Tuesday, August 9, 2011

Ramadhan dan Kesalehan Entertainment

Oleh: Astar Hadi*

Dalam satu tahun terakhir, Ust. Jefri Al-Buchori adalah sosok da’i muda yang berkibar lewat tayangan-tayangan bernuansa “Islami” di hampir seluruh pertelevisian nasional. Buchori –disamping ustadz-ustadz muda lain tentunya— adalah contoh unik seorang ustadz yang saat ini semakin melejit lewat acara special Ramadlan di televisi. Ya, media telah melambungkan namanya tidak sekadar menjadi seorang da’i, ia sekaligus seorang selebriti “moral” yang pada gilirannya termasuk dalam kategori sekelompok minoritas orang yang “wajib” hadir menghiasi tayangan infotainment berbasis gosif, apapun namanya.
Terlepas dari persoalan tingginya rating acara-cara berbasis rohani, contoh di atas untuk menunjukkan bahwa media yang selama ini seringkali dianggap sebagai medium pemeluk budaya hura-hura dan konsumerisme tanpa rasa haru (mencangkok istilah Idy Subandi Ibrahim), semakin bersikap “permisif” dengan persoalan spritualitas. Sejauh mana efektifitas acara rohani berdampak pada perubahan gaya hidup masyarakat, tentu saja membutuhkan sebuah penelitian kritis tentangnya.
Yang menarik, seperti diungkapkan Marshall Mc.Luhan, seorang pakar komunikasi, medium is the message; bahwa media adalah pesan itu sendiri. Dengan kata lain, media berfungsi sebagai sebuah pesan berantai yang menghantarkan kepada masyarakat penonton sebuah nilai yang bersifat massif. Besarnya pengaruh media mampu menjungkirbalikkan imperatif-imperatif budaya yang sudah mapan.
Masyarakat sebagai objek pasif tontonan akan memilih berbagai pilihan karakter yang telah disuguhkan media melalui tayangannya. Dari sebatas menjadi seorang yang siap membela moral sampai penentang kebenaran merupakan entitas yang tak terhindarkan manakala media telah menjadi “eksistensi” masyarakat di era globalisme media sekarang ini.
Dalih bahwa berbagai pilihan yang disodorkan media adalah pilihan demokratis, yang artinya setiap orang bebas memilih dan memilah apa saja yang disukainya justeru menjadikan kita sesosok the silent majorities (mayoritas yang diam). Kesadaran kita sebagai mayoritas telah diambil-alih oleh keajaiban pemancar elektronik tersebut. Kita ibarat orang “dungu" yang tinggal menunggu hadirnya sebuah kesadaran (artificial) ciptaan media yang akan menjadi cerminan citra setiap langkah kita.
Secara sadar kita juga mengetahui, fenomena konsumerisme dan menjamurnya berbagai hypermarket bersimbiosis secara mutualis dengan semakin menguatnya globalisme media yang hampir tidak –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— menemukan tandingan budayanya. Media pada kenyataan merupakan desa global sebagai tempat berinteraksi dan bergumulnya kompleksitas gaya hidup dan hedonisme.
Bercermin pada acara dakwah yang banyak mengangkat persoalan etika dalam bingkai relegiusitas melalui televisi, kita dibawa pada sebuah pertanyaan apakah lantas pesan-pesan massif tersebut merupakan sebuah dialektika produk kesalehan yang dikomodifikasi sedemikian rupa sebagai counterculture terhadap pesona konsumerisme yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat perkotaan/modern?
Karenanya, menilik tesis McLuhan di atas tentang kemampuan media yang terbukti ampuh menjadi lokomotif “kesadaran” untuk bertindak, memungkinkan tayangan relegius tersebut memiliki akses yang kuat dalam menyampaikan kesalehan individual sekaligus sosial.
Untuk menariknya lebih jauh, apakah tayangan spesial Ramadlan atau yang serupa dengannya, yang melibatkan berbagai unsur termasuk para Ustadz dan seleberitis, bisa menggugah kesadaran masyarakat kepada amal shaleh.
Terlepas dari semua itu, justeru banyak bermuculan suara-suara kritis yang kemudian menilai bahwa kode kesalehan yang diciptakan media dianggap “hanya” sebatas kesalehan entertainment yang manipulatif. Kesalehan yang ditawarkan melalui media seringkali disinyalir sebuah ironisme yang tidak ditujukan pada kualitas komunikatif dari pesan-pesan (relegius) yang disampaikannya. Alih-alih, ia hanya sebatas hasrat pemuasan kapital produsen media berbasis rating.
Dalam pandangan semiotika Postrukturalisme dijelaskan, tanda-tanda, dalam hal ini tayangan bernuansa “Islami”, diproduksi bukan dengan tujuan untuk menyampaian pesan-pesan, dan konvensi-konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata.
Sebagai ilustrasi, di media pertelevisian nasional sekarang ini, kita melihat dengan mata telanjang sebuah “euphoria” ramadhan yang menghadirkan program acara sahur-berbuka dengan tema utama yang sebagian besar berbasis lawakan dan program acara konser musik live yang di keduanya menyertakan taushiyah-taushiyah dari para ustadz di penghujung acara. Pada titik ini, apakah kemudian bumbu ceramah yang notabene acara “selipan” mampu menawarkan sebuah kualitas nilai-nilai moral-religius bagi para penontonnya, atau sebaliknya, di saat yang sama para penonton keburu mematikan atau mengganti channel TV-nya dengan acara lain yang keluar dari konteks agama?
Dengan mata telanjang kita melihat dua paradoks, antara kelakar duniawiah dan keseriusan ajaran agama saling berkelindan satu sama lain. Di satu sisi, ini adalah sebuah realitas budaya yang tidak bisa ditolak, tetapi ia juga merupakan siklus ironis yang menawarkan kegairahan komunikasi media dengan segenap sensualitas budaya ngerumpi di satu sisi dan “pencerahan” agama di sisi lain. Madonna pun berdoa, “saya relegius”, “saya spiritual”, …saya tidak mencoba membangun jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katholik yang bersikeras memisahkan dan itu nonsense,” (Armahedi Mehzar, 1983). Lantas, apakah yang sejatinya menjadi fokus dari tontonan itu? Apakah sisi kegairahan sensual atau pencerahan dalil agama?

