Wednesday, July 23, 2008

KHOFIFAH DAN DEKONSTRUKSI POLITIK PATRIARKHAL

Oleh: Astar Hadi
Setelah Era Megawati Soekarno Putri yang merupakan satu-satunya presiden wanita pertama di Indonesia, wacana politik tentang peran wanita di luar ranah domestik semakin menguat. Posisi wanita menemukan momentum kebangkitannya vis a vis hegemoni budaya politik patriarchal.
Di beberapa daerah, sejumlah sosok wanita –yang identik dengan citra kasur, dapur dan sumur— mulai merangsek naik ke panggung politik. Bahkan, salah satu di antaranya sedang menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Banyuwangi, sebuah wilayah tapal kuda yang notabene secara kultur memiliki tradisi yang masih sangat kuat dengan dominasi pejantan tangguhnya.
Trend menguatnya wanita sebagai figur representatif dalam mewujudkan demokratisasi politik di daerah juga ditandai oleh semakin banyaknya peminat dari partai-partai politik yang meminang mereka untuk menjadi calon kepala daerah dalam fenomena Pilkada belakangan ini. Tentu saja, “keberanian” parpol dalam melamar calon pengantin daerah ini sangat mungkin ditengarai oleh pergeseran dinamika politik yang melihat adanya kecenderungan prilaku massa pemilih yang mulai berkiblat pada sosok wajah baru dalam arti yang sebenarnya. Apakah fenomena ini merupakan wujud dekonstruksi opsisi biner (binary opposition) politik terhadap hegemoni penguasa laki-laki?
Dekonstruksi Politik
Rasa “bosan” dengan sosok “yang itu-itu saja” (lelaki) dan terbukti banyak tidak mampu mewujudkan janji-janji kesejahteraan untuk rakyat, secara psikologis akan berdampak pada pengalihan referensi politik pada “sesuatu” yang lain, yang baru, yaitu wanita. Hal ini tidak berarti sebuah generalisasi yang menunjukkan tidak adanya rasionalitas pilihan terkait dengan popularitas, akseptabilitas, dan terutama sekali, kredibilitas calon tersebut.
Pertama, untuk fenomena di Indonesia yang belum benar-benar “melek” politik, persoalan popularitas seorang aktor dalam panggung politik menjadi hal yang cukup signifikan sebagai orientasi pilihan publik. Lebih-lebih, ketika popularitas itu dimiliki seorang wanita, maka itu akan menjadi sebuah nilai “beda” atau credit point ketimbang popularitas itu dimiliki oleh laki-laki yang notabene sudah “lumrah”. Artinya, manakala wanita sudah mampu berapresiasi sedemikian rupa dalam ranah politik yang didominasi pria, secara tidak langsung itu menunjukkan “keunggulan” yang patut diperhitungkan.
Kedua, akseptabilitas atau penerimaan seorang wanita masih bersifat resistant. Dalam sejarah panjang demokrasi di Indonesia, harus diakui, kedudukan wanita sebagai pemimpin baik dalam wacana agama, politik dan budaya masih sangat minim dan bahkan masih dianggap “zona terlarang” bagi mereka. Akan tetapi, manakala akseptabilitas itu diperolehnya dalam wilayah publik dan politik, alih-alih suatu bumerang, hal tersebut justru menjadi privilege (hak istimewaa) yang mengangkat citra mereka melambung dalam rimba laki-laki.
Ketiga, kredibilitas seorang calon pemimpin. Kredibilitas yang bisa diasosiakan dengan persoalan kemampuan manajerial, intelektualitas, dan kenegarawanan, merupakan hal yang paling utama bagi seorang pemimpin politik baik pria maupun wanita. Dalam hal ini, ada sebuah animo yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa “pria dianugerahi 9 akal dan 1 nafsu/perasaan dan wanita sebaliknya” menjadi terbantahkan tatkala semakin banyaknya wanita yang keluar dari lajur domestik dan mampu berbicara banyak dalam konstelasi politik baik di tingkat nasional maupun lokal. Dan lagi-lagi, secara psikologis, mereka adalah minoritas pengecualian yang sangat mungkin menjadi alternatif perubahan (alternate change) bagi sebuah dinamika politik yang “melulu” dikuasai pria yang terbukti banyak tidak mampu melakukan perubahan yang “cukup berarti”.
Menurut hemat penulis, referensi pilihan masyarakat terkait popularitas, akseptabilitas dan kredibilitas, seorang pemimpin, berpeluang memunculkan kembali berbagai kejutan politik yang sudah terbukti dimenangkan calon-calon yang dianggap “underdog” seperti yang terjadi pada pilpres 2004, pilkada Jawa Barat, dan lain-lain. Apakah hal ini bisa terjadi di Pilkada di Jawa Timur yang salah satu calonnya adalah wanita (Khofifah Indar Parawangsa) yang juga di dukung oleh koalisi partai-partai kecil? Jawabannya, sangat mungkin!
Fenomena “Underdog”
Berdasarkan temuan-temuan dari dua kali survey untuk Pilkada Jatim yang dilakukan Institut Survei Publik (ISP) Jakarta pada periode Mei-Juli 2008, bahwa kejutan-kejutan baru akan sangat mungkin terjadi lagi. Ada sejumlah temuan yang menunjukkah indikasi tersebut.
Pertama, Pilkada Jatim hanya akan berlangsung satu putaran saja. Karena dari dua kali hasil survey menunjukkan dukungan terhadap para kandidat pasangan tidak menyebar secara merata.
Kedua, trend dukungan terhadap pasangan kandidat “underdog” sepertinya semakin meningkat secara signifikan di sejumlah daerah pemilihan Jatim. Kandidat-kandidat yang didukung partai besar yang selama ini diunggulkan sangat mungkin terjungkal meski sudah lebih dulu memasuki arena pertarungan. Yang cukup mengejutkan, dukungan terhadap satu-satunya calon wanita, Khofifah Indarparawangsa-Mudjiono (KA-JI), memperoleh peningkatan yang signifikan dalam dua bulan terakhir priode Mei-Juli ini. Dan, jika trend ini berlangsung secara konsisten, maka peluang Khofifah cukup besar untuk memenangi Pilkada Jatim dalam satu putaran. Sementara trend dukungan terhadap pasangan kandidat lain menunjukkan stagnasi dan bahkan penurunan.
Ketiga, presentase dukungan menunjukkan bahwa popularitas Khofifah semakin menguat (63%) dan semakin diakui pemilih (71,6%). Yang lebih menguatkan, bahwa Jatim yang merupakan basis utama pemilih NU menempatkan Khofifah sebagai calon Gubernur representasi warga NU (32%), sementara Soekarwo (19,3%), Achmadi (9,4%), Soenarjo (5,5%), dan Soetjipto cuma (4,1%).
Perolehan Suara Pilkada Jatim Mei-Juli 2008 (ISP)

