Wednesday, January 7, 2009

Geliat TV Lokal dalam Bayang-bayang TV Nasional

Oleh: Astar Hadi
Media Massa dan Hegemoni TV Nasional
Tidak dapat disangkal bahwa kemajuan teknologi komunikasi berupa televisi (TV) mempunyai dampak yang luar biasa dalam proses perubahan sosial manusia modern, termasuk dalam proses transisi politik dari otoriterisme kepada demokrasi. Berkat tabung gelas ajaib tersebut, fakta-fakta aktual yang terjadi dapat dihadirkan sedemikian jelas, lengkap dengan cuplikan-cuplikan peristiwa sebenarnya, hanya sesaat setelah kontak listrik dengan pesawat televisi dilakukan.
Secara umum, media massa sendiri memang mempunyai pengaruh pada proses sosial, karena ia merupakan alat par excellence untuk menyampaikan informasi mengenai current affairs kepada jumlah populasi yang besar, dengan beragam tingkat sosial, yang kerap menimbulkan emosi bersama dan mengarahkan perhatian pada konteks yang seragam.
Berbeda dengan media cetak, "dampak televisi lebih dahsyat". Di mana letak kedahysatan itu? Media informasi audiovisual seperti televisi dapat dinikmati oleh jumlah pemirsa yang secara teoritis dapat tidak terbatas (karena tidak terjebak oplah), praktis oleh hampir semua kalangan, termasuk yang buta huruf, walaupun tingkat efektifitas dan kedalaman pengaruhnya bisa saja berbeda-beda.
Namun letak kedahsyatan dampak televisi barangkali, seperti disinyalir Joshua Myrowitz (dalam Kusnandi, 1996: 18) adalah pada kemampuan televisi untuk memasuki dan mengekspos 'halaman belakang' ('back region') yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan demikian televisi adalah juga alat 'transportasi' yang membawa pemirsa ke tempat aktual terjadinya peristiwa dan oleh karena itu menyaksikannya praktis secara langsung, meskipun raganya berada di tempat lain.
Dari aspek yang lebih teknis, kedahsyatan itu tentunya berkaitan erat dengan teknik kamera yang menjadikan berita jauh lebih aktual. Praktis tidak ada jurang waktu (time-gap) yang berarti: berita disuguhkan dan diterima secara instan, dalam waktu yang sama (kecuali selisih relatif dalam hitungan detik), sehingga pemirsa merasa jauh lebih terlibat dengan perkembangan peristiwa yang diberitakan tersebut.
Perbedaan mendasar antara dampak media cetak dan televisi terdahap publik adalah menyangkut aspek psikologisnya. Jika media cetak selalu memungkinkan pembaca berhenti sejenak untuk merenung atau berfikir, sehingga aspek rasionalitasnya bisa lebih mencuat, berita sajian televisi mengalir cepat tanpa tertunda, dan oleh sebab itu pemirsa dituntut untuk memusatkan perhatian penuh, dan tentu saja dengan dampak psikologis yang jauh lebih dalam.
Namun harus diakui, karena televisi cenderung lebih sebagai media transitory, artinya lebih bersifat meneruskan, kekurangannya tentu saja menyangkut ketidakpermanenan suguhan berita itu sendiri, di samping adanya keterikatan pada jam tayang yang tertentu, yang oleh sebab itu setelah acara usai tidak dapat dijadikan rujukan yang bisa diakses sewaktu-waktu. Kendati dengan keterbatasan inheren yang ada, adalah pasti bahwa televisi telah mendapatkan tempat yang sentral dalam kehidupan masyarakat modern. Persoalannya tentu saja akan menjadi lebih kompleks ketika televisi, khususnya dalam fungsinya sebagai media berita (news media), diharapkan dapat memberikan pelayanan umum yang khas di tengah beragam produk media massa lainnya, baik sebagai alternatif kompetitif maupun secara komplementer, dalam mendorong perubahan sosial masyarakat pada suatu bangsa.
Terkait di atas, televisi di samping sebagai media berita, ia juga berfungsi menghibur (enrtainment) bagi masyarakat. Lebih-lebih karena kemampuannya memberikan efek psikologis-audio visual secara langsung, televisi menjadi ajang pelepas penat yang paling ”berharga” bagi masyarakat luas. Kondisi ini memungkinkan bagi televisi untuk bersaing memuaskan audiensnya.
Lebih jauh, akses TV bagi publik begitu besar. Format penayangan yang bersifat nasional masih mendominasi acara-acara TV secara keseluruhan. Di samping karena eksistensi TV nasional telah terbukti bertahun-tahun mampu memberi suguhan variatif yang memberi informasi baru, hiburan, edukasi (sekaligus dedukasi) bagi masyarakat luas untuk melepas dahaga ”rasa ingin tahunya”.
