Saturday, November 15, 2008

PARADOKS PEMBAGUNAN

Oleh: Astar Hadi
Sentralisme kekuasaan di Era Pembangunanisme rezim Orde Baru (Orba) yang diarsiteki mantan Presiden Soeharto –yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan— telah tumbang. Ini terjadi seiring dengan gejolak krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 yang melanda hampir seluruh kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia. Goncangan hebat krisis ini berdampak pada hancurnya kekuatan ekonomi politik pembangunan Indonesia yang sempat digadang-gadang akan menjadi ”macan Asia” oleh publik Internasional ketika itu.
Indonesia di bawah komando Soeharto sempat ”mengejutkan” publik Internasional, khususnya Asia, dengan penjelmaan kekuatan ekonominya yang berorientasi pada kebijakan pembangunan sektor agraria dengan tujuan menguatkan sektor pertanian dengan kebijakan ’swasmebada beras’ dan pangan pada tahun 1980-an, tiga dasawarsa silam. Keberhasilan pembangunan ini kemudian dikenal dengan jargon ”Revolusi Hijau”, yang mengangkat citra perekonomian dan kepemimpinan Soeharto di mata negara-negara lain, terlepas dari efek samping negatif yang selama ini hampir tidak terungkapakan dan tidak diketahui banyak orang.1
Sementara itu, dampak lain dari krisis ekonomi Asia yang sangat terasa bagi perekonomian Indonesia –melonjaknya kurs per Dollar Amerika (USD) terhadap mata uang Indonesia sampai pada bilangan Rp. 15 Ribu— ini berlanjut pada sidang rakyat terhadap kemimpinan mantan orang terkuat di era Orde Baru tersebut. Puncaknya pada 22 Mei 1998, unjuk rasa besar-besaran oleh hampir seluruh elemen bangsa melawan rezim yang berkuasa selama 32 tahun lebih, yang oleh banyak kalangan dianggap hampir-hampir tidak tersentuh (untouchable) oleh kekuatan politik apapun itu, pada akhirnya, lengser keprabon.
Era Pembangunanisme yang sangat sentralistik itu secara bersamaan ikut runtuh oleh kekuatan massa rakyat. Angin ”segar” perubahan Era Reformasi yang dikenal dengan jargon ”Reformasi Total” yang mengusung semangat ”baru” pembangunan Indonesia Pasca Soeharto, memunculkan euforia rakyat yang memimpikan terjadinya perubahan fundamental dalam berbagai asek kehidupan.
Elan vital transisi menuju demokrasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan sebagainya, dewasa ini, sedang gencar-gencarnya diwacanakan. Berbagai produk undang-undang (UU) dan hukum yang dianggap tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi secara silih berganti diperbaharui, dirubah dan diamandemen. Salah satunya, UU No. 05 tahun 1974 tentang desetralisasi dan otonomi seluas-luasnya yang dianggap terlalu sentralistik diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 yang ingin membangun kembali Indonesia dengan spirit desentralisasi kekuasaan dalam bentuk balance of power antara pusat dan daerah. UU ini mengusung semangat desentralisasi politik yang bertujuan memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi setiap pemerintahan daerah untuk mengatur dan melaksanakan agenda kebijakan dan program-programnya berdasarkan AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yang dimilikinya tanpa ”intervensi” dari Pemerintah Pusat. Di samping itu, UU ini bertujuan agar pemerintah daerah lebih menekankan dirinya pada prinsip demokrasi, yang melibatkan peran serta masyarakat secara utuh, pemerataan pembangunan, dan keadilan, sembari memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Apakah lantas dengan berakhirnya wacana dan praktik kekuasaan pada masa Orde Baru, berakhir pula proyek pembangunan bangsa ala Soeharto di Era Reformasi sekarang ini? Persoalan pembangunan bangsa adalah suatu keniscayaan bagi seluruh elemen bangsa, khususnya bagi kesejahteraan rakyat miskin. Pembangunan dalam pengertian ini sangat kompleks, tidak saja menyangkut infrastruktur sosial secara fisik, akan tetapi juga menyangkut pembangunan modal sosial kapital (social capital) masyarakat Indonesia yang saat ini justru semakin mengalami erosi oleh karena semrawutnya kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hukum, selama kurang lebih sembilan tahun masa transisi menuju demokrasi sejak peralihan kekuasaan dari Kerajaan Cendana ketika itu.
