Tuesday, July 30, 2013

Ramadhan dan Politik Imagologi

Oleh: Astar Hadi*

Dari awal Ramadhan hingga saat ini dan hari-hari ke depan, kita melihat menjamurnya pasar kaget yang menjajakan beraneka ragam jenis makanan dan pakaian sampai ke pinggir-pinggir jalan. Antusiasme masyarakat mengais “berkah” bulan puasa didukung meningkatnya konsumtivisme konsumen menghadirkan sebuah bulan bazar belanja yang jamak kita lihat dari tahun-tahun sebelumnya.
Pola yang sedikit berbeda dan menambah hiruk-pikuk nuasa Ramadhan kali ini dijumbuhi oleh kegiatan “tahun politik” menjelang pilcaleg dan pilpres yang menyodorkan warna lain yang lebih dari sekadar antusiasme bazaar belanja Ramadhan. Kini, dengan memanfaatkan momentum bulan khusus ini, pasar kaget politik juga menghampiri warga dengan beraneka jenis “dagangan” kecap nomer satu.
Para “pedagang” politik menyublim dalam balut citra kesalehan sosial dengan seabrek konstitusi diri sebagai sosok yang religius dan berderma kepada masyarakat. Layaknya seorang pedagang yang menganggap pembeli adalah raja, mereka, sebisa mungkin, menawarkan citra-citra simbolik yang bertaut nilai-nilai “islami” yang berbeda dari hari-hari di bulan lainnya.
Ruang kesadaran politik para politisi –dalam hal ini Caleg dan Capres— seakan-akan menghadirkan sebuah antusiasme dan optimisme politik bahwa keberadaan politik sejatinya bergerak-kelindan dalam ejawantah kepedulian yang “nyata” terhadap penderitaan rakyat.
Bulan puasa menjadi ajang kontestasi “kesalehan” yang –serba tiba-tiba— menjauhkan politisi dari politik sehari-hari yang serba prosedural dan transaksional. Mereka, seolah-olah, melebur dalam iman politik yang mensyaratkan pergumulan langsung yang tampak emansipatif. Pada titik ini, para Caleg bergerak “menjauhi” politik untuk mengakrabi dan merangkul “yang politis.”
Jika “politik” (the politic) berhubungan dengan rutinitas dan syarat-syarat legal-formal yang membatasi keberadaan diri pada jangkauan tarik-menarik kepentingan antar elit. Sebaliknya, “yang politis” (the political), seperti ditegaskan Alain Badiou –seorang filsuf politik kontemporer— tidak berurusan dengan hukum formal, perilaku kelembagaan dan aktor-aktornya. “Yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
Untuk menariknya lebih jauh, hiruk-pikuk politik dalam citra-citra “islami” Bulan Seribu Bulan menghadirkan sebuah kondisi yang secara terus-menerus menggoda sekaligus menghipnotis kesadaran masyarakat melalui aneka serbuan/blusukan “amal” dari para politisi, baik melalui iklan di media, talkshow, safari Ramadhan, buka puasa bersama, sumbangan masjid, berbagi dengan anak yatim dan lain sebagainya. Di sinilah kemudian tidak mudah bagi kita untuk membedakan mana citra yang palsu dan nyata, tidak bisa memilah antara yang pragmatis dan ideologis.
“Perlombaan kebaikan” Ramadhan ini, tentu saja, pertama-tama, layak diapresiasi dengan persangkaan yang baik sebagai sebentuk sikap “kontributif” para politisi terhadap konstituennya. Sementara di sisi lain, perlu ada uji kritis publik sejauh mana keterlibatan mereka bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sejatinya menghadirkan cakrawala emansipasi bagi publik atau, sebaliknya, merupakan konstruksi citra semu pragmatis yang “hanya” bertujuan mendulang suara di kemudian hari. Bagaimana membacanya?

