Saturday, June 13, 2009

Pilkades Ulang demi Rasa Keadilan Masyarakat (Kasus Sengketa Pilkades Desa Sepakek)

Oleh: Astar Hadi*

Hampir 2 tahun, polemik pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Sepakek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, belum juga rampung. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir, kasus tersebut semakin berlarut-larut yang puncaknya pada penyegelan terhadap kantor Desa setempat oleh sejumlah warga yang ditengarai sebagai pendukung calon yang kalah.

Akar Masalah

Pilkades yang dilaksanakan pada 7 September 2007 ketika itu, diikuti oleh lima calon, yaitu: Mustakim (915 suara), Mursidin dan H. Husnaini masing-masing memperoleh 912 suara, Murhayadi (307 suara), dan M. Khatib Sarbini (495 suara). Perolehan suara dari masing-masing calon ini didasarkan atas perolehan suara yang diajukan BPD (Badan Permusyawarahan Desa) setempat dari hasil semua TPS (tempat pemungutan suara) yang sekaligus kemudian dijadikan landasan pelantikan terhadap calon yang memperoleh suara terbanyak –Mustakim— oleh Bupati.

Karena panasnya suhu konflik ketika itu, sebenarnya sempat terjadi penghitungan ulang –yang tetap memenangkan Mustakim meski dianggap tidak sah oleh BPD— yang, anehnya, justru dilakukan oleh seorang oknum TNI yang seharusnya bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam urusan pilkades.

Sementara itu, sengketa berkepanjangan ini bermula dari kemenangan Mustakim dengan selisih suara supertipis, 3 suara, atas H. Husnaini (pihak penggugat) dan Mursidin. Hal ini sempat memicu kecurigaan publik, khususnya pihak yang bersengketa, akan terjadinya berbagai “kecurangan” dan “manipulasi” suara, baik pada saat pemilihan maupun di saat penghitungan suara.

Meski sebenarnya, menurut penulis, sudah ada “titik terang” bagi pihak yang bersengketa untuk segera menyelesaikan kasus ini dengan dikeluarkannya putusan PTUN Surabaya yang menguatkan putusan PTUN Mataram bertanggal 24 Juni 2008, SK No. 9/G.TUN/2008/PTUN.MTR yang intinya mengabulkan sebagian tuntutan penggugat, H. Husnaini, termasuk membatalkan dan mencabut SK Bupati Loteng No. 544 tahun 2007 terkait pengangkatan Mustakim (tergugat) sebagai Kepala Desa (Kades) incumbent. Lantas mengapa kasus ini bisa berlarut-larut?


Mengawal Demokrasi dari Parasit Fanatisme

Demokrasi yang diartikan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, dalam konteks Pilkades ini, bisa dipahami sebagai pengakuan terhadap keanekaragaman, sikap politik partisipatif masyarakat dalam bingkai demokratisasi di tingkat desa. Hal ini juga merujuk pada UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 yang mengakui penyelenggaraaan pemerintahan Desa sebagai subssistem dari system penyelenggaraan pemerintahan, di mana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus “rumah tangga” desanya.

Desa sebagai sistem pemerintahan paling kecil memberikan ruang partisipasi yang jauh lebih besar bagi masyarakat ketimbang pemerintahan di tingkat daerah atau pusat, karena masyarakat “begitu dekat” dengan pemimpinnya. Dengan demikian, perwujudan partispasi masyarakat di tingkat Desa merupakan suatu keharusan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan desa secara berkelanjutan (self sustaining capacity) untuk kepentingan masyarakatnya.

Alih-alih untuk kepentingan keberlanjutan hidup warga, kasus sengketa Pilkades di Desa Sepakek, merupakan siklus perebutan kekuasaan yang ujung-ujungnya menyengsarakan masyarakat atas terjadinya “kekosongan” pemerintahan. Dan, jika saja sengketa antara kedua belah pihak yang juga melibatkan pro-kontra masyarakat tidak disikapi dengan cara-cara yang lebih bijak, lebih-lebih dengan melakukan penyegelan kantor Desa, ini berarti satu hal, mematikan hak publik untuk mendapatkan pelayanan oleh karena kepentingan segelintir orang.

Di samping kecurigaan akan adanya “kecurangan dan manipulasi” sebagai akibat dari perolehan suara yang sangat ketat ketika itu, reaksi sejumlah pihak yang berkepentingan atas kasus ini cenderung berlebihan. Indikasi adanya sikap intoleransi dan fanatisme buta terhadap calon yang ditengarai oleh rasa –dalam istilah saya— “kedekatan kedusunan” sangat melekat dalam konflik ini.

