Monday, September 9, 2013

Porno-Posmografi: Quo Vadis Seni?

Oleh: Astar Hadi

Perbincangan mengenai wacana seni dewasa ini seringkali dipertautkan dengan domain posmodernisme. Seperti halnya posmodernisme, dunia seni masih menyisakan perdebatan alot pada lingkup definitifnya. Banyak hal yang melingkupi wilayah posmodernisme, begitupun wacana seni. Sehingga pengertian tentang keduanya bukan pada ia harus berjalan, alih-alih, keduanya menunjuk pada realitas bagaimana bersikap postmodern dan atau menjadi seniman an scih.
Kalaupun harus kita sepakati –seperti diasumsikan orator-orator postmodern, istilah posmodernisme menemukan padanannya pada wilayah seni. Seni dan posmodernisme, sebut saja seni postmodern, seringkali dikaitkan dengan meleburnya kategori-kategori sosial, menyatunya dunia subjek-objek (seniman dan karya seni), dan atau dijunjung tingginya nilai-nilai pluralitas multidimensional.
Tampaknya dunia seni memang telah menemukan saudara kembarnya yang paling rasional, yaitu seni postmodern. Seni postmodern, dengan demikian, tidaklah mempertentangkan adanya polarisasi antara baik dan buruk, tidak mengenal adanya batasan-batasan normatif; moral dan etika, tidak ada –seperti dalam psikoanalisis Jacques Lacan— oposisi biner (binary opposition). Seni postmodern membatasi dirinya pada sejauhmana jangkauan estetik yang harus dicapai, bukan pada baik/buruk atau benar/salahnya sebuah karya (seni).
Dalam meninjau objek estetik seni sebagai sebuah wacana dan fenomena yang begitu marak akhir-akhir ini, seperti pada kasus pro-kontra tentang pornografi, setidaknya harus diamati sebagai sebuah gejala yang tentunya tidak mengenyampingkan rona-rona budaya, relasi pengetahuan, praktik-praktik sosial dan –terutama— motif kekuasaan yang membangun skenario besar bagi objek estetik seni.
Di dalam masyarakat paskaindustri –yang ditandai dengan kompleksitas tanda-tanda dan symbol (semiotika Ferdinand de Saussure), tempat berbaurnya aneka permainan bahasa (language game ala Wittgenstein), dan atau terjadinya pembongkaran kembali nilai-nilai budaya dan seni (teori dekonstruksi Derrida)— setidaknya, seperti diungkapkan kembali oleh Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Dilipat, terdapat tiga bentuk kekuasaan mesin budaya yang berdiri di belakang layar produksi dan konsumsi objek estetik tersebut, yaitu kekuasaan capital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa. Ketiga kekuasaan ini beserta pengetahuan yang mendukung dan artikulasinya pada berbagai praktik sosial belakangan ini, mampu memayungi sekaligus menahbiskan dirinya sebagai “takdir” hidup-matinya seni kontemporer.
Jika seni postmodern harus menunjuk kasus pornografi dan pornoaksi yang begitu marak belakangan ini, maka ketiga kekuasaan tersebut sepertinya harus ditunjuk sebagai “biang keladi” yang membuka ruang gerak yang begitu besar, bukan saja pada sikap permisifnya, tapi ketiganya mampu mengolah atau mendekonstruksi patologi dan tabu-tabu sosial sampai pada titik paling ekstrim, yaitu pemberian cap “label halal” bagi pornografi itu sendiri dengan dalih “seni”.
Lantas, apa yang harus kita sepakati dengan pornografi jika ia harus masuk ke dalam wilayah seni (postmodern)?

Seni Pornografi = De-Estetika?
Kata ‘porno’ dan ‘grafi’ merupakan derivasi dari dua kata: ‘porne’ berarti wanita dan ‘grafis’ berarti gambar/foto. Secara etimologis, ia mencerminkan sisi seksualitas wanita secara keseluruhan sebagai sebuah tontonan. Walaupun pada kenyataannya, pengertian tentangnya telah meluas menjadi seni tubuh (seksual) manusia secara umum.
Pengertian di atas tidak dimaksudkan untuk membuat definisi secara utuh tentangnya. Sekurang-kurangnya, ia menjadi sebuah deskripsi awal untuk membuka pemahaman kita, pada konteks apa ia harus diperbincangkan atau diperdebatkan. Artinya, pro-kontra terhadap pornografi biasanya –untuk tidak mengatakan pasti— diletakkan pada koridor seni dan estetika sebagai wilayah yang dianggap otonom dari imperative nilai-nilai.
Dengan ini, tentunya, seperti halnya seni postmodern, pornografi memperanggapkan sebuah dunia yang jauh dari intervensi nilai-nilai. Sehingga, ia tidak perlu mengikat dirinya dengan dunia lain yang penuh tatanan, mengingkari kungkungan norma-norma, karena ia memiliki bahasa, identitas, karakter, dan realitas sendiri, yaitu ruh seni. Nilai-nilai yang diusungnya adalah estetika bukan etika, bukan pula moralitas tetapi kreatifitas.
Berarti, merujuk pada paradigm postmodern, pornografi adalah bentuk-bentuk “pengingkaran” terhadap tabu-tabu sosial dan realitas sosial pada umumnya. Dengan semangat dekonstruksi –suatu metode analisis yang dikembangkan Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan (baik-buruk, hitam-putih), sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir— kini, pornografi tidak lebih dari sekadar sebuah upaya pengeksposan tubuh melalui citraan-citraan media yang tanpa bungkus.
Dengan demikian, pornografi ataupun pornoaksi hanyalah sebuah ontology citraan. Keduanya, di samping mencerminkan gaya hidup masyarakat kita saat ini, alih-alih menjadi bagian dari stereotype masyarakat dan atau otoritas seni, ia bahkan menjadi sebuah fenomena paling telanjang dan sekaligus melampiaskan kesenangan/kenikmatan bermain (ekstasi permainan) dengan stereotif porno (tubuh) itu sendiri –yang lantas mencitrakan dirinya melalui kedok-kedok seni (postmodern).
Pornografi memang selalu ditopang oleh seni. Seperti yang ditulis di Tabloid Bestari “Tidak Ada Pornografi dalam Seni”, menunjukkan sebuah realitas (atau bahkan otoritas?) bahwa karena nilai senilah sesuatu itu dianggap tidak menjadi porno atau tabu, sebab ia adalah seni itu sendiri.
Bukan dalam arti mereduksi peran seni, tetapi pornografi bahkan lebih jauh melampui ungkapan, fungsi dan tujuan estetik seni itu sendiri. Di balik gejolak paradigma seksual dan semngat dekonstruksinya, pornografi menghadapkan kita pada citraan-citraan langsung tanpa pagar pembatas, yaitu politik tubuh; suatu bentuk pengeksploitasian wilayah-wilayah seksual sebagai konsumsi masyarakat, komoditas dan komodifikasi gaya hidup generasi kita saat ini.
Dengan sendirinya, ia bukan lagi estetika (seni) melainkan de-estetika; sebuah hiperestetika yang mendekonstruksi tujuan dan fungsi seni menjadi tidak lebih dari sekadar wacana parody –seni parodi seni. Parodi yang semulanya berfungsi sebagai bentuk kritik sosial melalui karya seni, karena pornografi, ia telah menjadi seni yang anti kritik. Porno, dengan demikian, menurut Baudrillard dalam The Ecliptic of Sex, “merupakan satu bentuk dekonstruksi realitas –satu bentuk pelanggaran terjauh dari batas-batas seks”.
Jika pengertian-pengertian di atas dibawa pada realitas belakangan ini, seperti pada kasus pro-kontra Goyang Ngebor Inul, atau aksi gugat terhadap sebuah tabloid remaja (BB, red.), maka porno tidaknya atau estetik tidaknya status pornografi menjadi sangat interpretable (dan juga permisif?). sebab alasan yang seringkali mencuat melulu bersifat lokal-kontekstual (di sini dan saat ini); bahwa setiap produk seni tidak menganut prinsip-prinsip normative selama wacana lokal dan konteks zaman membenarkan dan atau bersikap apatis dalam melihat setiap kemunculannya. Contoh kasus, mandi bersama pria dan wanita di kali dengan tubuh tanpa busana menjadi pemandangan yang lumrah di Bali.
Thus, bagaimana jika pornografi dilihat dengan kacamata ke-Indonesia-an kita? Sepertinya masalah ini akan tetap menyisakan problem-problem yang tak mudah diselesaikan. Karena bagaimanapun, Indonesia saat ini bukanlah era di mana seks merupakan fenomena yang tabu –lagi-lagi kita harus terjebak pada nihilisme. Seks lebih dari sekadar alasan pendidikan –yang acapkali diagungkan oleh mahasiswa sendiri. Alih-alih mempunyai nilai edukatif, seks, lebih-lebih merupakan manifest kesenangan bermain dengan (pendidikan) seks itu sendiri. Dan tampaknya, inilah strategi fatal ala Baudrillard yang harus kita jalani, yaitu bergulat dengan dunia ekstasi (seks) sebagai sebuah realitas “takterhindarkan”.

Berdamai dengan Tabu

Indonesia kita memang sudah banyak berubah. Saat ini, bukan saja pornografi, tetapi hampir di setiap sudut-sudut realitas terkecil masyarakat kita, telah mengalami perubahan radikal dalam segala hal. Imperative-imperatif lama memang mulai tergusur oleh derasnya gelombang lalu-lintas informasi dan komunikasi.
Tapi satu hal yang harusnya dicermati, bahwa tabu ternyata masih memiliki peranan yang sangat penting dalam mendefinisikan dan membentuk realitas kita. Tabu memberikan rambu-rambu mengenai apa yang pantas dan tidak pantas. Tabu telah mengajarkan kita betapa tingginya nilai sebuah rahasia. Dengan adanya dunia rahasia, kita masih bisa merasakan adanya getaran-getaran fantasi dan rasa keingintahuan kita terhadap objek-objek di sekitar kita. Tabu, sekali lagi, seperti diungkapkan oleh Dick Hebdige dalam Subculture: The Meaning of Style, “…menjamin adanya transparansi (dapat diterimanya) makna.