Kandidat Hasil Survey Mei 2008 Hasil Survey Juli 2008
Khofifah IP.-Mujiono (KA-JI) 8,0% - 16,6%
Soetjipto-Ridwan Hisyam (SR) 10% - 10,2%
Soenarjo-Ali Maschan Musa (SALAM) 14,8% - 10,9%
Achmadi-Suhartono (ACHSAN) 3,2% - 3,7%
Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KARSA) 23% - 25,7%
Belum memutuskan (Undecided) 41% - 32,9%
Dalam analisis lanjutan (Markov Chain Analysis) yang dilakukan ISP, trend perpindahan suara pemilih (swing voters), terjadi pergeseran jumlah dukungan dan urutan pemenang. Dalam analisisnya, pasangan KA-JI berpotensi naik dari 17-24 persen, sementara KARSA berpotensi turun dari 26-22 persen. Kemungkinan ini memperlihatkan akan terjadinya persaingan perebutan suara yang ketat antara dua pasangan kandidat, KA-JI dan KARSA.
Dengan demikian, terlepas dari apakah analisis ini nantinya terbukti atau tidak, setidaknya temuan-temuan ISP di atas kembali mempertontonkan fakta-fakta sosial tentang pergeseran prilaku pemilih dan fenomena perubahan sosio-kultur masyarakat, khususnya di Jawa Timur. Tentunya, secara tidak langsung masyarakat mulai mengalami “konversi” ideologis, keyakinan, cara pandang, harapan, dan imajinasi untuk masa depan yang lebih baik, yang oleh Jean Jacques Lacan disebut sebagai citra cermin (mirror image), yang memantulkan kembali subyek pada obyek awalnya, yaitu citra ibu (wanita) yang santun, yang selalu siap mengayomi dan memanjakan anaknya dengan kesejahteraan ekonomi. Wallohu A’lam bi Al-Showab.
* Astar Hadi adalah Peneliti dan Asisten Koordinator pada Indomatrik (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur dan Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik Unibraw Malang.

No comments:

Post a Comment