China dan Pembantu
Aku punya temen sekelas di masa kuliah S1 dulu yang “n’gilani” dan punya cita-cita yang cukup unik bin langka. “Cita-cita ku sederhana aja, pengen punya pembantu China,” tuturnya, setengah becanda. Mungkin juga, maksud temenku ntu cuma sekadar guyonan pembuka obrolan seserius apa pun. Maklum, dia emang rajanya fresh joke (guyonan segar kalee maksudnya). Meski demikian, aku sempat dibuat berpikir bahwa yang dikatakannya, ada benarnya. “Kebayang nggak”, lanjutnya, “kalo punya pembantu China kayaknya asyik banget, jarang-jarang loh orang punya pembantu China, sebaliknya malah kita-kita ini (non Chinesse, pen) yang kebanyakan jadi pembantu mereka, bukan begitu?!,” celotehnya menjelaskan.
Begitu lah temenku, si Blacky (Nama Samaran, kayak Koran aja), yang ternyata emang jago juga menggunakan logat “Mandarin” versi ngawurnya –kebetulan dia cuma bener pas nyebut kata Metro Xinwen dan Wu ai ni ketika itu, yang lainnya cuma ngepas-ngepasin doank. Ya, jujur aja, aku sempat berpikir kayak si Blacky. Lucu juga kalo pas naik mobil ntar orang-orang bisa salah kira, yang mana bos yang mana pembokat.... hahaha. Kalo menurut saya sich, pasti si Blacky deh yang dikira pembantunya. Ya maklum lah, setauku, selain item, pakean gak keurus, tampang awut-awutan, si Blacky –terakhir-akhir ne dia ganti nick-nya agak nge-Eropa Timur dengan sebutan Gosongkovic-- juga jarang mandi.
Lain Blacky, lain pula si Pepy (juga bukan nama sebenarnya). Si Pepy, kebetulan temenku juga, yang bekerja di sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS ini sich gak pengen punya pembantu China. Pria yang juga selalu membagi-bagi kondom –setidaknya aku mesti dikasih hampir di setiap kali ketemu— untuk healthy sex ini, Cuma merasa miris dengan fenomena economical gap yang dilihatnya akhir-akhir ini.
Berawal dari sekadar basa-basi di telepon, Pepy bercerita padaku, bahwa suatu malam, di bulan April 2008 yang lalu, ia dan temennya yang juga temanku berjalan-jalan ke Tunjungan Plaza (TP) Surabaya untuk melepas penat plus cuci mata selepas penelitian lapangan yang cukup melelahkan. Karena perut dah pada keroncongan, ia dan temennya ini langsung aja menuju lantai IV buat membuang waktu membeli suasana alias makan-minum + cangkrukan di sebuah CafĂ© di pusat perbelanjaan tersebut. “Aku jadi sedih ngeliat orang-orang kayak aku (orang Jawa) Cuma jadi pelayan di tempat itu,” keluhnya. Pria kondom ini, begitu aku memanggilnya, melihat orang-orang yang nyantap makanan di sekelilingnya rata-rata etnis Tionghoa, sementara yang “pribumi” bisa dihitung dengan jari. Nah loh?! Emang kenapa? Cemburu kalee…
“Sama sekali nggak,” bantahnya tegas, menimpali celetukanku di telepon. Dengan nada yang kayaknya serius banget deh, ia jelasin ma aku bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ekonomi bangsa Indonesia yang justru dikuasai oleh etnis minoritas. Terjadinya ketimpangan ekonomi ini bukan terletak pada ketidakmampuan warga non-Tionghoa dalam mengelola sumber daya ekonomi yang ada, akan tetapi ada, yach, semacam pengebirian yang menempatkan warga “pribumi” pada posisi periferial. Gto loh !!! “Ini memang bukan salah Chinesse semata,” bebernya. Kebijakan pemerintah baik dalam jalur birokratis maupun secara politis sepertinya lebih condong "mempermudah" izin usaha yang dilakukan oleh warga Ras Kuning ini. Sementara itu, untuk warga Indonesia yang bukan Tionghoa, lebih-lebih yang miskin, seringkali dipersulit melalui birokrasi yang njlimet setiap kali mau mengurus izin usaha baru. benarkah? Mungkin kata2 teman saya ini berlebihan. karena, nyatanya, etnis Tionghoa bekerja berdasarkan kemampuannya, bukan atas dasar pilih kasih, lebih-lebih terkait izin usaha.
