Friday, June 4, 2010

Wajah Buram Media Sebagai Alat Pemenangan Pilkada

Oleh: Astar Hadi**

Hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada) di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang menggelar pemilihan Gubernur (Pigub) dan sejumlah Pemilihan Bupati (Pilbup) secara serentak mulai memperlihatkan antusiasme dan partisipasi massa di berbagai Daerah. Gejolak perang visi-misi, program kerja, aksi politik dan haru biru pencitraan para kandidat mulai menunjukkan taringnya.

Tidak ketinggalan, media massa, sebagai salah satu sumber “kampanye” dan informasi penting pilkada bagi calon dan masyarakat, tidak kalah “garang” mengejar liputan-liputan pesta demokrasi di Daerah ini. Di samping merupakan momentum adu jualan janji politik, berita Pilkada sekaligus ajang “bisnis” informasi cukup laris bagi media dan para penikmatnya. Bisa dipastikan, arus lalu-lintas informasi dalam “pasar” media, khususnya di Kalteng, mengacu pada kondisi ini.

Gelar pesta rakyat yang rencananya berlangsung pada 5 Juni 2010 mendatang mengisyaratkan kuatnya pertarungan opini, prediksi-prediksi, isu jual beli suara (money politic), kemungkinan kampanye-kampanye hitam (black campaign) yang dialamatkan pada calon-calon tertentu. Fenomena ini adalah hal “lumrah” yang hampir selalu terjadi tiap kali Pilkada berlangsung.

Dalam konteks media, warna-warni demokrasi prosedural tersebut tentunya menjadi “barang dagangan” yang, di satu sisi, bertujuan memberikan informasi “apa adanya” terkait konstruk sosial-politik yang terjadi di suatu Daerah, sekaligus sebagai ajang penyadaran politik masyarakat untuk menilai mana layak dipilih atau tidak. Di sisi lain, dinamika politik semacam ini berkorelasi positif dengan logika bisnis media yang, pada titik tertentu, menguntungkan secara finansial. Rating, sebagai salah satu tolak ukur utama dalam keberlangsungan (survive) bisnis ini, meletakkan intensitas tinggi-rendahnya jumlah pembaca sebagai keniscayaan mutlak. Semakin tinggi minat pembaca semakin tinggi pula jumlah pemasang iklan di media tersebut.

Artinya, dominasi berita-berita politik –dalam hal ini Pilkada— memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi semakin tingginya pemasang iklan dan meningkatnya jumlah pembaca mengingat tingkat kedekatan (proximity) antara calon, isu-isu dan fakta-fakta yang diangkat bersifat faktual dan bersentuhan secara langsung dengan sasaran media.

Bak cendawan di musim penghujan, semakin merajalelanya bisnis media sebagai akibat laju teknologi informasi yang supercepat telah menjadi tempat pertarungan wacana dan opini publik yang paling berpengaruh dalam mengkonstruksi pikiran publik. Kasus Bank Century merupakan contoh paling kentara betapa media mampu menciptakan “realitas” politik yang mempengaruhi desain otak khalayak untuk mengikuti ke mana arah “pikiran” media itu. Media, dengan demikian, adalah mesin budaya baru yang memproduksi dan mengkonstruk “ideologi” masyarakat.

Media, tidak saja berfungsi informasi, tontonan atau hiburan semata, akan tetapi ia telah menjadi “kehidupan” yang mengatur hampir segala aspek keseharian, mulai dari urusan “baju apa yang harus saya pakai,” “jodoh yang pas buat saya” sampai pada persoalan “siapakah kandidat pemimpin yang harus saya pilih!”

Pun demikian, otonomi media massa sepertinya telah menjadi lokus sekaligus fokus “kesadaran budaya” manusia Indonesia untuk memintal harapan, optimisme, akan proyeksi hidup ke depan yang lebih baik. Melalui media pula, kita bisa melihat keputusasaan, pesimisme, tentang benang kusut kehidupan yang diporak-porandakan oleh persoalan ekonomi, sosial dan politik, yang semakin hari, semakin tidak menentu.