**Pernah dimuat di Tabloid Bestari UMM No. 179/TH.XIV/Juni/2003


Wednesday, August 28, 2013

Diskursus TGB dalam Konstelasi Etik Konvensi Capres*

Oleh: Astar Hadi*

Konstelasi politik nasional makin menghangat menjelang pilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Sejumlah tokoh-tokoh lama dan baru digadang-gadang bakal memanaskan pertarungan di 2014 nanti. Perang urat syaraf (psywar), blusukan ke masayarat dan adu pencitraan politik sudah mulai ditabuh. Masing-masing calon dan kubu pendukung berlomba-lomba memoles gerakannya hingga akar rumput. Perlahan tapi pasti, genderang perang makin bertiup kencang.
Tak ayal, sejumlah partai politik (parpol) buru-buru menegaskan calon masing-masing sedari awal. Di antaranya Abu Rizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto diusung Gerindra dan pasangan Wiranto-Haritanoe Soedibyo melenggang bersama Hanura. Sementara nama-nama lain yang cukup santer digadang-gadang bakal mencalonkan diri, seperti Megawati, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Mahfud M.D., Rhoma Irama, Gita Wiryawan, Jokowi, Pramono Edhie Wibowo, dan lainnya, sampai saat ini belum “berakad-nikah” secara resmi dengan salah satu partai mana pun.
Kontestasi, tak pelak, mengundang hiruk-pikuk kalkulasi politik dan kemungkinan perubahan strategi ke depan oleh karena para capres yang sudah “resmi,” sudah barang tentu, “harus menunggu” siapa saja bakal menjadi pesaing mereka di pesta demokrasi 2014 nanti. Hal ini makin menarik jika melihat sejumlah nama yang notabene berpotensi merubah pusaran politik. Akan banyak kejutan-kejutan yang muncul dari parpol-parpol yang belum menentukan calonnya. Dan, salah satu yang paling banyak menarik perhatian nasional dan banyak pengamat politik adalah “strategi” penjaringan capres yang dilakukan oleh Parta Demokrat.
Adalah Konvensi Capres Partai Demokrat yang, meski cukup menuai pro-kontra sejumlah kalangan, menjadi warna tersendiri bagi sejumlah analis politik dan atau dari kubu parpol lain. Beragam komentar dan kritik pedas menyerang hajat konvensi partai berlambang segitiga Mercy ini. Tentu saja, tak sedikit pula yang memberi analisa positif atasnya.
Tokoh politik senior yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung, menilai bahwa Konvensi Capres Demokrat lebih baik daripada konvensi Capres 2004 yang dilakukan oleh partai berlambang pohon beringin tersebut. Menurutnya, mulai proses penjaringan hingga penetapan pemenangan capres, Demokrat lebih transparan.
Akbar menegaskan, prosesi konvensi tersebut sangat baik oleh karena melibatkan tim seleksi yang berasal dari tokoh-tokoh luar partai dan penentuan pemenang ditentukan melalui proses survey yang notabene mencerminkan keinginan masyarakat (www.tempo.co.id edisi Kamis 22 Agustus).

Konvensi Capres sebagai Etika Politik Disensus

Pada kondite etik politik tertentu, lepas dari citra Demokrat yang dianggap menurun, konvensi memberi nuansa lain yang berupaya merangkum sejumlah elemen bangsa berkompetisi dalam kredo politik secara terbuka, fair dan kompetitif. Pada titik ini, konvensi sekaligus mendorong objektivikasi rasional politik berbasis etika disensus.
Disensus dimaknai sebagai sosio-etiko politik demokrasi yang hendak mencantumkan relasi diri manusia yang tak hendak memutuskan politik –dalam hal ini Konvensi Capres— dengan hanya mengandaikan satu logika tertantu –internal partai— sebagai yang absah. Akan tetapi, ia menuntut beragam logika –pihak independen dan survey— yang terbuka untuk terlibat dalam kontestasi politik sebagai jejalin relasi manusia yang setara, baik dalam hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.
Sejauh yang penulis tangkap melalui media, beragam komentar pun bermunculan. Sah-sah saja pendapat yang melihat konvensi sebagai “akal-akalan” untuk memperbaiki citra dan menaikkan elekabilitas partai Demokrat yang ditengarai menurun, termasuk juga dianggap memecah-belah kader dari parta lain. Akan tetapi argumentasi semacam itu tampak seperti sebuah sinisme dan bombasme yang tanpa bukti-bukti empiris ketimbang sebuah analisis logis yang melihat fenomena penjaringan capres sebagai sebuah implementasi etika politik disensus yang relevan dengan semangat bhineka tunggal eka di era pluralisme dewasa ini. Dan, tentu saja, kemampuan Demokrat merespon logika politik semacam ini adalah langkah maju yang cukup tepat dan bijak.
Seturut itu, pluralitas konvensi memberi ruang yang lebih terbuka bagi, tidak saja, tokoh-tokoh nasional, ia pun berkiblat pada tokoh-tokoh di daerah yang dianggap layak dikedepankan. Dikatakan Ketua Bidang Sarana dan Prasarana Konvensi Partai Demokrat, Vera Febrianty, bahwa beberapa Kepala Daerah diusulkan ikut konvensi seperti Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi atau yang biasa dikenal dengan sebutan TGB (Tuan Guru Bajang), Rustiningsih (Walikota Surabaya), Sarundayang (Gubernur Sulawesi Selatan), Marwah Daud Ibrahim dan Isran Noor (Bupati Kutai Timur).
Tidak terbatas “mendongak Jakarta” yang menjadi fenomena lazim politik sejak Orde Baru sampai Era Reformasi, munculnya nama-nama “dari bawah” ini menjadi indicator positif bahwa konstelasi/kontestasi politik nasional menyangkut keterlibatan warga Negara dari Sabang sampai Merauke.
Tentu saja, kehadiran nama-nama “lokal” tersebut tidak sekadar untuk mengangkat orang Daerah dan atau sebatas euphoria politik identitas. Alih-alih, ia sejatinya merupakan referensi alternatif tentang “dia” atau “mereka” yang punya kapabalitas, kredibilitas dan secara rasional dianggap “layak” melenggang ke tingkat nasional. Pada titik ini, “penghargaan” dan apresiasi politik atas nama diri “yang lain” (the Others) “mewakili” kehadiran keberagaman yang “tak tersentuh” oleh logika keseragaman konsensus pada nama diri tertentu yang “hanya” berkiblat pada “yang di pusat”. Dengan melampui etika politik konsensus yang tenggelam dalam “absolutisme” Jakarta, maka etika politik disensus melalui Konvensi Capres Demokrat inilah kita selayaknya mendorong kemungkinan-kemungkinan sebuah warna lain dan baru secara terus menerus. Lantas, bagaimana peluang/potensi tokoh-tokoh di Daerah, khususnya NTB?

TGB: Sebuah Diskursus “Nama Lain”
Bagi NTB, menurut hemat penulis, kemunculan nama TGB yang dilangsir di sejumlah media nasional dan lokal beberapa waktu lalu perlu disikapi sebagai sebuah diskursus. Dalam pengertian Foucauldian –Michael Foucault pencetus teori diskursus, istilah diskursus (discourse) dikaitkan dengan pembentukan knowledge (pengetahuan) dan beroperasinya (relasi) kekuasaan. Foucault mendefinisikan diskursus sebagai ‘praktik bahasa’ (language practice) yang dipakai oleh berbagai konstituensi –semisal lembaga hukum, agama, sosial-politik, kedokteran, dan lain-lain— yang berkenaan dengan relasi kekuasaan di dalam masyarakat.
Dalam konteks diskursus ini, penulis tidak hendak melibatkan diri dalam sengkarut pro-kontra yang, mungkin saja, menyangkut ketidaksetujuan sejumlah kalangan terhadap diri TGB, baik dalam hubungannya sebagai pribadi dan atau sebagai seorang figur publik. Melampui itu, kemunculan (pemunculan) dirinya dalam kancah politik nasional layak diapresiasi sebagai –meminjam istilah Nurcholis Madjid— “daya dobrak psikologis” (psychological striking force) yang bertujuan mendekonstruksi tapal batas pengetahuan yang selama ini didominasi elit-elit kuasa di pusat yang tidak serta-merta lebih baik dari yang di daerah.
Diskursus Foucauldian mendorong sebuah upaya membongkar hubungan pengetahuan dan relasi kuasa sistemik di titik pusat kuasa yang mensubordinasi realitas-realitas pinggiran (baca: Daerah). Dalam bahasa yang lebih sederhana, praktik diskursus mampu membentuk seperangkat pengetahuan (body of knowledge) yang pada akhirnya mempengaruhi praktik sosial, konsepsi tentang diri (subjektifitas) dan mampu mengkonstruksi sebuah kehadiran tata nilai baru/lain yang menjadi antithesis dialektis atas superordinasi (superordinate) pengetahuan yang mengungkungi pandangan dunia (world of view) kita selama ini.
TGB dan sejumlah tokoh daerah lainnya adalah entitas diskursus dalam keberagaman disensus politik yang “baru” hadir. Kemunculan nama mereka merupakan upaya membangkitkan semangat local centers atas berkuasanya politik pengetahuan (power knowledge). Hal ini menjadi penting untuk menginisiasi kekuasaan/kepemimpinan masa depan yang lebih terbuka dan berorientasi menyeluruh. Sehingga setiap anak bangsa di setiap sisi subtil relasi kuasa memperoleh ruang gerak yang “sama” untuk memimpin bangsa.
Dengan demikian, mendorong TGB berarti mengupayakan secara terus-menerus diskursus politik yang transformatif melalui perluasan ruang publik (public sphere) lokal yang sanggup berbicara di tingkat nasional. Lebih-lebih, jika merunut hasil survey INTRANS (Institute for Transformation Studies) yang menyebutkan bahwa pasangan pemimpin muda paling diinginkan oleh pemilih dibandingkan pasangan tua-tua atau tua-muda, maka tokoh-tokoh daerah yang notebene tergolong muda dan cakap layak dikedepankan.
Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama; semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.
Pada akhirnya, inisiasi pada “nama-nama lokal” melalui Konvensi Capres Demokrat layak diapresiasi sebagai langkah etis-strategis yang berupaya mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang siap berkontribusi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang lebih pluralistik.