Kontestasi Imagologi

Adalah dalam konteks perebutan kursi legislatif niscaya terjadi pertarungan sistematis-pragmatis dengan mengerahkan segala potensi dan kekuatan yang dimiliki kandidat. Secara sadar mereka membutuhkan modal finansial, sosial, kultural, bahasa, spiritual dan –bahkan— mistik, untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Dan, dalam banyak hal, akumulasi dari semua kekuatan tersebut bersandar pada bagaimana membangun citra diri yang, pada rasionalitas tertentu, memerlukan relasi-relasi citra yang merepresentasikan suatu kondisi/momentum tertentu, seperti misalnya nuansa religius Ramadhan dengan segala rantai pertandaan yang melekat padanya.
Dari sekarang dan ke depan, wajah politik segera saja mempertontonkan riuh kontestasi pesta demokrasi yang menggelar bazar rakyat (demos) melalui berbagai ornamen citra. Perayaan politik semacam ini akan mendominasi dan –sekaligus— “mengelabui” ruang-ruang kesadaran masyarakat pemilih ke dalam pola arsitektur citra yang, mengutip Yasraf Amir Piliang, bersifat patafisik (political pataphyisics).
Jean Baudrillard, dalam In the Shadow of the Silent Majorities, menegaskan bahwa konfigurasi politik yang didominasi oleh kekuataan citra disebut sebagai ‘dunia patafisika.’ Politik yang sejatinya sebuah pergumulan realitas tentang bagaimana mengada bersama rakyat secara riil dibelokkan menjadi permainan citra yang, seolah-olah, merakyat. Di sini, terjadi penyelewengan realitas menjadi citra-citra realitas.
Dalam konteks patafisika ini, elaborasi varian citra politik menjelma ke dalam bentuk-bentuk permainan tanda-tanda (semiotics) dan citarasa realitas religius yang tidak mengacu pada realitas yang ingin ditunjukkannya. Nilai-nilai kesalehan yang muncul tidak lantas mengacu pada upaya internalisasi iman islami. Alih-alih, secara politik, ia adalah konstruk pelampauan realitas (hipperreality) yang berpotensi/berpretensi sebagai referensi realitas di luar spirit keagamaan/Ramadhan itu sendiri, yaitu kekuasaan/politik. Prosesi “kerja” semacam ini yang juga dikenal dengan istilah ‘imagologi’ atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang representasi/kehadiran diri politisi yang, seolah-olah, saleh dan atau relegius.
Dominasi citra atas realitas, mengikuti Yasraf Amir Piliang dalam Patafisika Politik, menggiring pada ”derealisasi politik” (derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh relasi-relasi konkret, riil, dan substansial pada tingkat realitas sosial harian, tetapi oleh ”kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik. ”Semiotika politik” kini mengambil alih ”sosiologi politik”.

Hegemoni Citra: Quo Vadis Politik?
Jejak politik yang sebelumnya mengandaikan masyarakat sebagai logos (titik pusat) –sosiologi politik— kontestasi secara riil beralih menjadikan masyarakat sebagai objek yang ditandai –semiotika/imagologi politik— oleh citra-citra yang kehilangan referensi sosialitasnya. Nuansa imagologi mengambilalih yang sosial. Bahwa, kekuatan citra “mengkooptasi” dan “menegasi” kekuatan demos (rakyat) yang, pada gilirannya, menempatkan demos hidup dalam bayang-bayang “politik bujuk-rayu” (politic of seduction).
Semangat bujuk-rayu politik dalam citra-citra “islami” Ramadhan –juga momentum lainnya— menjejalkan overproduksi tanda kesalehan yang melaluinya pesan-pesan politik menghadirkan “keakraban” dan “keintiman” yang, tanpa disadari, menghegemoni “kesadaran” masyarakat sampai pada titik paling subtil. Fakta-fakta melalui iklan di media, poster ucapan “keimanan”, riuh bersafari Ramadhan, berbagi “berkah” puasa, dan kompleksitas referensi keberagamaan di dalamnya, hadir begitu massif “menderma” kebajikan oleh para politisi.
Sebagai sebuah ruang otokritik bagi penulis pribadi, tulisan ini tidak berpretensi menegasi dan atau menafikan pentingnya membangun citra yang baik di masyarakat. Titik terjauh dari telaah ini hendak meneropong fakta-fakta telanjang politik yang berpotensi mengumbar syahwat politik sebagai ajang demonstrasi dan kontestasi “citra kuasa” semata. Sementara pada kecenderungan ini, tujuan utama politik sebagai ranah perluasan deliberasi politik dan emansipasi publik cenderung diabaikan.
Melampui logika citra sebagai bagian dari keniscayaan berpolitik, kehadiran politik, dengan demikian, sejatinya harus mampu memayungi realitas dan fakta-fakta sosial sebagai “ruh” demokrasi dengan melakukan pelampauan-pelampauan politik sehari-hari menjadi sebuah keterlibatan yang berorientasi program dan bervisi publik ke depan. Tentu saja, ini akan menjadi tantangan bagi masa depan politik kita di satu sisi dan menjadi ruang terbuka bagi kontestasi perebutan suara yang tak hanya mencerdaskan, tapi sekaligus meminimalisasi potensi money politic yang cenderung vulgar.
Secara ideal, filosofi demokrasi yang diambil dari kata demos (rakyat) dan cratein (kekuasaan/kedaulatan/pemerintahan) sebagai ejawantah pemerintahan yang secara substansial meletakkan sendi kerakyatan sebagai titik pusat kuasanya jangan sampai mengalami pembalikan makna menjadi sebatas citra-citra rakyat. Dan, pada akhirnya, hajat pesta demokrasi harus menjadi ruang partisipasi publik yang tidak mereduksi hak rakyat sebagai objek akumulasi suara yang “hanya” dianggap ada di setiap momen pemilu berlangsung. Di sinilah integritas dan tanggung jawab politisi diuji.

*Astar Hadi adalah Caleg DCS DPRD Provinsi NTB dari Partai Demokrat dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang


**Dimuat di Suara NTB, Rabu 07 Agustus 2013




No comments:

Post a Comment