Saturday, March 23, 2013

Politik Identitas dalam Spektrum Demokrasi Disensual (Problematisasi Badrun A.M dan Muhammad Kadri)

Oleh: Astar Hadi*

Sejak bergulirnya Undang-undang Otonomi Daerah dan Pilkada secara langsung satu decade terakhir, Indonesia memasuki babak baru desentralisasi politik di daerah. Antusiasme masyarakat –secara khusus kelas menengah dan elit kuasa— menyambut “matinya” sentralisme ala Rezim Soeharto memantik euphoria pembagian kekuasaan (power sharing) yang membuka ruang besar kran ekonomi-politik bagi “kesejahteraan” di daerah.
Seturut euphoria itu, konsekuensi radikal desentralisasi politik secara niscaya menghadirkan kembali wacana identitas yang selama Orde Baru mengalami represi oleh penyeragaman bahasa politik. Pun daerah, sebagai symbol sekaligus lokus “kesadaran” politik melokal, merepresentasikan diri dalam sublimasi kemelekatan politik bertubuh “identitas” yang magnet utamanya pada rekonstruksi dan rekontekstualisasi nilai-nilai “kearifan local” dalam aspek ekonomi-politik, sosial-budaya, dan lain-lain.
“Kemelekatan diri local” mendorong setiap daerah untuk melakukan kerja-kerja berbasis masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang ada sebagai keniscayaan politik partisipatif-emansipatif. Tiga serangkai pemerintah (government), masyarakat (civil society) dan sector swasta (privat sector) yang merupakan element utama teori good governance mensyaratkan keterlibatan mereka secara maksimal pada domain formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan yang bersumbu pada semangat lokalitas kewarganegaaran demokratis. Artinya, demokrasi lokal menuntut penguatan dan pengejawantahan nilai-nilai lokal yang “khas” daerah seraya memperluas dan mengapresiasi secara penuh ruang publik partisipatoris warga sebagai bentuk radikalisasi identitas politik kultural dari bawah dan transformasi politik struktural dari atas yang saling mengafirmasi satu sama lain.
Apa yang terjadi di daerah dalam kurun 10 tahun pasca-reformasi masih jauh panggang dari api. Inisiasi kerja-kerja ideologis pemerintah di satu sisi, pelibatan aktif (embedded) warga di sisi lain, belum/tidak ekuivalen dengan tujuan-tujuan substantif dari lahirnya UU OTODA yang terbilang “radikal” dan revolusioner. Alih-alih, desentralisasi politik justru melahirkan sebentuk relasi kuasa oligarkis raja-raja kecil di daerah yang membangun dinasti baru berdasarkan klan keluarga, kerabat dan atau komunitas-komunitas etnis tertentu berpayung “identitas-identitas” semu (pseudo identity).
Tengara di atas semakin membenarkan kritik banyak kalangan bahwa momentum Pilkada di daerah, menorehkan warna politik yang berpondasi politik identitas ketimbang politik kerakyatan. Bahwa politik identitas memungkinkan simbiosis mutualisme antara pelaku politik dengan keagenan politik saling berkelindan memperkuat status quo sekaligus menggerus suara minoritas (The Others) yang oposisional terhadapnya. Preseden politik identitas secara perlahan bisa saja “membunuh” unsur-unsur keberagaman nilai yang ada dalam suatu masyarakat/daerah.
Menyimak apa yang terjadi di pesta rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sedianya digelar dua bulan lagi, wacana politik identitas begitu kentara menyembul menjadi dagangan yang selalu laris manis di pasaran politik (political marketing). Makin kentalnya klaim pengkotak-kotakan identitas berbasis etnisitas –Mbojo, Samawa dan Sasak— “terwakili” calon-calon pasangan Gubernur –NTB 1— yang “kebetulan” berasal dari ketiga etnis tersebut.
Wajah politik, seolah-olah, menginterupsi kembali jejak purba (arch trace) kuasa primordial yang menari-nari dalam gemulai-dayu suara musik yang rancak-padu menyuarakan klaim “satu hati” –meminjam salah satu judul lagu Dewa 19. Artinya, realitas kuasa selalu berbicara/bernyanyi sangat merdu tentang “keterwakilan”, tentang keniscayaan indahnya “kebersamaan”, tentang pentingnya kembali pada “identitas kita” yang utuh-padu dan tentang suatu yang tidak perlu kita tentang.
Kekuasaan menyublim menjadi begitu hangat sekaligus tegas menegur/menyapa perbedaan-perbedaan, menepikan keberagaman, dan menegasi “yang lain” untuk merangkul mereka menjadi “yang sama” dalam satu suara. Pada titik ini, politik identitas menggiring sosio-psiko-politik massa ke dalam seragam konsensus kehadiran diri (methapysic of prsesence) yang mematerialisasi setiap abstraksi nilai pada wujud konkret “anda niscaya memilih saya” karna “anda dan saya adalah satu tubuh” biografik.