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini mengalami pasang-surut pada level terendah di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Alih-alih mampu bersaing, SDM Indonesia dalam empat periode kepemimpinan di Era Refomasi ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Indonesia masih kalah jauh dari tetangga terdekat anggota ASEAN, seperti Thailand, Filipina, Vietnam dan –lebih-lebih— Malaysia. Berdasarkan HDI (Human Development Indexs) yang dikeluarkan pada Desember 2006 yang lalu, indeks pembangunan manusia Indonesia berada pada peringkat 110 dunia, di bawah sejumlah negara ASEAN yang semestinya masih tergolong ”bau kencur.” Meskipun demikian, anjloknya pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dilangsir HDI 2006 tersebut tidak serta-merta dijadikan sebagai satu-satunya perspektif untuk melihat kondisi bangsa Indonesia yang notabene mengalami kompleksitas permasalahan internal yang sampai saat ini memang perlu untuk dievaluasi secara mendalam. Karena, pada kenyataannya bangsa kita sejauh ini masih bergulat dalam paradoks reformasi dan demokratisasi yang bukannya menciptakan hasil yang positif dan nyata, justru setelah hampir memasuki satu dekade pascareformasi ini, kita mengalami berbagai problem kebangsaan yang kompleks dan tidak bisa dikatakan semakin membaik, baik pembangunan dalam bidang sosial, politik, hukum, dan sebagainya.
Dalam bidang sosial misalnya, kerusuhan dan kekerasan massal menjadi fenomena keseharian yang biasa kita lihat dan baca di media massa, baik elektronik maupun cetak. Sulut api konflik mudah sekali terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam sembilan tahun terakhir, sejak 1998 yang lalu, peristiwa Mei Berdarah, Semanggi I dan II, pembantaian Etnik Tionghoa, Konflik Etnik di Poso dan tragedi Sambas di Kalimantan, pengusiran aliran Ahmadiyah dan pengusiran dengan kekerasan terhadap demonstran (perempuan) yang menentang pembangunan bandara Internasional Tanak Awu di Lombok, sampai pada kasus bentrokan antar mahasiswa di UISU (Universitas Islam Sumatera Utara), dan lain-lain, merupakan bentuk riil wajah bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Di samping itu, fenomena kelaparan, seperti busung lapar, rendahnya kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, dan terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan di beberapa daerah, adalah contoh-contoh lain dari lemahnya suprastruktur dan infrastruktur sosial masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pun demikian, dalam bidang politik, sejak awal reformasi, sembilan tahun yang lalu, konstelasi politik nasional mengalami pasang-surut tiada akhir. Dalam proses transisi menuju demokrasi ini, pambangunan bangsa kita dilanda oleh berbagai kerancuan produk pembangunan yang tidak jelas orientasinya. Sejumlah data menunjukkan bahwa, pembangunan (politik) pasca Orde Baru yang menitikberatkan diri pada pelibatan masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan nyata-nyata masih semacam retorika konseptual belaka. Masyarakat selama ini hanya dijadikan lip service ungkapan pembangunan supaya para penggagasnya tidak dikatakan asosial. Yang sebenarnya terjadi, pada kenyataannya, lebih pada sikap elit politik yang memanfaatkan wacana ruang publik sebagai gaung untuk memainkan dirinya dalam ”politik dagang sapi” dan bagi-bagi kue pembangunan dalam bentuk proyek pribadi antar elit dan pengusaha. Sementara, sampai sejauh ini, rakyat seharusnya menjadi tujuan pembangunan tetap saja tidak dapat menikmati hasilnya, kecuali janji-janji politik semata.
