Monday, June 22, 2009

Informasi untuk Ekstase Gaya Hidup

Informasi = Ekstase Gaya Hidup

Oleh: Astar Hadi*

Hari ini, diakui atau tidak, hidup kita telah diatur oleh sebuah mesin budaya baru, yaitu media. Suguhan iklan “berr” ala Coca-cola, gaya hidup selebritas, merupakan menu sehari-hari yang mengajak setiap individu untuk “terlibat” dalam setiap perayaan komoditas. Media telah mengarahkan setiap helaan nafas untuk berpacu dalam menghirup “udara” gaya hidup agar masyarakat bisa bertahan dan tetap eksis dalam panggung, yang kita sebut, kehidupan

Media, terutama sekali televisi, tidak saja menjadi sebuah tontonan atau hiburan semata, akan tetapi ia telah menjadi “kehidupan” yang mengatur hampir segala aspek keseharian, mulai dari urusan “baju apa yang harus saya pakai” sampai persoalan “jodoh yang pas buat saya”.

“Otonomi” media massa sepertinya telah menjadi lokus sekaligus focus “kesadaran budaya” manusia Indonesia untuk memintal “harapan”, “optimisme”, akan proyeksi hidup ke depan yang “lebih baik”. Melalui media pula, kita bisa melihat “keputusasaan”, “pesimisme” tentang benang kusut kehidupan yang diporak-porandakan oleh persoalan ekonomi, social dan politik, yang semakin hari, semakin tidak menentu.

Sekian banyak peristiwa kelam, mulai dari pemiskinan sistemik yang dialami seorang bayi tak berdosa di Surabaya, degradasi social capital oleh karena “premanisme” Negara terhadap hak (bertahan) hidup masyarakat kecil yang diambil atas nama “pembangunan” mercusuar ekonomi, sampai pada persoalan imagologi kampanye politik yang aduhai dengan bumbu-bumbu “kecap selalu nomer 1”, menjadi hal biasa yang kita tonton melalui televisi.

Televisi juga yang meyuguhkan adonan lezatnya gaya hidup selebritas, nikmatnya “harapan” menjadi idol-idol-an bagi si pengamen miskin, indahnya “kesempatan” “bertukar nasib” antara si Kaya dan si Miskin. Jalan raya kebahagiaan yang seolah-olah begitu nyata, mudah, dan –sejatinya— berada di depan mata penonton, merupakan, meminjam istilah Jean Baudrillard, ekstase komunikasi (the ecstasy of communication) yang mengajak kita untuk melampui percakapan/tindakan dengan ruang-ruang realitas (beyond reality) tetang apa yang terjadi di sekiling kita hari ini.

“Medium is the message”, begitu kata Marshall McLuhan. Media adalah pesan itu sendiri. Di satu sisi, media menyuguhkan fenomena-fenomena riil kompleksitas kehidupan yang diterjemahkan dalam “pesan” media untuk disikapi “sebagaimana mestinya”. Di sisi lain, Ia juga berlatar “fiksi” yang di dalamnya mengandung pesan interupsi ke pada masyarakat penonton untuk berselancar dalam relung realitas terdalam budaya; pencitraan (imagologi).

Media berarti sejumput kehidupan yang men-download kompleksitas grafis dunia nyata sebagai representasi “riil” tentang “inilah sesungguhnya kehidupan itu”. Media menarik kesimpulannya sendiri tentang mana yang layak dianggap sebagai laku kehidupan yang “memaksa” khlayak untuk mengikutinya. Tayangan berbagai jenis iklan, komodifikasi gaya hidup, reality show, bahkan program news, seolah-olah menawarkan proposal sikap, prilaku, moralitas sekaligus tips praktis to be somebody. Pada kondisi ini, kita adalah nobody yang bakal mendapat “penghargaan” manakala mampu mencitrakan diri layaknya (pesan) media itu sendiri.

Theodor Adorno, kritikus budaya Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), menyindir bahwa frasa ‘media massa’ yang seolah-olah telah bersikap kritis dan perhatian terhadap gejala social dan budaya dengan menunjukkan bahwa massa/masyarakat telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun, pada kenyataannya, massa hanya mendapatkan apa yang sudah diputuskan oleh media untuk diberikan kepada mereka.

Penolakan Adorno terhadap frasa ‘media massa’ ditengarai oleh karena fakta bahwa masyarakat sebagai subjek (perhatian) media, pada kenyataannya, tidak lebih dari sekadar objek (eksploitasi) bagi kepentingan bisnis “kebudayaan” yang justru menghasilkan kesadaran magis yang menghipnotis masyarakat untuk menikmati hidangannya tanpa reserve.

Kita adalah (Masyarakat) Informasi

Seorang pakar sekaligus futuris media, Alvin Toffler, menjamin bahwa siapa yang mampu menguasai informasi maka dia lah yang mampu bertahan hidup (survival of the fittest) di tengah-tengah membludaknya pasar dan lalu-lintas informasi (information superhighway) dewasa ini.

Pemerintah Indonesia, melalui tangan Depkominfo, bahkan merasa sangat perlu menyebarluaskan “jurus sakti” Era Informasi (Information Age) sebagai agenda kebijakan Nasional. Informasi telah menjadi titik tekan pembangunan/perubahan di segala sector kehidupan.

Signifikansi informasi bagi perubahan social memang telah terjadi. Laju industri media, sebagai “anak emas” teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi magnet utama masyarakat dalam meng-upload kompleksitas nilai yang disodorkannya. Nyaris –untuk mengatakan sebagian besar— tidak ada satu pun yang bisa lepas dari rengkuhan (informasi) media. Sepenting itu kah sesuatu yang diklaim “informasi” itu?

Jaminan Alvin Toffler akan kedigdayaan informasi sebagai syarat “kehidupan”, sampai saat ini, malah cenderung menghasilkan bunuh diri kehidupan. Informasi seharusnya bermakna memberi “pengetahuan”, edukasi, dan kritisisme. Kini, informasi “hanya” berarti skandal, selebritas, fashion, dan gaya hidup.

Celakanya, informasi, dalam abad media, lebih asyik menyajikan ulasan yang berbasis budaya selebritis (celebrity based-culture) ketimbang transformasi pengetahuan berlatar edukasi. Bahkan, Prof. Thomas C. O'Guinn dkk., dalam karya mutakhir mereka, Advertising and Integrated Brand Promotion (2003) mengungkapkan bahwa "Twenty-first century society is all about celebrity," (Masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti).

Kalau harus dihitung, jumlah program berbasis selebritis di setiap stasiun televisi di Indonesia lebih dari 10 setiap hari, termasuk infotainment, sinetron, reality show, dan musik. Dan anehnya, program-program semacam ini jauh lebih menarik bagi khalayak daripada program yang bersifat edukatif.

Ekstase Informasi

Metamorfosa media massa (mediamorfosis) telah menciptakan model-model kehidupan baru yang sulit dibayangkan sebagai idealisme “masyarakat informasi”. Bayangan optimistik Alvin Toffler yang semestinya memberi harapan dan optimisme bagi melek (pencerahan) kebudayaan, social dan politik, justru tidak terjadi oleh karena informasi (media) tenggelam dalam logika infotainment.

Logika infotainment lebih menawarkan keasyikan (ecstacy), kegairahan (desiring machine), permainan citra (imagology), sebagai unsur berita/informasinya. Berbagai kasus kawin-cerai, skandal, budaya pesta, pesona gaya hidup, yang notabene inheren dengan image selebritis, merupakan “ruh” jurnalisme modern. Pencitraan media ini membias ke seluruh lapisan masyarakat sebagai gudang informasi yang menyajikan identitas “gaya (bertahan) hidup” masyarakat modern.

Informasi, dengan demikian, telah menjadi semacam “logosentrisme” baru yang mendekonstruksi klaim logosentrisme Descartes yang berpusat pada “Aku yang berpikir” –cogito ergo sum— menjadi “Informasi yang berpikir”. Informasi, pada akhirnya, tidak lebih merupakan konstruk berpikir yang co-existence dengan kegairahan gaya hidup yang mengkonstruksi kompleksitas kehidupan masyarakat dewasa ini yang berkiblat pada “perayaan” konsumerisme, bukan kritisisme. Wassalam

*Astar Hadi adalah penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005). Pendiri dan Penanggung Jawab Mazhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences, Malang.


No comments:

Post a Comment