Haruskah kita Berdamai dengan Kesalehan Entertainment?

Sebuah kritik, apapun bentuknya, acapkali cukup fasih meneriakkan ironi ketimpangan sosial dari sebuah fenomena sosial yang mapan. Tapi tidak kalah seriusnya, kritik kadang reduktif dan sulit melepaskan diri dari kecenderungan bombasme dan –mungkin saja— arogan.
Demikian halnya dengan fenomena (tayangan) relegiusitas di media yang makin marak belakangan ini. Sekurang-kurangnya, perlu disadari bahwa proses membangun keshalehan individual, dan lebih-lebih, secara sosial, perlu dibongkar dengan bahasa-bahasa media.
Karena pada kenyataannya, proses pembelajaran melalui acara-acara keagamaan di tempat-tempat suci semacam Majlis Ta’lim, Masjid/Gereja, ternyata tidak cukup mumpuni memberikan daya dobrak psikologis (psychological striking force) di saat kekuatan budaya massa dan melubernya pesona gaya hidup glamour yang justeru disuguhkan dengan sangat efektif oleh media.
Artinya, persoalan maraknya keshalehan entertainment adalah sebuah dialektika dunia hiburan yang secara terus menerus bermetamorfosis. Di satu sisi, tayangan keshalehan entertainment tidak lebih dari sekadar memanfaatkan logika pasar yang tidak serta-merta berkepentingan terhadap persoalan etika relegiusitas. Di lain sisi, sejatinya, kita harus membuka diri bahwa tayangan tersebut harus dilihat sebagai realitas kebudayaan Abad 21 yang ingin menemukan pengungkapannya dengan citra “gaul” budaya televisi yang notabene lebih digemari masyarakat ketimbang pergi ke guru ngaji lengkap dengan sarung dan kopiah.
Upaya mengawinkan secara harnonis antara faktor ekonomi, teknologi dan agama, tidak melulu berbicara soal (keburukan) kapitalisme, tidak juga mengatasnamakan (kebaikan) idealisme, tetapi manifestasi riil masyarakat tentang “cara lain merengkuh agama” melalui media –untuk yang terakhir ini memang lebih banyak diminati.
Akhirnya, Pesan keshalehan, seperti apa pun pengungkapannya, tetap memilki karakter “pencerahan” bagi manusia. Dan, karena “kiblat” (budaya) massa secara massif telah beralih pada budaya TV, tentu saja perkawinan antar agama dan media adalah alternatif yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Entah, apakah orang harus memberinya nama “kapitalisme relegius”, seperti dikatakan Muammar Khadafi, presiden Libya, yang sempat begitu mesra bersama Amerika Serikat.
Apakah keshalehan entertainment –yang disinyalir bersifat semu belaka— harus dipertentangkan? Sementara itu, masyarakat kita yang sudah terbius oleh budaya tontonan dan Facebook dewasa ini justeru tidak punya cukup waktu untuk menjemput ustadznya. Wallahu a’lam!

*Astar Hadi adalah Pemerhati Budaya dan Media. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005) dan Salah Satu penulis dalam Quovadis: Pragmatisme VS Idealisme (Litera Buku, Yogyakarta, 2011). Kini tinggal di Kelana Lombok Tengah.

1 comment:

  1. Mudah-mudahan puasa yang kita kerjakan dapat meningkatkan kesalehan sosial pada diri kita.

    ReplyDelete