Wednesday, January 2, 2013

Selamat Datang (Calon) Pemimpin Tanpa Visi (Catatan Politik NTB 2012)


Oleh: Astar Hadi*

Catatan Politik 2012 sebuah Koran lokal NTB menyebutkan bahwa tahun 2012 adalah “tahun politik.” Ia merujuk pada sebuah fenomena bahwa sepanjang tahun ini para actor politik sudah menyiapkan diri untuk suksesi 2013. Terjadi konstelasi politik “bawah tanah” yang membuat tensi politik masih terkesan “adem ayem.” Indikasi ini diperkuat oleh belum adanya satu bakal calon pun yang “berani” mendeklarasikan pasangannya hingga akhir Desember ini. Sementara Pilkada sudah sedemikian dekat.
Dalam konteks radikalisasi politik, jika dibanding dengan daerah-daerah lain, NTB tergolong “miskin” kreasi dan manuver politik terlepas dari adanya agenda tersembunyi dari masing-masing calon yang hendak bertarung. Hal ini, tentu saja, memberi sinyal kuat bahwa kekuatan-kekuatan yang dimiliki setiap calon kontestan tidak dibangun atas dasar fondasi politik yang bersandar pada basis modal sosial (social capital) sebagai acuannya. Tengara ini bisa memantik “keraguan” publik pada kapabalitas dan kredibilitas mereka dalam menahkodai perahu NTB ke depan.
 Sejarah mencatat, seorang calon pemimpin besar tidak lahir dalam ruang hampa. Napak tilas perjalanan, kisah perjuangan dan visi jenius pendiri republik, Soekarno-Hatta, adalah contohnya. Idealnya, mereka adalah sosok yang “harus” muncul dari pergulatan sejarah yang terlibat secara praksis dalam pergumulan ide-ide kebangsaan dan keberpihakan riil bagi kemaslahatan publik di aras nasional dan atau pun lokal. Tindak lanjut dari kepemimpinan ini mengharuskan/mensyaratkan sebuah konkretisasi gagasan-gagasan besar tersebut bagi proyeksi masa depan yang referensi utamanya muncul melalui kitab realitas sejarah keterlibatan praksis-ideologis di tengah masyarakat. Mungkinkah?