*Astar Hadi adalah Caleg “MASIH BAJANG” DPRD Provinsi NTB dari Partai Demokrat dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

** Dimuat di Lombok Post, Rabu 28 Agustus 2013


Tuesday, July 30, 2013

Ramadhan dan Politik Imagologi

Oleh: Astar Hadi*

Dari awal Ramadhan hingga saat ini dan hari-hari ke depan, kita melihat menjamurnya pasar kaget yang menjajakan beraneka ragam jenis makanan dan pakaian sampai ke pinggir-pinggir jalan. Antusiasme masyarakat mengais “berkah” bulan puasa didukung meningkatnya konsumtivisme konsumen menghadirkan sebuah bulan bazar belanja yang jamak kita lihat dari tahun-tahun sebelumnya.
Pola yang sedikit berbeda dan menambah hiruk-pikuk nuasa Ramadhan kali ini dijumbuhi oleh kegiatan “tahun politik” menjelang pilcaleg dan pilpres yang menyodorkan warna lain yang lebih dari sekadar antusiasme bazaar belanja Ramadhan. Kini, dengan memanfaatkan momentum bulan khusus ini, pasar kaget politik juga menghampiri warga dengan beraneka jenis “dagangan” kecap nomer satu.
Para “pedagang” politik menyublim dalam balut citra kesalehan sosial dengan seabrek konstitusi diri sebagai sosok yang religius dan berderma kepada masyarakat. Layaknya seorang pedagang yang menganggap pembeli adalah raja, mereka, sebisa mungkin, menawarkan citra-citra simbolik yang bertaut nilai-nilai “islami” yang berbeda dari hari-hari di bulan lainnya.
Ruang kesadaran politik para politisi –dalam hal ini Caleg dan Capres— seakan-akan menghadirkan sebuah antusiasme dan optimisme politik bahwa keberadaan politik sejatinya bergerak-kelindan dalam ejawantah kepedulian yang “nyata” terhadap penderitaan rakyat.
Bulan puasa menjadi ajang kontestasi “kesalehan” yang –serba tiba-tiba— menjauhkan politisi dari politik sehari-hari yang serba prosedural dan transaksional. Mereka, seolah-olah, melebur dalam iman politik yang mensyaratkan pergumulan langsung yang tampak emansipatif. Pada titik ini, para Caleg bergerak “menjauhi” politik untuk mengakrabi dan merangkul “yang politis.”
Jika “politik” (the politic) berhubungan dengan rutinitas dan syarat-syarat legal-formal yang membatasi keberadaan diri pada jangkauan tarik-menarik kepentingan antar elit. Sebaliknya, “yang politis” (the political), seperti ditegaskan Alain Badiou –seorang filsuf politik kontemporer— tidak berurusan dengan hukum formal, perilaku kelembagaan dan aktor-aktornya. “Yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
Untuk menariknya lebih jauh, hiruk-pikuk politik dalam citra-citra “islami” Bulan Seribu Bulan menghadirkan sebuah kondisi yang secara terus-menerus menggoda sekaligus menghipnotis kesadaran masyarakat melalui aneka serbuan/blusukan “amal” dari para politisi, baik melalui iklan di media, talkshow, safari Ramadhan, buka puasa bersama, sumbangan masjid, berbagi dengan anak yatim dan lain sebagainya. Di sinilah kemudian tidak mudah bagi kita untuk membedakan mana citra yang palsu dan nyata, tidak bisa memilah antara yang pragmatis dan ideologis.
“Perlombaan kebaikan” Ramadhan ini, tentu saja, pertama-tama, layak diapresiasi dengan persangkaan yang baik sebagai sebentuk sikap “kontributif” para politisi terhadap konstituennya. Sementara di sisi lain, perlu ada uji kritis publik sejauh mana keterlibatan mereka bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sejatinya menghadirkan cakrawala emansipasi bagi publik atau, sebaliknya, merupakan konstruksi citra semu pragmatis yang “hanya” bertujuan mendulang suara di kemudian hari. Bagaimana membacanya?

Kontestasi Imagologi

Adalah dalam konteks perebutan kursi legislatif niscaya terjadi pertarungan sistematis-pragmatis dengan mengerahkan segala potensi dan kekuatan yang dimiliki kandidat. Secara sadar mereka membutuhkan modal finansial, sosial, kultural, bahasa, spiritual dan –bahkan— mistik, untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Dan, dalam banyak hal, akumulasi dari semua kekuatan tersebut bersandar pada bagaimana membangun citra diri yang, pada rasionalitas tertentu, memerlukan relasi-relasi citra yang merepresentasikan suatu kondisi/momentum tertentu, seperti misalnya nuansa religius Ramadhan dengan segala rantai pertandaan yang melekat padanya.
Dari sekarang dan ke depan, wajah politik segera saja mempertontonkan riuh kontestasi pesta demokrasi yang menggelar bazar rakyat (demos) melalui berbagai ornamen citra. Perayaan politik semacam ini akan mendominasi dan –sekaligus— “mengelabui” ruang-ruang kesadaran masyarakat pemilih ke dalam pola arsitektur citra yang, mengutip Yasraf Amir Piliang, bersifat patafisik (political pataphyisics).
Jean Baudrillard, dalam In the Shadow of the Silent Majorities, menegaskan bahwa konfigurasi politik yang didominasi oleh kekuataan citra disebut sebagai ‘dunia patafisika.’ Politik yang sejatinya sebuah pergumulan realitas tentang bagaimana mengada bersama rakyat secara riil dibelokkan menjadi permainan citra yang, seolah-olah, merakyat. Di sini, terjadi penyelewengan realitas menjadi citra-citra realitas.
Dalam konteks patafisika ini, elaborasi varian citra politik menjelma ke dalam bentuk-bentuk permainan tanda-tanda (semiotics) dan citarasa realitas religius yang tidak mengacu pada realitas yang ingin ditunjukkannya. Nilai-nilai kesalehan yang muncul tidak lantas mengacu pada upaya internalisasi iman islami. Alih-alih, secara politik, ia adalah konstruk pelampauan realitas (hipperreality) yang berpotensi/berpretensi sebagai referensi realitas di luar spirit keagamaan/Ramadhan itu sendiri, yaitu kekuasaan/politik. Prosesi “kerja” semacam ini yang juga dikenal dengan istilah ‘imagologi’ atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang representasi/kehadiran diri politisi yang, seolah-olah, saleh dan atau relegius.
Dominasi citra atas realitas, mengikuti Yasraf Amir Piliang dalam Patafisika Politik, menggiring pada ”derealisasi politik” (derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh relasi-relasi konkret, riil, dan substansial pada tingkat realitas sosial harian, tetapi oleh ”kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik. ”Semiotika politik” kini mengambil alih ”sosiologi politik”.

Hegemoni Citra: Quo Vadis Politik?
Jejak politik yang sebelumnya mengandaikan masyarakat sebagai logos (titik pusat) –sosiologi politik— kontestasi secara riil beralih menjadikan masyarakat sebagai objek yang ditandai –semiotika/imagologi politik— oleh citra-citra yang kehilangan referensi sosialitasnya. Nuansa imagologi mengambilalih yang sosial. Bahwa, kekuatan citra “mengkooptasi” dan “menegasi” kekuatan demos (rakyat) yang, pada gilirannya, menempatkan demos hidup dalam bayang-bayang “politik bujuk-rayu” (politic of seduction).
Semangat bujuk-rayu politik dalam citra-citra “islami” Ramadhan –juga momentum lainnya— menjejalkan overproduksi tanda kesalehan yang melaluinya pesan-pesan politik menghadirkan “keakraban” dan “keintiman” yang, tanpa disadari, menghegemoni “kesadaran” masyarakat sampai pada titik paling subtil. Fakta-fakta melalui iklan di media, poster ucapan “keimanan”, riuh bersafari Ramadhan, berbagi “berkah” puasa, dan kompleksitas referensi keberagamaan di dalamnya, hadir begitu massif “menderma” kebajikan oleh para politisi.
Sebagai sebuah ruang otokritik bagi penulis pribadi, tulisan ini tidak berpretensi menegasi dan atau menafikan pentingnya membangun citra yang baik di masyarakat. Titik terjauh dari telaah ini hendak meneropong fakta-fakta telanjang politik yang berpotensi mengumbar syahwat politik sebagai ajang demonstrasi dan kontestasi “citra kuasa” semata. Sementara pada kecenderungan ini, tujuan utama politik sebagai ranah perluasan deliberasi politik dan emansipasi publik cenderung diabaikan.
Melampui logika citra sebagai bagian dari keniscayaan berpolitik, kehadiran politik, dengan demikian, sejatinya harus mampu memayungi realitas dan fakta-fakta sosial sebagai “ruh” demokrasi dengan melakukan pelampauan-pelampauan politik sehari-hari menjadi sebuah keterlibatan yang berorientasi program dan bervisi publik ke depan. Tentu saja, ini akan menjadi tantangan bagi masa depan politik kita di satu sisi dan menjadi ruang terbuka bagi kontestasi perebutan suara yang tak hanya mencerdaskan, tapi sekaligus meminimalisasi potensi money politic yang cenderung vulgar.
Secara ideal, filosofi demokrasi yang diambil dari kata demos (rakyat) dan cratein (kekuasaan/kedaulatan/pemerintahan) sebagai ejawantah pemerintahan yang secara substansial meletakkan sendi kerakyatan sebagai titik pusat kuasanya jangan sampai mengalami pembalikan makna menjadi sebatas citra-citra rakyat. Dan, pada akhirnya, hajat pesta demokrasi harus menjadi ruang partisipasi publik yang tidak mereduksi hak rakyat sebagai objek akumulasi suara yang “hanya” dianggap ada di setiap momen pemilu berlangsung. Di sinilah integritas dan tanggung jawab politisi diuji.