Lebih jauh, ”pemberatasan KKN” yang merupakan salah satu orientasi jargon massa rakyat dan mahasiswa di awal Reformasi untuk memperbaiki pembangunan di bidang hukum, nyatanya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada massa kekuasaan Rezim Soeharto. Kuatnya rekayasa politik terhadap hukum di Era Reformasi ini mengakibatkan tidak berjalannya rule of law. Banyak kalangan melihat, bahwa kesan pemberantasan KKN di Indonesia bersifat tebang pilih. Indikasi ini merujuk pada kasus-kasus besar yang melibatkan elit-elit pemerintahan, mulai dari korupsi Dana Non Budgeter Bulog, kasus BLBI (badan likuidasi bank indonesia), kasus pembunuhan terahadap aktivis HAM (hak asasi manusia) Munir yang diduga melibatkan elit penguasa, dan yang paling gres yaitu pembagian dana DKP oleh Mantan Menteri Kelautan, Rokhimin Dahuri, terhadap sejumlah pejabat pemanangan pemilu presiden 2004 dan sejumlah anggota DPR Pusat, sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pembangunan bidang hukum di negara kita masih berorientasi politis ketimbang penegakan rule of law dan reformasi hukum yang selama ini didengungkan.
Dari sejumlah fakta di atas, orientasi pembangunan pascareformasi yang bertujuan melakukan perubahan ”total” terhadap berbagai mekanisme kebijakan sentralistik dan otoriter di Era Soeharto menuju demokratisasi yang bersifat partisipatif belum –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali— menemukan signifikasnsinya. Karena sampai sejauh ini, justru muncul wujud baru otoritararianisme dan sentralisme kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 25 tahun 2004 tentang Pembangunan Nasional bertujuan bahwa, “pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional.” Ini berarti, bahwa pembangunan nasional mengisyaratkan pembangunan yang berasas “demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan” dalam bentuk pelibatan segenap stakeholders dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Bahwa secara substantif, masyarakat sebagai salah satu elemen penting dalam setiap kebijakan pembangunan di samping pemerintah dan pihak swasta, memiliki hak yang sama untuk menentukan langkah pembangunan ke depan.
Akan tetapi, mengutip Islamy dalam tulisannya, Membangun Masyarakat Partisipatif masyarakat yang sejatinya sebagai salah satu komponen dalam development policy stakeholders yang seharusnya diberdayakan dan diikutsertakan dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembangunan), secara de facto, mereka hanya ditempatkan pada posisi periferial, atau sengaja dipinggirkan dan menjadi objek pembangunan.2
Padahal, masih Islamy, menegaskan bahwa di dalam rakyat yang seharusnya ditumbuhkan self sustaining capacity, bahkan secara sistematik telah dibuat sedemikian rupa oleh elit pembangunan menjadi selalu tegantung menunggu subsidi dari elit domestik maupun luar negeri (IMF, World Bank, ADB, dan seterusnya).3
Pembangunan, merujuk pada UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2004 –yang secara lebih spesifik mengatur tata cara pemerintahan daerah daam kaitannya dengan keberhasilan pembangunan desa— mengisyaratkan adanya partisipasi aktif masyarakat (stakeholders) dalam berbagai arah kebijakan pemerintah yang menyangkut pembangunan daerah, baik fisik maupun non-fisik. Dalam pengertian lain, pembangunan terkait erat dengan upaya memperbaiki kondisi keberdayaan masyarakat, yang diperluas menjadi peningkatan keberdayaan serta penyertaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, semangat UU Otonomi Daerah (Otoda) di Era Reformasi kali ini, memandang bahwa pelaksanaan keterlibatan masyarakat dengan titik tekan pada strategi yang melihat masyarakat bukan hanya sebagai obyek pembangunan, alih-alih, ia merupakan subyek yang membangun, yang menetapkan tujuan, yang mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses pembangunan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan pembangunan yang lebih diprioritaskan pada pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan menegakkan citra pemerintah daerah dalam proses pembangunan.
Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan di daerah merupakan isu sentral, sehingga menjadi urgensi daerah untuk memberikan ruang yang proporsional bagi masyarakat, baik dalam proses perencanan dan pelaksanaannya. Artinya, suksesnya penyelengaraan pembangunan tidak terlepas dari peningkatan akses dan perluasan ruang lingkup kewenangan serta partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas program pembangunan sesuai tingkat kebutuhan riil masyarakat tersebut.
Agar pembangunan dapat berjalan, seharusnya diletakkan pada prinsip yang berbasis lokalitas. Perubahan dalam konteks pembangunan dari model sentralisme atau top down tersebut, berpengaruh terhadap orientasi pembangunan. Di masa sekarang, terdapat orientasi baru pada pengurangan kemiskinan. Pembangunan harus ”pro-kaum miskin”. Di mana, daerah seharusnya mengembangkan strategi pengurangan kemiskinan melalui mekanisme kemitraan yang aktif dan partisipatif dengan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga sipil lainnya.
Dalam hal ini, pelibatan stakeholder dari kalangan publik dalam penyelenggaraan pembangunan merupakan kebutuhan yang semakin sulit diingkari. Pada era yang lebih terbuka dan bebas seperti sekarang ini harus dibuka ruang untuk pelibatan peran publik atau jika tidak kegiatan pembangunan akan menghadapi resiko kemacetan atau kegagalan. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan dapat merasakan sendiri betapa menentukannya peran publik atau masyarakat dewasa ini sehingga tanpa penerimaan dan dukungan yang memadai dari kalangan masyarakat rencana proyek tak bisa dijalankan. Seriusnya masalah pelibatan publik antara lain misalnya dapat dilihat dari kasus-kasus proyek pembangunan Bandara Internasional di Lombok Tengah yang berlokasi di Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah sampai saat ini masih “terkatung-katung.” Proyek yang sudah berjalan hampir 15 tahun sejak Rezim Soeharto masih berkuasa ini masih terus menyulut kontroversi dan konflik berkepanjangan antara pihak pemerintah-swasta vis a vis masyarakat, khususnya warga desa yang bertempat tinggal di sekitar areal pembangunan bandara tersebut..
Meski proses pembangunan proyek Bandara Internasional yang melibatkan PT. Angkasa Pura I sebagai donatur sekaligus pelaksana utama proyek tersebut yang rencananya bekerjasama dengan investor dari Internasional, seperti China dan Abu Dhabi sudah mulai berjalan, akan tetapi resistensi dari sejumlah warga masyarakat masih saja berlangsung.
