Friday, August 19, 2011

Menu Dekonstruksi ala Nazarudin: Lupa yang Membuka Jalan Revolusi


Oleh: Astar Hadi

Bukan “Cinta Fitri”, tidak pula “Putri yang Ditukar.” Ini sebuah sinetron bangsa berdurasi jangka panjang yang akan mengaduk-aduk opini kita tentang sebuah cerita yang tidak melulu happy ending dan belum tentu bad ending.
Nazarudin. Judul besar sebuah sandiwara baru yang mengetengahkan dagelan politik dan hukum paling kentara di Indonesia. Nama baru, lakon baru, tapi cerita lama yang didaur ulang dalam scenario cerita yang sejatinya tidak akan jauh berbeda seperti kasus Gayus, Century, BLBI, dan banyak yang lain.
Mengingat kembali kasus-kasus sebelumnya, seperti Gayus dan Century, maka kasus Nazarudin mengangkat kesadaran kita atas luka-luka sebuah negeri yang tidak kunjung sembuh. Alih-alih, irisan demi irisan rasa sakit itu makin membuncah menggenangi mata beratus juta penduduk yang pada akhirnya merasakan lelah dan kantuk luar biasa sehingga tidak sanggup lagi untuk menahan diri dalam tidur panjang yang bertaburan mimpi-mimpi buruk korupsi, selamanya. Tragis !!!
Dari kicau burung Nazar yang sempat memberi harapan terungkapnya megaskandal korupsi, sampai akhirnya scenario yang “sudah terbaca” dari sang sutradara tangguh sebuah negeri kembali mengajak kita untuk tidur panjang berjamaah dengan melupakan apa yang sudah terjadi.

Perjuangan Melawan Lupa
Luar negeri, sepertinya, telah menjadi tempat paling indah bagi pembentukan kesadaran kita. Singapura, Thailand, Vietnam sampai Kolumbia, merupakan negeri persinggahan bagi otak kita untuk berjuang melawan lupa itu. Ingatan-ingatan sejarah kelam tentang para penjahat berdasi di negeri “percikan air surga” bernama Indonesia begitu nyaring terdengar dari Negeri-negeri antah-berantah tersebut.
Mantan Bendahara Demokrat itu kini telah kembali dalam pelukan manis “negeri surga” yang paling bersahabat bagi mereka-mereka yang bermandikan uang rakyat. Nazarudin pun lupa akan nama-nama itu. Gayus pun demikian. Mereka semua amnesia demi sebuah kenyamanan, demi sebuah ketenangan, demi sebuah kebaikan bersama dan demi sejarah bangsa masa depan yang menjadi milik minoritas elit-elit berpakaian kemeja rapi, berambut klimis dan murah senyum itu. Sementara cukupkah bagi rakyat “menikmati” tata-krama luhur bangsa dalam citra-citra sensual etika dan moral yang selalu menjadi kebanggan kultur ketimuran?!
Tentu tidak !!! Kita masih memiliki sejarah peradaban sebuah negeri yang harum bersama nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, yang tegak berdiri atas nama Negeri Besar dengan jiwa besar yang tegas dalam kata-kata, yang sederhana dalam laku dan selalu sadar dalam berbuat. Tapi, kita pun telah/hampir melupakannya. Karena, mungkin, kita dilatih untuk itu. Dan, dalam drama Nazarudin, pelupaan itu terjadi.

Lupa yang Mengingatkan

Surat “cinta” terbuka Nazarudin kepada pemimpin negeri ini adalah surat “cinta” paling mengharu-biru seorang anak nakal kepada bapaknya yang berisi niatan “baik” yang tidak tega mengumbar aib keluarganya sehingga ia merasa layak dihukum sendiri tanpa harus melibatkan anggota keluarga yang lain. Sebuah iktikad baik seorang anak yang tidak ingin menjadi anak durhaka di hadapan bapaknya, mungkin. Meski pada akhirnya, ia dengan “terpaksa” melupakan aib-aib keluarga itu.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Nazaruddin sudah dianggap anak durhaka. Dia sudah diusir dan bukan bagian dari anggota keluarga besar lagi. Rengekannya dalam surat yang secara tegas meminta Presiden SBY melindungi anak dan istrinya meski dirinya harus dihukum adalah rengekan seolah-olah (as-if), tangisan palsu, yang justru berarti satu hal; strategi dekonstruksi melawan lupa !!! apa itu?
Public sudah mengetahui. “saya juga berjanji tidak akan menceritakan apapun yang bisa merusak citra Partai Demokrat,” begitu salah satu isi surat itu. Public, tentu saja, bertanya-tanya apa makna dibalik isi surat tersebut. Artinya, keengganan Nazarudin bercerita semakin mengukuhkan opini kita tentang kebenaran sesuatu yang perlu dibongkar. Lupa di sini berarti mengingatkan dan “memaksa” pihak berwenang untuk melakukan sesuatu. Logika surat tersebut menjungkirbalikkan klaim sementara kalangan yang melihat ini sebagai “matinya” Nazarudin.
Jika Nazarudin benar-benar ingin menutup kasus ini dengan melakukan aksi bungkam, kenapa dia melayangkan surat terbuka kepada presiden dengan bahasa yang nyata-nyata mengandung arti sebaliknya dari sekadar melindungi keluarganya dari intimidasi dan hukuman?!
Sebuah menu dekonstruksi khas ala Nazarudin yang, pada kenyataannya, mengajak ingatan public untuk terus memantau secara terus-menerus perkembangan opini-opini dan atau fakta-fakta berkenjutan dari “kicau-kicau” barunya setelah berada di Indonesia.
Sejauhmana keseriusan pihak berwenang termasuk KPK dalam menuntaskan strategi lupa dan bungkam Nazarudin menjadi sesuatu yang sangat krusial untuk dikritisi ke depan. Karena KPK dan pemerintah bisa jadi akan benar-benar ditelanjangi oleh sinetron yang belum diketahui ending-nya ini.
Artinya, meski ada sutradara dibalik strategi lupa ini, Nazarudin sepertinya sedikit berbeda dengan Gayus. Karena ia ibarat OVJ (opera van java) yang bisa saja menjalankan scenario ceritanya sendiri keluar dari konsep sang Dalang. Jika demikian yang terjadi, maka pembongkaran atas lupa itu akan membuka jalan Revolusi Indonesia jilid selanjutnya. Wallohu a’lam

No comments:

Post a Comment