Tuesday, October 11, 2011

Mewaspadai Optimisme Ekonomi-Politik BIL

Oleh: Astar Hadi**

Bandara Internasional Lombok (BIL) baru saja beroperasi. Berbagai cerita tentang euphoria di media massa, jejaring social (social network), dan celoteh girang warga Pulau Seribu Masjid telah memberi tempat bagi ruang “baru” optimisme kesejahteraan yang telah begitu lama diidamkan masyarakat Lombok secara khusus, dan NTB pada umumnya.
Di awal beroperasinya BIL, kita melihat kerumunan massa yg begitu antusias menikmati “wisata” baru modernitas yang disuguhkan di daerah kering-kerontang dan “jauh” dari peradaban kota, di Tanak Awu, Lombok Tengah (Loteng). Masyarakat rela berjejalan di tengah terik panas mentari untuk sekadar menyaksikan lalu-lalang pesawat, memanfaatkan situasi untuk mengais rezeki ala “pasar kaget” dan, mungkin juga, turut menyublim dalam hysteria mimpi masyarakat urban yang datang dan pergi dari luar negeri maupun seluruh wilayah Indonesia.
Jejak pesawat-pesawat berlabel internasional itu sudah mulai membekas dan menancapkan pundi-pundi rupiah yang bakal “tersebar” di NTB. Sementara itu, kaki-kaki telanjang berlumpur tanah sawah di sekitarnya sudah cukup siapkah menggelar “karpet merah” peradaban urban yang cepat atau lambat akan hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka?
BIL memang telah mengusung optimisme itu. Sebuah semangat optimisme dalam logika pembangunanisme (growth theory) ala Rostow yang melihat makroskopik pertumbuhan ekonomi sebagai “jalan” kesejahteraan dan sebagai indikator kemajuan ekonomi yang mengandaikan satu titik poros pertumbuhan yang nantinya memberi efek domino (trickle down effect) bagi kemajuan-kemajuan di bidang lainnya. Pada konteks ini, BIL merupakan “jalan” kemajuan yang disiapkan untuk masyarakat Lombok.
Jejak tahap lanjut dari optimisme BIL tersebut berkelindan dengan program Visit Lombok-Sumbawa 2012 yang mengusung semangat turisme/pariwisata sebagai bentuk file project kebijakan “satu paket” dalam rangka membawa nama NTB bergaung tidak hanya dalam negeri, lebih-lebih, menjadi “harum” di dunia internasional. Sebuah proyek “ambisius” ekonomi-politik sebuah daerah yang notabene ingin berlari mengejar ketertinggalan IPM (indeks pembangunan manusia) dan tergolong “termiskin” secara ekonomi di banding daerah-daerah lain di Indonesia.
Tentu saja, dalam pembacaan sederhana kita, beroperasinya BIL akan memberi angin “segar” dan gairah baru bagi perekonomian local. Logika pembangunan ini mengafirmasi sebuah semangat homo economicus yang meletakkan dasar materialisme sebagai wujud “given” (niscaya) manusia yang hendak memproduksi kapital sebanyak-banyaknya melalui proses-proses produksi, distribusi dan konsumsi yang nantinya akan mengalami penyebaran secara “rasional” ke berbagai wilayah ekonomi publik.
Contoh paling sederhana dari gerak penyebaran di atas bisa dilihat dari munculnya euphoria dan antusiasme ekonomi yang ditunjukkan public dengan cara-cara yang bahkan sangat tradisional, “lucu” dan unik. “Pasar kaget”, merimbunnya PKL (pedagang kaki lima), munculnya tukang ojek dadakan, pemberi jasa (guide) wisata dan lain-lain, menunjuk pada “optimisme” paling banal dari optimisme “tangan tidak terlihat” (invisible hand) Adam Smith –peletak dasar teori Ekonomi Klasik— yang percaya bahwa bahwa pemerintah tidak perlu repot-repot mengatur masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, karena individu-individu dalam masyarakat akan memperjuangkan kepentingan ekonominya sendiri-sendiri. Perjuangan kepentingan ekonomi individu-individu itu di samping menciptakan persaingan, juga menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.
Untuk memperjelas hal tersebut, Adam Smith pernah menulis begini: “….Jika seorang membuat roti untuk dijual kepada orang lain, maka motivasinya bukan karena ia orang baik hati yang tak ingin melihat orang lain kelaparan, melainkan karena ia sendiri butuh uang untuk makan yang bisa ia dapat dengan membuat dan menjual roti itu.

