Friday, August 29, 2008

Pemimpin Muda dan Ghiroh Multikulturalisme

Pemimpin Muda dan Ghiroh Multikulturalisme
Mengapa pemimpin muda?! Pertanyaan ini tidak diposisikan dalam sebuah pertanyaan, akan tetapi ia merupakan sebuah manifesto, sebuah jawaban, sebuah keharusan, tentang masa depan bangsa, Indonesia! Kita, generasi muda, sudah saatnya untuk beranjak dari kungkungan konservatisme sebuah bangsa yang dipimpin oleh rezim “tua” yang tidak lagi punya cukup akal untuk merangkul beratus juta ummat yang notabene telah “melampui” definisi masa lalu yang membunuh masa depan; kaum tua dan keangkuhan patriarkalnya ! apa hal?
Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama, semangat kemerdekaan! Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.
Kata ‘kemerdekaan’, sebuah manifesto yang tidak akan pernah selesai bagi bangsa, bagi masyarakat, bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Untuk itu, motor penggerak kemerdekaan harus selalu berganti mesin, selalu dimodifikasi, agar tetap dinamis untuk menggerakkan speed, power and acceleration of democracy. Di antara beratus juta rakyat Indonesia pada kenyataannya, telah muncul “spare part-spare part” baru yang siap mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi sanggup melewati sirkuit-sirkuit kehidupan yang berkelok-kelok dan terjal.
Inilah sebuah zaman di mana kompleksitas kehidupan sedang berjalan. Menegakkan tiang kemerdekaan tidak lagi berarti kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, yang justru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pemberangusan, penghancuran, penindasan terhadap realitas yang lain (otherness), perbedaan dan diversitas (diversity). Kemerdekaan yang seutuhnya adalah kemerdekaan yang mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang selalu berimajinasi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda. Tentu saja, kemerdekaan semacam ini mungkin asing bagi mereka yang sudah sepuh (kalau boleh disebut demikian), tapi tidak bagi yang masih muda.
Bersambung....

No comments:

Post a Comment