Seperti publikasi yang dilangsir oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bahwa salah satu peristiwa yang kemudian bias dijadikan refleksi mendalam bagi pemangku kebijakan, di mana tepatnya pada hari Selasa 29 November 2005, Aparat gabungan (Polisi, TNI AD, dan Satpol PP – Satuan Polisi Pamong Praja) melakukan tindak kekerasan terhadap para petani penduduk desa Tanak Awu kecamatan Pujut kabupaten Lombok Tengah provinsi Nusa Tenggara Barat yang mempertahankan lahan sawahnya dari upaya pengerukan dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan bandara internasional.4
Pada tahun 2006 Demonstrasi Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (Serta-NTB), Rabu 25 Januari 2006 pukul 10.00 WITA, di depan kantor DPRD Lombok Tengah diserang segerombolan preman. Menurut Sekjen Serta NTB, Wahidjan, penyerangan itu mengakibatkan sedikitnya 18 orang luka-luka, 2 orang diantaranya luka parah dan saat ini berada di Rumah Sakit Umum di Kota Mataram. Para petani yang berjumlah sekitar 1300 orang menuntut kepada pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi dan penangkapan terhadap petani Tanak Awu. Mereka juga menuntut agar pemerintah memberikan tanah yang selama ini dipertahankan petani yang ingin diambil alih PT Angkasa Pura I untuk pembangunan bandara internasional. Petani juga meminta hak-haknya dilindungi. Demontrasi berawal dari kantor Bupati Lombok Tengah kemudian massa menuju kantor Polres dan berakhir di halaman gedung DPRD Lombok Tengah. Namun ketika massa aksi sampai di kantor DPRD sekitar pukul 12.30 WITA, secara mendadak datang segerombolan orang yang mengaku massa pro pembangunan Bandara Internasional di Tanak Awu. Gerombolan yang mengatasnamakan PAM Swakarsa yang berjumlah sekitar 200 orang itu datang tanpa keterangan apapun, dan langsung menyerang massa petani yang sedang melakukan demonstrasi. Para penyerang menggunakan senjata tajam, batu dan tongkat memukuli massa petani dan melakukan intimidasi agar petani membubarkan diri. Sementara itu aparat kepolisian dan TNI yang berada dilokasi kejadian tidak melakukan tindakan pengamanan yang optimal. Aparat terkesan membiarkan kejadian tersebut berlangsung di depan matanya sendiri. Padahal seharusnya aparat mengamankan jalannya demonstrasi dan melindungi para demonstran yang melakukan aksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Wahidjan menengarai penyerangan dilakukan secara terorganisasi. “Kami menduga penyerangan tersebut terkait dengan rencana pembangunan bandara internasional di Tanak Awu, Lombok Tengah yang selama ini ditentang oleh petani,” ujar Wahidjan. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) memandang bahwa tindakan penyerangan tersebut secara nyata telah melangar hak-hak kebebasan sipil paling mendasar yaitu kebebasan untuk berkumpul, berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Sekjen FSPI Henry Saragih menegaskan, “Aparat seharusnya bertanggung jawab terhadap keselamatan para petani yang melakukan aksi damai dan sudah sesuai dengan prosedur demonstrasi. Aparat harus segera menangkap dan menyelidiki para penyerang.” Atas tindakan penyerangan dan intimidasi yang dilakukan PAM Swakarsa tersebut, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebagai payung organisasi perjuangan kaum tani di tingkat nasional dari Serta NTB mendesak Presiden RI untuk segera memerintahkan Kapolri mengusut tuntas dan mengambil tindakan tegas atas pelaku penyerangan. Selain itu, FSPI menuntut Komisi III DPR RI untuk segera menekan pemerintah dan POLRI melakukan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang memerintahkan penyerangan dan pihak yang secara langsung terlibat penyerangan. Para petani sudah