Lubang Hitam Identitas
Menguliti Badrun dalam Politik Identitas –Lombok Post, Senin 11 Januari 2013— yang mengebolarasi pepatah Sasak ‘Bele Bantel’ (membela mati-matian) sebagai identitas “kita”, seolah-olah, menjadi tafsir klaim politik yang secara ororitatif “mengesahkan” salah satu etnis pada sebuah kepastian penyeragaman yang menjurus eksklusivisme etiko-politik yang menyingkirkan alternatif-alternatif lain bagi Sasak di masa depan.
Pembacaan Badrun, sepertinya, terlalu tergesa-gesa dan cenderung “vulgar”. Ia terlanjur menyederhanakan persoalan (politik) identitas pada kerangka sosiologi positivistik yang meletakkan masyarakat dalam kategorisasi-kategorisasi oposisi biner hitam-putih, Sasak-bukan Sasak –Mbojo/Samawa, kita-mereka. “Penyakit” teoritik semacam ini menegaskan kembali distorsi sosiologis modernisme yang mem-patologi subjek-subjek lain di luar dirinya sebagai “sesuatu” yang absen; yang ada tapi ditiadakan.
Sementara M. Kadri –Lombok Post, Senin 18 Maret 2013— secara lebih moderat menulis bahwa “tidak ada yang salah dengan memanfaatkan simpul identitas etnik untuk meraih dukungan, sepanjang tidak mencederai prinsip demokrasi seperti dengan melanggar hak dan kebebasan memilih setiap individu lewat cara-cara intimidasi dan pemaksaan”
Baik Badrun maupun Kadri, menurut hemat penulis, menggelar perspektif yang sama. Seperti jamaknya pembacaan sosiologis, diskursus identitas hampir –untuk mengatakan sebagian besar— selalu terjebak pada strategi pembedaan (strategic of difference) yang pendasaran epistemologinya menyangkut (teori) konsensus dan atau konflik (sosiologi modern), negasi atas negasi Hegelian –tesis, antithesis, sintesis— sebagai manifestasi bagi pencarian “tunggal makna.”
Artinya, jika dibawa pada domain demokrasi prosedural/transaksional dewasa ini, politik identitas niscaya bersifat given (terberi). Ia mengharuskan beroperasinya satu unsur kuasa identitas yang paling berhak mengotorisasi klaim kebenaran nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dengannya, indoktrinasi mesin politik bersimbiosis dengan massa melalui citra-citra simbolik yang mengatasnamakan “keterwakilan” identitas diri tertentu yang secara faktawi menunjuk pada mayoritas tertentu itu pula.
Meski secara politik akumulasi massa menguntungkan, signifikansi radikal/ekstrim dari pola semacam di atas cenderung merayakan histeria politik kuasa yang seolah-olah hendak melanggengkan keutuhpaduan sebuah masyarakat. Sebaliknya, ia pada kenyataannya berpotensi kuat mendagradasi keberadaan masyarakat di luar dirinya yang rentan mengalami disintegrasi dan konflik antar kelompok. Pada titik inilah, lubang hitam konsensus politik yang dibangun berdasarkan semata-mata politik identitas ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu menyembur ke luar.
Sementara itu, mengesampingkan politik identitas dalam langgam demokrasi lokal sama artinya dengan “membunuh” ruh lahirnya otonomi daerah itu sendiri. Semangat pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah bertujuan menginisiasi keterlibatan aktif masyarakat setempat dan kompleksitas kearifan lokal yang menyertainya sebagai payung politik “berciri” lokal. Dengan demikian, wajah politik selayaknya menampilkan “jati diri” lokalnya yang unik dan berbeda dari daerah lain.
Tengara di atas menjadi paradoks politik manakala ia “harus” berkontestasi dengan proses-proses demokratisasi substansial yang melekat padanya nilai-nilai kebinekaan, penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan dan pengakuan atas hak-hak minoritas yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi. Lebih-lebih, menilik pada semakin beragamnya komunitas di suatu daerah, berpendarnya heterogenitas masyarakat dari beragam kultur sebagai akibat globalisasi, menjadikan “proyek” politik identitas perlu disikapi secara hati-hati dan membutuhkan strategi politik egaliter yang tidak melulu berciri konsensual represif dan positivistik. Tawaran Jean Francois Lyotard –filsuf kontemporer Perancis— tentang disensus politik untuk mengatasi ketakmungkinan keseragaman (consensus) nilai di era global dewasa ini menjadi relevan.

