Oleh: Astar Hadi*
Hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diperingati setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal
segera tiba. Kelahiran adalah sebuah momentum eksistensi bagi kehadiran manusia
di muka bumi. Alloh SWT menegaskan posisi manusia sebagai satu-satunya khalifah
(pemimpin) yang “berhak” mengelola kehidupan ini untuk menjalankan hak dan
kewajiban kemanusiaannya dalam ranah pribadi dan, lebih-lebih, sosial
kemasyarakatan.
Kelahiran
Muhammad SAW merupakan manifesto “ruh” sejarah (laqod kholaqna al-insan fi ahsani taqwim), eksistensi bagi
kesadaran mewujud (rahmatan li al-‘alamin),
transendensi kemanusiaan dalam sibghoh/celupan Tuhan (sibghotullah) dan imanensi Tuhan yang “menyublim” dalam kemanusiaan
(takhallaqu bi akhlaqillah).
Muhammad, dengan demikian, sosok/subjek yang hadir bukan di ruang hampa
sejarah, tidak pula berlaku-tindak dalam “jalan sunyi.” Beliau sekaligus tafsir
sejarah masa depan bagi terbentuknya kesalehan pribadi dan sosial yang
menyeluruh tentang bagaimana sebuah momentum kelahiran itu dimaknai, dicerap,
dan dijalankan. Pada titik inilah peringatan Maulid Nabi menemukan
kontekstualisasinya hingga kini.
Artinya,
kontekstasi kelahiran Nabi Muhammad beserta sejarah yang memayungi
perjalanannya menyiratkan suatu sikap/prinsip, suatu pola, suatu gerak, yang
bisa menjadi spirit untuk mendorong rancang-bangun peradaban di kemudian hari.
Kontekstualisasi ajaran Muhammad secara teoritis bisa dilacak pada munculnya
istilah “masyarakat madani” yang akar sejarahnya dirunut dari “Piagam Madinah”
yang terkenal itu.
Dalam
konteks istilah di atas, sudah banyak literatur yang secara khusus membahas
bagaimana kontekstasi kehidupan Nabi semasa di Madinah. Salah satunya, mengutip
Ahmad Hatta, masyarakat Madani –seperti yang awalnya dipopulerkan oleh
Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas— merupakan terjemahan dari kosa
kata bahasa Arab, mujtama’ madani,
yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat
kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang
berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga
turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun
atau madaniyyah yang berarti
peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization.
Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Dalam
hubungannya dengan masyarakat madani, bahkan, menurut Hatta dengan menyitir
pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958),
Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang
ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak
asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American
Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi
Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Di sini, masyarakat madani
banyak ditafsirkan sebagai peradaban kota yang menjunjung tinggi hukum, tata
sosial-politik dan hak asasi manusia.
Untuk
membatasi tulisan ringkas ini, penulis tidak hendak membahas kompleksitas isi
Piagam Madinah, istilah masyarakat madani dan sejarah kerasulan/kenabian
Muhammad secara mendetil. Proyeksi utama dari bahasan ini menyangkut “tafsir” sosio-teologis
atas ceramah Emha Ainun Najib (Cak Nun) di GOR Turide Mataram tentang istilah
“Serambi Madinah” dalam hubungannya dengan prospek ke-NTB-an kita.
Serambi Partisipasi dari Bawah
“Serambi
Madinah” merupakan sebuah asosiasi “nama lain” bagi NTB yang, tentunya,
memiliki konsekuensi tafsir yang multidimensional. Sebagai sosok budayawan
berpengetahuan luas, Cak Nun, tentu saja, berupaya meneropong warna “khas” dan
citarasa lokalitas NTB dalam pembacaan yang berurat-akar pada sosio-historis-teologis
yang melatarbelakanginya. Klaim NTB sebagai “Serambi Madinah” mengejawantahkan
sebuah impresi mendalam yang mengisyaratkan “kentalnya” warna agama (baca:
islam) di NTB jika dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Pembacaan
sosio-teologis oleh sosok yang juga dikenal dengan sebutan Kyai Mbeling ini
tidak berarti bahwa NTB, seperti halnya Aceh, merupakan daerah yang “harus”
berdiri sebagai “kota agama” dengan sekian aturan-aturan syari’at yang
mengaturnya. Jika merujuk pada akar sejarahnya di masa Periode Madinah, secara
(tafsir) hermeneutis, “Serambi Madinah” bermakna metaphor yang merujuk pada
retrospeksi sebuah kebudayaan dan peradaban kota maju di masa Rasulullah dengan mengamini kearifan-kearifan local
“yang di sini” dan “kini” (baca: NTB). Apa artinya?