sejak lama menuntut hak-hak mereka atas tanah pertaniannya di Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB. Mereka dipaksa meninggalkan lahan garapannya karena pemerintah bersama dengan PT Angkasa Pura I akan membangun bandara internasional di lahan yang digarap oleh para petani. Tanak Awu merupakan lahan konflik antara petani dengan Pemerintah dan PT Angkasa Pura I semenjak masa orde baru. Konflik itu, menurut FSPI, selalu merugikan petani karena prosesnya penuh dengan intimidasi dan teror. Sampai sekarang petani memilih untuk mempertahankan lahan garapannya kendati pemerintah sudah berulangkali melakukan tindakan penggusuran.5
Dari kasus ini terlihat bahwa ada tuntutan perubahan kebijakan yang datang dari masyarakat, hal ini disebabkan karena aktor-aktor (publik dan privat) yang terlibat dalam merealisasikan tujuan bersama itu saling beradu argumentasi mengenai suatu masalah kebijakan tertentu atas dasar sistem kepercayaan yang ada pada mereka. Kegiatan ini adalah inti dari apa yang disebut oleh Sabatier sebagai Koalisi Advokasi, yang merupakan sintesis dari nilai-nilai yang ada pada pendekatan atas-bawah dan pendekatan bawah-atas yang didasarkan atas sistem kepercayaan (belief system). Dan kenyataan di lapangan memang banyak bermunculan koalisi advokasi dan pihak-pihak (policy subsystem) untuk mempengaruhi kebijakan ini, karena memang kebijakan merupakan area kegiatan yang sangat mungkin bagi birokrasi, dunia usaha dan masyarakat selaku aktor untuk berinteraksi. Interaksi itu dapat berupa kerjasama (kolaborasi), sharing kepentingan bahkan boleh jadi persaingan atau kompetisi kepentingan. Karena memang isu kebijakan merupakan produk atau wahana dari adanya perdebatan yang tidak hanya sarat dengan muatan masalah atau ancaman melainkan juga peluang-peluang.6
Kenyataan proses implementasi Proyek Pembangunan Bandara Internasional Lombok Tengah tersebut cenderung menonjolkan perilaku aktor-aktornya. Perilaku yang belum sejalan semangat demokratisasi dan pelibatan publik. Artinya, sejauh ini, orientasi pembangunan dalam perspektif pembangunanisme yang “berideologi” pertumbuhan (growth) ala Rostow yang melihat bahwa indicator keberhasilan suatu negara dalam bidang social-ekonomi adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi makro suatu Negara mengalami pertumbuhan. Pengandaian ini “mengabaikan” factor masyarakat sebagai salah satu entitas penting dalam proses pembangunan karena model kebijakan yang digunakan bersifat top-down, yang memperanggapkan suatu model kebijakan yang seragam tanpa memperhatikan kearifan lokal (local genus). Pada titik ini, problem kesejahteraan atau kemakmuran secara ekonomis dan social pada tingkatan mikroskopik menjadi terabaikan. Sehingga wilayah-wilayah yang paling lolal, seperti Lombok Tengah misalnya, belum tentu memperoleh kue pertumbuhan itu sendiri yang senyatanya menumpuk di Pusat (Jakarta). Tentu saja, hal ini mencerminkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip pelaksanaan kebijakan serta penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Titik tolak dari kebijakan pembangunan seharusnya berupaya mengamini kearifan lokal yang ada sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. Istilah “kearifan lokal” menunjuk pada sekian pemahaman, pemikiran, perilaku, keinginan, keyakinan, pandangan dunia (world view), karakteristik budaya, dan berbagai entitas nilai yang melingkupi masyarakat di mana mereka berada dan mengada. Artinya, kearifan lokal dalam setiap proses pembuatan kebijakan berarti sebuah upaya pelibatan masyarakat secara aktif sebagai upaya sadar pihak pemerintah untuk memahami apa yang diinginkan masyarakat dalam membangun kehidupannya.
