Friday, December 5, 2008

Jati Diri Bukan Milik Orang Miskin

Oleh: Astar Hadi

"Tak semua orang bergigi rapi. malah bisa dikata, kebanyakan orang bergigi silang selimpat. susunan giginya tidak rata, malah tak sedikit yang mempunyai gigi tongos. Rasanya, dalam hal gigi pun, manusia harus menerima taksdirnya sebagai ketidakadilan: mengapa gigi saya jelek, sedangkan gigi orang lain demikian baik? ..... Tak usah khawatir. Di zaman ini soal di atas dengan mudah diatasi. Pergi saja ke orthopedi, dan mintalah untuk dipasangi kawat gigi. Memang sekarang kawat gigi lagi ngetren. Siapa pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan cool", demikian Sindhunata memulai tulisannya untuk mengelaborasi telaah Filsuf Amerika, Michael J. Sandel, yang mengamati betapa dengan hanya kawat gigi saja sudah merupakan proses dari perampasan terhadap kebebasan manusia. Hemmmm... sebegitu kawat kah (eh salah, gawatkah) kondisi kita-kita dewasa ini?!
Kita dan Kebebasan
Sabtu malam, 30 Nopember 2008, kemarin, saya diundang untuk ngisi materi yang salah satunya tentang Individu dan Masyarakat. Salah seorang peserta bertanya yang initinya apakah kemudian kebebasan individu itu sesuatu yang mutlak diperlukan? Saya menjawab, "iya"!!! Bahwa kebebasan adalah suatu fitrah kemanusian yang sejak lahir sudah muncul. Kebebasan individu bersifat given, yang artinya ia hadir secara otomatis. Karena, pada dasarnya watak setiap individu tidak menginginkan keterkekangan, tidak butuh aturan yang mengikat, alih-alih, kita selalu berkehendak, selalu ingin bebas untuk melepas hasrat, passion, sampai pada titik terakhir kebebasan itu mewujudkan dirinya.
Dalam hal ini, kebebasan adalah jawaban atas individu yang otentik, khas, unik, yang membedakannya dari individu yang lain. Antara individu dan kebebasan adalah dua sisi mata uang yang sama. Saling merangkul, saling mendukung satu sama lain. Oleh karena "takdir" kebebasan pula manusia menujukkan eksistensinya, memperlihatkan perbedaan-perbedaannya dengan manusia yang lain. Orang menyebutnya sebagai "jati diri".
Sebaliknya, tanpa kebebasan, manusia bukan manusia akan tetapi lebih mirip dengan benda mati, tak bergerak, jumud, tak berkembang. Atau ibarat hewan yang bisa bergerak, bisa berjalan, tapi yang secara anatomi biologis hanya memiliki kemampuan instingtif (naluriah) sesuai dengan "takdir" yang telah dinisbatkan pada kehidupan mereka, tidak lebih.
Lantas, apakah kebebasan ini benar-benar dimiliki manusia? Apakah kebebasan individu sebagai salah satu bentuk paling tinggi dari otonomi manusia itu memang ada? Atau, paling tidak, ia merupakan sebuah upaya menuju "penyempurnaan" identitas yang otentik?
Kebebasan, sekali lagi, merupakan sesuatu yang menyifati diri setiap individu, yang membentuk alur "sejarah" setiap pribadi, setiap kehidupan; yang mengunduh, mencipta, merawat, melahirkan, mengeksplorasi, nilai-nilai dan norma kebudayaan. Melaluinya masyarakat lalu muncul, berkembang, menjadi apa yang kita sebut sebagai entitas (budaya) global.
Jati Diri yang Terjajah
Betapa pentingnya persoalan individu telah menjadi mainstream yang selalu menarik banyak pihak untuk terus mengkajinya. Telaah-telaah filsafat, psikoanalisis, agama, dan sampai pada wacana-wacana pop memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keunikan individu sebagai “inisial” kebebasan manusia.
Tentang ini, Rene Des Cartes mendasarkan filsafatnya pada “aku yang berpikir”, bahwa aku berarti diri yang bebas –berpikir— dalam kancah dialektis zaman untuk meraih “ada”-nya eksistensi diri setiap individu. Hal ini berlanjut pada Doktrin Cartesian yang menjunjung tinggi individualisme sebagai proyek modernisme yang menantang setiap orang untuk menunjukkan otonomi diri, yang bebas, yang unik, sebagai diri yang “sadar”.
Pun demikian, anak-anak gaul sebagai representasi generasi muda kita sekarang ini pasti akan sangat mengenal kata-kata seperti gw banget, gw gtu loh. Istilah-istilah pop ini secara simplisistis ingin menunjukkan “jati diri” tertentu yang melekat pada diri seseorang, yang menjadi label diri untuk bertindak “mencipta”, bergerak “mengeksplorasi” dunia kehidupannya.
Kontras dengan yang di atas, Sandel bahkan berpendapat, pada dasarnya otonomi pribadi sesunggunnya tidak ada, karena setiap manusia sejak lahirnya ditentukan oleh kekelompokan social. Lebih jauh dapat dipahami bahwa kebebasan individu sejatinya bukan kebebasan yang tercipta atas dasar identitas diri yang unik, akan tetapi ia selalu mengacu pada kenyataan dan keberadaan lingkungan (global) dan pengalaman social yang dihadapainya.
Merujuk pada kawat gigi, Sandel membawa kita pada kenyataan bahwa kebebasan kita telah mengalami erosi diri, degrdasi identitas. Mungkin kawat gigi terlihat remeh, akan tetapi ia telah secara mendalam menunjukkan bahwa proporsi diri yang seharusnya bertindak cerdik untuk sesuatu yang bermanfaat telah tergerus oleh diri global, yang alih-alih, mengeliminasi kita pada sebuah pemenuhan ekstase hura-hura tanpa rasa haru terhadap realitas social di sekeliling kita. Tentu saja, siapa yang pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan gaul, keren dan cool man. Dan, yang pasti memilikinya hanya orang-orang yang berduit, tidak untuk si miskin !
Jean Baudrilard, salah satu tokoh postmodern, di sisi lain menjelaskan, bahwa kondisi global telah mengalami proses orbital, di mana setiap individu telah berada pada satu garis edar globalisme yang menawarkan “kesatuan” salah satunya melalui fashion –kawat gigi, gaya rambut, pakaian— sebagai orbit identitas kita; sebuah jati diri global. Lebih jauh, Baudrillard melihat fenomena modernitas kita sebagai penggunduhan jati diri material yang di dalamnya menawarkan apa yang ia sebut the syistem of object. Di mana, ketika anda atau saya shopping mall, maka barang-barang yang ditawarkan didalamnya adalah sebuah gambaran tentang “eksistens diri”; yang gw banget, yang gaul abis.
Dengan kata lain, etalase toko/mall merupakan objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk yang ada di dalam toko tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem “identitas” untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia yang eksis”. Dalam sistem ini, kita mendasari jati diri sebagai jati diri material bahwa “aku belanja, maka aku ada”. Dengan demikian, hasrat akan pemenuhan perfeksionisme diri (self perfectionism) akan memunculkan lingkaran setan “ekstase spiritual” konsumerisme yang asosial, yang mendamba pemuasan jiwa melalui “ruh/spirit” material.
Hasrat akan penampilan diri yang sempurna berarti “mari kita berlomba dalam mengkonsumsi barang sebanyak-banyaknya”! Mungkin, anda atau saya yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu anda dan saya juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cincin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya. Dan pada akhirnya, lagi-lagi, orang miskin memang tidak akan pernah menemukan, lebih-lebih, memiliki “identitas” dirinya.