*Astar Hadi adalah Caleg DCS DPRD Provinsi NTB dari Partai Demokrat dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang


**Dimuat di Suara NTB, Rabu 07 Agustus 2013




Saturday, March 23, 2013

Politik Identitas dalam Spektrum Demokrasi Disensual (Problematisasi Badrun A.M dan Muhammad Kadri)

Oleh: Astar Hadi*

Sejak bergulirnya Undang-undang Otonomi Daerah dan Pilkada secara langsung satu decade terakhir, Indonesia memasuki babak baru desentralisasi politik di daerah. Antusiasme masyarakat –secara khusus kelas menengah dan elit kuasa— menyambut “matinya” sentralisme ala Rezim Soeharto memantik euphoria pembagian kekuasaan (power sharing) yang membuka ruang besar kran ekonomi-politik bagi “kesejahteraan” di daerah.
Seturut euphoria itu, konsekuensi radikal desentralisasi politik secara niscaya menghadirkan kembali wacana identitas yang selama Orde Baru mengalami represi oleh penyeragaman bahasa politik. Pun daerah, sebagai symbol sekaligus lokus “kesadaran” politik melokal, merepresentasikan diri dalam sublimasi kemelekatan politik bertubuh “identitas” yang magnet utamanya pada rekonstruksi dan rekontekstualisasi nilai-nilai “kearifan local” dalam aspek ekonomi-politik, sosial-budaya, dan lain-lain.
“Kemelekatan diri local” mendorong setiap daerah untuk melakukan kerja-kerja berbasis masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang ada sebagai keniscayaan politik partisipatif-emansipatif. Tiga serangkai pemerintah (government), masyarakat (civil society) dan sector swasta (privat sector) yang merupakan element utama teori good governance mensyaratkan keterlibatan mereka secara maksimal pada domain formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan yang bersumbu pada semangat lokalitas kewarganegaaran demokratis. Artinya, demokrasi lokal menuntut penguatan dan pengejawantahan nilai-nilai lokal yang “khas” daerah seraya memperluas dan mengapresiasi secara penuh ruang publik partisipatoris warga sebagai bentuk radikalisasi identitas politik kultural dari bawah dan transformasi politik struktural dari atas yang saling mengafirmasi satu sama lain.
Apa yang terjadi di daerah dalam kurun 10 tahun pasca-reformasi masih jauh panggang dari api. Inisiasi kerja-kerja ideologis pemerintah di satu sisi, pelibatan aktif (embedded) warga di sisi lain, belum/tidak ekuivalen dengan tujuan-tujuan substantif dari lahirnya UU OTODA yang terbilang “radikal” dan revolusioner. Alih-alih, desentralisasi politik justru melahirkan sebentuk relasi kuasa oligarkis raja-raja kecil di daerah yang membangun dinasti baru berdasarkan klan keluarga, kerabat dan atau komunitas-komunitas etnis tertentu berpayung “identitas-identitas” semu (pseudo identity).
Tengara di atas semakin membenarkan kritik banyak kalangan bahwa momentum Pilkada di daerah, menorehkan warna politik yang berpondasi politik identitas ketimbang politik kerakyatan. Bahwa politik identitas memungkinkan simbiosis mutualisme antara pelaku politik dengan keagenan politik saling berkelindan memperkuat status quo sekaligus menggerus suara minoritas (The Others) yang oposisional terhadapnya. Preseden politik identitas secara perlahan bisa saja “membunuh” unsur-unsur keberagaman nilai yang ada dalam suatu masyarakat/daerah.
Menyimak apa yang terjadi di pesta rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sedianya digelar dua bulan lagi, wacana politik identitas begitu kentara menyembul menjadi dagangan yang selalu laris manis di pasaran politik (political marketing). Makin kentalnya klaim pengkotak-kotakan identitas berbasis etnisitas –Mbojo, Samawa dan Sasak— “terwakili” calon-calon pasangan Gubernur –NTB 1— yang “kebetulan” berasal dari ketiga etnis tersebut.
Wajah politik, seolah-olah, menginterupsi kembali jejak purba (arch trace) kuasa primordial yang menari-nari dalam gemulai-dayu suara musik yang rancak-padu menyuarakan klaim “satu hati” –meminjam salah satu judul lagu Dewa 19. Artinya, realitas kuasa selalu berbicara/bernyanyi sangat merdu tentang “keterwakilan”, tentang keniscayaan indahnya “kebersamaan”, tentang pentingnya kembali pada “identitas kita” yang utuh-padu dan tentang suatu yang tidak perlu kita tentang.
Kekuasaan menyublim menjadi begitu hangat sekaligus tegas menegur/menyapa perbedaan-perbedaan, menepikan keberagaman, dan menegasi “yang lain” untuk merangkul mereka menjadi “yang sama” dalam satu suara. Pada titik ini, politik identitas menggiring sosio-psiko-politik massa ke dalam seragam konsensus kehadiran diri (methapysic of prsesence) yang mematerialisasi setiap abstraksi nilai pada wujud konkret “anda niscaya memilih saya” karna “anda dan saya adalah satu tubuh” biografik.

Lubang Hitam Identitas
Menguliti Badrun dalam Politik Identitas –Lombok Post, Senin 11 Januari 2013— yang mengebolarasi pepatah Sasak ‘Bele Bantel’ (membela mati-matian) sebagai identitas “kita”, seolah-olah, menjadi tafsir klaim politik yang secara ororitatif “mengesahkan” salah satu etnis pada sebuah kepastian penyeragaman yang menjurus eksklusivisme etiko-politik yang menyingkirkan alternatif-alternatif lain bagi Sasak di masa depan.
Pembacaan Badrun, sepertinya, terlalu tergesa-gesa dan cenderung “vulgar”. Ia terlanjur menyederhanakan persoalan (politik) identitas pada kerangka sosiologi positivistik yang meletakkan masyarakat dalam kategorisasi-kategorisasi oposisi biner hitam-putih, Sasak-bukan Sasak –Mbojo/Samawa, kita-mereka. “Penyakit” teoritik semacam ini menegaskan kembali distorsi sosiologis modernisme yang mem-patologi subjek-subjek lain di luar dirinya sebagai “sesuatu” yang absen; yang ada tapi ditiadakan.
Sementara M. Kadri –Lombok Post, Senin 18 Maret 2013— secara lebih moderat menulis bahwa “tidak ada yang salah dengan memanfaatkan simpul identitas etnik untuk meraih dukungan, sepanjang tidak mencederai prinsip demokrasi seperti dengan melanggar hak dan kebebasan memilih setiap individu lewat cara-cara intimidasi dan pemaksaan”
Baik Badrun maupun Kadri, menurut hemat penulis, menggelar perspektif yang sama. Seperti jamaknya pembacaan sosiologis, diskursus identitas hampir –untuk mengatakan sebagian besar— selalu terjebak pada strategi pembedaan (strategic of difference) yang pendasaran epistemologinya menyangkut (teori) konsensus dan atau konflik (sosiologi modern), negasi atas negasi Hegelian –tesis, antithesis, sintesis— sebagai manifestasi bagi pencarian “tunggal makna.”
Artinya, jika dibawa pada domain demokrasi prosedural/transaksional dewasa ini, politik identitas niscaya bersifat given (terberi). Ia mengharuskan beroperasinya satu unsur kuasa identitas yang paling berhak mengotorisasi klaim kebenaran nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dengannya, indoktrinasi mesin politik bersimbiosis dengan massa melalui citra-citra simbolik yang mengatasnamakan “keterwakilan” identitas diri tertentu yang secara faktawi menunjuk pada mayoritas tertentu itu pula.
Meski secara politik akumulasi massa menguntungkan, signifikansi radikal/ekstrim dari pola semacam di atas cenderung merayakan histeria politik kuasa yang seolah-olah hendak melanggengkan keutuhpaduan sebuah masyarakat. Sebaliknya, ia pada kenyataannya berpotensi kuat mendagradasi keberadaan masyarakat di luar dirinya yang rentan mengalami disintegrasi dan konflik antar kelompok. Pada titik inilah, lubang hitam konsensus politik yang dibangun berdasarkan semata-mata politik identitas ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu menyembur ke luar.
Sementara itu, mengesampingkan politik identitas dalam langgam demokrasi lokal sama artinya dengan “membunuh” ruh lahirnya otonomi daerah itu sendiri. Semangat pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah bertujuan menginisiasi keterlibatan aktif masyarakat setempat dan kompleksitas kearifan lokal yang menyertainya sebagai payung politik “berciri” lokal. Dengan demikian, wajah politik selayaknya menampilkan “jati diri” lokalnya yang unik dan berbeda dari daerah lain.
Tengara di atas menjadi paradoks politik manakala ia “harus” berkontestasi dengan proses-proses demokratisasi substansial yang melekat padanya nilai-nilai kebinekaan, penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan dan pengakuan atas hak-hak minoritas yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi. Lebih-lebih, menilik pada semakin beragamnya komunitas di suatu daerah, berpendarnya heterogenitas masyarakat dari beragam kultur sebagai akibat globalisasi, menjadikan “proyek” politik identitas perlu disikapi secara hati-hati dan membutuhkan strategi politik egaliter yang tidak melulu berciri konsensual represif dan positivistik. Tawaran Jean Francois Lyotard –filsuf kontemporer Perancis— tentang disensus politik untuk mengatasi ketakmungkinan keseragaman (consensus) nilai di era global dewasa ini menjadi relevan.