Rakyat dalam Optimisme BIL

BIL adalah sejarah niscaya tentang modernisasi dan tawaran globalisasi yang hendak meletakkan dasar ekonomi-politik dalam ranah pemerintahan dan publik sekaligus. Pada konteks ini, pertimbangan hadirnya BIL, secara idealistik, merupakan bentuk “perjuangan” pemerintah untuk membangun kesejahteraan ekonomi di Lombok dan NTB secara umum. Apresiasi penting dari “kesadaran” ekonomis BIL ini layak diamini secara relatif sebagai salah satu factor yang akan memberi “ruang” lebih besar terhadap menjamurnya pasar potensial dan sector riil di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak, inilah optimisme rezim ekonomi-politik berkuasa yang telah ditawarkan kepada masyarakat local menuju tahapan kemakmuran yang lebih baik. Mengapa demikian?
Penjelasan teoritik tentang model ekonomi-politik BIL ini bisa dipahami dengan model pilihan rasional (rational choice theory) yang memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus. Bahwa hidangan “kue” internasionalisme ini menyajikan sebentuk rasionalitas pelayanan publik (public service) yang berakar pada motivasi dan kepentingan politik individu-individu di elit kekuasaan (pemerintah/pemangku kebijakan) yang sekaligus memperanggapkan dirinya sebagai “yang sama” dengan rakyat yang dipimpinnya dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan. Rakyat diposisikan sebagai makhluk ekonomi yang “diuntungkan” oleh beroperasinya BIL yang memberi efek domino langsung dan atau tidak langsung bagi hadirnya perbaikan infrastruktur jalan yang tadinya burung/kurang baik, terbukanya pasar yang lebih luas dan kompetitif, munculnya usaha-usaha baru bidang jasa dan lain-lain.
Ilustrasi pilihan rasional sangat optimis ditunjukkan Baiq Dyah R. Ganefi, seorang anggota DPD RI asal NTB, tentang keberadaan BIL tersebut. Dalam sebuah Grup di Facebook (FB), Ganefi menulis: “… Bayangkan saja, ketika bandara baru ini dapat membawa turis yang lebih banyak ke NTB itu akan lebih mudah lagi. Pengerajin kita yang lesu akan tersenyum kembali seperti sebelum Bom Bali dan Krisis Moneter dulu. Tamu-tamu asing itu akan langsung berdarmawisata ke rumah pengerajin dan akan menumpahkan dolar mereka disana… Bayangkan saja jika ongkos pengiriman itu turun. Para petani-petani kita dapat membanjiri supermarket-supermarket besar di Denpasar, Surabaya dan Jakarta dengan Kangkung Lombok yang manis dan renyah itu. Juga dengan wortel, kubis, kelapa, manggis, rumput laut, rambutan atau cabai merah ekstra pedas yang kini harganya sedang jatuh itu… Inilah yang saat kita belajar Ekonomi Publik dulu disebut sebagai eksternalitas positif. Yakni dampak langsung dari keberadaan satu aktifitas ekonomi terhadap lingkungan sekitar.”
Apa yang dikatakan Ganefi di atas, jauh-jauh hari, pernah ditulis sangat baik oleh James Buchanan, sang pencetus Rational Choice Theory yang membawanya meraih Nobel Ekonomi. Dua abad silam, Bapak Ekonomi Adam Smith pun mengikrarkan “laissez faire” (perdagangan bebas) sebagai tonggak “kejayaan” ekonomi modern.
Logika manis kapitalisme selalu memberi harapan. Gerak laju “tangan tak terlihat” Adam Smith dan pilihan rasional Buchanan telah banyak dipraktekkan dalam setiap kebijakan ekonomi sebuah negeri/daerah. Tapi ada satu hal yang sering terlupakan bahwa realitas “mode of production” (produksi, konsumsi dan distribusi) kapitalisme seringkali menghasilkan alienasi (keterasingan) ketimbang memberi jalan keluar bagi pemerataan ekonomi.
Sumberdaya ekonomi yang terbatas dengan tingkat kebutuhan ekonomi tidak terbatas secara otomatis melahirkan persaingan ketat antara para pelaku ekonomi. Pada titik ini, oligarki elit kuasa (pemerintah/DPR) yang berkelindan dengan elit pengusaha (korporasi) memiliki otoritas ekonomi paling besar atas hasil-hasil usaha ekonomi public. Lebih-lebih, jika kualitas SDM pendidikan masyarakat di Lombok saat ini masih tergolong “rendah,” maka optimisme “eksternalitas positif” yang disebut Ganefi itu, mungkin, hanya cantik di buku-buku Ekonomi tapi bersifat manipulatif pada wilayah riil persaingan usaha yang jelas-jelas sangat tidak seimbang.
Pada titik tertentu, harapan itu tetap ada. Masyarakat bawah yang tergolong mayoritas besar di NTB, tentu saja, mendapat imbas positif dari BIL tersebut. Tapi akan sangat sulit untuk mangatakan mereka bakal memperoleh bagian yang cukup merata dari berhamburannya Dollar ke Lombok karena ia sudah terlanjur masuk ke dalam kantong-kantong minoritas penguasa kapital. Tentu saja. Mengapa?

