Sunday, May 17, 2009

Budaya = Capek Dech

Sambungan dari... “Omong-omong Budaya

Dengan demikian, budaya adalah tentang bagaimana kita bersikap, tentang bagaimana kita bertindak, tentang bagaimana kita berpikir, untuk dunia kita. Budaya, mungkin, sangat kompleks, yang melingkupi kesluruhan indera kita dalam mencerap dan mengejawantahkan impuls-impuls dunia tempat kita berada dan mengada bersamanya. Begitulah, paling tidak, para budayawan kita bertutur tentangnya. Benarkah?

Kalau dibawa dalam konteks hari ini, apakah klaim budaya semacam itu masih relevan? Akan kah ia melulu soal nilai dalam mencipta dan berkarya, soal norma dalam bertindak dan bersikap? Atau, jangan-jangan, ia adalah soal selera saya, anda atau mereka, yang menuntut pemenuhannya saat ini juga?! Capek dech…!

Budaya itu Bernama Capek Dech

Capek dech…!”. Kata-kata ini seringkali meluncur deras dari bibir-bibir masyarakat –terutama sekali kaum muda, maski kadang dari kaum tua. Apa artinya? Jika dilacak, penggunaan kata ini berkaitan dengan diksi sebagai sebuah “pilihan” selera “gaul” untuk mengungkapkan kondisi seseorang atau sejumlah orang dalam suatu kondite “moral” tertentu dianggap berlebihan, munafik, omong kosong (lebay). Di sisi lain, ia juga secara “tepat” melukiskan kondisi social, budaya dan politik bangsa kita yang mengalami virtualitas nilai dan melampui fatsun politik tentang demokrasi; transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, menjadi hanya sebatas permainan citra (imagologi).

Capak dech adalah (bahasa) parody yang sekaligus menjadi sebuah ironisme budaya massa. Tentu saja, ya! Mengapa? Partama, parody merupakan “sebuah komposisi sastra atau seni yang di dalamnya gagasan, gaya, atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikian rupa sehingga membuatnya tampak absurd” (Piliang, 1998: 19). Dalam wacana parodi, realitas adalah sebuah gambaran dunia kontemporer yang tidak lagi bergantung pada realitas, yang oleh Slouka disebut sebagai fakta empiris, tidak berubah-ubah, bersifat alamiah dan tidak pula relatif. Realitas dalam pengertian ini menunjukkan sebuah ranah parodi yang, seperti halnya selera dan dunia ide yang sering kali bersifat subjektif, eksis disebabkan oleh dua unsur yang saling bertolak belakang, saling menginterupsi, dan selalu dalam “proses” permulaan. Dan realitas budaya dalam masyarakat kontemporer dewasa ini adalah realitas yang mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang menyimpang dari identitas dirinya.

Kedua, ironisme berarti, kita telah disuguhkan sebuah “wisata kuliner” di setiap ruang real time yang menunya terdiri atas histeria mesin hasrat (desiring machine) massa yang terus di-upgrade, di-update, untuk memenuhi mitos be and do it your self. Proses internalisasi (downloading) budaya global ke dalam langgam lokalitas paling subtil telah menjadikan yang global menjadi lokal dan sebaliknya secara terus menerus. Budaya, dengan demikian, merupakan sebuah lalu-lintas produksi, jejaring konsumsi, percepatan komoditas-komodifikasi, alih-alih, menjadi nilai, karakter, identitas, yang membedakan (diferensiasi) tatanan masyarakat secara sosiologis.

Sebagai contoh, dalam pemilihan legislative, beberapa minggu lalu, kita melihat sebuah adegan dari drama social yang di dalamnya bercerita tentang calon wakil rakyat dengan segala janji politiknya untuk kesejahteraan rakyat, untuk demokrasi. Akan tetapi di saat yang sama, kita juga mengerti bagaimana para calon “pahlawan” rakyat itu adalah para calo politik –tidak untuk menunjuk semuanya— yang membeli suara dengan harga yang tidak murah untuk kemudian menjualnya kembali dengan harga berlipat-lipat untuk kepentingannya sendiri. Terbukti, dari berita di media massa, banyak di antara mereka yang tidak sukses membeli “hati” rakyat”, pada akhirnya, harus dibawa ke rumah sakit jiwa, bahkan ada yang gila dalam pengertian sebenarnya.