Pembacaan
terjauh dari apa yang diungkapkan Cak Nun, pada dasarnya, menguliti agama dalam
pembalikan makna yang bukan ditujukan pada “hanya” agama itu sendiri. Akan
tetapi, ia mengelaborasi sekaligus memproblematisasi istilah “Serambi Madinah”
dalam cangkang (politik) identitas kebudayaan local NTB yang harus segera
bergerak dan bergegas menjadi sebuah kekuatan budaya yang akarnya terletak pada
perluasan partisipasi dan kreasi publik.
Ketimbang
bicara deliberasi partisipasi publik secara khusus, apa yang kita tangkap
sejauh ini, pembacaan umum tentang masyarakat madani dan atau Piagam Madinah
lebih banyak dielaborasi pada wilayah Negara sebagai lokus tata Negara modern
lengkap dengan dinamika semangat pluralisme, toleransi dan penegakan hak asasi
manusia yang jangkauannya terkesan “elitis”.
Dengan
demikian, ungkapan Cak Nun dalam ceramah tersebut, merupakan upaya pribumisasi
“Serambi Madinah” dalam artiannya yang “merakyat”. Sebagai contoh, masyarakat
keturunan jawa yang menjadi warga NTB, menurutnya, adalah “kaum muhajirin” di Madinah pada
zaman Rasul. Bahkan, masyarakat jawa yang sudah menetap di NTB dihimbau untuk
turut bersama-sama membangun NTB. Begitupun warga keturunan NTB yang menjadi
penduduk daerah-daerah lain juga menjadi sama persisnya. Konkretnya, di mana
bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Makna
deliberasi partisipasi publik menjadi konsekuensi logis yang paling faktual
sebagai prasyarat membangun ruh “Serambi Madinah” tersebut. Kontestasi ruang publik
masyarakat madani, dalam terjemahan epistemologi-metapolitik –opini penulis Tangan Berjabat, Bekerja dan Berbuat Bersama
Rakyat: Sebuah Epistemologi Metapolitik BMD NTB di Lombok Post 22-23 Desember 2012— adalah “serambi” bagi Yang
Politis (The Political). Di mana, “yang Politis” merupakan cakrawala
kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) –dalam hal ini NTB
sebagai yang bersatu dalam kemajemukan—
untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam
politik sehari-hari.
Keberadaan
suku Jawa dan suku lainnya sebagai “muhajirin” dalam langgam partisipasi publik
di NTB mutlak mensinergikan diri dalam “penyatuan” (politik) identitas
kebudayaan untuk menjadi “yang politis”. Artinya, sikap penyatuan “yang
politis” ini tidak berarti menolak perbedaan, tidak pula tidak saling
menghargai dan bertoleransi. Alih-alih, ia merupakan kredo ideologis yang
mendorong secara penuh perluasan partisipasi dari bawah (masyarakat) untuk
menegakkan dan membangun prinsip-prinsip madaniyah
bagi NTB secara bersama.
Keberagaman
dalam konteks “Serambi Madinah” tidak sebatas penghargaan terhadap perbedaan
etnis, agama dan sebagainya. Melampui apa yang dimaksud Cak Nun, ia menuntut
deliberasi demokrasi –mengikuti fisuf Jerman, Jurgen Habermas— yang artinya
membuka ruang publik partisipatif dan tindakan komunikasi rasional (theory of communicative action) antar
warga dan pemerintah untuk menuangkan kreasi wacana yang beragam sebagai wadah
(serambi) yang menampung dan memantik terciptanya kebijakan-kebijakan yang
pro-masyarakat di kemudian hari.
Dasar
sosio-teologis deliberasi demokrasi dan relevansinya dengan “citra” Serambi
Madinah ini sudah berakar kuat pada fakta-fakta NTB –khususnya Lombok— sebagai Pulau
Seribu Masjid. Sejarah kedatangan Rasulullah di Madinah ditandai pertama kali
dengan pembangunan masjid. Masjid, selain sebagai tempat sholat/ibadah, menjadi
ruang paling penting tempat berlangsungnya partisipasi ruang publik yang signifikan
bagi peradaban Madinah ketika itu. Dengan demikian, momentum NTB untuk menjadi
yang “setara” paradaban Kota Madinah menjadi hal yang sangat mungkin terjadi
seperti bayangan Cak Nun sejauh ia “sejalan” dengan prinsip-prinsip masyarakat
madani itu sendiri.
Bayangan
nostalgis-utopis pria asal Jombang tersebut bisa menjadi “ruh” yang
menyemangati munculnya kesadaran baru masyarakat NTB bersama-sama
berpartisipasi secara kritis-emansipatif untuk menegaskan “jati diri”
kebudayaan kita yang khas. Dan, momentum menjelang peringatan Hari Besar Maulid
Nabi Muhammad SAW menjadi ruang refleksi prospektif yang tepat bagi kita semua.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Selamat Hari Maulid Nabi 1434 Hijriyah.
*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG
DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal
Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.
**Dimuat di Lombok Post, Selasa, 22 Januari 2013
No comments:
Post a Comment