Disensus: Membongkar Wajah Identitas
Memaknai istilah ‘disensus’ tidak berarti menghadapkannya secara diametral dengan istilah ‘konsensus’. Disensus dipahami sebagai ketaktereduksian atau ketakmungkinan menyederhanakan manusia dalam kategori-kategori tertentu yang berarti, mengikuti Budiarto Danujaya dalam Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks, bahwa segenap manusia sebagai individu merupakan sebuah unikum, yang keunikannya bersifat senantiasa sehingga takkan pernah terjembatani dalam korelasi dengan individu-individu lainnya. Oleh karena itu, lanjut Danujaya, korelasi antar manusia pada dasarnya lebih merupakan koeksistensi antarunikum.
Lebih jauh, demokrasi disensus tidak mempercayai kesanggupan system politik apapun dan menolak setiap klaim yang mengalamatkan dirinya pada konsensus-konsensus universal. Karna disensus menyangkut demokrasi politik berupaya melampui finalitas-finalitas teknis kesepakatan bersama sekaligus meminimalisasi/mempersempit ketaksepakatan konfliktual.
Melampui paradigma teori konsensus dan teori konflik, disensus melebur ke dalam anonimitas-anonimitas –nama diri bagi rakyat bukan komunitas/etnis tertentu— yang dengannya kehadiran diri otonom “benar-benar” tak tereduksi oleh lubang hitam kuasa apapun, baik atas nama identitas, suku, kelompok, keagenan sosial, agama, dan bahkan atas nama “kemaslahatan” bersama sekalipun.
Jika demikian, mungkinkah identitas yang merupakan salah satu “ciri” dari nama diri otonom itu bisa diraih dalam spektrum demokrasi disensual yang berkiblat pada “keunikan” politik otonomi daerah itu sendiri? Sementara kita tahu, bahwa tidak mungkin di setiap bangsa atau di setiap daerah, tidak memiliki kekhasan budaya, tidak berdiri berdasarkan suku-suku, tidak berpejal keunikan identitas-identitas yang mendiaminya.
Anonimitas atau ketakmungkinan bersandar pada nama diri (identitas) tertentu bukan berarti menghilangkan nilai-nilai bersama suatu masyarakat yang mendiami suatu daerah. Alih-alih, ia menyangkut relasi koeksistensial yang berupaya menghubungkan antarunikum manusia dalam etikopolitik egaliter yang tak terdegradasi oleh unsur-unsur banal (dangkal) citra identitas/etnis yang dibangun semata-mata untuk kepentingan kuasa mayoritas tertentu.
Batu pejal demokrasi yang selama ini dipahami sebagai kuasa mayoritas (pilihan) rakyat melalui prosedur Pilkada/Pilpres layaknya diletakkan pada posisi “menangguhkan,” “menunda” otoritas rezim identitas sehingga tidak terjerembab dalam reduksi konsensus dan membuka selubung konflik yang berpotensi mendiskriminasi nama diri lain (the Others) yang berada di luar konstitusi (constitutive outside) identitas itu sendiri.
Persoalan identitas memang sarat jejak problematik. Di satu sisi, ia mengundang kerinduan kita akan kebersamaan, intimnya rasa kekeluargaan, indahnya romantisme yang “sama rasa”. Sementara di sisi lain, identitas juga membuka ruang ketegangan manakala ia menjadi suatu keharusan nama diri yang memisahkan antara kita dan mereka, yang menggelar karpet merah fanatisme diri sebagai “satu-satunya” eksistensi yang berhak mengada.
Oleh karena itu, politik sebagai sebentuk desisionisme yang bertugas memutuskan pertimbangan kolektif dan mengandaikan kehadiran pengelolaan suatu masyarakat dalam satu tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang sama dituntut untuk “menyelesaikan” dua sisi identitas problematik tersebut agar tidak hanyut pada tenggelammnya “jati diri”, tidak pula menghilangkan realitas lain yang manjadi bagian dari yang harus diputuskan.
Pada titik tegang inilah, disensus politik di era pluralisme global ini hendak mencantumkan relasi diri komunitas/identitas pada pemaknaan yang berciri paralogis. Artinya, upaya memutuskan politik tidak cukup hanya dengan mengandaikan satu logika tertentu sebagai yang absah, akan tetapi ia menuntut beroperasinya keberagaman logika yang terbuka untuk terlibat dalam kontestasi politik sebagai jejalin relasi manusia yang setara, baik dalam hak dan kewajibannya sebagai “satu” masyarakat yang anonim.
Dalam pemaknaan lain, mengikuti Clifford (dalam Astar Hadi, LKiS 2005), identitas tidak cukup dipahami sebagai term “tempat” tapi ia merujuk pada sebuah term “perjalanan” yang selalu merupakan sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dalam bingkai sites of crisscrossing travelers.
Di sini, wacana politik identitas, baik yang cukup ekstrim diungkapkan Badrun atau pun yang dikemas Kadri dalam bahasa yang lebih moderat, masih menyisakan batu karang fakta konsensual bahwa realitas politik mengisyaratkan kehadiran nama diri yang berpayung legitimasi identitas untuk merangkul “idealitas” politik. Mereka tidak berupaya mengelaborasi kemungkinan kontestasi identitas sebagai suatu yang berjalan pada rel koeksistensi nilai-nilai bersama yang “dalam proses menjadi,” yang perlu ditangguhkan sekaligus ditunda makna universalnya agar tidak terjatuh pada klaim supervisial demokrasi “atas nama rakyat” tapi, ujung-ujungnya, mencipta kuasa wacana yang memaksa “kesadaran” memilih kapada, oleh dan untuk salah satu otoritas “rakyat” tertentu dengan baju identitasnya.
Pada kondisi ini, keberadaan demokrasi yang seharusnya memayungi kompleksitas disensus politik kerakyatan mengalami reduksi konsensual sekaligus konfliktual oleh karena meletakkannya pada paradigma etikopolitik identitas yang saling berhadap-hadapan (vis a vis).
Keberadaan politik identitas senyatanya tetap penting sebagai sebuah “kesadaran” kolektif bermasyarakat dan berinteraksi secara politik dan budaya. Di saat yang sama, “pertarungan” antar identitas harus tetap diletakkan pada relasi koeksistensial yang melampui antagonisme politik berperspektif “kita-mereka”, “kawan-lawan,” “etnis ini-etnis itu.” Artinya, baik Sasak, Mbojo dan Samawa, adalah komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang dibayangkan/diandaikan dalam satu NTB yang terbuka untuk saling berkontestasi sekaligus mencipta intersubjektivitas relasi unik bagi sebuah “perjalanan” identitas yang pada suatu saat mengalami akulturasi dan asimilasi nilai yang mendorong lahirnya kosmopolitanisme peradaban yang secara terus-menerus mengevaluasi “proses menjadi”-nya. Pada titik pemahaman inilah disensus politik identitas itu bermuara.