Disensus: Membongkar Wajah Identitas
Memaknai istilah ‘disensus’ tidak berarti menghadapkannya secara diametral dengan istilah ‘konsensus’. Disensus dipahami sebagai ketaktereduksian atau ketakmungkinan menyederhanakan manusia dalam kategori-kategori tertentu yang berarti, mengikuti Budiarto Danujaya dalam Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks, bahwa segenap manusia sebagai individu merupakan sebuah unikum, yang keunikannya bersifat senantiasa sehingga takkan pernah terjembatani dalam korelasi dengan individu-individu lainnya. Oleh karena itu, lanjut Danujaya, korelasi antar manusia pada dasarnya lebih merupakan koeksistensi antarunikum.
Lebih jauh, demokrasi disensus tidak mempercayai kesanggupan system politik apapun dan menolak setiap klaim yang mengalamatkan dirinya pada konsensus-konsensus universal. Karna disensus menyangkut demokrasi politik berupaya melampui finalitas-finalitas teknis kesepakatan bersama sekaligus meminimalisasi/mempersempit ketaksepakatan konfliktual.
Melampui paradigma teori konsensus dan teori konflik, disensus melebur ke dalam anonimitas-anonimitas –nama diri bagi rakyat bukan komunitas/etnis tertentu— yang dengannya kehadiran diri otonom “benar-benar” tak tereduksi oleh lubang hitam kuasa apapun, baik atas nama identitas, suku, kelompok, keagenan sosial, agama, dan bahkan atas nama “kemaslahatan” bersama sekalipun.
Jika demikian, mungkinkah identitas yang merupakan salah satu “ciri” dari nama diri otonom itu bisa diraih dalam spektrum demokrasi disensual yang berkiblat pada “keunikan” politik otonomi daerah itu sendiri? Sementara kita tahu, bahwa tidak mungkin di setiap bangsa atau di setiap daerah, tidak memiliki kekhasan budaya, tidak berdiri berdasarkan suku-suku, tidak berpejal keunikan identitas-identitas yang mendiaminya.
Anonimitas atau ketakmungkinan bersandar pada nama diri (identitas) tertentu bukan berarti menghilangkan nilai-nilai bersama suatu masyarakat yang mendiami suatu daerah. Alih-alih, ia menyangkut relasi koeksistensial yang berupaya menghubungkan antarunikum manusia dalam etikopolitik egaliter yang tak terdegradasi oleh unsur-unsur banal (dangkal) citra identitas/etnis yang dibangun semata-mata untuk kepentingan kuasa mayoritas tertentu.
Batu pejal demokrasi yang selama ini dipahami sebagai kuasa mayoritas (pilihan) rakyat melalui prosedur Pilkada/Pilpres layaknya diletakkan pada posisi “menangguhkan,” “menunda” otoritas rezim identitas sehingga tidak terjerembab dalam reduksi konsensus dan membuka selubung konflik yang berpotensi mendiskriminasi nama diri lain (the Others) yang berada di luar konstitusi (constitutive outside) identitas itu sendiri.
Persoalan identitas memang sarat jejak problematik. Di satu sisi, ia mengundang kerinduan kita akan kebersamaan, intimnya rasa kekeluargaan, indahnya romantisme yang “sama rasa”. Sementara di sisi lain, identitas juga membuka ruang ketegangan manakala ia menjadi suatu keharusan nama diri yang memisahkan antara kita dan mereka, yang menggelar karpet merah fanatisme diri sebagai “satu-satunya” eksistensi yang berhak mengada.
Oleh karena itu, politik sebagai sebentuk desisionisme yang bertugas memutuskan pertimbangan kolektif dan mengandaikan kehadiran pengelolaan suatu masyarakat dalam satu tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang sama dituntut untuk “menyelesaikan” dua sisi identitas problematik tersebut agar tidak hanyut pada tenggelammnya “jati diri”, tidak pula menghilangkan realitas lain yang manjadi bagian dari yang harus diputuskan.
Pada titik tegang inilah, disensus politik di era pluralisme global ini hendak mencantumkan relasi diri komunitas/identitas pada pemaknaan yang berciri paralogis. Artinya, upaya memutuskan politik tidak cukup hanya dengan mengandaikan satu logika tertentu sebagai yang absah, akan tetapi ia menuntut beroperasinya keberagaman logika yang terbuka untuk terlibat dalam kontestasi politik sebagai jejalin relasi manusia yang setara, baik dalam hak dan kewajibannya sebagai “satu” masyarakat yang anonim.
Dalam pemaknaan lain, mengikuti Clifford (dalam Astar Hadi, LKiS 2005), identitas tidak cukup dipahami sebagai term “tempat” tapi ia merujuk pada sebuah term “perjalanan” yang selalu merupakan sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dalam bingkai sites of crisscrossing travelers.
Di sini, wacana politik identitas, baik yang cukup ekstrim diungkapkan Badrun atau pun yang dikemas Kadri dalam bahasa yang lebih moderat, masih menyisakan batu karang fakta konsensual bahwa realitas politik mengisyaratkan kehadiran nama diri yang berpayung legitimasi identitas untuk merangkul “idealitas” politik. Mereka tidak berupaya mengelaborasi kemungkinan kontestasi identitas sebagai suatu yang berjalan pada rel koeksistensi nilai-nilai bersama yang “dalam proses menjadi,” yang perlu ditangguhkan sekaligus ditunda makna universalnya agar tidak terjatuh pada klaim supervisial demokrasi “atas nama rakyat” tapi, ujung-ujungnya, mencipta kuasa wacana yang memaksa “kesadaran” memilih kapada, oleh dan untuk salah satu otoritas “rakyat” tertentu dengan baju identitasnya.
Pada kondisi ini, keberadaan demokrasi yang seharusnya memayungi kompleksitas disensus politik kerakyatan mengalami reduksi konsensual sekaligus konfliktual oleh karena meletakkannya pada paradigma etikopolitik identitas yang saling berhadap-hadapan (vis a vis).
Keberadaan politik identitas senyatanya tetap penting sebagai sebuah “kesadaran” kolektif bermasyarakat dan berinteraksi secara politik dan budaya. Di saat yang sama, “pertarungan” antar identitas harus tetap diletakkan pada relasi koeksistensial yang melampui antagonisme politik berperspektif “kita-mereka”, “kawan-lawan,” “etnis ini-etnis itu.” Artinya, baik Sasak, Mbojo dan Samawa, adalah komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang dibayangkan/diandaikan dalam satu NTB yang terbuka untuk saling berkontestasi sekaligus mencipta intersubjektivitas relasi unik bagi sebuah “perjalanan” identitas yang pada suatu saat mengalami akulturasi dan asimilasi nilai yang mendorong lahirnya kosmopolitanisme peradaban yang secara terus-menerus mengevaluasi “proses menjadi”-nya. Pada titik pemahaman inilah disensus politik identitas itu bermuara.

