Tuesday, September 20, 2011

POLITIK IDENTITAS DAN TAFSIR SUBALTERN ATAS SEJARAH SASAK: WHY NOT??? (Catatan Singkat atas Tulisan/Resensi Paox Iben Mudhaffar berjudul "van der Kraan, Dunia Post Kolonial Dan Topi Para Pesulap")



Oleh: Astar Hadi

Jika membawa kritik Hasan Hannafi atas orientalisme, "serangan" Edward Said terhadap cara2 Barat membaca/menjajah Timur, sampai Mansour Fakih "menolak" logika Dunia Ketiga buatan Barat, ada suatu hal yg harus dipetakan ke dalam ruang geopolitik sebuah bangsa --dlm hal ini Sasak, tentu saja. bicara oksidentalisme ke dalam wilayah yg lebih lokal Sasak, itu harus dipahami dlm pembacaan yg "berbeda". bahwa dalam labirin "can subaltern speaks?" harus ada problematisasi atasnya. artinya, subaltern dlm pemaknaan hirarkis kasta2 yg mgkin berada dlm hirarki Sudra dan ato bhkan Paria/Candala, tetap harus dilakukan "uji" kritis utk memaknai posisi sejarahnya. dsini, subaltern, dlm "kamus" Gayatry Sphivak mngandung arti sebuah sinyalemen penting bagi intektual organik yg harus mmbuat mereka jadi "bicara".
sy tdk ingin berdebat soal intelektual sok humanis, akan tetapi sy ingin mengatakan bahwa kaum intelektual (baik dr Tuan Guru, ningrat, profesional, petani, dll) sudah seharusnya membongkar kredo fatalistik subaltern menjadi suatu yg "hadir", dirasakan, dialami dan dihayati sbg sebuah strategi politik-budaya yg bertujuan mengafirmasi perjuangan kaum tertindas kedepan. Dengan demikian, subaltern bukan sesuatu yg harus disesali, akan tetapi sesuatu yg memang harus diangkat ke permukaan vi a vis homogenisasi/hegemoni teknokrasi, oligarki dan borjuasi ala baru yg terjadi saat ini dan disini (Sasak, red). jadi, tafsir atas POLITIK IDENTITAS memang tdk harus dimaknai sbg oposisi biner; yg mana bangsawan yg mana bukan, yg mana Bali yg mana Lombok, yg mana NU-NW-Muhammadiyah, dsb.
Elaborasi tafsir POLITIK IDENTITAS atas tipologi subaltern harus dipahami sbg langkah ideologis yg "mempertemukan" ide2 politis menyeluruh "dari bawah" untuk dibuat "bicara", utk dibuat "menjadi", utk dibuat "ada" dlm hubungannya dgn relasi kuasa melalui agensi-agensi intelektual organik!!!. apa "suara dari bawah" itu; suara para Subaltern? suara2 mereka ttg "PRODUKSI, DISTRIBUSI dan KONSUMSI" material yg merata, baik itu terkait social capital ataupun financial capital... pada posisi ini, POLITIK IDENTITAS SUBALTERN itu bersifat WAJIB !!!
van der Kraan mgkin benar ttg sejarah itu. Benar pula ketika kita mengatakan POLITIK IDENTITAS cenderung mengarah pada politik kepentingan. tetapi satu hal yg harus ditegaskan disini, bahwa POLITIK IDENTITAS berarti upaya menegaskan/mendefinisikan "diri" yg disini, daya "mendisinikan" yg disini (Sasak/Lombok), semangat "mensinergikan" kearifan2 lokal kita yg disini melalui "suara2" para SUBALTERN, siapa pun itu !!!
Baik Hassan Hanafi, Spivak, Said, Mansour Fakih, Gramsci, ingin dan tau para Subaltern itu bisa "bicara". dan satu koreksi penting (secara khusus) utk seluruh pembaca/penafsir SUBALTERN STUDIES dlm essai panjang Spivak berjudul "CAN SUBALTERN SPEAK, bahwa ada "kesalahan" fundamental yg sering terjadi dgn mengatakan bahwa SUBALTERN itu tdk bisa bicara, lebih-lebih dianggap tdk ada, apalagi hanya sekadar utk dibantu bicara oleh para intelektual. sama sekali tidak !!! "Tidak dapat berbicara adalah metaphor karena ia mencoba berbicara sehingga secara metaphor Anda dapat mengatakan tidak ada keadilan di dunia. Orang tidak menaruh perhatian pada 'cerita' subaltern", kilah Spivak dlm sebuah wawancara dlm kunjungannya ke Indonesia pada suatu waktu...
nah "cerita" SUBALTERN inilah yg menjadi tugas Intelektual organik untuk megangkatnya menjadi startegi POLITIK IDENTITAS masyarakat Sasak. dan mgkin dekonstruksi yg di maksud Paox Iben di atas adalah "membongkar" van der Kraan melalui tafsir SUBALTERN atas sejarah Sasak sesungguhnya?! Wallohu a'lam
wasssalam...

Kelana, Lombok Tengah
20 September 2011

2 comments: