Friday, May 2, 2008

Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society

  • Posmodernisme: Menuju Sosiologi Hasrat Consumer Society
    (Review Singkat atas Sosiologi Postmodernisme karya Scott Lash)
    1
    Oleh: Astar Hadi

    Posmodernisme
    Posmodernisme. Aliran macam apa lagi ini? Istilah posmodernisme pertama kali digunakan sejak tahun1917 oleh seorang filsuf Jerman, Rudoplh Pantwitz. Panwitz menggunakan istilah ini setelah mengamati adanya gejala nihilisme
    2 kebudayaan Barat Modern. Secara kritis Panwitz melihat adanya kecurigaan mendasar dari para dedengkot penganut aliran “kecurigaan” yang lekat pada sosok Nietzsche, Rousseau dan Schopenhauer. Mereka menganggap modernisme sebagai wacana dominan ketika itu sebagai isme yang tidak lagi “layak jual” dalam menghadapi gejolak dunia yang sudah sedemikian kompleks.
    Posmodernisme, dengan demikian, merupakan wacana pemikiran baru yang meng-conterdiscourse wacana modernisme. Kritik posmodernisme terhadap modernisme seringkali disandarkan pada “kecongkakan” klaim modernime tentang adanya kebenaran mutlak sebagai subjek yang sadar, rasional dan otonom. Klaim ini merujuk pada sekian asumsi yang menyatakan bahwa “kodrat” manusia sebagai makhluk berakal yang memiliki sikap “objektif” dan “rasional” terhadap eksistensi ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
    Kesadaran modernisme adalah kesadaran dogmatisme ilmu yang menjadi landasan absolut semua pemikiran. Kesadaran akan adanya Ruh Absolut (Hegel), adanya Causa Prima sebagai sebab utama yang unmoved mover (Aristoteles) dan diktum Cartesian ‘cogito ergo sum’ yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes).
    Konsep kesadaran modernisme di atas dianggap tidak memadai oleh posmodernisme. Penolakan posmodernisme terhadap klaim-klaim tersebut karena menyadari tidak ada lagi kapabilitas subjek untuk mengenal realitas sejati, baik realitas di dalam dirinya atau di luar dirinya oleh karena adanya rezim signifier yang sangat kompleks. Realitas sejati hanya “konsep kosong” yang tidak mampu mengatasi kompleksitas permainan tanda yang tumpang-tindih dengan hanya mengandalkan hirarki ruh absolut yang tunggal.
    Sudah saatnya memainkan paralogi
    3 di saat manusia berahadapan dengan logika yang tidak linier (Lyotard). Mental kebenaran universal hanya akan menciptakan oposisi-oposisi biner baru yang justeru menghancurkan yang lain dari kearifan yang dimilikinya, maka harus ada upaya dekontruksi “kebenaran” (Derrida). Modernisme terlalu congkak dalam memahami otonomi manusia sebagi subjek berpikir yang melegitimasi epistemologi sebagai suatu yang netral, bersih, suci dari na’jis hasrat untuk berkuasa (Nietzsche dan Faucoult).
    Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang kemudian dikenal dengan nama posmodernisme. Posmodernime sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana yang sedikit banyak dibahas Scott Lash dalam Sosiologi Posmodern. Di antaranya: (1) wacana kritis terhadap estetika modernisme; (2) wacana kritis terhadap arsitektur modern; dan (3) wacana kritis terhadap filsafat modern.

    Sosiologi “Posmodernisme” Scott Lash: Bias Modernisme?
    Scott Lash adalah seorang modernis, demikian kilah Bambang Sugiharto dalam pengantar untuk buku tersebut. Apakah bias modernisme akan muncul dan mereduksi “definisi” posmodernisme ketika seorang Modernis, seperti Lash, yang coba menyodorkan pemahamannya tentang posmodernisme itu sendiri? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengetahui apakah pengarang cukup memiliki netralitas, tidak tendensius dan tidak tenggelam dalam gempita vis a vis modernisme dan posmodernisme. Scott Lash menulis:
    Bagi saya, posmodernisme bukan suatu kondisi, juga bukan sesuatu yang memiliki jalinan dengan posindustrialisme, jenis masyarakat, dalam arti bahwa orang berbicara mengenai masyarakat industri, atau masyarakat kapitalis, atau masyarakat modern. Menurut saya, posmodernisme terkungkung dalam lingkup kultur. Posindustrialisme merupakan salah satu sifat penting dari ekonomi kapitalis kontemporer. Akan tetapi, ini hanyalah sifat yang sepenuhnya ekonomis, bukan cultural. Oleh sebab itu, posindustrialisme bukan bagian dari posmodernisme, seperti yang diyakini oleh Jean-Francois Lyotard… Namun, hal ini berhubungan dengan kompatibilitas (kesesuaian) dan hubungan kompatibilitas khusus dengan ekonomi kapitalis posindustri. (Hal. 13-14).