BIL = Euforia-Diaspora-Fantasmogoria?!
Kebijakan pembangunan BIL memang telah bergaung sejak Orde Baru. Potensi pariwisata dan turisme di Lombok yang sangat menjanjikan menjadi salah satu daya tarik utama pembangunan ini. Setelah dua decade, dari era 90-an sampai sekarang, pembangunan bandara ini, anehnya, mengalami banyak protes sementara kalangan oleh karena tidak adanya persiapan dan kesiapan matang mencipta skill lokal layak pakai sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam bingkai demokratisasi dan pelaksanaan good governance di era otonomi daerah (otoda).
Wajar jika kemudian hal ini memantik kecurigaan bahwa proses pembangunan yang terjadi berorientasi ekonomi murni (economic oriented) yang mengabaikan factor-faktor SDM local untuk terlibat dalam “gawe besar” pembangunan. Artinya, jejak-jejak sentralisme Jakarta dan korporasi masih berperan sangat besar menggawangi tahapan proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan BIL yang memungkinkan “kontrak politik” bagi-bagi “kue” tidak begitu memperhatikan kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, khususnya Tanak Awu dan sekitarnya. Dan, jika preseden ini terbukti benar, “mau dibawa kemana” dollar itu dan untuk siapa saja?
Andai saja para pemangku kebijakan (stakeholders) dalam rumusan good governance benar-benar berjalan, menurut hemat penulis, sejatinya tidak akan mengabaikan ranah pemetaan sosio-pskologis-politik local dan pelibatan masyarakat sebagai domain kerja suatu kebijakan. Akan tetapi, ketika analisis ini dibawa pada santernya opini-opini dan atau fakta-fakta miring tentang “tidak adanya” atau rendahnya skill local mumpuni yang siap berkerja secara professional, bisa ditengarai ada missing link yang melepas rantai kearifan local dengan “hanya” mementingkan pembangunan fisik semata.
Egosentrisme prilaku elit politik seperti di atas, dengan demikian, semakin menunjukkan apa yang pernah ditulis Karl Marx sebagai teori nilai-lebih (surplus value) kapitalisme yang mengutamakan keuntungan (produktivitas) ekonomi di satu sisi, sementara di sisi lain menghilangkan (alienasi) kerja-kerja non-ekonomis, seperti manusia.
Kesimpulan sementara yang bisa ditarik dari benang merah ekonomi politik BIL ini adalah sebuah gugatan epistemologis atas labirin pembangunanisme yang di satu sisi memberi harapan perubahan dan optimisme kesejahteraan ekonomi dengan segepok euforia. Di sisi lain, jika gurita kapitalisme pemilik modal dengan penjaga “moral hazard” politik kekuasaan saling bersanding kokoh, maka alamat “palsu” kesejahteraan ekonomi akan selalu menjadi sebatas euforia yang menaruh masyarakat di bawah kaki pencakar langit peradaban.
Pada akhirnya, manakala sebuah pembangunan fisik tidak benar-benar disertai akar (kebijakan) budaya SDM lokal, maka euforia PKL, “pasar kaget”, tukang ojek dadakan, celoteh girang masyarakat penonton (society of spectacle) pengantin pembangunan dan lain sebagainya, harus segera bersiap-siap terbang bersama pesawat di BIL untuk ber-diaspora (menyebar) –menjadi TKI/TKW misalnya— meninggalkan daerahnya karena merasa “asing” dan harus “kehilangan” tempat oleh desakan-desakan budaya baru urban dan pengambil-alihan hak ekonomi secara diam-diam (silent take over) oleh skill mumpuni pelaku ekonomi dari “luar” yang jamak terjadi setiap kali “peradaban” kota dimulai. Dan titik kulminasi dari logika ekonomi-politik semacam ini seperti menanam benih harapan di bumi penuh mimpi dan khayalan semu (fantasmogoria) yang seolah-olah sudah berada di depan mata, tapi ternyata ilusi belaka.
Sekali lagi, tengara modernitas dan globalisasi telah banyak menciptakan sejarah peradaban yang besar. Bangunan-bangunan megah pencakar langit telah menjadi saksi bisu betapa kekuatan ekonomi Cina semakin digdaya dalam percaturan global. Lombok secara khusus dan NTB secara umum “baru” saja memulainya. BIL adalah pertaruhan dan jaminan awal berdirinya hutan beton lainnya yang sangat mungkin mengikis “eksternalitas positif” pertanian Gumi Paer berganti “eksternalitas negatif” yang terlalu panas bagi orang Sasak “lebung” (rapuh/ringkih) untuk terlibat dalam persaingan merebut pasar “tangan tak terlihat” itu. Optimisme itu memang masih ada. Di sini dan kini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?! Selamat Datang BIL… !!! Wallohu a’lam bi alshawab.

**Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB dan Peneliti sosial-politik di INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik dan Kebijakan) Malang.

No comments:

Post a Comment