**Versi asli/utuh dari yang dimuat di Lombok Post 21 Maret 2013

3 comments:

  1. Politisi Islam banyak, tapi praktek politik Islam tidak banyak. Ada seorang, dua yang mau mempraktekkan politik... http://fb.me/2hLadpTOj

    ReplyDelete
  2. Iya mas, sadar atau tak sadar otonomi telah menciptakan ruang, gap yang sangat besar yang kemungkinan suatu waktu tak terseberangi dan marilah kita menatap negeri ini bergelora seperti Prancis di abad pertengahan....

    ReplyDelete
  3. bagus tulisannya pak, saya suka.
    saya menangkap beberapa pikiran Carl Schmitt, Chantal Mouffe dan Derrida terulas apik sehubungan dengan tema politik identitas ini; khususnya beberapa konsep tentang kawan-lawan, kami-mereka, antagonismus (the others sebagai musuh) yang diarahkan kepada Agonisme (the others sebagai lawan).
    Kemajemukan adalah Identitas kita sebagai bangsa Indonesia. maka tidak mungkin menghindari konflik. konflik kepentingan tentu selalu ada ada alam demokrasi yang mejemuk seperti kita. mungkin ini pula kutukan demokrasi atau tepatnya kutukan pluralitas Indonesia.

    ReplyDelete