Wednesday, January 7, 2009

Sosialisme dan Ironi Jalan Ketiga

Oleh: Astar Hadi

Pertanyaan paling mendasar tentang sosialisme adalah bukan semata-mata pada konsepsi-konsepsi ideologis yang mengatasnamakan “perlawanan” terhadap penindasan, penyelewengan-penyelewangan pasar terhadap ketidakberpihakannya kepada kaum prolaterat dan alienasi sosial. Hal yang paling urgen dalam tubuh sosialisme adalah, apakah yang bisa kita lakukan saat ini?
Hal ini sama dengan sikap Marx terhadap agama, bahwa yang penting adalah bukan menolak sentimen religius karena sentimen tersebut ‘tidak benar’, tanpa dasar, dan kemudian merencanakan sebuah bentuk agama baru. Tetapi, kita harus menemukan aspek-aspek dari cara hidup yang menimbulkan adanya agama, dan kemudian merevolusionerkan aspek-aspek tersebut. Agama adalah ‘hati dari dunia yang tidak berhati’, sehingga yang penting adalah untuk mendirikan sebuah dunia dengan hati. Daripada sebuah solusi yang bersifat ilusi, kita harus, di dalam praktek, menemukan solusi yang bersifat riil.1
Pun demikian Kritik Marx terhadap karya filosofis Hegel adalah sebuah upaya untuk meringkas essensi daripada keseluruhan sejarah filsafat, dan baginya hal itu adalah sejarah secara keseluruhan. Sehingga, kritik Marx terhadap Hegel adalah sebuah kritik terhadap ilmu filsafat itu sendiri. Ia mengambil kesimpulan bahwa filsafat tidak dapat menjawab pertanyaan yang telah dibawa oleh filsafat ke permukaan. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bersifat filosofis, tetapi bersifat praktis. Ketika Marx mengklaim bahwa karyanya bersifat ilmiah (wissenschaftlich), ini tidaklah berarti bahwa dia sedang mengelaborasi seperangkat doktrin, yang terdiri dari ‘teori-teori’, tetapi, dengan melacak kontradiksi dari ilmu pengetahuan yang ada ke akarnya. Artinya, problem-problem sosial, seperti alienasi sosial, penindasan kelas pekerja dan atau cara hidup manusia yang tidak manusiawi, dapat dijelaskannya. Bahwa, kebutuhan untuk merevolusionerkan cara hidup tersebut, harus berani beranjak dari kontemplasi ke solusi revolusioner yang ‘kritis-praktis’.
Hal ini sedikit sekali berhubungan dengan cerita kuno mengenai Hegel, sang idealis, dan Marx, sang materialis, mengenai transisi dari ‘idealisme’ dan ‘demokrasi’ ke ‘materialisme’ dan komunisme, atau mengenai Marx yang melemparkan sistem konservatif Hegel, untuk mempertahankan metode revolusionernya.
Apabila kita menerima seperangkat prasangka yang dulu pernah disebut dengan ‘Marxisme’, maka kita tidak dapat bahkan untuk menjawab pertanyaan yang pertama. Hampir di dalam seluruh hidupnya, Marx secara terus-menerus kembali kepada Hegel. Setiap saat mempertajam analisis sosialnya, menyangkut perbedaan maupun persetujuannya dengan Hegel.
Marx memulai kritiknya terhadap Hegel dengan sejarah daripada filsafat Yunani, di dalam tesis doktoralnya. Ia mengamati secara kritis ringkasan Hegel mengenai sejarah daripada filsafat politik, yang berjudul Philosophy of Right (Filsafat Hukum). Setelah memperlihatkan bahwa konsepsi Hegel mengenai negara modern didasarkan pada relasi ekonomi borjuis, Marx dapat mengidentifikasi sudut pandang Hegel mengenai ekonomi politik.
Sekarang, ia dapat memulai kritiknya terhadap pencapaian-pencapaian dari pemikiran ekonomi borjuis, sebagai ekspresi yang tertinggi dari ketidakmanusiawian masyarakat borjuis. Dan, di dalam setiap tahap dari kerjanya, Marx menggunakan studinya terhadap Hegel untuk menembus ke dalam koneksi yang essensial antara sikap filsafat terhadap dunia dan bentuk-bentuk keterasingan sosial yang secara alamiah tidak manusiawi, eksploitatif, dan menindas.
Berangkat dari kritik Marx terhadap filsafat Hegel dan Agama, dengan demikian, menunjukkan bahwa sosialisme merupakan sebuah payung ideologis yang tidak berarti mempertentangkan antara filsafat maupun agama, seperti banyak dilansir oleh pihak-pihak yang tidak cukup sepakat atau “tidak memahami” secara esensial dengan tesis-tesis yang diajukan Marx sendiri.
Menurut hemat penulis, marxisme adalah sebuah penamaan yang dilekatkan terhadap diri seorang Karl Marx. Tetapi hal ini tidak berujung pada sebuah asumsi yang menolak secara tegas varian-varian pemikiran Marx. Karena pada kenyataannya, Marx adalah manusia “pemberontak” yang hidup dalam latar-belakang sejarah dan lingkungan yang ketika itu melihat, baik agama atau filsafat zaman pertengahan belum mampu mewujudkan kerja praktis “pencerahan kemanusiaan” terhadap –yang oleh Marx disebut— alienasi sosial oleh borjuasi.
Untuk lebih mengenal lebih dekat dan memahami awal mula sosialisme-marxisme, dan apa saja konsep yang melatarbelakanginya, penulis akan mengetengahkan sejarah singkat lahirnya sebutan ‘sosialisme’ dan cita-citanya.