Menilik pada fenomena di atas, langgam kebudayaan kita saat ini sudah mengalami virtualitas dan imagologi sedemikian rupa. Kita tidak lagi tahu mana yang benar-benar murni dan mana yang tidak. Kebudayaan terjerembab dalam titik hypper, melalmpui tapal batas yang seharusnya tidak dilewatinya. Wajah social, budaya dan politik telah menjauh dari tempat di mana “seharusnya” ia tinggal.

Pun demikian, realitas sosial mennujukkan betapa budaya kita telah mengalami percepatan sedemikian rupa. Belum selesai satu persoalan muncul persoalan baru. Anehnya, belum cukup kita memahami dan menghayati suatu realitas social, kembali kita dihadapkan dengan realitas baru yang lebih pelik. Kondisi krisis percepatan semacam ini secara telak disindir oleh Paul Virilio sebagai ruang epilepsi. Menurut Virilio, masyarakat kapitalis Barat –dan juga Indonesia (pen.)– kini hidup dalam ruang yang disarati oleh “kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tak terduga, yang tidak lagi sekadar berkaitan dengan tekanan dan represi, tetapi dengan interupsi (melalui percepatan), yang muncul dan menghilangkan dunia real …” Bahwa citra-citra yang disuguhkan media massa dan pasar komoditas yang silih berganti dan berpindah-pindah begitu cepat, muncul dan menghilang secara simultan dengan logika percepatan tinggi, merupakan satu representasi eksodus masyarakat dewasa ini yang bertamasya (surfing) dalam mengeksplorasi ruang nihilisme dan fatalisme pencitraan melalui seperangkat media percepatan (televisi dan Internet).

Pada akhirnya, logika percepatan adalah sebuah manifestasi budaya yang tunduk pada hukum komoditas. Sebagaimana komoditas, (hukum) budaya kini berarti apa yang bisa kita (kapitalisme dan media) tawarkan sebagai “sesuatu” yang memiliki nilai tukar (exchang value), bukan nilai guna (use value), bukan pula moralitas akan tetapi kreatifitas. Dan, tentu saja, komoditas budaya berarti komoditas pasar yang tidak pernah tidur dan tidak pernah sepi dari hysteria akan “yang serba baru” –HP ini, lalu HP itu, lalu…capek dech.

Budaya tidak lagi berarti sebuah “rasa, karsa dan cipta dari akal budi” yang lahir berdasarkan proses (kesadaran) kritis-reflektif nilai yang menuntut ruang dan waktu untuk merenung. Alih-alih, ia adalah sebuah proses (kebergairahan) magis-rekreatif yang “hanya” menuntut pemenuhan hasrat secara instant. Wassalam…


Daftar Bacaan

Hadi, Astar. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka terhadap Jagat Maya. LKiS. Yogyakarta.


Virilio, Paul. 1991. The Aesthetics of Disappearance. New York: Semiotext(e).

2 comments:

  1. pemikiran yang cukup kritis dan dinamis.
    ulas lebih dlm tentang dekonstruksinya derida dong!
    oy, menurut anda apa yg membuat orang tertarik (bc:terjebak) daam cyberspace???

    ReplyDelete
  2. thanks Ree...

    soal Derrida, ada saatnya saya membahasnya di lain kesempatan dlm Blog ini... doain aja :)

    org tertarik karena byk suguhan didalamnya, ia melampui tentang sesuatu yg kita sebut "realitas"... kegairahan informasi dan komunikasi, kenikmatan menjelajah ruang2 yg ada dan tidak ada dlm dunia nyata... hal yg gak mungkin menjadi mungkin... cyberspace menawarkan berjuta fantasi, imajinasi, sebagai sesuatu yang "lebih nyata" dari yg nyata sekalipun...dongeng tentang "kesatuan waktu/periode" bisa didapat dalam dunia layar kaca ini
    paling tudak, itulah sedikit dari banyak drama yg ditawarkan dunia maya yg membuat setiap org berjubel memasukinya...

    salam hangat :)

    ReplyDelete