Sekian banyak peristiwa kelam, mulai dari pemiskinan sistemik yang dialami seorang bayi tak berdosa di Surabaya, degradasi sosial kapital oleh karena “premanisme” Negara terhadap hak (bertahan) hidup masyarakat kecil yang diambil atas nama “pembangunan” mercusuar ekonomi, sampai pada persoalan imagologi (pencitraan) kampanye politik yang aduhai dengan bumbu-bumbu “kecap selalu nomer 1”, menjadi hal biasa yang kita dengar dan tonton.

Pada posisi ini, media telah “berhasil” membangun kritisisme dan antusiasme partisipatif masyarakat dalam melihat gejala-gejala pembusukan politik (political decay) yang sering kita temukan dalam setiap adegan politik di tingkat Nasional dan Daerah.

Mewaspadai Pers dalam Pilkada

Akan tetapi, gejala semakin sengitnya pertarungan bisnis media akhir-akhir ini tidak melulu soal iklan, logika rating dan bagaimana meraih pembaca sebanyak-banyaknya. Ada kecenderungan kuat, bisnis ini menjalar pada relasi kuasa dalam menguasai pertarungan wacana dan menggenggam opini publik untuk tujuan-tujuan tertentu; memenangkan calon tertentu dalam Pemilu. Tentu saja, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi industri media dalam menjaga independensinya dari “pelacuran” kode etik jurnalistik.

Media sebagai arena pertarungan dan pendominasian wacana, dimana, antara kekuatan sosial-politik yang ada saling mempengaruhi, saling berlomba untuk mempengaruhi pendapat publik guna pemenangan suara pada pemilu. Dalam hal ini, media cetak dilihat sebagai perpanjangan tangan kekutaan politik tersebut.

Kepentingan media yang kongkalikong dengan kandidat tertentu dalam Pilkada sangat mungkin terjadi. Indikasi ini, menurut hemat penulis, memenuhi beberapa unsur yang menjurus pada praktik-praktik pemenangan kandidat di salah satu Daerah di Kalteng. Strategi penguasaan opini dilakukan melalui rekayasa sistemik media setempat yang secara implisit tergambar dalam pemberitaannya. Media bersekongkol dengan elit kepentingan untuk, meminjam istilah Noam Chomsky –kritikus media dari Amerika Serikat, mengontrol pikiran publik (control the public mind). Media mengontrol apa yang dirasakan, dipikirkan dan yang disikapi publik agar tetap berpihak terhadap tokoh politik tertentu.

Media Pemenangan

Belum lama ini, sebuah media cetak di Kalteng, entah disengaja atau tidak, telah melakukan “kecerobohan” prinsipil dalam pemberitaannya. Jika ditilik dari teori analisis teks media, terdapat kejanggalan yang sangat mencolok dan menyalahi “aturan main” logis sebuah pemberitaan. Ada indikasi pengambilan “suara” pemilih secara diam-diam (silent take over) melalui disinformasi opini oleh tokoh publik. Di mana, antara isi berita dan gambar yang dimunculkan sama sekali tidak sinkron dan cenderung kontradiktif. Hal ini sangat mengecoh dan menguntungkan kandidat yang diusung oleh salah satu partai politik (parpol) besar.

Disebutkan dalam judul besar Koran tersebut bahwa, “Pemilukada, Bupati Imbau Pilih yang Berkualitas.” Anehnya, justru gambar/foto yang ditampilkan menunjuk pada seorang calon yang akan bertarung di pilkada lengkap dengan gambar partai pengusungnya. Tagline yang menjelaskan arti gambar tertulis, “salah satu baliho bacalon bupati yang terpasang di sudut jalan.” Dalam isi berita juga terdapat kalimat yang mengatakan, “kita ini Negara demokrasi, sudah sewajarnya kalau pilihan kita belum tentu sama dengan yang lainnya. Namun saya berharap masyarakat cerdas dalam memilih pemimpin yang akan datang.”

Aristoteles, filsuf besar Yunani, secara sederhana menjelaskan bahwa hakikat kebenaran mengandung unsur logika yang kuat. Dalam contradictio interminis-nya, Aristoteles menegaskan bahwa tidak ada kebenaran dalam dua unsur yang berseberangan, kontradiktif dan tidak memiliki ikatan/hubungan logis. Tidak mungkin sebuah pernyataan A berarti B, begitupun sebaliknya. Sebagai contoh: “di luar terjadi hujan, maka hukum logisnya berarti di luar basah. Jika ada pernyataan yang menyatakan bahwa di luar kering, berarti tidak benar dan tidak logis.” Jadi, hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dianggap benar jika keduanya memiliki hubungan logika yang kuat dan tidak saling menafikan

Jika ditilik dari teori analisis teks media, contradictio interminis Aristoteles tersebut inheren dengan terjadinya pengarahan opini/pikiran pembaca untuk mencoblos salah satu calon. Dalam framing (pembingkaian) teks media, beberapa unsur terkait teknik pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pengambilan sudut pandang (angle), pemunculan gambar/foto yang dilakukan surat kabar tersebut mengokohkan adanya kemungkinan “koalisi” mutualis antara sumber berita dan media penyampaian pesan tentang isi berita yang dimunculkan.

Yang aneh, pemunculan antara isi berita yang bertujuan mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas dan demokratis dengan gambar yang ditampilkan secara implisit merupakan bentuk pemihakan dan pengarahan terhadap seorang kandidat yang kebetulan terdapat dalam gambar tersebut. Sementara wajah sumber berita yang menyampaikan pesan tersebut justru tidak ada. Di sini, antara esensi berita dan gambar yang ditampilkannya selain tidak perlu, tidak pula ada keajegan (keserasian) makna secara prinsipil. Mengapa bukan wajah sumber berita yang dipampang? Mengapa justru wajah Kandidat dan Parpol pengusungnya yang ada? Masyarakat akan bertanya ada apa dibalik semua ini?

Tidak layak sebuah pesan yang berisi ajakan memilih dengan hati, tetapi dibarengi “pengarahan” yang secara tidak langsung mengajak khalayak untuk memilih kandidat yang ada di foto/gambar tersebut. Seharusnya, wajah sumber berita yang sekaligus pemangku pendapat (opinion leader) justru lebih tepat untuk dimunculkan disamping karena koheren dengan isi berita, juga berpengaruh positif dan signifikan dalam mengkonstruk pikiran pembaca.

Tapi akan berbeda maknanya jika pajangan semua wajah kadidat yang dimunculkan. Selain memenuhi asas keberimbangan, esensi dari judul berita yang bersifat mengajak itu lebih match dan memenuhi unsur kebenaran logisnya. Dalam konteks ini, tentu saja independensi media lebih terlihat.

Mana mungkin akan tercipta pilkada yang demokratis, bebas, rahasia, jujur dan adil (jurdil), jika yang dimaksud “pemilih cerdas yang memilih pemimpin berkualitas” justru dengan cara-cara yang tidak demokratis. Adalah sebuah ironisme kebebasan pers manakala mencederai kebebasan masyarakat untuk memilih sesuka hatinya melalui pengaburan fakta-fakta demi kepentingan politik elit tertentu.

Pemilihan judul berita, pemilihan gaya bahasa yang khas, penampilan gambar, memang merupakan hak prerogatif surat kabar yang bersangkutan. Namun, sesuai dengan prinsip jurnalistik, jangan sampai judul berita maupun gambar yang dihadirkan menghilangkan dan atau mengaburkan makna kebenaran sebuah fakta. Karena dalam prinsip kerja (code of conduct) media massa, persoalan netralitas pemberitaan (cover both side), faktualitas (factuality), bersifat mengikat dan fardu ‘ain alias wajib. Mari kita memilih dengan benar-benar cerdas ! Wassalam….

**Astar Hadi adalah Peniliti pada INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik & Kebijakan), Malang Jawa Timur dan Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies and Social Scieces)

No comments:

Post a Comment