Sejarah Awal Sosialisme
Sosialisme muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan social yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industri ini memang memberikan keberkahan buat para pemilik fabrik pada saat itu, tetapi dilain pihak para pekerja justru malah semakin miskin. Semakin menyebar ide sistim industri kapitalis ini, maka reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat.
Sebagaimana pernah dilontarkan oleh Theimer, “gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua, bahwa pemilikan bersama lebih baik dari milik pribadi. Menurut ajaran ini, pemilikan bersama akan menciptakan dunia yang lebih baik, membuat sama situasi ekonomis semua orang, meniadakan perbedaan antara miskin dan kaya, menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian sumber segala keburukan social akan dihilangkan, tidak akan ada perang lagi, semua orang akan menjadi saudara.”2
Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan ide-ide yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiran-pemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang di kemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Marxisme.
Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum “utopian socialists”, seperti de Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam artian tidak terlalu mengedepan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengedepankan kerjasama daripada kompetisi. Saint-Simon berpendapat bahwa negara yang harus mengatur produksi dan distribusi, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperan besar adalah komunitas kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komunitas (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini di beberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets).
Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang ide-idenya lebih ke arah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis di tahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh di antara kaum sosialis di awal dan pertengahan abad ke-19.
Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militan dari faham sosialisme. Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teori-teorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation).
Karl Marx adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx. Ia lahir pada tahun 1918, di kota Trier, perbatasan Jerman yang waktu itu termasuk Prussia. Hirschel Marx adalah seorang pengacara dan karena gerakan anti-Semitism kemudian meninggalkan agama Yahudinya ketika Karl masih kecil. Meskipun mayoritas penduduk Trier adalah katolik, Marx memutuskan untuk menjadi seorang protestan dan mengganti namanya dari Hirschel menjadi Heinrich III.
Jejak-jejak Sosialisme
Secara umum, sosialisme terbagi dua: di satu sisi adalah mereka yang berpendapat tentang pentingnya perjuangan kelas dan keharusan melakukan revolusi (revolusionis), dan di sisi lain adalah mereka yang berfaham bahwa cita-cita sosialisme ini hendaklah diwujudkan melalui cara-cara yang lebih gradual dan tanpa kekerasan.
Revolusionis diwakili oleh Marxism. Di dalam karya-karyanya, Marx menyerang kaum sosialis sebagai para pemimpi utopia teoritis yang mengabaikan pentingnya perjuangan revolusi untuk mengimplementasikan doktrin-doktrinnya. Pada tahun 1848, Marx dan Engels menulis Communist Manifesto yang di dalamnya mereka menuliskan prinsip-prinsip yang disebut Marx sebagai scientific socialism. Di sini Marx mengajukan kemestian adanya konflik revolusioner antara modal dan buruh.
Sejalan dengan marxisme, beberapa jenis sosialisme lainnya yang lebih memilih jalan perjuangan gradualis juga bermunculan, misalnya sosialisme Kristiani dengan tokohnya Frederick Denison Maurice dan Carles Kingsley. Juga muncul sosialisme yang perjuangannya diwadahi dalam bentuk partai. Di tahun 1870-an sudah bermunculan partai-partai sosialis di banyak negara Eropa.
Di akhir abad 19, kaum revolusionis berada di atas angin dikarenakan kondisi perburuhan semakin baik dan tidak terlihatnya tanda-tanda bahwa kapitalisme akan mati. Puncaknya mungkin adalah di Rusia ketika Partai Sosial Demokratis Buruh Rusia pecah dalam Bolshevisme (revolusionis) dan Menshevisme (gradualis). Para pendukung bolshevisme inilah yang kemudian mengambil alih kekuasaan melalui Revolusi Rusia di tahun1917 dan mereka kemudian membentuk Partai Komunis Uni Soviet.
Sejak keruntuhan komunisme di Uni Soviet pada tahun 1991 yang kemudian melebur menjadi negara-negara kecil dan runtuhnya Tembok Berlin yang membatasi Jerman Barat -dan Jerman Timur –mewakili rezim sosialisme-komunisme yang melebur menjadi satu Jerman, disinyalir awal dari matinya Sosialisme Eropa, sekaligus matinya revolusi. Benarkah demikian?

