Tuesday, December 30, 2008

Happy Islamic New Year 1430 H

Hijrah, what is?! it means not (only) the move from one place to another...it's talking about an Ijtihad projects to make a better journey of life, to take a humanity projection, and then, toward liberation of human being from all the most allienated things... so that what well said as "humanity againsts discrimination".... Amin

HAPPY ISLAMIC NEW YEAR 1430 H
best wishses for all

Sunday, December 21, 2008

Internet dan Jejak Nyata Budaya Pop

Oleh: Astar Hadi
Globalisasi media massa membentuk visi yang hampir seragam bagi penikmatnya. Berita pagi ini dari kawasan Amerika, mungkin telah dinikmati orang kota di Indonesia, bahkan orang pedalaman sekalipun. Berita tidak lagi bersifat eksklusif milik kelompok pembentuk visi media itu sendiri, tapi telah menjangkau entitas seluruh lapisan masyarakat ke dalam satu entitas “perkampungan global” (global village, dalam bahasa McLuhan). Dan kira-kira seperti inilah yang terjadi dalam globalisasi media di era posmodern ini.
Media posmodern menjadi wadah hegemoni opini publik. Tafsiran atas fenomana atau realitas tergantung pada vested interest institusi media yang mengatur arus opini publik. Pembentukan visi subjektif media pada fenomena atau realitas demikian kuat, sehingga praktis publik mengkonsumsi kebenaran menurut visi subjektif sang penafsir. Semua sektor kehidupan ditafsirkan sesuai selera penafsir, bahkan sampai pada wilayah yang paling sakral. Lewat permainan bahasa, kepentingan sang penafsir tertutupi, namun tetap mampu mengendalikan alam bawah sadar yang mengkonsumsi. Susunan kata dalam bahasa media yang rapi mampu menyampaikan ide-ide skenario opini global. Susunan yang rapi ini diusahakan sedapat mungkin mengubah persepsi tentang fenomena atau realitas, dan sedapat mungkin membentuk visi baru. Maka terbentuklah sebuah jaringan budaya ciptaan media.
Masyarakat sebagai konsumen media secara tidak sadar telah menjadi produk. Kata “produk” di era posmodern dewasa ini tidak hanya menunjuk pada barang atau jasa, tapi sekaligus manusia buatan media. Citra, tanda-tanda, dan gaya hidup ciptaan media merupakan menu sehari-hari masyarakat sebagai komoditas primer untuk memenuhi hasrat penampilan diri, yang tentunya berkaitan erat dengan fenomena budaya massa/budaya pop dalam diskursus kritik budaya akhir-akhir ini.
Pencet aja tombol ON pada layar monitor komputer anda, maka lalu lintas informasi dan komunikasi yang penuh “polusi” telah menanti, menjemput dan mengajak anda untuk berbagi ekstase gado-gado sosial, budaya, politik –dan (terutama) juga “seks”— yang terbuka untuk anda lahap sekenyang-kenyangnya sampai perut pengetahuan dan imajinasi anda buncit oleh hiruk-pikuknya.
Sebuah ironisme budaya massa. Tentu saja, ya! Mengapa? Kita telah disuguhkan sebuah “wisata kuliner” di setiap ruang real time yang menunya terdiri atas histeria mesin hasrat (desiring machine) massa yang terus di-upgrade, di-update, untuk memenuhi mitos be and do it your self. Proses internalisasi (downloading) budaya global ke dalam langgam lokalitas paling subtil telah menjadikan yang global menjadi lokal dan sebaliknya secara terus menerus. Budaya, dengan demikian, merupakan sebuah lalu-lintas produksi, jejaring konsumsi, percepatan komoditas-komodifikasi, alih-alih, menjadi nilai, karakter, identitas, yang membedakan (diferensiasi) tatanan masyarakat secara sosiologis.
Dan, tentu saja, kalaupun ada yang harus ditunjuk sebagai penyebab dominan perkembangan budaya massa, tak lain itu adalah perkembangan teknologi yang memicu pertumbuhan ekonomi industri (baik kapitalis maupun sosialis), proses urbanisasi, dan perkembangan media massa (Budiman, 2002: 56).
Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena globalisme budaya massa/budaya pop dalam realitas media posmodern yang ditandai dengan masuknya sebuah medium baru (Internet), yang pertumbuhannya dipicu oleh perkembangan revolusioner di lingkungan bisnis komputer personal ini telah menggantikan peran media massa lama seperti televisi, radio dan media cetak. Tekonologi ini memiliki peran sangat signifikan dalam merengkuh seluruh fasilitas yang ada pada media sebelumnya. Gabungan seluruh isi media, termasuk teks, gambar bergerak, citra audiovisual dan realitas virtual bisa hadir sekaligus di dalamnya.
Di sinilah mengapa kemudian term budaya pop (posmodernisme) menjustifikasi titik temunya yang paling “rasional” dalam ruang lingkup media massa Internet. Artinya, seperti yang dijelaskan John Urry (Budiman, 1997: 180-181), bahwa term posmodernisme menunjuk pada sebuah sistem tanda atau simbol yang spesifik, baik dalam ruang maupun waktu. Urry melihat posmodernisme sebagai sebuah proses dediferensiasi, di mana masing-masing lingkaran aktivitas sosial, terutama budaya, diruntuhkan dan merasuki satu sama lain. Dan pada gilirannya, menurut Urry, yang paling mencolok, proses ini paling banyak melibatkan pertunjukan visual serta permainan.
Tampaknya apa yang diasumsikan Urry di atas memperlihatkan terjadinya proses globalisasi kesatuan budaya berupa terciptanya budaya massa atau budaya populer yang melibatkan pengaruh besar media massa posmodern dalam mengatur trik-trik visual, permainan tanda-tanda, citra, dan apa yang ditawarkan media Internet dalam ruang cyberspace serta realitas virtual yang dihasilkannya.
Pada titik ini, mengikuti Marshall McLuhan dalam tesisnya tentang global village, mengisayaratkan bahwa budaya dalam realitas posmodern telah menemukan signifikansi teoretis dan praktisnya pada apa yang dihasilkan oleh komputer, baik dalam fungsinya sebagai mesin komputasi maupun sebagai instrumen komunikasi dan informasi (Internet) dengan jangkauan yang sangat luas. Komputer telah berkembang melebihi fungsinya sebagai alat bantu, menjadi mesin-mesin produsen mitos yang dikonsumsi masyarakat kontemporer. Tidak hanya dilihat sebatas the modernist computational aesthetic yang merupakan perpanjangan dari mesin hitung, internet telah menjadi simulasi (budaya) posmodern sebagai media simulasi, navigasi, dan interaksi.
Permasalahan budaya massa memang sedemikian kompleksnya. Ia meliputi bagian-bagian terkecil dari fenomena budaya yang demikian rumit, termasuk seni populer dan lainnya. Dengan kata lain, bukan dalam proses mereduksi peran dari media massa yang lain, tetapi sekurang-kurangnya, internet dianggap paling mampu memberikan efek lain terhadap perselingkuhan budaya secara massif. Wassalam
*** Tulisan ini sebagian disarikan dari buku karya saya, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagad Maya (LKiS, 2005).