    Apa benang merah yang dapat ditarik dengan pendapat Lash di atas? Lash benar ketika mengatakan posmodernisme bukan sebuah kondisi yang melekat pada semacam gejala umum menyangkut aktifitas masyarakat di era industri atau posindustri. Karena, posmodernisme tidak berbicara mengenai kondisi dan atau aktifitas masyarakat.
    Alih-alih, Posmodernisme menyangkut isme yang berada pada jalur yang mempertentangkan “paradoks konseptual” modernisme yang meletakkan dirinya sebagai paham akan adanya grand narrative (narasi agung) berupa kebenaran universal, otonomi subjek dan objektifitas ilmu pengetahuan yang superordinat terhadap narasi-narasi kecil, sebagai konsekuensi dari logika pencerahan atas dunia lain yang irasional, marjinal dan tidak berperadaban.
    Terkait di atas, perlu dipahami bahwa, mungkin, Lash ataupun pemikir lain hampir sepakat, bahwa antara posmodernisme dan posmodernitas harus dibedakan. Bahwa gambaran sosiologis tentang masyarat posindustri, aktifitas yang dilakukan, logika kerja, logika konsumsi dan segala bentuk prilaku masyarakat secara umum dalam suatu kondisi, merupakan gejala yang ditunjuk sebagai posmodernitas, bukan posmodernisme.
    Secara teoritis saya cukup sepakat dengan pendapat Lash tentang Posmodernisme. Di mana, tidak ada klaim tertentu yang manganggap bahwa wilayah sosiologi posmodernisme sudah definitif. Tapi Lash tidak cukup paham dengan posmodernisme ketika menganggapnya hanya terkungkung pada lingkup kultur. Sebab, bagi saya, kultur tidak ada hubungannya dengan posmodernisme. Pada titik ini, kultur merupakan sifat terpenting dari kondisi posmodernitas masayarakat posindustri yang meletakkan kerja sebagai bentuk pemuas hasrat untuk kenikmatan memperoleh konsumsi sebanyak-banyaknya. Sementara aspek terpenting posmodernisme adalah pada paradigma hasrat yang membongkar tatanan discourse modernisme yang mapan.
    Menunjuk pada kondis kultur tertentu yang dicirikan oleh beralihnya moda produksi yang secara tegas melihat adanya pertentangan kelas borjuis vs proletar, menuju logika konsumsi yang memperjelas “keruntuhan” logika alienasi Karl Marx oleh perayaan konsumerisme masyarakat posindustri. Kerja bermakna tidak sebatas pada siapa mendominasi siapa, bukan pula meyakini adanya nilai yang inheren dalam kerja itu sendiri. Alih-alih, kerja semata-mata sebagai sarana pemuas dorongan kenikmatan. Jadi, masyarakat tidak lagi mempersoalkan apakah kerja yang dilakukannya itu membuatnya tearasing atau tidak.
    Lantas di mana posisi sosiologi posmodernisme Lash? Untuk tidak mengatakan paradoks atau bias modernisme, Lash memang “mampu” mengamati gejala posmodernitas dengan gamblang yang secara sosiologis dicirikan oleh terfragmentasinya kelas-kelas social pada berbagai bentuk kepentingan dan permainan tanda budaya yang tidak bisa distratifikasi secara utuh. Akan tetapi, lash tidak cukup kritis dalam memahami posmodernisme karena ia lebih dulu terjebak pada paham modernisme yang meletakkan estetika pada rasionalitas substantif dalam menekankan pentingnya hasrat dan kreatifitas estetik. Wallahu A’lam


    1 Makalah ini disampaikan pada Tadarrus Buku Ba’da Tarawih oleh lingkar diskusi Mazhab Tlogomas di Warung Hendra, tanggal 14 Oktober 2006, Malang.
    2 Nihilisme adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Nietzsche untuk menggambarkan kondisi peradaban barat yang menuju ketiadaan karena berfondasikan tradisi filsafat Socrates dan Yudeo-Kristiani yang mematikan kehendak berkuasa demi harmoni dan keselarasan.
    3 Paralogi, kurang lebih, merupakan tawaran Lyotard yang memperanggapkan tidak memadainya “metanarasi” Logos sebagai konsep kebenaran universal yang menegasikan narasi-narasi kecil yang justeru memiliki kearifan. Untuk itu, harus ada logos-logos lain dalam melihat kompleksitas yang ada, yang kemudian disebutnya Paralogi

No comments:

Post a Comment