Friday, November 21, 2008

Survey Sebagai Representasi Realitas

Oleh: Astar Hadi

Hasil penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan oleh empat lembaga survei, di antaranya Lembaga Survey Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional dan Puskaptis dalam Pilkada Jawa Timur putaran II membuat banyak pihak kecele. Quick count keempat lembaga tersebut memenangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KA-JI) atas pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KARSA) dengan selisih kurang lebih 1 persen berbeda kontras dengan hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim yang justru memenangkan pasangan KARSA sebagai Guburnur Jatim terpilih Periode 2009-2012.
Kasus di atas menyisakan sebuah pertanyaan penting tentang sejauhmana kelayakan sebuah lembaga survey benar-benar bisa dipercaya. Meski tidak ada sanksi tertentu yang bisa dialamatkan pada sebuah lembaga survey jika prediksinya berbanding terbalik dengan hasil “sesungguhnya” yang telah ditetapkan KPU, seharusnya ada suatu pertanggungjawaban etis yang sejatinya bisa menjadi referensi semua pihak atas “kesalahan” yang dilakukannya. Artinya, lembaga tersebut penting untuk menjelaskan pada masyarakat luas perihal variable-variabel lain yang sekiranya merupakan faktor-faktor ketidakakuratan dalam proses survey berlangsung.
Mengapa demikian? Sebuah kasus menarik bisa dijadikan landasan. Di mana di sejumlah media massa ditayangkan betapa kepercayaan massa pendukung KA-JI yang begitu tinggi terhadap validitas hasil quick count lantas merayakan “kemenangan” tersebut dengan beramai-ramai menggunduli kepala. Pun demikian, wawancara Khofifah di sebuah media massa cetak setelah hasil quick count tersebut dipublikasikan menunjukkan keyakinannya dengan menyatakan bahwa validitas hasil quick count tidak pernah salah.
Apa yang dilakukan oleh para pendukung tersebut memang tidak salah dan sebuah bentuk wajar dari hysteria massa. Tentunya, sah-sah saja bagi Khofifah untuk mengatakan demikian. Akan tetapi, ini merupakan bentuk ketidakpahaman masyarakat kita yang terlalu terburu-buru menyimpulkan hasil quick count yang pada dasarnya masih bersifat sementara dan tidak lebih sebagai representasi realitas dari realitas sesungguhnya.
Sebuah Representasi Realitas
Secara sederhana, analogi dari realitas survey bisa dibaratkan di saat seseorang ingin mengetahui rasa daging sapi, maka tidak harus ia memakan semua daging tersebut, cukup hanya dengan mencicipi secuil saja maka ia telah mengetahui rasa daging sapi tersebut.
Apakah analogi di atas tepat? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena survey sebagai sebuah metode ilmiah memiliki seperangkat metode-metode tertentu yang dianggap valid untuk menyampaikan “kebenaran” berdasarkan uji validitas dan uji realibilitas berdasarkan data dan fakta objektif. Artinya, klaim kebenaran ilmiah berbeda dengan hanya sekedar klaim subjektif seseorang yang mengatakan bahwa rasa sapi itu seperti ini atau itu, enak atau tidak. Meskipun sama-sama berdasarkan fakta, akan tetapi penjelasan tentang rasa daging sapi itu masih bersifat asumptif karena mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah tentang “keterukuran universal” dan “validitas objektif” sebuah penelitian.
Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, survey termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif yang menitikberatkan pada angka-angka sebagai tolak ukur analisis-definitif untuk mengetahui dan menunjukkan sejauh mana realitas yang diacunya itu benar adanya. Di mana, survey biasa dilakukan dengan cara pengambilan sampel dari suatu populasi tertentu yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan survey lapangan.
Logika pengambilan sampel mengisyaratkan sebuah representasi, sebuah keterwakilan realitas atas realitas yang diacunya. Sejumlah orang, katakanlah 100 orang, biasanya dijadikan sampel untuk merepresentasikan realitas 1000 orang atau lebih dalam populasi tertentu. Dengan demikian, apakah sampel tersebut bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya?
Suatu bentuk representasi selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa menyampaikan kebenaran terhadap realitas yang diacunya sejauh realitas tersebut memiliki hubungan korelatif yang kuat dengan representasinya. Di sisi lain, kebenaran itu bisa salah jika saja tidak ada hubungan korelatif yang kuat dengan representasi awalnya.
Sementara itu, ada suatu paradoks yang pada kenyataannya tidak bisa dilupakan dalam proses survey (opini) public, bahwa quick count memungkinkan adanya kesalahan prediksi oleh karena human error yang disebabkan oleh ketidakakuratan penentuan dan pengambilan sampel (sampling error) dari suatu populasi, atau yang lebih parah, terjadinya kesalahan-kesalahan di lapangan yang disebabkan oleh ketidaktepatan peneliti/surveyor dalam pengumpulan data, analisis, interpretasi hasil analisis dan variable-variabel lain yang tidak terduga.
Di samping itu, quick count berbeda dengan survey prapemilihan. Quick count berlaku ketika pemilihan berlangsung sehingga “kejutan-kejutan” di setiap TPS yang dijadikan sampel tidak secara langsung menunjuk pada kesesuaian pada apa yang diperoleh dari keseluruhan TPS yang ada. Contohnya, di satu kelurahan/desa terdapat 10 TPS, kemungkinan sampel yang diambil biasanya adalah 2/3 TPS. Katakanlah di semua sampel TPS yang diambil si calon A mengalahkan B dengan suara mutlak, maka kesimpulan yang bisa diambil bahwa, si A telah memenangkan pemilihan di kelurahan tersebut. Pertanyaannya, benarkah si A telah menang di kelurahan tersebut?
I am sorry... To be Contiuned.....

1 comment:

  1. Karena masih bersambung, aq belum kasih koment dulu dech...

    ReplyDelete