Friday, December 5, 2008

Jati Diri Bukan Milik Orang Miskin

Oleh: Astar Hadi

"Tak semua orang bergigi rapi. malah bisa dikata, kebanyakan orang bergigi silang selimpat. susunan giginya tidak rata, malah tak sedikit yang mempunyai gigi tongos. Rasanya, dalam hal gigi pun, manusia harus menerima taksdirnya sebagai ketidakadilan: mengapa gigi saya jelek, sedangkan gigi orang lain demikian baik? ..... Tak usah khawatir. Di zaman ini soal di atas dengan mudah diatasi. Pergi saja ke orthopedi, dan mintalah untuk dipasangi kawat gigi. Memang sekarang kawat gigi lagi ngetren. Siapa pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan cool", demikian Sindhunata memulai tulisannya untuk mengelaborasi telaah Filsuf Amerika, Michael J. Sandel, yang mengamati betapa dengan hanya kawat gigi saja sudah merupakan proses dari perampasan terhadap kebebasan manusia. Hemmmm... sebegitu kawat kah (eh salah, gawatkah) kondisi kita-kita dewasa ini?!
Kita dan Kebebasan
Sabtu malam, 30 Nopember 2008, kemarin, saya diundang untuk ngisi materi yang salah satunya tentang Individu dan Masyarakat. Salah seorang peserta bertanya yang initinya apakah kemudian kebebasan individu itu sesuatu yang mutlak diperlukan? Saya menjawab, "iya"!!! Bahwa kebebasan adalah suatu fitrah kemanusian yang sejak lahir sudah muncul. Kebebasan individu bersifat given, yang artinya ia hadir secara otomatis. Karena, pada dasarnya watak setiap individu tidak menginginkan keterkekangan, tidak butuh aturan yang mengikat, alih-alih, kita selalu berkehendak, selalu ingin bebas untuk melepas hasrat, passion, sampai pada titik terakhir kebebasan itu mewujudkan dirinya.
Dalam hal ini, kebebasan adalah jawaban atas individu yang otentik, khas, unik, yang membedakannya dari individu yang lain. Antara individu dan kebebasan adalah dua sisi mata uang yang sama. Saling merangkul, saling mendukung satu sama lain. Oleh karena "takdir" kebebasan pula manusia menujukkan eksistensinya, memperlihatkan perbedaan-perbedaannya dengan manusia yang lain. Orang menyebutnya sebagai "jati diri".
Sebaliknya, tanpa kebebasan, manusia bukan manusia akan tetapi lebih mirip dengan benda mati, tak bergerak, jumud, tak berkembang. Atau ibarat hewan yang bisa bergerak, bisa berjalan, tapi yang secara anatomi biologis hanya memiliki kemampuan instingtif (naluriah) sesuai dengan "takdir" yang telah dinisbatkan pada kehidupan mereka, tidak lebih.
Lantas, apakah kebebasan ini benar-benar dimiliki manusia? Apakah kebebasan individu sebagai salah satu bentuk paling tinggi dari otonomi manusia itu memang ada? Atau, paling tidak, ia merupakan sebuah upaya menuju "penyempurnaan" identitas yang otentik?
Kebebasan, sekali lagi, merupakan sesuatu yang menyifati diri setiap individu, yang membentuk alur "sejarah" setiap pribadi, setiap kehidupan; yang mengunduh, mencipta, merawat, melahirkan, mengeksplorasi, nilai-nilai dan norma kebudayaan. Melaluinya masyarakat lalu muncul, berkembang, menjadi apa yang kita sebut sebagai entitas (budaya) global.
Jati Diri yang Terjajah
Betapa pentingnya persoalan individu telah menjadi mainstream yang selalu menarik banyak pihak untuk terus mengkajinya. Telaah-telaah filsafat, psikoanalisis, agama, dan sampai pada wacana-wacana pop memberikan perhatian yang sangat besar terhadap keunikan individu sebagai “inisial” kebebasan manusia.