Ironi Jalan Ketiga Menuju Demokrasi Sosial
So what after sosialism? Dengan cukup simpatik (dan mungkin juga simplistik?), Anthony Giddens dalam bukunya, berupaya membuka jalan lain menuju “surga” kesejahteraan sosial yang disebutnya ‘the third way’, jalan ketiga menuju pembaruan demokrasi sosial. Menurut Giddens, program jalan ketiga itu di antaranya: pusat yang radikal, negara demokratis baru (negara tanpa musuh), masyarakat madani yang aktif, keluarga demokratis, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, negar berinvestasi sosial (social investment state), bangsa kosmopolitan dan demokrasi kosmopolitan.3
Apa yang ada di benak Giddens adalah sebuah utopia ‘jalan ketiga’ menuju demokrasi sosial yang sejak lama telah ada dan tidak jauh berbeda dengan cita-cita sosialisme utopis; bahwa sosialisme demokratis adalah sebuah asas bagi pembentukan suatu tatanan politik dan sosial yang di dalamnya semua orang akan memiliki kebebasan yang sama di semua bidang kehidupan melalui solidaritas dan organisasi masyarakat. Bedanya, Giddens lebih menekankan konsep ‘jalan ketiga’-nya pada prinsip-prinsip yang “diperhalus” menjadi –menurut hemat penulis— “kapitalisme tanpa kelas.” Artinya, dalam babakan baru setelah hancurnya komunisme di Soviet, sebuah negara seharusnya diproyeksikan sebagai kekuatan yang membuka kran kebebasan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang bertikai (sosialis-kapitalis) untuk menjalankan proses kreatif untuk bertahan hidup dari ketidakpastian ekonomi (manufactured uncertainty) yang melanda dunia sejak krisis Asia tahun 1997. Apa jawabannya? Dengan mengutip David Osborne dan Tod Gaebler dalam bukunya yang sangat monumental ‘Reinventing Government’, Giddens berpendapat bahwa “…restrukturisasi pemerintah kadang-kadang berarti pengadopsian solusi yang berdasarkan pada pasar, tetapi hal itu juga berarti penegasan kembali efektifitas di pasar.”4
Secara politik, ini berarti pemerintah suatu negara memberikan kepercayaan ke pada pasar untuk merealisasikan kerja kapitalnya untuk pertumbuhan ekonomi dan “kepentingan masyarakat umum” (public goods), tepatnya swastanisasi. Secara ekonomis, ini merupakan penegasan kembali terhadap konsep ekonomi campuran (mixed economy) dalam kerangka strategi ekonomi Keynes –yang juga menjadi agenda utama Konsensus Washington, di mana keterlibatan dan interaksi pemerintah pada sector swasta dianggap perlu dan sangat diharapkan.
Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa Giddens “keburu terbangun dari mimpi ‘jalan ketiga’-nya gara-gara digrogoti nyamuk moral hazard (aji mumpung), yang penulis sebut ‘kapitalisme tanpa kelas.’ Dalam perkataan lain, upaya kapitalisasi dengan semangat memberikan kebebasan ke pada masyarakat luas untuk menentukan sendiri alur kebutuhan ekonomisnya di bawah bendera fair trade (keseimbangan pasar) dan free trade (pasar bebas) bukannya memberikan peluang menjadi orang yang tercukupkan secara materi. Alih-alih menjadi mapan, justeru gelembung ekonomi semakin menguatkan posisi kaum borjuis (negara-negara industri maju) yang menginvestasikan sahamnya secara liar di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Apa yang terjadi dengan perselingkuhan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport di Papua sekarang ini, merupakan contoh nyata dari impian Giddens mengenai ‘jalan ketiga’ yang pada dasarnya bertujuan “mulya” untuk demokratisasi sosial, tapi ternyata mimpi buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang. Karena pada kenyataannya fair trade tidak akan pernah ada tanpa adanya fondasi ekonomi yang kuat dalam suatu negara.
Bibliografi
Engineer, Asghar Ali. 2003. Islam dan Teologi Pembebasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jamal, Mumia Abu.1998. “Apa Yang Telah Diperbuat Sosialisme Untuk Rakyat Kuba” (diterjemahkan oleh Mohammad Rozak). Sumber: http://www.poptel.org.uk/cuba-solidarity/index.html
Lingkar Studi Amerika. “Mengenal Sosialisme Lebih Dekat”. Bisa diakses di http://pk-sejahtera.us/kastra/articles/mengenal-sosialisme/
Smith, Cyril. Kritik Marx terhadap Hegel. Makalah Seminar Hegel. 18 Juni 1999.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
1 Hegel yang pertama kali mengetahui bahwa ‘setiap filsafat...diperuntukkan untuk zamannya sendiri dan terperangkap di dalam keterbatasan-keterbatasan zaman yang bersangkutan’. Tetapi hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sebuah pandangan filsafat dapat tetap hidup sesudah ‘zamannya’ lewat? Jawaban daripada pertanyaan ini membawa kita melebihi argumentasi filosofis ke sebuah penetrasi yang lebih mendalam mengenai ‘zamannya’ dan zaman kita. Itulah mengapa kunci untuk menuju apa yang masih hidup dari pemikiran Hegel terdapat di dalam kritik Marx terhadapnya.
2 Apa yang dilontarkan Theimer tersebut merupakan salah satu gagasan tentang cita-cita sosialisme Purba yang dicetuskan jauh sebelum Karl Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Baca, Franz Magnis Suseno… hal. 14 dan pada Bab II secara keseluruhan
3 Anthony Giddens… hal. 80.
4 Ibid, hal. 86.