**Versi asli/utuh dari yang dimuat di Lombok Post 21 Maret 2013

Wednesday, February 13, 2013

“Kaoq Loleng” dan Strategi Enigmatik Pilkada NTB
Oleh: Astar Hadi*

Grafik politik menjelang pilkada Gubernur NTB mulai meningkat. Genderang “perang” yang ditunggu-tunggu sudah mulai ditabuh. Setelah paket HARUM (Harun Al-rasysid-L. Muhyi Abidin) dan Zulkifli (Kyai Zul)-Ichsan lebih dulu tancap gas memastikan pasangannya, semarak pesta rakyat lima tahunan ini mengalami eskalasi menanjak setelah gabungan calon “pengantin” dari dua partai besar –Partai Demokrat dan Golkar— memastikan duet baru TGH. Muhammad Zainul Majdi (TGB)-Muhammad Amin, yang sedari awal dinanti publik. Kedua nama pasangan yang disebut terakhir ini menjadi puncak dari awal kontestasi strategi mesin politik menembus suara khalayak oleh masing-masing kubu.
Sementara klaim sejumlah kalangan yang menandaskan bahwa perebutan posisi nomer satu di NTB kali ini tidak cukup “menggairahkan” oleh karna kuatnya asumsi belum adanya lawan sepadan yang cukup representatif menyaingi TGB relatif “benar.” Tentu saja, tesis spekulatif ini masih terbilang mentah dan masih perlu diuji validitasnya.
Asumi umum menyangkut naiknya suhu politik ke depan, paling mungkin, dilihat “hanya” pada kejutan-kejutan enigmatik yang “tidak” terencana “di luar” grand design strategy (strategi utama) para penantang yang memungkinkan sebuah efek signifikan untuk menghambat –kalau tidak bisa dikatakan menggilas— laju suara incumbent (petahana).
Ketimbang berharap pada lahirnya strategi luar biasa (out of the box) yang, menurut hemat penulis, kecil kemungkinan bisa memberi efek bola salju yang trengginas, para pesaing petahana akan lebih banyak meraba-raba pergerakan (wait and see) dengan sesekali melakukan “serangan” gerilya (hit and run) untuk menggoyang posisi “kokoh” TGB saat ini. Jika kedua variabel strategi enigmatik ini bisa berjalan baik seraya mampu dengan tepat menangkap nuansa momentual simptomatik berupa kesalahan-kesalahan kecil yang seringkali terjadi dalam setiap pilkada berlangsung, masyarakat punya “harapan” menonton pertarungan tingkat tinggi dan tidak tak menggairahkan seperti amatan spekulatif-asumptif sejumlah pengamat di menara gading.
Contoh paling sederhana dari strategi enigmatik ini bisa dibaca dari demo kecil yang dilakukan oleh sekelompok aktivis “merah” beberapa waktu lalu dengan memanfaatkan suatu kasus particular yang, secara tersirat, berindikasi politis pada upaya menjegal langkah calon tertentu. Kentalnya muatan politis dalam aksi tersebut menguggah pembacaan kita tentang sejumput sisi subtil momentum strategis sebuah “pertarungan” dan sekaligus tentang aksi seolah-olah (as if critical) yang tampak kritis-heroik tapi dangkal (surface)
Bukan dalam artian menolak sikap kritis melalui aksi demo terhadap adanya potensi koruptif dalam kasus tersebut, akan tetapi pada kenyataannya, proses dialektik dari “serangan” dini yang dilakukan sejumlah kader “kiri” segera saja bisa dibaca sebagai upaya (strategi) “bunuh diri” politik yang sporadis dan, dalam konteks tertentu, “kekanak-kanakan.” Alih-alih sebentuk kesadaran kritis yang memancang militansi ideologis sebuah gerakan, tengara agregasi kepentingan pragmatis “politik dagang sapi” justru sedemikian tampak setelah wacana “perkawinan” paket TGB-Amin tak terelakkan.
“Kiri Galau” yang Kekanak-kanakan
Gambaran strategi enigmatik pada dasarnya tidak lahir sebagai sebuah grand design strategy yang dirancang sedemikian rupa dan penuh rencana, kecuali hanya muncul oleh karena adanya momen-momen kasuistis yang bersifat partikular. Pada titik ini sangat dibutuhkan kemampuan pembacaan yang segera dan “bernas” terhadap kondisi objektif konjunktur politik yang mungkin, sedang, dan atau akan terjadi di kemudian hari.
Akan tetapi, aksi yang dilakukan/dirancang para kognitariat –orang-orang tertentu dari kelas menengah (buruh berdasi) berpengetahuan dan memiliki keahlian dalam hal konsep yang dibedakan dari (kelas) proletariat (buruh)— “kiri” di atas pada kenyaataanya “lemah” dalam pembacaan kondisi riil politik yang terjadi sekaligus berimbas pada “kesalahan/kegalauan” pada cara menyikapinya.
Jika membayangkan sebuah upaya revolusi sistemik, sikap semacam ini membenarkan tesis Lenin dalam Komunisme ‘Sayap Kiri’, Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan. Lenin dengan telak menohok kuping para “Kiri Galau” –istilah penulis untuk para kognitariat kiri di NTB yang tanpa arah— yang dengan sendirinya memperlihatkan bahwa: ”Kaum revolusioner yang belum berpengalaman biasanya berpikir bahwa metode perjuangan yang legal itu oportunis sebab, di lapangan ini, kaum borjuis telah kerapkali menipu para pekerja (terutama di masa ‘damai’ dan non-revolusioner), sementara metode perjuangan ilegal bersifat revolusioner. Ini, bagaimanapun juga, keliru… Bukanlah hal yang sulit untuk menjadi seorang revolusioner ketika revolusi telah meledak, ketika setiap orang bergabung dengan revolusi hanya karena mereka terbawa suasana, sebab itu hampa, dan terkadang berdasarkan motif-motif kariris…” (Le Blanc 2008: 314-315).
Apa yang kemudian tampak adalah motif-motif kariris dan politik “pesanan bos” ketimbang sebuah upaya sistematis membangun agenda kerja emansipatif bertujuan kerakyatan. Dalam hal ini, hasrat politik tidak dibarengi pemahaman ideologis atas kondisi-kondisi objektif di atas dan di masyarakat. Alih-alih sebentuk idealisme kaum muda, para cognitariat kiri “terjerembab” pada logika kuasa yang, anehnya, berkubang pragmatisme bertendensi kuasa tapi mengalami impotensi pada tahapan ide dan implementasi strategi banal (dangkal) yang menjambak rambut mereka sendiri.
Sinyalir Lenin dalam realisme politiknya ‘tahu kapan saatnya berkompromi dan kapan mempertahankan pijakan’ seakan menertawakan sikap kekanak-kanakan kaum “angkat tangan kiri tinggi-tinggi” yang “galau” dalam. Fenomena ini menemukan pengungkapannya di Pilkada NTB kali ini.
Menyadari pentingnya ungkapan legendaris Lenin di atas, George Lukacs menegaskan bahwa, ”…utopianisme revolusioner adalah suatu upaya untuk mengangkat diri dengan jalan menarik rambutnya sendiri, untuk mendarat dengan sekali lompatan ke sebuah dunia yang sepenuhnya baru, ketimbang melalui pemahaman—dengan bantuan dialektika—tentang evolusi dialektis yang baru dari yang lama (Lukács 1971: 73-75).
Sekali lagi. Lanskap (medan tarung) politik kiri dan payung partai tempat mereka rata-rata bernaung dalam langgam peta politik NTB akhir-akhir ini telah mengalami disorientasi kerja-kerja ideologis. Sikap hantamkromo alias sikat sana sikat sini memberi jawaban riil, bahkan, dalam konteks pembacaan dan realisasi strategi enigmatiknya ibarat –mengutip istilah populer Sasak/Lombok— ‘kaoq loleng’ atau kerbau mengamuk ala para utopis revolusioner yang dikritik Lenin.
Membawa fenomena kasuistik aksi “kiri galau” di atas dalam lanskap “pertarungan” yang lebih jauh dalam konteks Pilkada NTB memantik sebuah pertanyaan. Mungkinkah strategi enigmatik yang, menurut penulis, merupakan “satu-satunya” variabel strategi paling kontekstual dan objektif bakal menawarkan dinamika peta politik yang “menggairahkan” ke depan?
Memahami Medan Tarung Pilkada NTB
Tensi politik Pilkada NTB secara perlahan cenderung meningkat. Bersatunya gerbong dua kekuatan besar melalui paket TGB-Amin yang juga diusung PDIP dan beberapa partai kecil lain yang merapat ke pasangan ini, seolah-olah, menahbiskan kekuatan raksasa yang “tak tertandingi.” Layaknya perang antara David dan Goliath dalam kisah tiga Agama Samawi.
Fenomena politik semacam di atas, di samping berat buat para penantang, pastinya membutuhkan kucuran keringat otak, kerja-kerja pemenangan dan dana yang terbilang besar, menguras tenaga serta harus “luar biasa.” Kekuatan intelejensi dan gerak para kognitariat politik menjadi penting sampai sejauhmana mesin politik bisa bekerja dengan tepat, cepat dan cerdas, di saat batas waktu Pilkada menyisakan tiga bulan lagi.
Mengamati kondisi riil yang sedemikian “tidak menguntungkan” bagi penantang, sekali lagi, starategi enigmatik justru menjadi hal yang paling mungkin untuk mengejar ketertinggalan suara dari petahana yang secara teoritis di atas kertas “dianggap” sejumlah banyak kalangan sudah menang sebelum berlaga. Mengapa strategi enigmatik?
Enigma: “Ruang” bagi Penantang?
Untuk membedakannya dengan skema yang berarti suatu keterencanaan dan kemendetailan sebuah grand design strategy (politik) yang sudah lebih dulu terbentuk/terkonsep secara jelas sebelum sesuatu momen terjadi. Sebaliknya, enigma adalah sesuatu yang membuncah dari dalam ke luar, yang muncul dari rongga alam bawah sadar (instingtual) manusia secara serba “kebetulan” dan “tak terencana,” menghinggapi pembacaan otak dan hati kita atas suatu momen particular dengan lokus yang juga bersifat particular sehingga “tidak bisa” dijadikan referensi holistic untuk sebuah kejadian di masa depan yang bahkan mungkin memliki kemiripan variabel tanda-tanda. Ringkasnya, enigma merupakan suatu kejadian, sejumput momen, sebuah gejala/simptom, yang tak bisa diukur oleh sebuah konsep/metode yang telah disiapkan begitu rapi, karena ia hadir dalam kondisi yang “tak terbaca.” Enigma, dengan demikian, adalah “kejutan” akan kemendadakan situasi yang bersifat sangat khusus.
Mengacu pada definisi di atas, strategi enigmatik menjadi sesuatu yang hampir tak mungkin karena “harus” menunggu kekhususan situasi. Tapi, jika menilik pada fenomena Pilkada Putaran kedua Lombok Tengah-Jakarta yang memenangkan Maiq-Meres dan meningkatnya elektabilitas Foke, “bukan” murni tercipta melalui sebuah skema kerja metodologis yang mapan dan benar-benar terencana. Sebaliknya, kemenangan atau meningkatnya perolehan suara dalam ilustrasi dua pilkada tersebut “lahir” dari “keunikan” situasi yang terjadi oleh karena kesalahan-kesalahan kecil kontestan yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh lawan melalui strategi serangan balik yang menuntut keputusan segera dan “tidak” skematik, tapi instingtual-enigmatik.
Terjadinya perpindahan suara (swing voters), dinamisme pemilih, dan keputusan untuk memilih calon tertentu oleh pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters), justeru relatif muncul oleh karena adanya momentum-momentum enigmatik di tengah siklus dinamis Pilkada sedang berlangsung.
Berangkat dari logika di atas dan oleh karena momen-momen enigmatik yang sering muncul tak terduga dalam dinamisme wacana politik, mutlak dibutuhkan kemampuan insting politik out of the box yang sanggup membaca peristiwa-peristiwa kecil –syukur-syukur jika ada peristiwa besar— yang keluar dari skema utama pemenangan. Di sini, sebuah enigma tetaplah merupakan sebuah rencana yang, dalam artian paling subtil, menyangkut kesiapan tim pemenangan untuk “menciptakan” peristiwa itu terjadi dan atau mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu menemukan suatu kondisi ganjil yang ke depannya bisa menjadi strategi lanjutan atau bahkan bermetamorfosa menjadi strategi utama untuk meraup suara massa yang signifikan.
Kecenderungan penulis untuk melihat arti penting strategi enigmatik ini, secara relatif, untuk menunjukkan bahwa melakukan pertarungan melawan kekuatan besar, di samping tetap membutuhkan desain konsep kerja yang terencana secara matang, kontestan underdog biasanya lebih banyak diuntungkan oleh kemampuan membaca momentum dan melaluinya “mencipta” kejutan-kejutan yang berpotensi merubah realitas objektif yang berlaku.
Sementara itu, contoh aksi yang dilakukan oleh “kiri galau” tersebut di atas adalah ilustrasi strategi enigmatik yang pada tataran tertentu bisa menghantam. Akan tetapi, pada makna terjauh kondisi objektif yang sedang berjalan, penulis melihat, mereka justru tidak mampu menyikapinya dengan tepat sasaran. Enigma tidak diinisiasi menjadi sebuah skema kerja yang “bermanfaat”, alih-alih, “mudarat” dan “kekanak-kanakan.
Pada akhirnya, jika strategi enigmatik ini bisa berjalan dengan benar, maka klaim sejumlah pengamat politik dan banyak kalangan bisa saja “hanya” celoteh dari menara gading yang lost of context terhadap gerak dinamis variabel-variabel enigmatik di akar rumput. Lebih-lebih, pilkada menyangkut sebuah kontestasi yang mencipta ruang pertarungannya sendiri. Sekecil apapun peluang bagi penantang, genderang perang sudah mulai ditabuh bersama dan, tentu saja, akan menawarkan warna kegairahannya yang berbeda-beda tergantung kondisi objektif dan sisi-sisi enigmatik khas yang mungkin cukup “menghibur” bagi rakyat. Wallohu A’lam

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaenng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

