Friday, January 11, 2013

Hantu Survei dan para “Cheerleaders”


Oleh: Astar Hadi*

Perjalanan politik di NTB dalam proses demokratisasi ini tengah mengalami kemunduran (setback), kalau tidak bisa disebut, tenggelam. Paling tidak, hal itu yang sementara penulis tangkap dari sejumlah komentar “naïf” nir-intelektual di diskusi bertema “Outlook Democration” yang diselenggarakan di kantor DPD Partai Demokrat NTB yang melibatkan sejumlah tokoh elit partai politik (parpol) NTB dan sejumlah elemen masyarakat lainnya.
Diskusi yang seharusnya membahas bagaimana ideal-ideal demokrasi politik NTB ke depan justru terjebak pada pandangan-pandangan pragmatik-oportunistik “jangka pendek” elit parpol yang “miskin” ruh gagasan dan mengalami impotensi imajinasi intelektual yang mutlak dimiliki para pemangku jabatan strategis. Sangat sedikit –jika tidak bisa disebut tidak ada— nuansa dialektika argumentasi berupa pengayaan konsep-konsep yang membuka horizon imajinatif bagi pembangunan nilai-nilai sosial-politik di masa depan.
Merangkum sejumlah pendapat yang mengemuka, penulis menarik satu benang merah penting bahwa gagasan-gagasan ideal politik mengalami metamorfosa positivistik dan mekanistik pada titik di mana para politisi menilai demokrasi “hanya” sebagai ajang kontestasi perebutan suara dan kalkulasi monolitik pada sejauhmana mereka menjangkau masyarakat sebagai objek kuasa. Ketimbang menempatkan demokrasi sebagai ruang yang menghadirkan subjek-subjek transformasi dan emansipasi politik, keberadaan konstelasi politik kita dewasa ini lebih merupakan pagelaran “karpet merah” demokrasi procedural lima tahunan yang menghadirkan euforia sesaat.
Menyorot lebih jauh. Mencermati dan memahami perkembangan politik dalam dinamika parpol di NTB, kita disodorkan sebuah “kesenjangan” kentara antara logika-logika yang dibangun berdasarkan “pragmatisme” vis a vis “idealisme”. Di satu sisi, jika menilik pada pandangan sejumlah kalangan, politik masih merupakan barang kemasan yang memproduksi demokrasi pada praktek-praktek simplisistis jual-beli “tubuh” yang mengatasnamakan “realitas” sebagai batu pijakannya. Di sisi lain, hasrat pada kehadiran politik yang memayungi kesadaran kritis untuk menggagas kerangka strategis jangka panjang mengalami degradasi epistemologis oleh karena rendahnya minat dan kecakapan politisi kita dalam mencerap idealisme “ilmu” politik sebagai referensi metodik kerja-kerja kepemimpinan/kebijakan. Apa pasal?