Yg pasti... orang miskin di larang naek pangkat kalee. Mending kayak di sinetron, itu tuh, biasanya yang awalnya jadi pengemis, ada gadis angkot, usut punya usut, ending-nya bisa berubah jadi kayak mendadak. Coz, ya ternyata si lakon ntu cucu ato anaknya orang the have yang kebetulan terlantar. Pokoknya kalo dah di sinetron, yang kere mudah banget jadi elite. Kali aja orang2 miskin jadi pada demen nonton sinetron gara-gara bayangan jadi kaya itu mudah bangetttttt... Moga aja aku ne keturunan, Bill Gates atau paling nggak, ya ada titisan keluarga Cendana lah, ya minimal sebagian hartanya nyerempet ke aku... yachhhh, jadi kebayang sinetron lagi dunk.... jadi ngelantur neh.. hehehe.
Oh ya, mpe lupa... begini loh, lebih jauh Pepy ngeliat, fakta-fakta shopping center dan basis-basis usaha industri manufaktur di Indonesia, khususnya Jawa Timur, kebanyakan dikuasai oleh etnis minoritas tersebut. Bahkan, tegasnya, kerajaan bisnis warga Tionghoa telah merambah bidang-bidang usaha lainnya seperti pertanian dan peternakan misalnya.
“Bukannya saya anti China, tapi pemerintah harus fair dong,” kritiknya. Bak seorang aktivis -wah hampir lupa kalo dia tuh emang seorang aktivis kelamin— dia menegaskan bahwa untuk melawan “ketidakadilan” ini diperlukan langkah ideologis yang mendorong terjadinya perubahan arah kebijakan ekonomi baik di tingkat Lokal maupun Nasional yang tidak diskriminatif, yang tidak hanya berpihak pada etnis-etnis tertentu, baik China, Jawa, Dayak, Arab, atau etnis lainnya di Indonesia. Semua komponen bangsa berhak secara adil untuk memperoleh kesejahteraan ekonominya melalui kebijakan yang berpihak pada semua kalangan, dan lebih khusus bagi yang berada di bawah garis kemiskinan, siapa pun itu.
Pada akhirnya, saya Cuma bisa mengangguk-anggukan kepala mendengar pemaparan melalui telepon tersebut. Tapi saya secara pribadi juga berpendapat, apa yang dikatakan Blacky yang mungkin sekadar guyonan maupun gaya serius Pepy mungkin "ada benarnya" juga. Keduanya, secara tidak langsung telah membeberkan fakta-fakta tentang terjadinya ketimpangan ekonomi yang begitu besar di tubuh negeri kita ini.
Karena pada prinsipnya, kita semua adalah bagian dari warga bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama (SARA) selayakanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam melakukan tindakan ekonomi masing-masing dengan syarat kebijakan yang nantinya ditelorkan tidak bersifat diskriminatif. Kan katanya kita-kita ne BHINEKA TUNGGAL IKA…Iya gak, iya gak?!
Capekkkk dehhhhh.... yeah, menurut hemat saya sich (bukan penghematan duit loh… hehehe), sudah saatnya ada gerakan yang lebih ideologis dalam menjajaki Visi Ekonomi Indonesia ke depan yang cucok bokkk alias egaliter, pro rakyat miskin (pro poor policy) dan tentunya tidak diskriminatif... Wallohu A’lam.