Patronase Politik Pemimpin Tanpa Visi
Pemilihan gubernur (pilgub) NTB dan tiga Pilkada Kabupaten/Kota tinggal lima bulan lagi. Secara khusus, sejumlah nama seperti TGH. Muhammad Abdul Majid Majdi/TGB (incumbent), KH. Zulkifli Muhadli (Bupati KSB), Harun Al-Rasyid (mantan gubernur NTB), Suryadi Jaya Purnama dan beberapa yang lain, paling santer digadang-gadang mencalonkan diri menjadi orang nomer satu di NTB. Namun, sampai sejauh ini, nama-nama mereka lebih banyak muncul sebagai “pajangan” gambar “mati” yang menghiasi media massa ketimbang pertarungan ide-ide kritis yang memberi pencerahan bagi khazanah peradaban politik bagi generasi-generasi selanjutnya.
Kalaupun ada kerja “bawah tanah” yang dilakukan oleh calon yang bakal bertarung, ia hanya sebatas lobi-lobi politik procedural demokrasi di tingkat elit yang berbanding terbalik dengan  “kekosongan” inisiasi kerja-kerja pemberdayaan sebagai investasi jangka panjang kepemimpinan politik di tingkat akar rumput (grassroot).
Pola-pola lama politik patronase (patron-client) yang memperanggapkan logika “merembes ke bawah” (trickle down effect) dalam rancangan Teori Pertumbuhan Rostow dan model sentralisme kekuasaan dalam skema Teori Penjara (panopticon) ala Jeremy Bentham justru dipraktekkan dalam politik akumulasi dan kalkulasi suara massa. Tidak heran jika kemudian kehadiran politik “jalan pintas” (pseudo-politic) yang memang banyak terjadi di setiap daerah di Indonesia berlaku juga di daerah ini.
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang di masa lalu dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia bisa dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), propaganda public, iming-iming janji dan money politic, yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk di dunia politik –dalam hal ini Pilkada. Dalam politik, model panoptik membutuhkan “kerjas sama” (calon) pemimpin dengan aparat ideologis –tokoh agama, tokoh masyarakat, birokrasi, kelompok preman, LSM, dan lain-lain— untuk membangun kuasa dan atau mengawal suara para pemilih. yang memasung kritisime dan kehendak bebas di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah politik panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (patron).
Kendati bentuk-bentuk panoptikonisasi, baik melalui propaganda publik atau yang lain, mampu memberi arahan yang merangsang kehendak untuk memilih, akan tetapi ia sekaligus mampu ”menganulir” kebebasan yang dimiliki konstituen pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap (represi) bahasa/wacana dari sang patron sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kebebasan memilih) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Kedua model patronase semacam di atas menitikberatkan diri pada syarat-syarat mekanistik tercapainya jumlah perolehan suara yang diperoleh bukan melalui proses panjang kualifikasi kepemimpinan (sense of leadership) yang memadai. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba hadir di muka public bak seorang pahlawan dengan menggandeng orang-orang tertentu yang secara kuantitatif dan kualitatif memiliki basis massa signifikan. Kehadiran politik diterjemahkan dalam kerangka skematik “atas-bawah” (top-down) dengan memanfaatkan setiap titik pusat kuasa struktur ideologis di masyarakat. Public “dimata-matai” melalui satu corong suara tokoh (opinion leader) yang memaksa mereka masuk dalam tunggal pilihan tertentu yang, alih-alih bermakna ideologis, justru lebih banyak ditengarai oleh lobi-lobi kepentingan individual elit di meja makan sebuah restaurant/hotel mahal..
Alih-alih menciptakan spectrum politik yang mencerdaskan, patronase panoptik calon pemimpin justru mengejawantahkan banalitas (kedangkalan) politik yang merepresentasikan masyarakat sebagai produk-produk dari bangunan struktur yang secara sistemik diolah sedemikian rupa dengan mengatasnamakan ketokohan orang-orang tertentu. Dalam hal ini, sang pemimpin mendekati publik bukan dengan kapasitas dan atau kapabalitasnya sebagai sosok yang seharusnya memiliki ide-ide besar, kecerdasan visi dan kemampuan strategis. Sebaliknya, mereka hadir melalui ruang kosong sejarah (ahistoris) yang memplagiasi dan mengimitasi orang lain sebagai sandaran mereka berpolitik.
Apa yang kita lihat dalam fragmen-fragmen politik “sunyi” dan gerakan “bawah tanah” politik NTB semenjak awal hingga akhir 2012 adalah sebuah “pertunjukan” drama penuh skenario kamuflatif “malu-malu tapi mau” yang hampir tidak menghadirkan ghiroh transformasi dan emansipasi bagi kecerdasan kepemimpinan politik NTB yang visoner ke depan. Etos kepemimpinan yang mereka bangun layaknya, jika diibaratkan, sebuah ruang pameran yang hanya dilengkapi oleh berbagai promosi bazar diskon produk-produk kecantikan dan aksesoris politik “kecap nomer satu” yang instan dengan zat-zat kimiawinya yang mempercepat penuaan dini lalu mati.
Artinya, kehadiran wajah-wajah “baru” ini seolah-olah akan memberi harapan yang lebih baik. Akan tetapi ketika pola-pola lama patronase politik menjadi modal “barang dagangan” yang mereka tawarkan, maka bisa ditebak bahwa kehadiran mereka lebih condong menjadi boneka politik ketimbang kesejatian seorang pemimpin yang memiliki visi dan integritas pribadi yang memiliki kemampuan mencipta kreasi dan inspirasi bagi pembangunan NTB di masa depan. Jika demikian, akankah kita bangga dengan calon-calon “baru” ini? Selamat Datang (calon) Pemimpin dan Selamat Tahun Baru 2013.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal MADZHAB DJAENG (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang

**Dimuat di Lombok Post 31 Desember 2012

2 comments:

  1. Koq bisa salah mengeja nama Gubernur NTB? Sesama kader Demokrat lho?

    ReplyDelete
  2. pertanyaan anda sy anggap sbg RALAT... terimakasih :)

    ReplyDelete