Oleh: Astar Hadi*
Catatan Politik 2012
sebuah Koran lokal NTB menyebutkan bahwa tahun 2012 adalah “tahun politik.” Ia
merujuk pada sebuah fenomena bahwa sepanjang tahun ini para actor politik sudah
menyiapkan diri untuk suksesi 2013. Terjadi konstelasi politik “bawah tanah”
yang membuat tensi politik masih terkesan “adem ayem.” Indikasi ini diperkuat
oleh belum adanya satu bakal calon pun yang “berani” mendeklarasikan
pasangannya hingga akhir Desember ini. Sementara Pilkada sudah sedemikian
dekat.
Dalam
konteks radikalisasi politik, jika dibanding dengan daerah-daerah lain, NTB
tergolong “miskin” kreasi dan manuver politik terlepas dari adanya agenda
tersembunyi dari masing-masing calon yang hendak bertarung. Hal ini, tentu
saja, memberi sinyal kuat bahwa kekuatan-kekuatan yang dimiliki setiap calon
kontestan tidak dibangun atas dasar fondasi politik yang bersandar pada basis
modal sosial (social capital) sebagai
acuannya. Tengara ini bisa memantik “keraguan” publik pada kapabalitas dan
kredibilitas mereka dalam menahkodai perahu NTB ke depan.
Sejarah mencatat, seorang calon pemimpin besar
tidak lahir dalam ruang hampa. Napak tilas perjalanan, kisah perjuangan dan
visi jenius pendiri republik, Soekarno-Hatta, adalah contohnya. Idealnya,
mereka adalah sosok yang “harus” muncul dari pergulatan sejarah yang terlibat
secara praksis dalam pergumulan ide-ide kebangsaan dan keberpihakan riil bagi
kemaslahatan publik di aras nasional dan atau pun lokal. Tindak lanjut dari kepemimpinan
ini mengharuskan/mensyaratkan sebuah konkretisasi gagasan-gagasan besar tersebut
bagi proyeksi masa depan yang referensi utamanya muncul melalui kitab realitas
sejarah keterlibatan praksis-ideologis di tengah masyarakat. Mungkinkah?
Patronase Politik Pemimpin Tanpa
Visi
Pemilihan
gubernur (pilgub) NTB dan tiga Pilkada Kabupaten/Kota tinggal lima bulan lagi.
Secara khusus, sejumlah nama seperti TGH. Muhammad Abdul Majid Majdi/TGB
(incumbent), KH. Zulkifli Muhadli (Bupati KSB), Harun Al-Rasyid (mantan
gubernur NTB), Suryadi Jaya Purnama dan beberapa yang lain, paling santer
digadang-gadang mencalonkan diri menjadi orang nomer satu di NTB. Namun, sampai
sejauh ini, nama-nama mereka lebih banyak muncul sebagai “pajangan” gambar
“mati” yang menghiasi media massa ketimbang pertarungan ide-ide kritis yang
memberi pencerahan bagi khazanah peradaban politik bagi generasi-generasi
selanjutnya.
Kalaupun
ada kerja “bawah tanah” yang dilakukan oleh calon yang bakal bertarung, ia hanya
sebatas lobi-lobi politik procedural demokrasi di tingkat elit yang berbanding
terbalik dengan “kekosongan” inisiasi
kerja-kerja pemberdayaan sebagai investasi jangka panjang kepemimpinan politik
di tingkat akar rumput (grassroot).
Pola-pola
lama politik patronase (patron-client)
yang memperanggapkan logika “merembes ke bawah” (trickle down effect) dalam rancangan Teori Pertumbuhan Rostow dan
model sentralisme kekuasaan dalam skema Teori Penjara (panopticon) ala Jeremy Bentham justru dipraktekkan dalam politik
akumulasi dan kalkulasi suara massa. Tidak heran jika kemudian kehadiran
politik “jalan pintas” (pseudo-politic)
yang memang banyak terjadi di setiap daerah di Indonesia berlaku juga di daerah
ini.
Panoptikon
adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang di masa lalu dibangun
kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk
(pseudo signs) kekuasaan. Sistematisasi
model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy
Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi
tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya
disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan
tetapi ia bisa dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma
psikologis massa, represi wacana (bahasa), propaganda public, iming-iming janji
dan money politic, yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang
publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek
domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk di
dunia politik –dalam hal ini Pilkada. Dalam politik, model panoptik membutuhkan
“kerjas sama” (calon) pemimpin dengan aparat ideologis –tokoh agama, tokoh
masyarakat, birokrasi, kelompok preman, LSM, dan lain-lain— untuk membangun
kuasa dan atau mengawal suara para pemilih. yang memasung kritisime dan kehendak
bebas di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah politik panoptik yang
merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh
terhadap atasan (patron).
