Friday, January 16, 2009

Kuli yang Benar-benar Kuli Tinta: Siapa Mereka?

“Jancuk…jancuk…jancuk…”, (maaf) kata-kata ini meluncur tiba-tiba dari mulut embongan-ku sesaat setelah membaca sebuah tulisan berjudul “Ketika Kuli Jadi Novelis”, Kompas 11 Januari 2009. Memang, saya atau anda pantas merasa malu. Itu pasti. Bukan begitu?!
Ada sesuatu yang janggal, aneh, lucu dan menyakitkan, setelah mengetahui bahwa lalu-lintas dan pasar karya-karya fiksi justru muncul dari luar sangkar masyarakat akademik, termasuk saya, yang dianggap punya kapasitas dan kapabilitas lebih untuk menelorkan berbagai jenis karya berbasis tulisan, apapun namanya !
Apakah kita, saya atau anda, yang setiap harinya “bekerja” sebagai agent of change, yang melewati malam-malam dengan tugas-tugas terstruktur bermodal kepala, tinta, computer, dalam memindai ide-ide ilmiah harus kalah dengan “mereka” yang justru tidak dipersiapkan dan tidak terlatih untuk itu?
Siapa mereka? Sebagian besar dari kalangan yang sebenarnya hampir tidak tersentuh oleh dunia otak-atik ilmiah. Buruh, koki, ibu rumah tangga, atau TKW, adalah sosok baru penulis yang meramaikan blantika dunia sastra, seperti novel dan cerpen, dewasa ini.
Nama-nama seperti Siti Maryam Ghozali seorang TKW (40), si buruh panggul Sakti Wibowo (30), koki hotel Nurhadiansyah (26), dan ibu rumah tangga Sinta Yudisia (34), dan mungkin masih banyak yang lain mampu, menyodorkan warna “baru” bagi dunia sastra kita dengan coretan-coretan indah mereka.
Siti yang hanya tamatan Madrasah Tsanawiyah telah menghasilkan lebih dari 22 cerpen dan dibukukan. Sakti tidak hanya kuat memanggul dengan ototnya, ia malah berhasil mengangkut 40 buku, 15 di antaranya novel, dengan otaknya yang hanya tamatan SMEA. Nyonya Sinta yang sehari-hari berada di ruang domestik mengurus empat anaknya dan memasak sanggup mengepulkan asap dapurnya ke wilayah publik dengan 40 buku, kebanyakan novel dan cerpen. Dan, Nurdiansyah tidak hanya koki masakan, ia sekaligus “koki” kata-kata yang telah meracik menu-menunya sedemikian rupa menjadi sebuah novel.

Lompatan Sosial: Menyindir yang (sok) Akademis
Lewat tulisan, tentu saja, mereka mengekspresikan diri dan melakukan lompatan social besar yang “mengangkangi” kejumudan dunia akademis yang selama ini, menurut saya, melulu berbicara soal “apa yang bisa saya dapatkan kelak”, bukan “apa yang bisa saya lakukan nantinya”. Mereka para pelopor sebuah generasi yang tidak terpaku oleh sebuah identitas, gelar akademis, yang saat ini sangat ramai diperjual-belikan. Mereka menunjukkan kualitas melalui orisinalitas karya yang tidak berpretensi pada perburuan “nilai sastra”, tidak pula mengejar orientasi kampus yang ujung-ujungnya “IP saya berapa” (kata mahasiswa), “pokoknya harus punya buku” (kata dosen). Mereka menulis dengan hati dan otak yang bersih dari seputar “pokoknya bisa wisuda, cepat kerja, pokoknya ngumpulin tugas, copy-paste kan enak”. Bravo the originator !!!!
Fenomena penulis-penulis “tidak terdidik” ini seakan menyindir, memperolok-olok dunia pendidikan kita tentang bagaimana pendidikan itu sejatinya. Kita yang sudah terbiasa dengan standardisasi, spesifikasi, hanya bisa taat pada prakondisi-prakondisi akademis yang mengharuskan kita mengikuti tradisi-tradisi “percepatan” tempo pengerjaan tugas ilmiah yang, alih-alih, berujung sebuah kejujuran, orisinalitas, sebagai bentuk idealisme pendidikan, ia justru menciptakan robot-robot intelektual siap pakai tapi miskin kreasi dan imajinasi. Wallohu A'lam

6 comments:

  1. Wah, tertunduk aku baca postingmu ini bang.

    ReplyDelete
  2. yeah.... memang begitu adanya kawan... keep fighting n move on...
    ayo, kita mulai dari sekarang ! kapan lagi?!

    ReplyDelete
  3. sob..makan apa kamu pas nulis tuh??pa gara2 minum madu racikan moyangmu yang belum ada label Depkes tuh..hehehe..(barcanda sob)
    mungkin jika kau nanti suskses jadi pedagang madu, para pengusaha yang selalu mengerami telurnya di sangkar bisnisnya akan mengatakan hal yang sama..hidup ni memang menarik ya..nice posting jack..tak tunggu yang lainnya ya..

    ReplyDelete
  4. wah, boz. keren kalipun isi pikiran kow ini *diucapkan dg gaya sok akrab...

    benar... ini sangat benar. saya akan coba cek si koran ntuh. tp kalok tak bisa pun, semacam-esai mu ini akan saya jadikan tambahan argumen untuk puisi foto saya berjudul : sekolah...

    yang dibutuhkan adalah pendidikan, bukan sekolahan. BRAVO...

    ReplyDelete
  5. Tidaklah penting untuk menelusuri kita ini dari golongan apa,status,gender...dan apalah yg menjadi embel2 di belakang nama kita yang penting MENULIS adalah kebebasan mutlak yg dimiliki setiap individu.Akan menjadi masalah(mungkin..)ketika dipertanyakan untuk apa?untuk siapa?dan bagaimana respon sosial thdp tulisan kita??seberapa penting mereka?Just write something about U'r Self..Bravo Astar :)

    ReplyDelete
  6. trima kasih anonymus friend... stidaknya itu otokritik bagi diri, khususnya diri saya...tentunya, kata2 itu untuk saya secara pribadi, tp kalo yg lain tergugah, knp gak?
    saya tidak bermaskud myindir golongan manapun, tp myindir diri...apakah anda bagian dari "diri" itu... anda yg mengtahuinya :)
    BRAVO juga kawan !!!

    ReplyDelete