**Dimuat di Lombok Post, 05 Februari 2013

Tuesday, January 22, 2013

Serambi Madinah dan Partisipasi dari Bawah


Oleh: Astar Hadi*

Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diperingati setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal segera tiba. Kelahiran adalah sebuah momentum eksistensi bagi kehadiran manusia di muka bumi. Alloh SWT menegaskan posisi manusia sebagai satu-satunya khalifah (pemimpin) yang “berhak” mengelola kehidupan ini untuk menjalankan hak dan kewajiban kemanusiaannya dalam ranah pribadi dan, lebih-lebih, sosial kemasyarakatan.
Kelahiran Muhammad SAW merupakan manifesto “ruh” sejarah (laqod kholaqna al-insan fi ahsani taqwim), eksistensi bagi kesadaran mewujud (rahmatan li al-‘alamin), transendensi kemanusiaan dalam sibghoh/celupan Tuhan (sibghotullah) dan imanensi Tuhan yang “menyublim” dalam kemanusiaan (takhallaqu bi akhlaqillah). Muhammad, dengan demikian, sosok/subjek yang hadir bukan di ruang hampa sejarah, tidak pula berlaku-tindak dalam “jalan sunyi.” Beliau sekaligus tafsir sejarah masa depan bagi terbentuknya kesalehan pribadi dan sosial yang menyeluruh tentang bagaimana sebuah momentum kelahiran itu dimaknai, dicerap, dan dijalankan. Pada titik inilah peringatan Maulid Nabi menemukan kontekstualisasinya hingga kini.
Artinya, kontekstasi kelahiran Nabi Muhammad beserta sejarah yang memayungi perjalanannya menyiratkan suatu sikap/prinsip, suatu pola, suatu gerak, yang bisa menjadi spirit untuk mendorong rancang-bangun peradaban di kemudian hari. Kontekstualisasi ajaran Muhammad secara teoritis bisa dilacak pada munculnya istilah “masyarakat madani” yang akar sejarahnya dirunut dari “Piagam Madinah” yang terkenal itu.
Dalam konteks istilah di atas, sudah banyak literatur yang secara khusus membahas bagaimana kontekstasi kehidupan Nabi semasa di Madinah. Salah satunya, mengutip Ahmad Hatta, masyarakat Madani –seperti yang awalnya dipopulerkan oleh Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas— merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Dalam hubungannya dengan masyarakat madani, bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Di sini, masyarakat madani banyak ditafsirkan sebagai peradaban kota yang menjunjung tinggi hukum, tata sosial-politik dan hak asasi manusia.
Untuk membatasi tulisan ringkas ini, penulis tidak hendak membahas kompleksitas isi Piagam Madinah, istilah masyarakat madani dan sejarah kerasulan/kenabian Muhammad secara mendetil. Proyeksi utama dari bahasan ini menyangkut “tafsir” sosio-teologis atas ceramah Emha Ainun Najib (Cak Nun) di GOR Turide Mataram tentang istilah “Serambi Madinah” dalam hubungannya dengan prospek ke-NTB-an kita.

Serambi Partisipasi dari Bawah
“Serambi Madinah” merupakan sebuah asosiasi “nama lain” bagi NTB yang, tentunya, memiliki konsekuensi tafsir yang multidimensional. Sebagai sosok budayawan berpengetahuan luas, Cak Nun, tentu saja, berupaya meneropong warna “khas” dan citarasa lokalitas NTB dalam pembacaan yang berurat-akar pada sosio-historis-teologis yang melatarbelakanginya. Klaim NTB sebagai “Serambi Madinah” mengejawantahkan sebuah impresi mendalam yang mengisyaratkan “kentalnya” warna agama (baca: islam) di NTB jika dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Pembacaan sosio-teologis oleh sosok yang juga dikenal dengan sebutan Kyai Mbeling ini tidak berarti bahwa NTB, seperti halnya Aceh, merupakan daerah yang “harus” berdiri sebagai “kota agama” dengan sekian aturan-aturan syari’at yang mengaturnya. Jika merujuk pada akar sejarahnya di masa Periode Madinah, secara (tafsir) hermeneutis, “Serambi Madinah” bermakna metaphor yang merujuk pada retrospeksi sebuah kebudayaan dan peradaban kota maju di masa Rasulullah  dengan mengamini kearifan-kearifan local “yang di sini” dan “kini” (baca: NTB). Apa artinya?
Pembacaan terjauh dari apa yang diungkapkan Cak Nun, pada dasarnya, menguliti agama dalam pembalikan makna yang bukan ditujukan pada “hanya” agama itu sendiri. Akan tetapi, ia mengelaborasi sekaligus memproblematisasi istilah “Serambi Madinah” dalam cangkang (politik) identitas kebudayaan local NTB yang harus segera bergerak dan bergegas menjadi sebuah kekuatan budaya yang akarnya terletak pada perluasan partisipasi dan kreasi publik.
Ketimbang bicara deliberasi partisipasi publik secara khusus, apa yang kita tangkap sejauh ini, pembacaan umum tentang masyarakat madani dan atau Piagam Madinah lebih banyak dielaborasi pada wilayah Negara sebagai lokus tata Negara modern lengkap dengan dinamika semangat pluralisme, toleransi dan penegakan hak asasi manusia yang jangkauannya terkesan “elitis”.
Dengan demikian, ungkapan Cak Nun dalam ceramah tersebut, merupakan upaya pribumisasi “Serambi Madinah” dalam artiannya yang “merakyat”. Sebagai contoh, masyarakat keturunan jawa yang menjadi warga NTB, menurutnya, adalah kaum muhajirin” di Madinah pada zaman Rasul. Bahkan, masyarakat jawa yang sudah menetap di NTB dihimbau untuk turut bersama-sama membangun NTB. Begitupun warga keturunan NTB yang menjadi penduduk daerah-daerah lain juga menjadi sama persisnya. Konkretnya, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Makna deliberasi partisipasi publik menjadi konsekuensi logis yang paling faktual sebagai prasyarat membangun ruh “Serambi Madinah” tersebut. Kontestasi ruang publik masyarakat madani, dalam terjemahan epistemologi-metapolitik –opini penulis Tangan Berjabat, Bekerja dan Berbuat Bersama Rakyat: Sebuah Epistemologi Metapolitik BMD NTB di Lombok Post 22-23 Desember 2012— adalah “serambi” bagi Yang Politis (The Political). Di mana, “yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) –dalam hal ini NTB sebagai yang bersatu dalam kemajemukan—  untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
Keberadaan suku Jawa dan suku lainnya sebagai “muhajirin” dalam langgam partisipasi publik di NTB mutlak mensinergikan diri dalam “penyatuan” (politik) identitas kebudayaan untuk menjadi “yang politis”. Artinya, sikap penyatuan “yang politis” ini tidak berarti menolak perbedaan, tidak pula tidak saling menghargai dan bertoleransi. Alih-alih, ia merupakan kredo ideologis yang mendorong secara penuh perluasan partisipasi dari bawah (masyarakat) untuk menegakkan dan membangun prinsip-prinsip madaniyah bagi NTB secara bersama.
Keberagaman dalam konteks “Serambi Madinah” tidak sebatas penghargaan terhadap perbedaan etnis, agama dan sebagainya. Melampui apa yang dimaksud Cak Nun, ia menuntut deliberasi demokrasi –mengikuti fisuf Jerman, Jurgen Habermas— yang artinya membuka ruang publik partisipatif dan tindakan komunikasi rasional (theory of communicative action) antar warga dan pemerintah untuk menuangkan kreasi wacana yang beragam sebagai wadah (serambi) yang menampung dan memantik terciptanya kebijakan-kebijakan yang pro-masyarakat di kemudian hari.
Dasar sosio-teologis deliberasi demokrasi dan relevansinya dengan “citra” Serambi Madinah ini sudah berakar kuat pada fakta-fakta NTB –khususnya Lombok— sebagai Pulau Seribu Masjid. Sejarah kedatangan Rasulullah di Madinah ditandai pertama kali dengan pembangunan masjid. Masjid, selain sebagai tempat sholat/ibadah, menjadi ruang paling penting tempat berlangsungnya partisipasi ruang publik yang signifikan bagi peradaban Madinah ketika itu. Dengan demikian, momentum NTB untuk menjadi yang “setara” paradaban Kota Madinah menjadi hal yang sangat mungkin terjadi seperti bayangan Cak Nun sejauh ia “sejalan” dengan prinsip-prinsip masyarakat madani itu sendiri.
Bayangan nostalgis-utopis pria asal Jombang tersebut bisa menjadi “ruh” yang menyemangati munculnya kesadaran baru masyarakat NTB bersama-sama berpartisipasi secara kritis-emansipatif untuk menegaskan “jati diri” kebudayaan kita yang khas. Dan, momentum menjelang peringatan Hari Besar Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi ruang refleksi prospektif yang tepat bagi kita semua. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Selamat Hari Maulid Nabi 1434 Hijriyah.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

**Dimuat di Lombok Post, Selasa, 22 Januari 2013

Friday, January 11, 2013

Hantu Survei dan para “Cheerleaders”