Kendati
bentuk-bentuk panoptikonisasi, baik melalui propaganda publik atau yang lain,
mampu memberi arahan yang merangsang kehendak untuk memilih, akan tetapi ia
sekaligus mampu ”menganulir” kebebasan yang dimiliki konstituen pada titik di
mana seseorang ”merasionalkan” setiap (represi) bahasa/wacana dari sang patron
sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kebebasan memilih) tenggelam dalam
konstruksi citra (pseudo sign)
sebagai ”aku yang inferior.”
Kedua
model patronase semacam di atas menitikberatkan diri pada syarat-syarat
mekanistik tercapainya jumlah perolehan suara yang diperoleh bukan melalui
proses panjang kualifikasi kepemimpinan (sense
of leadership) yang memadai. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba hadir di muka
public bak seorang pahlawan dengan menggandeng orang-orang tertentu yang secara
kuantitatif dan kualitatif memiliki basis massa signifikan. Kehadiran politik
diterjemahkan dalam kerangka skematik “atas-bawah” (top-down) dengan memanfaatkan setiap titik pusat kuasa struktur
ideologis di masyarakat. Public “dimata-matai” melalui satu corong suara tokoh
(opinion leader) yang memaksa mereka
masuk dalam tunggal pilihan tertentu yang, alih-alih bermakna ideologis, justru
lebih banyak ditengarai oleh lobi-lobi kepentingan individual elit di meja
makan sebuah restaurant/hotel mahal..
Alih-alih
menciptakan spectrum politik yang mencerdaskan, patronase panoptik calon
pemimpin justru mengejawantahkan banalitas (kedangkalan) politik yang merepresentasikan
masyarakat sebagai produk-produk dari bangunan struktur yang secara sistemik
diolah sedemikian rupa dengan mengatasnamakan ketokohan orang-orang tertentu.
Dalam hal ini, sang pemimpin mendekati publik bukan dengan kapasitas dan atau
kapabalitasnya sebagai sosok yang seharusnya memiliki ide-ide besar, kecerdasan
visi dan kemampuan strategis. Sebaliknya, mereka hadir melalui ruang kosong
sejarah (ahistoris) yang memplagiasi dan mengimitasi orang lain sebagai
sandaran mereka berpolitik.
Apa
yang kita lihat dalam fragmen-fragmen politik “sunyi” dan gerakan “bawah tanah”
politik NTB semenjak awal hingga akhir 2012 adalah sebuah “pertunjukan” drama
penuh skenario kamuflatif “malu-malu tapi mau” yang hampir tidak menghadirkan ghiroh transformasi dan emansipasi bagi
kecerdasan kepemimpinan politik NTB yang visoner ke depan. Etos kepemimpinan
yang mereka bangun layaknya, jika diibaratkan, sebuah ruang pameran yang hanya dilengkapi
oleh berbagai promosi bazar diskon produk-produk kecantikan dan aksesoris politik
“kecap nomer satu” yang instan dengan zat-zat kimiawinya yang mempercepat
penuaan dini lalu mati.
Artinya,
kehadiran wajah-wajah “baru” ini seolah-olah akan memberi harapan yang lebih
baik. Akan tetapi ketika pola-pola lama patronase politik menjadi modal “barang
dagangan” yang mereka tawarkan, maka bisa ditebak bahwa kehadiran mereka lebih
condong menjadi boneka politik ketimbang kesejatian seorang pemimpin yang memiliki
visi dan integritas pribadi yang memiliki kemampuan mencipta kreasi dan
inspirasi bagi pembangunan NTB di masa depan. Jika demikian, akankah kita
bangga dengan calon-calon “baru” ini? Selamat Datang (calon) Pemimpin dan
Selamat Tahun Baru 2013.
*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD
(Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal MADZHAB DJAENG
(for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang
**Dimuat di Lombok Post 31 Desember 2012
Koq bisa salah mengeja nama Gubernur NTB? Sesama kader Demokrat lho?
ReplyDeletepertanyaan anda sy anggap sbg RALAT... terimakasih :)
ReplyDelete