1 Ideologi yang memuat paradoks blame the victims sebetulnya telah semenjak era Orde Baru dipraktikkan. Dalam dasawarsa 1980-an, contohnya, kebijakan pembangunan sektor agraria di negeri kita, yang dijadikan sebagai contoh keberhasilan "Revolusi Hijau", ternyata sebenarnya telah banyak memakan korban. Justru di tengah puncak keberhasilan "revolusi" itulah jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar menyusut, dari sekitar 11 juta pada tahun 1980 menjadi sekitar 8,7 juta pada tahun 1983; proporsi rumah tangga di wilayah pedesaan yang hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 hektar telah meningkat dari sekitar 27 persen pada tahun 1960-an menjadi sekitar 43 persen pada tahun 1980-an, tepat ketika produksi beras rata-rata naik 5 persen per tahun dan swasembada beras tercapai pada tahun 1984 (White, 1986). Dampak seperti itu disebabkan pertama, "Revolusi Hijau" itu sendiri secara intrinsik lebih menguntungkan petani besar yang mampu memanfaatkan the economies of scale (lihat al, Lappe dan Collins, 1986; Feder, 1983). Kedua, khususnya di Indonesia, "revolusi" itu dijalankan menurut logika rezim bureaucratic polity yang mengakomodasi kepentingan untuk memelihara dukungan elite desa. Akibatnya, program intensifikasi pertanian tersebut lebih menguntungkan segelintir individu yang menjadi aset politik penguasa, yakni para elite politik desa yang bekerja sama dengan pemilik modal dari kota-kota besar, telah mendominasi lahan-lahan pertanian (lihat al, Mortimer, 1985; White, 1989). Akibat lebih jauh adalah muncul pemusatan pemilikan lahan, di mana pada era Orde Baru diperkirakan sekitar lebih dari 50 persen lahan pertanian dikuasai oleh kurang dari 10 persen petani (lihat al, MacAndrews, 1986; Siahaan, 1983; Kartodirdjo, 1988). Di lain pihak, berjuta-juta petani kecil telah mengalami transformasi, dari individu yang memiliki sendiri alat-alat produksi pertaniannya, menjadi "komoditas" yang menjajakan tenaganya kepada para pemilik modal di berbagai sektor, terutama di perkotaan. Namun dengan bekal pendidikan dan keterampilan terbatas, banyak di antara para korban "Revolusi Hijau" tersebut terpaksa memasuki sektor informal yang sering kali mengganggu kenyamanan kelas menengah perkotaan, seperti pedagang kaki lima, pengemis, pengamen, dan pekerja seks-dan karena itu pula terus-menerus menjadi sasaran dan korban berbagai kebijakan penertiban aparat di perkotaan. Tentang ini, baca artikel Dedy N. Hidayat, “Ideologi Pembangunan "Blame the Victims", Kompas Cyber Media (KCM), Rabu, 28 April 2004. www.kompas.coo.id.. Ulasan lebih detil tentang “proyek” Revolusi Hijau bisa dibaca dalam Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004: hal. 69-110.
2 Lihat M. Irfan Islamy, “Membangun Masyarakat Partisipatif”, dalam Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Universitas Brawijaya Malang, Vol. IV, No. 2, Maret-Agustus 2004, hal. 3.
3 M. Irfan Islamy, Ibid.
4 Tentang kasus tersebut bisa dibaca dari hasil publikasi Perhimpunan Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengenai “Aksi Merebut Kedaulatan Pangan”, 6 April 2006, dengan mengakses situs PBHI, www.pbhi.or.id.
5 Lihat, Publikasi Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) tentang “Aksi Petani di Lombok Tengah, NTB,” 26 Januari 2006. www.fspi.or.id
6 Sabatier, P., “An Advocacy Coalition Framework of Policy Change and Policy-Oriented Learning Therein”, Policy Sciences, 21, 1988, pp. 129–168.

2 comments:

  1. Boss, komentar yg masuk ngak usah dimoderasi kenapa? Komentator jadi ngak bisa langsung melihat komentarnya keluar...

    Oh ya, ini terkait dengan Pembangunanisme. Aq sepakat dgn kritik2 ttg pembangunanisme. Tapi bisa ngak dibuat ato disampaikan tentang tulisan yang lebih menawarkan solusi yg aplikable? Biar ngak berisi kritikan tok...

    ReplyDelete
  2. wah ntah aku yang gaptek ato gmn, tp kalo gak dimoderasi, comment-nya gak bisa muncul2...
    mungkin anda tau cara nya? Trims
    oya, bukan sekedar buat apologi aja, itu masih baru bagian pengantar saja, belum sepenuhnya selesai. tunggu aja hasil penelitianku selesai...ini terkait dengan kebijakan pembangunan, khususnya di pulau Lombok. maaf, untuk saat ini belum bisa kasih solusi aplikabel yang anda inginkan ...

    ReplyDelete