Bahkan beberapa hari yang, seperti yang saya baca di Harian Surya terkait lenyapnya channel TV Trans TV, Trans 7, TV One, Metro TV di wilayah Malang, menampik sejumlah komentar rada gelisah warga masyarakat terhadap ”penghilangan” tersebut. Betapa masyarakat, khususnya di malang, merasakan perasaan kehilangan yang tidak kecil di saat sejumlah TV nasional tidak tayang di daerahnya. Ini membuktikan bahwa besarnya ”candu” hegemoni TV nasional dalam akses informasi, hiburan dan lain-lain masih di atas TV Lokal yang juga sudah banyak bermunculan. Hal ini juga berarti bahwa demam TV adalah realitas yang paling nyata ketimbang media massa lain, seperti koran, yang hanya dinikmati oleh penikmat ”tertentu” yang umumnya berada di kota. Tentu saja, membanjirnya sejumlah televisi swasta di Indonesia dalam hampir dua dasawarsa ini tidak terlepas dari kecenderungan ini.
Sementara itu, sejak bergulirnya Undang-Undang (UU) Penyiaran No. 32/2002 sebagai dampak dari proses desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) memacu geliat daerah untuk mengenalkan potensi daerahnya melalui program-program yang ditayangkan melalui televisi baik lokal maupun nasional.
Peluang ini ditangkap oleh pihak-pihak di daerah untuk mencoba berlomba mengenalkan warna-warni potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) lokal melalui bisnis TV Lokal, yang mau tidak mau, harus siap bersaing secara ketat dengan TV nasional yang lebih dulu eksis dan dikenal secara luas.
Tentu saja, perkembangan ini memantik sejumlah produsen media untuk mengakses berita-berita daerah dengan mendirikan televisi lokal, setelah sebelumnya dikuasai oleh televisi-televisi swasta yang berskala nasional, seperti SCTV, RCTI, Indosiar, dan lain-lain. Melubernya jumlah televisi lokal, seperti Jawa Pos TV (Surabaya), Malang TV, Batu TV, ATV, Gajayana TV (Malang), Dhoho TV (Kediri), Lombok TV (Lombok), dan masih banyak yang lain, merupakan upaya mendekati masyarakat secara lebih ”akrab” dengan lingkungan sekitarnya, di samping untuk kepentingan bisnis tentunya.
Apakah kemudian televisi lokal sanggup memposisikan dirinya sebagai televisi yang bervisi kedaerahan dan sanggup bersaing dengan televisi nasional yang telah berpengalaman, profesional dan dikenal secara luas?
Peluang dan Eksistensi TV Lokal
Pertama-tama, dalam teori media massa disebutkan bahwa secara psikologis, khalayak akan merasa lebih berminat dan tertarik ketika suatu acara yang dikemas mengetengahkan peristiwa-peristiwa yang bertalian erat dengan lingkungan di mana khalayak (pemirsa) itu tinggal.
”Terhadap tempat kejadian suatu peristiwa, orang umumnya lebih tertarik pada tempat-tempat yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Dengan kata lain, perhatian khalayak terhadap suatu peristiwa berbanding terbalik dengan jarak antara tempat tinggal khalayak yang bersangkutan. Makin dekat tempat terjadinya suatu peristiwa makin tinggi pula perhatian atau minat untuk mengetahuinya. Seandainya suatu saat terjadi kenaikan tarif bus kota di Bandung, misalnya, peristiwa itu tentunya akan menjadi perhatian penduduk bandung saja. Sedangkan penduduk Medan, misalnya, tenang-tenang saja.” (Suhandang, 2004: 140).
Tesis di atas menunjukkan bahwa peran TV lokal tetap penting dan relevan dengan semangat otonomi daerah dan kebebasan pers di era reformasi sekarang ini. Artinya, kedekatan (proximity) antara televisi dan khalayak pemirsanya secara tidak langsung akan membentuk siklus ”keajegan” di antara keduanya yang di satu sisi menjadi sarana transformasi informasi dan di sisi lain, televisi tetap bisa eksis dengan ”mengandalkan” kedekatannya dengan pemirsa setempat. Dalam perkataan lain, melalui progam-progam acara, baik yang bersifat edukatif, informatif, entertainment, yang diolah berdasarkan kepentingan masyarakat lokal, akan memungkinkan tercapainya dua manfaat ganda sekaligus, yaitu: televisi bisa memacu transformasi nilai-nilai kebudayaan lokal dan secara komersial televisi mampu bersaing dengan televisi nasional sekalipun. Semudah itukah?
Salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi UMM sekaligus praktisi media massa, Nurudin, menganggap tidak kurang sulitnya untuk memetakan alur persaingan yang terjadi antara TV Lokal dan Nasional. Menurutnya, sejauh mana peluang TV lokal untuk menjadi media massa unggulan di daerah hanyalah masalah proses. Sebab, selama ini masyarakat terlanjur memiliki budaya nonton TV Nasional. Akan tetapi, Nurudin tetap merasa optimis bahwa dengan adanya UU No. 32/2002 peluang yang dimiliki TV Lokal di daerah dalam menanyangkan aktifitas-aktifitas di daerah jarang di miliki TV Nasional. Di samping itu, TV lokal hendaknya bisa mengelola dirinya secara baik dan profesional agar bisa berkembang (Bestari, No. 209/Th. XVIII/Nopember/2005).
Optimisme semacam di atas barangkali cukup beralasan. Bahwa potensi TV Lokal dewasa ini memang telah menemukan momentumnya yang paling tepat dan rasional. Tepat berarti, bahwa TV Lokal berada pada kondisi di mana menjamurnya media massa ibarat ”cendawan di musim hujan”, yang muncul di saat kebutuhan akan informasi begitu tinggi dan menuntut adanya akses ruang publik yang besar pula, khususnya bagi masyarakat sekitar untuk menyampaikan aspirasinya dengan lebih mudah. Rasional berarti, TV Lokal lahir di saat upaya menyiasati perubahan fundamental otonomi yang diserahkan pada daerah untuk mengelola potensi daerahnya sendiri, maka di butuhkan akses cepat saji terkait kemajuan daerah yang hanya ”bisa” dilakukan melalui membuka ruang bagi mumculnya media lokal, khusunya TV, sebagai wahana komunikasi kritis publik dengan pemerintah setempat.
Secara teoretis, diktum bad news is good news bagi media massa adalah benar, meskipun tidak selalu harus dipahami sesederhana itu. Situasi krisis di satu pihak dan kebutuhan publik atas informasi yang faktual dan dekat dengan hati mnasyarakat di pihak lain adalah kutub supply dan demand yang membutuhkan media (lokal) –khususnya televisi— untuk mempertemukannya. Inilah momentum itu.
Adapun dari perspektif publik sendiri, mengikuti Effendy (1993), yang dicari dari media berita baik cetak maupun elektronik, pada intinya sederhana, yakni informasi aktual yang kritis, berani dan terpercaya (reliable), karena itu berarti mengungkapkan apa sebenarnya terjadi. Sekalipun masyarakat sosial memiliki segementasi yang sangat beragam, pada umumnya mereka selalu "good in nature", artinya bahwa seluruh komponen masyarakat, kecuali yang menjadi objek berita, lebih menyukai pemberitaan yang menunjukkan atau membongkar kebobrokan sistem di sekitarnya, demi harapan untuk mendapatkan lingkungan hidup yang lebih pantas dimiliki.
Meskipun apa yang disampaikan Effendi di atas terdengar klise karena masyarakat sudah ”jauh” melintasi batas lokal, tapi setidaknya dari perspektif ini, tidaklah berlebihan kalau program televisi swasta lokal dianggap akan memenuhi banyak harapan publik tentang corak media massa yang diinginkan. Pada akhirnya, TV lokal tetap layak untuk bersaing dan menunjukkan eksistensinya sebagai media yang punya pengaruh bagi ”identitas” masyarakat lokal, terutama sekali, dalam menyodorkan kompleksitas wajah lokal yang sangat beragam. Dan, gaung TV Lokal dalam beberapa tahun ke depan sangat mungkin semakin diminati sejauh ia mampu menawarkan atribut lokalnya dengan cara yang lebih canggih seperti yang, menurut penilaian penulis, telah dimulai dengan cukup apik oleh JTV. Wallohu A'lam bi Al-Showwab
Daftar Bacaan
Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Kuswandi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Citra. Jakarta.
Nurudin. ”Persaingan, Pacu Kreatifitas TV Lokal”. Bestari, No. 209/Th. XVIII/Nopember/2005.
Suhandang, Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik. Nuansa. Bandung.
**Astar hadi adalah mahasiswa Pascasarjana Prodi Kebijakan Publik Univ. Brawijaya dan alumni Ilmu Komunikasi UMM. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (2005).

4 comments:

  1. reni nurhidayati
    boleh dong I Ye numpang ngetop ama orang beken macam U biar tambah ngetren ok

    ReplyDelete
  2. :) mbak reni terlalu berlebihan... aku biasa2 aja, masih belajar sperti anda... mungkin mbak yang sebenarnya dah ngetop tp ngerendah...hehehe

    salam kenal :)

    ReplyDelete
  3. reni
    zos..... ga sah ngerendah kali jd ga enak bodyyyyyyyyy. kurus deh badan aye n or ngentren macam u mugi ayeeeeeee. wahhhhhh apa kate dunia perdukunan yeeeeeeee.

    ReplyDelete