7 comments:

  1. boz, panjang kalipun semacam-esai kow? pantas gda yg komentar? hehek.

    saya sih sedang senang dengan filsafat eksistensialisme. dan, menggubahnya menjadi : i am narcist - therefore i exist. hohoho...

    NB : mendadak pen nulis ini nih...

    ReplyDelete
  2. alhamdulillah km mau komen....hehehe... salam kenal...
    eksistensialisme gaya km ya... :)

    ReplyDelete
  3. reni.
    gedegdeg aye punya kepala n goyang - goyang aye punya pundak. bozzzzzz keren ente punya kate-kate.
    yeeeeee ngeremmin telur berape ampe bisa kaye tuuu. bung ........... ajarin nape bung

    ReplyDelete
  4. wahh..
    makasihh artikel na nih..
    berguna buat tugas kulia gw..
    ^ ^

    ReplyDelete
  5. mantepppppp...keep posting euy

    ReplyDelete
  6. asw. maw tanya, apakah Rusia dg sosialisme-nya makin maju atw malah terpuruk ya? Cz sosialisme sendiri kn hanya bertahan 30 tahun. Tapi selama 30 tahun itu rusia jg mampu memimpin dunia (blok timur). Tolong jelaskan korelasi itu semua y. Mendesak bgt buat diskusi minggu depan. 3ms

    ReplyDelete