Parasit fanatisme kelompok, saling hujat (black campaign), dan hilangnya sikap saling menghargai dan menghormati, adalah bentuk dari bunuh diri demokrasi (the end of democracy). Demokrasi yang bertujuan membangun rasa saling memiliki (sense of belonging), saling terlibat antar warga (sense of participation), dan ikut bertanggung jawab atas usaha-usaha penyelengaaraan pemerintahan desa yang baik (sense of accountability), yang seharusnya menjadi basis partisipasi masyarakat, justru mundur kebelakang, menjauhi semangat otonomi Desa.

Mengingat pentingnya keberlangsungan hidup warga, silang-sengkarut Pilkades tanpa akhir yang sejatinya telah menjauh dari ruh awalnya, yaitu mengawal proses demokratisasi di Desa, dengan demikian, perlu adanya langkah-langkah bijak kedua belah pihak yang bertikai untuk duduk satu meja, melepaskan sementara ego kuasa mereka untuk bersama-sama memikirkan “jalan terbaik” sebagai tanggung jawab moral sekaligus demi kepentingan rakyatnya. Pun demikian, sikap dewasa dan legowo merupakan cerminan calon pemimpin yang dicintai rakyat.

Urgensi Pemilihan Ulang

Sengketa Pilkades Sepakek memang kompleks. Mulai dari munculnya kecurigaan terjadinya manipulasi suara, penghitungan ulang kembali atas desakan pihak tertentu, munculnya barisan “Sepakek Menguggat”, dua kali penyegelan kantor Desa, sampai di-PTUN-kannya Mustakim –peraih suara terbanyak, selain menguras keringat dan cost yang tidak kecil, kasus ini berakibat pada mati surinya penyelengaraan pemerintahan Desa tersebut sampai saat ini.

Bagaimana pun, harus ada jalan keluar untuk lepas dari “krisis” ini. Salah satu alternatif yang paling logis saat ini adalah mengambil “jalan tengah” atas kedua belah pihak yang bersengketa –kubu Musatakim vis a vis kubu H. Husnaini— dengan melakukan pemilihan ulang sebagai konsekuensi berdemokrasi.

Pemerintah daerah Kabupaten sebagai pihak yang menjadi suprastruktur desa bertindak selaku mediator untuk mempertemukan dan “mendinginkan” kedua belah pihak serta menegaskan urgensi pemilihan ulang langsung sebagai langkah prosedural untuk “menyelesaikan” sengketa tersebut. Mengapa pemilihan ulang?

Pertama, maski pun cenderung dianggap “cacat” secara politik karena mengurai semakin besar kecurigaan akan adanya “kecurangan” dan “manipulasi” suara atas pilkades tahap pertama, pemilihan ulang menjadi relevan untuk “membuktikan” kepada siapa preferensi suara pemilih sebenarnya. Hal ini menjadi sangat urgen, di samping relatif memenuhi “rasa keadilan” masyarakat –paling tidak untuk “mendamaikan” pendukung kedua kubu— atas “kebenaran” pilihan mereka, ini juga bisa menjadi alat legitimasi politik yang kuat bagi pemenang nantinya.

Kedua, agar tidak muncul “kecurigaan”, perlu melibatkan pihak ketiga, dari lembaga/pihak independent misalanya, sebagai pelaksana tugas pemilihan, mulai dari pembentukan tim penyelengaraan pilkades sampai pelaporan hasil surat suara ke BPD dan Bupati.

Ketiga, harus ada pengawalan ketat dari aparat, dalam hal ini pihak kepolisian, mulai dari penjagaan kotak suara di setiap TPS, pengawalan ketika penghitungan berlangsung, sampai proses akhir Pilkades.

Pada akhirnya, semua elemen masyarakat adalah unsur paling esensial dari proses demokratisasi yang, tentu saja, paling berhak terlibat tanpa harus dikotori oleh tangan-tangan segelintir orang yang, karena ego pribadi/kelompok, malah merusak sense of belonging masyarakat terhadap dunia kehidupan mereka. Wassalam.


*Astar Hadi adalah warga Desa Sepakek. Peneliti dan Asisten Koordinator di INDOMATRIK (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur. Pendapat Pribadi


No comments:

Post a Comment