Oleh: Astar Hadi*

Perjalanan politik di NTB dalam proses demokratisasi ini tengah mengalami kemunduran (setback), kalau tidak bisa disebut, tenggelam. Paling tidak, hal itu yang sementara penulis tangkap dari sejumlah komentar “naïf” nir-intelektual di diskusi bertema “Outlook Democration” yang diselenggarakan di kantor DPD Partai Demokrat NTB yang melibatkan sejumlah tokoh elit partai politik (parpol) NTB dan sejumlah elemen masyarakat lainnya.
Diskusi yang seharusnya membahas bagaimana ideal-ideal demokrasi politik NTB ke depan justru terjebak pada pandangan-pandangan pragmatik-oportunistik “jangka pendek” elit parpol yang “miskin” ruh gagasan dan mengalami impotensi imajinasi intelektual yang mutlak dimiliki para pemangku jabatan strategis. Sangat sedikit –jika tidak bisa disebut tidak ada— nuansa dialektika argumentasi berupa pengayaan konsep-konsep yang membuka horizon imajinatif bagi pembangunan nilai-nilai sosial-politik di masa depan.
Merangkum sejumlah pendapat yang mengemuka, penulis menarik satu benang merah penting bahwa gagasan-gagasan ideal politik mengalami metamorfosa positivistik dan mekanistik pada titik di mana para politisi menilai demokrasi “hanya” sebagai ajang kontestasi perebutan suara dan kalkulasi monolitik pada sejauhmana mereka menjangkau masyarakat sebagai objek kuasa. Ketimbang menempatkan demokrasi sebagai ruang yang menghadirkan subjek-subjek transformasi dan emansipasi politik, keberadaan konstelasi politik kita dewasa ini lebih merupakan pagelaran “karpet merah” demokrasi procedural lima tahunan yang menghadirkan euforia sesaat.
Menyorot lebih jauh. Mencermati dan memahami perkembangan politik dalam dinamika parpol di NTB, kita disodorkan sebuah “kesenjangan” kentara antara logika-logika yang dibangun berdasarkan “pragmatisme” vis a vis “idealisme”. Di satu sisi, jika menilik pada pandangan sejumlah kalangan, politik masih merupakan barang kemasan yang memproduksi demokrasi pada praktek-praktek simplisistis jual-beli “tubuh” yang mengatasnamakan “realitas” sebagai batu pijakannya. Di sisi lain, hasrat pada kehadiran politik yang memayungi kesadaran kritis untuk menggagas kerangka strategis jangka panjang mengalami degradasi epistemologis oleh karena rendahnya minat dan kecakapan politisi kita dalam mencerap idealisme “ilmu” politik sebagai referensi metodik kerja-kerja kepemimpinan/kebijakan. Apa pasal?

Hantu Survei dan “Matinya” Demokrasi
Dalam diskusi “Outlook Democration” yang berlangsung pada hari Ahad, 30 Desember 2012, yang lalu, ironisnya, memperlihatkan secara telak “wajah lugu” politisi NTB yang “menempatkan” koridor demokrasi pada kertas-kertas hasil survei. Semua elit parpol yang hadir seakan bersepakat tanpa reserve bahwa “kendali” demokrasi dibatasi oleh apa yang muncul dari kalkulasi variabel-variabel kuantitatif. Demokrasi, sekali lagi, dipahami secara naïf sebagai sebentuk “kesadaran magis” politik yang terejawantah melalui “mitos” kebenaran modernisme/ilmiah tentang realitas yang given/terberi “tanpa” upaya riil melakukan pelampauan-pelampauan epistemologis-paradigmatik berupa pengembangan/perubahan strategi kerja-kerja yang berbeda dalam mendekati masyarakat.  
Seraya “malu-malu kucing,” mereka mengakui/mengalamatkan hasil survei sebagai “representasi” suara masyarakat yang “sah” (legitimate). Alih-alih, disikapi sebagai sebuah diskursus kualitatif yang mencipta kehendak (political will) untuk memperbarui/memperbaiki etos kerja ke depan dalam simpul peran yang terorganisasi secara baik dan berorientasi transformatif ke akar rumput, justru ada kecenderungan mendudukkan perkara survei sebagai “kunci” dari mata rantai perpolitikan yang bekerja secara “tak terlihat” (invisible hand) untuk mengendus “masyarakat memilih siapa/apa.” Demokrasi dalam pengertian substantifnya sebagai ‘pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ bermetamorfosa secara negatif menjadi petanda/makna (signified) kuasa yang menandai (signifier) masyarakat oleh utak-atik angka-angka yang mereduksi persoalan sosial dan atau kemanusiaan secara menyeluruh dalam batas-batas objek matematis agregasi kuasa.
Tengara ini, tentu saja, merupakan sebuah penanda “sederhana” yang sekaligus memberi prapaham tentang bagimana kondisi riil “kejumudan” berpikir dan cara berpolitik para elit kita. Pada konteks yang lebih ekstrim, kesenjangan antara ide, kemampuan bertindak taktis-strategis, bergerak paralel dengan keengganan mereka untuk mengambil inisiasi kerja-kerja kemasyarakatan yang secara kualitatif bisa merubah peta politik sekaligus mendongkrak nama mereka.
Tidak salah jika kemudian, apa yang penulis tangkap pada diskusi tersebut bukan sebuah dialektika diskursus konstruktif kecuali “hanya” pertunjukan yang mengamini “kelemahan” mereka sendiri yang tidak cukup lihai membungkus “wibawa” partai mereka yang, di antaranya, tergolong partai besar di NTB, bahkan di Indonesia. Layaknya para cheerleader sang pemandu sorak, mereka secara “bersama” dan bersemangat “menyimpulkan” bahwa masa depan demokrasi di NTB terletak di kaki takdir “hasil survei” dan Pilkada Gubernur NTB yang semakin dekat ini. Apakah lantas suara/realitas masyarakat jatuh pada “takdir” hasil survei?

Survei sebagai Representasi (Bukan) Realitas
Suatu bentuk representasi dalam survei selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa menyampaikan kebenaran terhadap realitas yang diacunya sejauh realitas tersebut memiliki hubungan korelatif yang kuat dengan representasinya. Di sisi lain, kebenaran itu bisa salah jika saja tidak ada hubungan korelatif yang kuat dengan masyarakat yang direpresentasikannya. Untuk memahami ini, ada dua hal mendasar yang bisa dibaca sebagai kerangka memahami “makna” survei itu sendiri.
Pertama, survei sebagai referensi realitas. Sebuah referensi bermakna mengacu, mengandaikan, dan menjadi acuan/referensi bagi sesuatu yang diacunya (masyarakat) secara “menyeluruh.” Jika diibaratkan, untuk mengetahui rasa daging sapi, kita tidak perlu melahap seluruh organ dari sapi tersebut, tapi cukup dengan mencicipi satu irisan kecilnya saja, maka kita “mengetahui” bahwa “begini atau begitulah cita rasanya.” Harus ada referensi daging untuk menggambarkan nikmatnya “keseluruhan” entitas yang bernama daging sapi.
Apakah analogi di atas tepat? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena survei sebagai sebuah metode ilmiah memiliki seperangkat metode-metode tertentu yang dianggap valid untuk menyampaikan “kebenaran” berdasarkan uji validitas dan uji realibilitas berdasarkan data dan fakta objektif. Artinya, klaim kebenaran ilmiah berbeda dengan hanya sekedar klaim subjektif seseorang yang mengatakan bahwa rasa sapi itu seperti ini atau itu, enak atau tidak. Meskipun sama-sama berdasarkan fakta, akan tetapi penjelasan tentang rasa daging sapi itu masih bersifat asumptif karena mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah tentang “keterukuran universal” dan “validitas objektif” sebuah penelitian.
Kedua, survey adalah representasi/perwakilan realitas. Bias antara representasi dan realitas sangat mungkin terjadi. Representasi tidak melulu menjawab realitas yang diacunya. Pun, realitas belum tentu hasil dari sebuah representasi. Representasi bersifat terikat (dependent), sementara realitas tetap bebas (independent) pada dirinya.
Representasi memungkinkan fakta riil tentang realitas nantinya. Di sini, pembalikan realitas bisa terjadi oleh fakta-fakta simulatif quisioner. Dalam tipologi semiotika –ilmu tetang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, representasi melalui survey sebagai tanda (sign) yang “mendahului” realitas dengan menyodorkan makna (signified) representasinya. Representasi direkontruksi untuk melampui realitas menjadi simulasi realitas; simulacrum. Artinya, representasi yang semestinya “hanya” sebagai penanda, alih-alih, ia justru menjadi makna (realitas) itu sendri. Spectrum realitas ditaruh pada “sebidang” representasi yang mewakilinya. Dengan demikian, seolah-olah, representasi menjelaskan realitas secara keseluruhan.
Sementara itu, representasi tidak sepenuhnya mampu membaca variabel manusia secara tepat jikalau terjadi perubahan dinamika sosial yang signifikan. Manusia sebagai “objek” penelitian bersifat terbuka sehingga tidak memungkinkan bagi angka-angka kuantitatif survey yang bersifat statis untuk membaca gerak manusia yang dinamis. Ini merupakan variabel gerak (manusia) yang memungkinkan hasil yang berbeda secara kontras dari hasil survey itu sendiri. Meski sangat sering survei memperlihatkan keabsahannya, itu tidak berarti ia secara otomatis mampu membaca keseluruhan aspek (variabel) kemanusiaan secara lengkap. Contoh kasus hasil Survei Pilkada Jakarta Putaran pertama 2012, Pilkada Loteng Putaran kedua 2010, Pilkada Pamekasan (Madura) 2007, dan lainnya, merupakan “bukti” bahwa tidak selamanya hasil survei menentukan realitas yang diacunya.
Artinya, survei tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan masyarakat yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, survei bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi realita masyarakat saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).
Apa yang kita peroleh dari penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa meskipun survei memiliki arti sangat penting untuk “melihat” dan atau “membaca” kecenderungan dalam masyarakat, tidak serta-merta ia menjadi tolak-ukur utama yang memayungi “tafsir” kita atas cara-cara kita menyikapi persoalan NTB yang sedemikian kompleks. Survei tetap penting sebatas mengukur setiap kemungkinan yang bakal terjadi dalam pentas sosial-politik ke depan seraya tidak “terjebak” dalam sikap seorang Cupak –sosok dalam legenda rakyat yang berjiwa kancil yang banyak akal tapi licik/penjilat dan malas— politik yang tidak mampu secara kritis mencerna dan berdialektika dalam mencipta khazanah ideal-ideal demokratisasi bagi NTB ke depan.
Pada akhirnya, arti penting “Outlook Democration”, tentu saja, adalah untuk menggagas secara bersama peradaban politik kita dalam mencipta deliberasi demokrasi –seperti diungkap Dr. Husni Muadz— yang akarnya terletak pada inisiasi transformatif ide-ide kebijakan yang nyata dibarengi partisipasi luas masyarakat atasnya. Sayangnya, diskusi tersebut tidak ubahnya, sekali lagi, melahirkan calon berbakat “cheerleaders” sang pemandu sorak yang mengamini hasil survei sebagai “takdir” Ilahi

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaenng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang. Pendapat pribadi.

**Dimuat di Lombok Post, 10 & 11 Januari 2013