7 comments:

  1. Dan kita memang dididik untuk membeli atau memiliki sesuatu yang bukan kebutuhan kita. Sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi kebutuhan dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah kita membutuhkannya

    ReplyDelete
  2. yup.... anda benar Bung.... Thanks

    ReplyDelete
  3. ..." Tentu saja, siapa yang pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan gaul, keren dan cool man. Dan, yang pasti memilikinya hanya orang-orang yang berduit, tidak untuk si miskin !"...

    Kok aku KURANG SETUJU dengan ungkapan tersebut ya, Bung!

    Salam, dan senyum (dengan kawat gigi tentunya!)

    http://ummul-orthodonti.blogspot.com


    :-)

    :-)

    ReplyDelete
  4. hehehe... ternyata anda pake kawat gigi juga?! knp ayo???
    saya balik bertanya, ada apa di balik kawat gigi yang anda pakai? ada sesuatu yang lain kah, yang tidak sekedar membuat anda bisa tersenyum? apakah anda memperolehnya secara gratis? ato paling tidak, apakah harganya termasuk "murah" spt harga permen? anda yang tau...hehehehe

    ReplyDelete
  5. reni nurhidayati
    soryyyyyy ...bung. aye kadang heran ye ma para anak muda yg aye kira salah ma persepsi sayang. jk meminta apa aje ma bonyok nye kalo ga dikasih ga sayang ehhhhhhh dikasih justru tu yg sayang. padahal sesutu yang lom tepat dia minta. jd bung mana yang salahnya . anak yang minta ape bonyak yang sos soan perhatian ma aneknye ? ? ?

    ReplyDelete
  6. thanks Reni...
    ada pepatah mengatakan... "cinta anak sepanjang galah, cinta ibu sepanjang jalan".. itu berarti, cinta ortu tiada matinya dan tentu saja, menurut saya, perhatian ortu selalu tulus...meski kadang ketulusan, gak sesuai dgn keinganan sang anak sang ortu...
    ortu maunya gini, anak maunya gitu...dan, yg terpenting, lagi2 menurut saya, adalah bagaimana mengkomunikasikan keduanya dgn rasional dan proporsional, minimal spt itu...
    menurut anda?

    ReplyDelete
  7. reni.... lg
    yup..... anda benar tp apa selamanya tepat cara ortu memberi. ok ..... ku sarankan coba ikutin perjalanan sukses seorang Eksekutif muda dari kelahiran tasik besar di bokor Beliau bernama Gilang. tu sangant menarik ok

    ReplyDelete