Tentang ini, Rene Des Cartes mendasarkan filsafatnya pada “aku yang berpikir”, bahwa aku berarti diri yang bebas –berpikir— dalam kancah dialektis zaman untuk meraih “ada”-nya eksistensi diri setiap individu. Hal ini berlanjut pada Doktrin Cartesian yang menjunjung tinggi individualisme sebagai proyek modernisme yang menantang setiap orang untuk menunjukkan otonomi diri, yang bebas, yang unik, sebagai diri yang “sadar”.
Pun demikian, anak-anak gaul sebagai representasi generasi muda kita sekarang ini pasti akan sangat mengenal kata-kata seperti gw banget, gw gtu loh. Istilah-istilah pop ini secara simplisistis ingin menunjukkan “jati diri” tertentu yang melekat pada diri seseorang, yang menjadi label diri untuk bertindak “mencipta”, bergerak “mengeksplorasi” dunia kehidupannya.
Kontras dengan yang di atas, Sandel bahkan berpendapat, pada dasarnya otonomi pribadi sesunggunnya tidak ada, karena setiap manusia sejak lahirnya ditentukan oleh kekelompokan social. Lebih jauh dapat dipahami bahwa kebebasan individu sejatinya bukan kebebasan yang tercipta atas dasar identitas diri yang unik, akan tetapi ia selalu mengacu pada kenyataan dan keberadaan lingkungan (global) dan pengalaman social yang dihadapainya.
Merujuk pada kawat gigi, Sandel membawa kita pada kenyataan bahwa kebebasan kita telah mengalami erosi diri, degrdasi identitas. Mungkin kawat gigi terlihat remeh, akan tetapi ia telah secara mendalam menunjukkan bahwa proporsi diri yang seharusnya bertindak cerdik untuk sesuatu yang bermanfaat telah tergerus oleh diri global, yang alih-alih, mengeliminasi kita pada sebuah pemenuhan ekstase hura-hura tanpa rasa haru terhadap realitas social di sekeliling kita. Tentu saja, siapa yang pasang kawat gigi, dia akan makin kelihatan gaul, keren dan cool man. Dan, yang pasti memilikinya hanya orang-orang yang berduit, tidak untuk si miskin !
Jean Baudrilard, salah satu tokoh postmodern, di sisi lain menjelaskan, bahwa kondisi global telah mengalami proses orbital, di mana setiap individu telah berada pada satu garis edar globalisme yang menawarkan “kesatuan” salah satunya melalui fashion –kawat gigi, gaya rambut, pakaian— sebagai orbit identitas kita; sebuah jati diri global. Lebih jauh, Baudrillard melihat fenomena modernitas kita sebagai penggunduhan jati diri material yang di dalamnya menawarkan apa yang ia sebut the syistem of object. Di mana, ketika anda atau saya shopping mall, maka barang-barang yang ditawarkan didalamnya adalah sebuah gambaran tentang “eksistens diri”; yang gw banget, yang gaul abis.
Dengan kata lain, etalase toko/mall merupakan objek representasi nilai, gaya hidup, sistem citra yang harus dikonsumsi oleh masyarakat melalui aktivitas transaksional terhadap produk-produk yang ada di dalam toko tersebut. Masyarakat dipaksa oleh kekuatan sebuah sistem “identitas” untuk membeli ”aksesoris-aksesoris” yang ada sebagai tanda bahwa ia layak menjadi ”manusia yang eksis”. Dalam sistem ini, kita mendasari jati diri sebagai jati diri material bahwa “aku belanja, maka aku ada”. Dengan demikian, hasrat akan pemenuhan perfeksionisme diri (self perfectionism) akan memunculkan lingkaran setan “ekstase spiritual” konsumerisme yang asosial, yang mendamba pemuasan jiwa melalui “ruh/spirit” material.
Hasrat akan penampilan diri yang sempurna berarti “mari kita berlomba dalam mengkonsumsi barang sebanyak-banyaknya”! Mungkin, anda atau saya yang sebelumnya hanya berniat membeli satu produk, katakanlah sebuah baju, tentu saja dalam priode tertentu anda dan saya juga dipaksa membeli pelengkap yang lain seperti gelang, cincin, celana, dan lain-lain, sebagai pemanis (citra) dirinya. Dan pada akhirnya, lagi-lagi, orang miskin memang tidak akan pernah menemukan, lebih-lebih, memiliki “identitas” dirinya.