Saturday, December 29, 2007

Pendidikan atau “Toko” Pendidikan?


Pendidikan atau “Toko” Pendidikan?
Oleh: Astar Hadi*

Dalam preambule UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Secara filosofis, kata “mencerdaskan kehidupan”, paling tidak, dapat diartikan sebagai sebuah upaya membangun –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis masyarakat terhadap dinamika kehidupan yang sangat kompleks.
Kesadaran kritis pendidikan, tentu saja, merupakan manifestasi learning process yang mengandaikan sebuah kesinambungan tiga fokus “kesadaran” yang melekat dalam diri manusia, yaitu: thinking (berpikir), feeling (merasa) dan doing (melakukan). Pendidikan, dengan demikian, memposisikan dirinya tidak saja sebagai lokus berpikir secara kritis, ia juga melibatkan unsur-unsur sensitivitas (merasa) dalam bentuk keberpihakan terhadap kebenaran dan membangun aktivitas-kreatif (kerja) untuk menjalankan roda kehidupan/kebudayaan.
Ketiga unsur “kesadaran” tersebut menuntut sebuah ruang yang kita sebut pendidikan. Lantas apakah ruang yang kita sebut pendidikan tersebut sudah memenuhi tanggung-jawabnya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan atau mencipta “kesadaran kritis”? Atau, apakah pendidikan itu justru telah memperangkap kita dalam jejaring sistemik pendidikan yang akhir-akhir ini membuat banyak orang tua di Indonesia merasa ngeri untuk sekadar memikirkan dana yang harus dibayarkannya?
Pseudo Pendidikan
Alih-alih mencipta kehidupan, alih-alih mencerdaskan kehidupan, pendidikan bangsa kita dewasa ini adalah sesosok “hantu” kapitalisme yang setiap saat bisa menggerogoti tubuh sosial kita. Pendidikan tidak jauh beda dengan model “pembangunanisme” ala Rezim Soeharto yang menganut prinsip-prinsip ekonomi-politik yang berorientasi pada pilihan rasional (rational choice theory) dan menekankan efesiensi.
Penjelasan teoritik dari menonjolnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dalam dunia politik (juga pendidikan, pen.) justru lahir pertama kali dari seorang ahli ekonomi, yaitu James Buchanan. Ia telah memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus yang kemudian dikenal sebagai "Teori Pilihan Rasional" (Rational Choice Theory).
Secara tradisional, menurut James E. Alt dan Alberto Alesina (1996), perilaku ekonomi berarti orang yang memaksimalkan nilai tukar sedangkan perilaku politik menyangkut pemberian suara dan bergabung dengan kelompok kepentingan. Eksistensi paralel dan eksistensi bersama “negara” dan “pasar” dalam dunia modern ini melahirkan apa yang dinamakan “ekonomi politik”. Dalam hal ini, pendidikan dibangun atas dasar hegemoni elit keuasaan yang ditopang oleh pemerintah dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang diambil –termasuk kebijakan pendidikan— menjadi milik “bersama” dua kekuatan tersebut.
Fakta-fakta akan tingginya biaya pendidikan sudah jamak kita dengar melalui keluhan-keluhan masyarakat atau ekspos media massa. Seperti jajak pendapat yang dilakukakan Litbang Kompas pada 13-14 Juni 2007 mengenai persiapan tahun ajaran baru, menunjukkan bahwa dari rekam pendapat yang dilakukan, tidak sedikit orang tua yang merasa gamang terhadap kondisi pendidikan saat ini. Keresahan orang tua terhadap beban biaya pendidikan akan sangat sulit apabila disandingkan dengan keinginan untuk memperoleh kualitas pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka (Kompas, 13 Juli 2007).
Artinya, kebijakan akan wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang sejatinya menjadi hak setiap warga bangsa hanya dikapling oleh mereka-mereka yang punya cukup duit. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan telah dimasuki unsur-unsur kebijakan ekonomi-politik yang hanya manandaskan sebuah komodifikasi sistem pendidikan menjadi semacam produk barang dan jasa.
Pendidikan mengalami pembelokan makna ke arah permainan tanda komoditas yang saling jalin-menjalin dalam wujud pseudo knowledge (ilmu pengetahuan semu/palsu) yang diatur oleh mekanisme pasar. Alih-alih, menghasilkan kebudayaan, ia justru menciptakan bibit-bibit baru sebuah generasi yang terjebak dalam perangkap logika etalase toko (kapitalisme) yang oleh Jean Baudrillard –seorang Posmodernis asal Perancis— dianggap sebagai the system of object.
Dengan kata lain, pendidikan bisa diibaratkan sebagai sebuah etalase toko/mall yang menjadi objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat –konsumen bukan pelajar— melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk (gelar akademik) yang ada di dalam ”toko” pendidikan tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem (pendidikan) untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia berpendidikan”. Dalam sistem ini, akan memunculkan lingkaran setan konsumerisme, di mana seseorang yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu dia juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cinicin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya.
Dengan kata lain, gerak dinamis kesadaran kritis yang ditopang oleh unsur knowing by thinking, feeling and by doing, tidak akan pernah muncul jika saja logika pemenuhan financial capital (modal finansial) sebagai sistem kerjanya. Pun demikian, objektivikasi pasar dalam pendidikan hanya akan menjadikannya sebatas komoditas objek komersialisme ilmu pengetahuan.
Pendidikan untuk Memiskinkan
Fenomena-fenomena tentang mahalnya biaya pendidikan yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat sendiri, kritik di media massa, dan lain-lain, menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia belum menyentuh aspek pro-poor policy (kebijakan pro-rakyat miskin) yang telah banyak diwacanakan. Padahal konstitusi negeri ini mengamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa negara wajib menjamin pendidikan warganya. Untuk pendidikan dasar, pendanaan pendidikan dasar sepenuhnya menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini tercantum dalam Pasal 31, Ayat 1 dan 2, mengenai hak warga negara memperoleh pendidikan dan pembiayaan pendidikan dasar oleh negara.
Ironisnya, iming-iming WAJAR sembilan tahun yang diamanatkan UUD 1945 masih sebatas wacana. Pendidikan yang ”terlanjur” menitikberatkan pada model ekonomi politik, pada akhirnya, melihat kebijakan yang seharusnya untuk kepentingan publik (rakyat) direduksi menjadi kepentingan pasar. Pendidikan dipolitisi untuk kepentingan segelintir elit yang memiliki kuasa terhadap beroperasinya pendidikan itu sendiri. Yang muncul kemudian, kompetisi antar lembaga pendidikan adalah kompetisi pasar yang menyodorkan iklan-iklan pendidikan yang memaksa konsumen untuk membelinya meski dengan harga yang sangat tinggi sekalipun. Konsekuensinya, tidak ada jatah pendidikan untuk kaum miskin!
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari benang kusut pendidikan yang kapitalistik ini adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan keadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek kapitalisme pendidikan yang ujung-ujungnya menciptakan mentalitas korup. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskriminatif, Indonesia kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus bangsa.

*Astar Hadi adalah mahasiswa Pasca Sarjana konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Brawijaya Malang dan Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LKiS Yogyakarta, 2005), bertempat tinggal di Lombok. Aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

No comments:

Post a Comment