Hantu Survei dan “Matinya” Demokrasi
Dalam diskusi “Outlook Democration” yang berlangsung pada hari Ahad, 30 Desember 2012, yang lalu, ironisnya, memperlihatkan secara telak “wajah lugu” politisi NTB yang “menempatkan” koridor demokrasi pada kertas-kertas hasil survei. Semua elit parpol yang hadir seakan bersepakat tanpa reserve bahwa “kendali” demokrasi dibatasi oleh apa yang muncul dari kalkulasi variabel-variabel kuantitatif. Demokrasi, sekali lagi, dipahami secara naïf sebagai sebentuk “kesadaran magis” politik yang terejawantah melalui “mitos” kebenaran modernisme/ilmiah tentang realitas yang given/terberi “tanpa” upaya riil melakukan pelampauan-pelampauan epistemologis-paradigmatik berupa pengembangan/perubahan strategi kerja-kerja yang berbeda dalam mendekati masyarakat.  
Seraya “malu-malu kucing,” mereka mengakui/mengalamatkan hasil survei sebagai “representasi” suara masyarakat yang “sah” (legitimate). Alih-alih, disikapi sebagai sebuah diskursus kualitatif yang mencipta kehendak (political will) untuk memperbarui/memperbaiki etos kerja ke depan dalam simpul peran yang terorganisasi secara baik dan berorientasi transformatif ke akar rumput, justru ada kecenderungan mendudukkan perkara survei sebagai “kunci” dari mata rantai perpolitikan yang bekerja secara “tak terlihat” (invisible hand) untuk mengendus “masyarakat memilih siapa/apa.” Demokrasi dalam pengertian substantifnya sebagai ‘pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ bermetamorfosa secara negatif menjadi petanda/makna (signified) kuasa yang menandai (signifier) masyarakat oleh utak-atik angka-angka yang mereduksi persoalan sosial dan atau kemanusiaan secara menyeluruh dalam batas-batas objek matematis agregasi kuasa.
Tengara ini, tentu saja, merupakan sebuah penanda “sederhana” yang sekaligus memberi prapaham tentang bagimana kondisi riil “kejumudan” berpikir dan cara berpolitik para elit kita. Pada konteks yang lebih ekstrim, kesenjangan antara ide, kemampuan bertindak taktis-strategis, bergerak paralel dengan keengganan mereka untuk mengambil inisiasi kerja-kerja kemasyarakatan yang secara kualitatif bisa merubah peta politik sekaligus mendongkrak nama mereka.
Tidak salah jika kemudian, apa yang penulis tangkap pada diskusi tersebut bukan sebuah dialektika diskursus konstruktif kecuali “hanya” pertunjukan yang mengamini “kelemahan” mereka sendiri yang tidak cukup lihai membungkus “wibawa” partai mereka yang, di antaranya, tergolong partai besar di NTB, bahkan di Indonesia. Layaknya para cheerleader sang pemandu sorak, mereka secara “bersama” dan bersemangat “menyimpulkan” bahwa masa depan demokrasi di NTB terletak di kaki takdir “hasil survei” dan Pilkada Gubernur NTB yang semakin dekat ini. Apakah lantas suara/realitas masyarakat jatuh pada “takdir” hasil survei?

Survei sebagai Representasi (Bukan) Realitas
Suatu bentuk representasi dalam survei selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa menyampaikan kebenaran terhadap realitas yang diacunya sejauh realitas tersebut memiliki hubungan korelatif yang kuat dengan representasinya. Di sisi lain, kebenaran itu bisa salah jika saja tidak ada hubungan korelatif yang kuat dengan masyarakat yang direpresentasikannya. Untuk memahami ini, ada dua hal mendasar yang bisa dibaca sebagai kerangka memahami “makna” survei itu sendiri.
Pertama, survei sebagai referensi realitas. Sebuah referensi bermakna mengacu, mengandaikan, dan menjadi acuan/referensi bagi sesuatu yang diacunya (masyarakat) secara “menyeluruh.” Jika diibaratkan, untuk mengetahui rasa daging sapi, kita tidak perlu melahap seluruh organ dari sapi tersebut, tapi cukup dengan mencicipi satu irisan kecilnya saja, maka kita “mengetahui” bahwa “begini atau begitulah cita rasanya.” Harus ada referensi daging untuk menggambarkan nikmatnya “keseluruhan” entitas yang bernama daging sapi.
Apakah analogi di atas tepat? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena survei sebagai sebuah metode ilmiah memiliki seperangkat metode-metode tertentu yang dianggap valid untuk menyampaikan “kebenaran” berdasarkan uji validitas dan uji realibilitas berdasarkan data dan fakta objektif. Artinya, klaim kebenaran ilmiah berbeda dengan hanya sekedar klaim subjektif seseorang yang mengatakan bahwa rasa sapi itu seperti ini atau itu, enak atau tidak. Meskipun sama-sama berdasarkan fakta, akan tetapi penjelasan tentang rasa daging sapi itu masih bersifat asumptif karena mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah tentang “keterukuran universal” dan “validitas objektif” sebuah penelitian.
Kedua, survey adalah representasi/perwakilan realitas. Bias antara representasi dan realitas sangat mungkin terjadi. Representasi tidak melulu menjawab realitas yang diacunya. Pun, realitas belum tentu hasil dari sebuah representasi. Representasi bersifat terikat (dependent), sementara realitas tetap bebas (independent) pada dirinya.
Representasi memungkinkan fakta riil tentang realitas nantinya. Di sini, pembalikan realitas bisa terjadi oleh fakta-fakta simulatif quisioner. Dalam tipologi semiotika –ilmu tetang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, representasi melalui survey sebagai tanda (sign) yang “mendahului” realitas dengan menyodorkan makna (signified) representasinya. Representasi direkontruksi untuk melampui realitas menjadi simulasi realitas; simulacrum. Artinya, representasi yang semestinya “hanya” sebagai penanda, alih-alih, ia justru menjadi makna (realitas) itu sendri. Spectrum realitas ditaruh pada “sebidang” representasi yang mewakilinya. Dengan demikian, seolah-olah, representasi menjelaskan realitas secara keseluruhan.
Sementara itu, representasi tidak sepenuhnya mampu membaca variabel manusia secara tepat jikalau terjadi perubahan dinamika sosial yang signifikan. Manusia sebagai “objek” penelitian bersifat terbuka sehingga tidak memungkinkan bagi angka-angka kuantitatif survey yang bersifat statis untuk membaca gerak manusia yang dinamis. Ini merupakan variabel gerak (manusia) yang memungkinkan hasil yang berbeda secara kontras dari hasil survey itu sendiri. Meski sangat sering survei memperlihatkan keabsahannya, itu tidak berarti ia secara otomatis mampu membaca keseluruhan aspek (variabel) kemanusiaan secara lengkap. Contoh kasus hasil Survei Pilkada Jakarta Putaran pertama 2012, Pilkada Loteng Putaran kedua 2010, Pilkada Pamekasan (Madura) 2007, dan lainnya, merupakan “bukti” bahwa tidak selamanya hasil survei menentukan realitas yang diacunya.
Artinya, survei tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan masyarakat yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, survei bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi realita masyarakat saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).
Apa yang kita peroleh dari penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa meskipun survei memiliki arti sangat penting untuk “melihat” dan atau “membaca” kecenderungan dalam masyarakat, tidak serta-merta ia menjadi tolak-ukur utama yang memayungi “tafsir” kita atas cara-cara kita menyikapi persoalan NTB yang sedemikian kompleks. Survei tetap penting sebatas mengukur setiap kemungkinan yang bakal terjadi dalam pentas sosial-politik ke depan seraya tidak “terjebak” dalam sikap seorang Cupak –sosok dalam legenda rakyat yang berjiwa kancil yang banyak akal tapi licik/penjilat dan malas— politik yang tidak mampu secara kritis mencerna dan berdialektika dalam mencipta khazanah ideal-ideal demokratisasi bagi NTB ke depan.
Pada akhirnya, arti penting “Outlook Democration”, tentu saja, adalah untuk menggagas secara bersama peradaban politik kita dalam mencipta deliberasi demokrasi –seperti diungkap Dr. Husni Muadz— yang akarnya terletak pada inisiasi transformatif ide-ide kebijakan yang nyata dibarengi partisipasi luas masyarakat atasnya. Sayangnya, diskusi tersebut tidak ubahnya, sekali lagi, melahirkan calon berbakat “cheerleaders” sang pemandu sorak yang mengamini hasil survei sebagai “takdir” Ilahi

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaenng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang. Pendapat pribadi.

**Dimuat di Lombok Post, 10 & 11 Januari 2013

3 comments:

  1. Lembaga survey hy untk mmbendung opini publik, untk ntb belum mampu mmbentuk opini publik. Ikon masyarakat masih mmbentuk opini publik

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehm orang demokrat ya sekarang,,,,,,,,great mas

      Delete
  2. @Guru RusydI: anda tidak tepat jika Survei (yang benar2 survei) dikatakan untuk membentuk opini publik. survei itu metode ilmiah utk memahami/mengetahui kecenderungan dalam masyarakat. itu tujuan/substansi ilmiahnya. tp sy cukup sepakat jika survei banyak diselewengkan untuk "mengelabui" opini publik. survei yg baik/benar itu surveu yg memang ditujukan untuk mengetahui kecenderungan (opini) masyarakat, baik aspirasi, kebutuhan atau harapan2nya. survei yg salah adalah survei yang "mengarahkan" opini publik melalui survei.... salam

    @Pahit: begitulah :) makasi dek

    ReplyDelete