Friday, October 28, 2011

Sebuah Manifesto: "Menanti Pemimpin Muda"

Mengapa pemimpin muda?! Pertanyaan ini tidak diposisikan dalam sebuah pertanyaan, akan tetapi ia merupakan sebuah manifesto, sebuah jawaban, sebuah keharusan, tentang masa depan bangsa, Indonesia! Kita, generasi muda, sudah saatnya untuk beranjak dari kungkungan konservatisme sebuah bangsa yang dipimpin oleh rezim “tua” yang tidak lagi punya cukup akal untuk merangkul beratus juta ummat yang notabene telah “melampui” definisi masa lalu yang membunuh masa depan; kaum tua dan keangkuhan patriarkalnya ! apa hal?

Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama, semangat kemerdekaan! Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.

Kata ‘kemerdekaan’, sebuah manifesto yang tidak akan pernah selesai bagi bangsa, bagi masyarakat, bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Untuk itu, motor penggerak kemerdekaan harus selalu berganti mesin, selalu dimodifikasi, agar tetap dinamis untuk menggerakkan speed, power and acceleration of democracy. Di antara beratus juta rakyat Indonesia pada kenyataannya, telah muncul “spare part-spare part” baru yang siap mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi sanggup melewati sirkuit-sirkuit kehidupan yang berkelok-kelok dan terjal.Inilah sebuah zaman di mana kompleksitas kehidupan sedang berjalan. Menegakkan tiang kemerdekaan tidak lagi berarti kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, yang justru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pemberangusan, penghancuran, penindasan terhadap realitas yang lain (otherness), perbedaan dan diversitas (diversity).

Kemerdekaan yang seutuhnya adalah kemerdekaan yang mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang selalu berimajinasi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda. Tentu saja, kemerdekaan semacam ini mungkin asing bagi mereka yang sudah sepuh (kalau boleh disebut demikian), tapi tidak bagi yang masih muda.

Kekuasaan? Tanya saja yang muda-muda. Kalau yang yang tua seringkali terseret dalam dua opisisi binner makna kekuasaan; hitam-putih. Yang tua hanya berpikir satu di antara dua jalan kebenaran. Sejarah membuktikan ini. Bagi mereka para sesepuh, kekuasaan berarti berkuasa untuk kepentingan satu pihak yang harus benar, yang harus dijaga, yang harus dimenangkan. Perbedaan pandangan dianggap menyesatkan, perbedaan ideology itu subeversif dan harus dilenyapkan. Tidak ada jalan tengah.

Masih ingat kah kita bagaimana kejinya Undang-Undang Subversi di era Orde Baru yang menjadi tameng kebenaran bapak-bapak kita untuk melenyapkan para aktivis, menghalalkan premanisme Petrus (penembak Misterius) untuk melabrak sipa saja yang dianggap mencoreng muka Bapak tanpa melalui proses hukum yang jelas.

Di era reformasi, setali tiga uang. Alias sama saja. White collar crime mendominasi panggung politik kita. Dengan gaya baru, tapi lebih halus, fatwa sesat terhadap terhadap keyakinan berbeda dilembagakan sedemikian rupa. Pembunuhan terhadap munir adalah bentuk “terindah” dari terror secara fisik dan mental terhadap berbagai aktifitas yang merongrong wibawa pemerintah.

Pembelokan sedemikian rupa terhadap prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 45 dengan munculnya “ayat-ayat” hukum yang mentoleransi kolonialisme melalui UU yang membebaskan pihak asing menjarah apa saja yang dimiliki bangsa ini. Lihat saja apa yang terjadi dengan kontrak-kontrak karya pejabat kita dengan para bule itu, yang alih-alih menguntungkan, justru menyeret kita semakin jauh dari kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bagaimana dengan yang muda? Kekuasaan bagi mereka bukan kekuasaan yang terjerembab dalam logika oposisi biner; mereka adalah generasi multitasking. Sebuah generasi yang memiliki seabrek ide dan kreativitas untuk ditelorkan. Sebuah generasi yang bisa melakukan berbagai aktivitas beragam di saat yang sama. Yang muda lebih memahami kenekaragaman karena mereka sudah terbisa menghadapinya, dan yang pasti mereka lahir di saat multiplisitas itu memang sedang berjalan. Idealisme mereka adalah idealisme muda yang penuh spirit, penuh kreatifitas, penuh kegairahan, selalu mengalir, tidak kaku, idealisme yang terbuka terhadap berbagai dialektika, yang terpacu dengan beraneka tantangan. Itulah dunia generasi muda. Semangat mereka adalah semangat mengejar impian menuju Indonesia Baru.

No comments:

Post a Comment