Sunday, June 27, 2010

Warna "Islam" di Putaran II Loteng

Oleh: Astar Hadi*

Sejak zaman dahulu, demikian Karl Marx, agama dan pendeta selalu punya kecenderungan mengintegrasikan diri ke dalam struktur kekuasaan. Itu pula sebabnya mereka tidak peka terhadap kesewenangan kekuasaan para raja, yang bagi Marx, dianggap menindas rakyat.
Betapa pun telaknya serangan Marx tersebut, pergolakan politik di Thailand yang menumbangkan kekuasaan zalim Thaksin ketika itu juga dimotori oleh para biksu (pendeta) yang muak dengan arogansi (kapitalisme) kekuasaan. Sementara di Indonesia, Seoharto adalah salah satu contoh klimaks kemarahan rakyat bersama para intelektual dan tokoh-tokoh agama yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim otoriter Orde Baru (Orba) yang kokoh.
Bahwa teologi “politik” para Ulama –dalam konteks Nasional— dalam tesis Marx tidak sepenuhnya benar. Relasi kuasa antara Negara dan Agama secara relatif tidak dalam posisi “saling menyerang”, tidak pula “saling mendukung.” Yang ada, kedua ranah kekuasaan ini memposisikan diri dengan “malu-malu kucing” untuk “tidak” saling mengganggu otoritasnya. Benarkah demikian?
Menilik pada konstelasi politik pemilihan kepala Daerah (Pilkada) 2010 di Lombok Tengah (Loteng), “warna islam” relative masih kental. Poros kekuatan tokoh agama di bagian tengah Pulau Seribu Masjid ini mengisyaratkan masih kuatnya peran kuasa Tuan Guru –gelar ulama di Lombok—dalam membingkai “masa depan” masyarakat. Bahwa transformasi teologi memiliki peran signifikan dalam proses politik –dalam hal ini Pilkada.
Akan tetapi, transformasi teologis dalam kekuasaan politik di Loteng tidak serta-merta membawa nuansa “agamis” dan “bermoral” bagi wajah perpolitkan kita. Yang paling mungkin, menurut hemat penulis, bisa terjadi “pergolakan” pragmatisme cukup serius dalam “pagelaran” drama Pilkada yang berlangsung. Alih-alih memberikan pendidikan politik yang rasional, cerdas, dan santun, justru tidak menutup kemungkinan akan muncul klaim-klaim kepentingan “islamisme” sesaat dari setiap kubu/calon yang bertarung.
Indikasi ini semakin mencuat merujuk pada berbagai isu lokal yang belakangan muncul, terutama sekali setelah dua kubu pasangan, SALAM (TGH. L. Gede Wirasakti) vis a vis MAIQ MERES (H. Suhaeli Thohir Fadli-H. Lalu Normal Suzana), yang kemungkinan besar lolos ke putaran II. Paling tidak, kulminasi puncak dari gunung es strategi pemenangan antara keduanya tidak hanya akan “habis-habisan”, lebih jauh, ada upaya “pengkotak-kotakan” lumbung-lumbung suara pemilih ke dalam logika pencitraan dan propaganda islam “ini-itu”.

Putaran Dua “Islam”
Geliat yang diperlihatkan SALAM dengan menempati perolehan suara tertinggi pada pemungutan suara, 7 Juni 2010, yang lalu, bagi sebagian kalangan mungkin cukup mengejutkan. Tapi, kalau dianalisis lebih dalam, kemenangan itu terbilang sangat rasional dan wajar jika melihat “kekuatan” NW (Nahdhatul Wathan) yang notabene menjadi basis suara SALAM di loteng cukup signifikan. Lebih-lebih, momentum ishlah besar-besaran antara NW Anjani dan Pancor yang melibatkan Gede Sakti beberapa waktu yang lalu, merupakan “tonggak” bersatunya simpul-simpul kekuatan ormas ini ke dalam satu gerbong. Sementara enam pasangan calon yang lain, minus MAIQ MERES dan JARI (incumbent), “tidak memiliki” basis massa yang cukup signifikan kecuali “hanya” melalui perolehan suara yang bisa dibilang sporadis dan tidak terorganisasi dengan jelas (silent voters).
Baik SALAM maupun MAIQ MERES merupakan dua tokoh ”berpengaruh” yang memiliki basis akar rumput (grass roots) yang terbilang mengakar dan ideologis sebagai massa NW dan jamaah Yatofa/Bodak yang notabene sama-sama cukup besar. Kedua kekuatan ini “sama-sama” merupakan spektrum islam di Loteng yang, mau tidak mau, dianggap sebagai salah satu faktor utama yang meloloskan mereka ke putaran kedua. Meski pasangan calon wakil mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, khususnya Normal Suzana yang cukup popular dan “disukai” masyarakat di Loteng bagian selatan.
Mengangkat kembali puing-puing kekuatan “islam” yang berserakan oleh karena “kompromi” politik tidak lah salah, tapi sering kali tidak bertahan lama. Karena urgensi kekuasaan –dalam hal ini politik perebutan suara— adalah sebatas, “who gets what”, lebih bersifat prosedural politik ‘siapa mendapatkan apa’ ketimbang urgensi substansial demokrasi yang berorientasi jangka panjang dan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Logika ini tentunya merupakan preseden yang kurang baik bagi terciptanya kesadaran kritis dan pembangunan masyarakat Loteng ke depan.

Represi Wacana “Islam”?
Ketika sebuah wacana –dalam hal ini Islam— memasuki ranah politik, ia bisa bermakna ganda dan cendrung manipulatif (pseudo image). Di satu sisi, ia merupakan sebuah “alat” komunikasi persuasif, tetapi ia pun bisa menjadi “alat” komunikasi represif. Yang pertama, mengandaikan sebuah komunikasi nilai, semangat, dan prilaku keberislaman sebagai “sarana” untuk melegitimasi eksistensi pemangku kepentingan sebagai sosok yang “layak” mendapatkan pengakuan publik. Sebaliknya, yang kedua, seseorang yang berkepentingan untuk mendekati massa memposisikan islam-nya sebagai “sarana” kontrol menyeluruh terhadap upaya-upaya menguasai sejumlah orang dengan klaim-klaim “kebenaran” sepihak.
Logika terakhir di atas, seringkali terjadi di setiap upaya menjaga atau mengontrol massa yang besar untuk “tunduk” dalam satu bahasa tunggal wacana yang dimainkan oleh setiap orang yang berkepentingan terhadap kekuasaan. Jika menilik pada fenomena pilkada putaran II di Loteng yang melibatkan dua kekuatan besar “tokoh” Islam yang secara tersirat “bersandar” pada dua ormas besar (NU dan NW), maka ada kemungkinan “semangat” ini memasuki ranah represi wacana parokial “islam mana yang berhak” berkuasa di bumi Tatas Tuhu Trasna ini.
Bahwa wacana islam yang seharusnya bertujuan menjaga harmonisme keberagamaan (rahmatan lil alamin), dalam politik, ia bisa berubah menjadi pagelaran klaim kebenaran sepihak melalui anarkisme verbal yang memaksa setiap orang dalam ruang publik untuk memilih “yang ini” atau “yang itu”. Justifikasi kelayakan diri seorang calon tidak dinilai melalui argumentasi rasional komunikasi, program kerja atau kredibilitas dan kapabilitasnya, akan tetapi dengan “mengatasnamakan” citra dirinya dalam salah satu “islam” kepada publik.
Efek domino dari wacana reprsif semacam ini, jika muncul, bisa merasuki setiap tubuh social dan berimbas pada terjadinya “perang” klaim dan konflik horizontal dalam masyarakat tertentu secara berhadap-hadapan (vis a vis).
Adalah hanya dengan semangat yang menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi moralitas politik, proses demokratisasi bisa berjalan dengan baik dan memperoleh legitimasi yang kuat. Untuk itu, transformasi teologi dalam politik ke depan selayaknya mengedepankan manifestasi nilai-nilai islam sebagai “payung” kesadaran bersama untuk membina silaturrahim politik jangka panjang daripada “memaksakan” agregasi kepentingan sesaat yang notabene tidak hanya tidak layak untuk citra positif seorang calon, lebih-lebih, tidak kondusif untuk pembangunan Loteng yang cerah ke depan. Mari berpolitik dengan santun.

* Astar Hadi adalah penanggung jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang dan peneliti pada INDOMATRIK (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur.

No comments:

Post a Comment