelah 71 tahun kemerdekaan, hampir semua sector kehidupan mengalami degradasi nilai yang sama menyedihkan. KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) semakin merajalela. Kasus Gayus, Bank Century, BLBI Gate, dan korupsi raja-raja kecil di daerah tidak kalah dahsyatnya. Di bidang pendidikan, kita melihat kapitalisme yang kian kentara. Jual-beli ijazah/gelar, tukang skripsi, biaya pendidikan yang semakin melangit, program kuliah/sekolah instan, sogok-menyogok yang “direstui” guru dan wali murid, menjadi hal yang sangat lumrah. Hukum yang menjadi corong keadilan diobok-obok oleh permainan hakim, jaksa dan pengacara nakal dalam kasus jual-beli perkara untuk kepentingan segelintir pemilik uang dan kuasa, sementara penjara hanya penuh sesak oleh maling –meminjam Iwan Fals— kelas coro. Bahkan agama pun diutak-atik sebatas ajang “ibadah” politik citra demi memuluskan akal-bulus hasrat untuk berkuasa (will to power).
Tidak kalah mirisnya, psikologi bangsa kita semakin terkoyak oleh politik “menjual” martabat bangsa dengan segepok Dollar untuk kepentingan perut sejumlah pihak melalui kebijakan yang “melegalisasi” imperialisme/penjajahan dengan gaya baru. Negara lain tidak lagi merasa perlu mengangkat senjata untuk menguasai Indonesia. Perlahan tapi pasti, neoliberalisme semakin kuat menancapkan akarnya di Indonesia dengan dalih “pembangunan” dan “pemberdayaan” Dunia Ketiga. Betapa tidak, Indonesia sekarang mencerminkan tingkat kesenjangan yang sosial yang semakin lebar. Sebab hanya 10 persen penduduk Indonesia yang menikmati hasil pembangunan yang digemborkan Pemerintah dengan kenaikan PDB sebesar 3.000 dollar AS per kapita pada tahun 2010. Sebab, dari 180.000 buah koperasi se-Indonesia yang memayungi ekonomi rakyat banyak hanya menyumbang 5 persen. Sebanyak 111,95 juta angkatan kerja keseluruhan, justru tergolong pengangguran terbuka (open unemployment), pengangguran terselubung (disguissed unemployment) dan setengah menganggur (under unemployment).
Setidaknya ada 8000 izin kuasa pertambangan di Indonesia yang dikendalikan oleh perusahaan asing dan menguasai 175 juta hektar lahan, atau 75 persen industri ekstraaktif dimonopoli perusahan asing. Ini telah pula merubah orientasi energi nasional seperti gas, minyak, batubara yang lebih banyak diekspor sehingga mengurangi konsumsi dalam negeri dan mematikan industri nasional.
Tetapi ekonomi imperialis tidak dapat begitu saja beroperasi tanpa ditegakkan oleh kekuasaan politik. Berbagai produk Undang-Undang Pro-asing memberikan legitimasi atas kegiatan ekspolitasi asing terhadap sumberdaya nasional. UU No.1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.11/1967 tentang Pertambangan, UU No.5/1967 tentang Kehutanan dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No.24/1999 tentang Lalulintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No.21/2001 tentang Migas, UU No.20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No.19/2003 tentang BUMN, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.30/2007 tentang Energi, UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batu bara, UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, dan berbagai regulasi lainnya, seperti RUU Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial dan RUU Perkoperasian disusun dengan substansi yang kapitalistik.
Jika demikian, di manakah kita seharusnya meletakkan makna pahlawan itu di saat ruh perjuangannya semakin atau mungkin sengaja kita lupakan sebagai pribadi dan masyarakat? Cukupkah spirit kepahlawanan itu kita maknai dengan cara masing-masing tanpa upaya kolektif warga bangsa yang sadar akan kedirian dan kemandirianya yang merdeka? Pada titik ini, mungkin kita telah mengalami amnesia berjamaah. Padahal, sekali lagi, pahlawan itu ada karena mereka memilih merdeka atau mati. Selamat Hari Pahlawan!!!

*Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang