Wednesday, February 13, 2013

“Kaoq Loleng” dan Strategi Enigmatik Pilkada NTB
Oleh: Astar Hadi*

Grafik politik menjelang pilkada Gubernur NTB mulai meningkat. Genderang “perang” yang ditunggu-tunggu sudah mulai ditabuh. Setelah paket HARUM (Harun Al-rasysid-L. Muhyi Abidin) dan Zulkifli (Kyai Zul)-Ichsan lebih dulu tancap gas memastikan pasangannya, semarak pesta rakyat lima tahunan ini mengalami eskalasi menanjak setelah gabungan calon “pengantin” dari dua partai besar –Partai Demokrat dan Golkar— memastikan duet baru TGH. Muhammad Zainul Majdi (TGB)-Muhammad Amin, yang sedari awal dinanti publik. Kedua nama pasangan yang disebut terakhir ini menjadi puncak dari awal kontestasi strategi mesin politik menembus suara khalayak oleh masing-masing kubu.
Sementara klaim sejumlah kalangan yang menandaskan bahwa perebutan posisi nomer satu di NTB kali ini tidak cukup “menggairahkan” oleh karna kuatnya asumsi belum adanya lawan sepadan yang cukup representatif menyaingi TGB relatif “benar.” Tentu saja, tesis spekulatif ini masih terbilang mentah dan masih perlu diuji validitasnya.
Asumi umum menyangkut naiknya suhu politik ke depan, paling mungkin, dilihat “hanya” pada kejutan-kejutan enigmatik yang “tidak” terencana “di luar” grand design strategy (strategi utama) para penantang yang memungkinkan sebuah efek signifikan untuk menghambat –kalau tidak bisa dikatakan menggilas— laju suara incumbent (petahana).
Ketimbang berharap pada lahirnya strategi luar biasa (out of the box) yang, menurut hemat penulis, kecil kemungkinan bisa memberi efek bola salju yang trengginas, para pesaing petahana akan lebih banyak meraba-raba pergerakan (wait and see) dengan sesekali melakukan “serangan” gerilya (hit and run) untuk menggoyang posisi “kokoh” TGB saat ini. Jika kedua variabel strategi enigmatik ini bisa berjalan baik seraya mampu dengan tepat menangkap nuansa momentual simptomatik berupa kesalahan-kesalahan kecil yang seringkali terjadi dalam setiap pilkada berlangsung, masyarakat punya “harapan” menonton pertarungan tingkat tinggi dan tidak tak menggairahkan seperti amatan spekulatif-asumptif sejumlah pengamat di menara gading.
Contoh paling sederhana dari strategi enigmatik ini bisa dibaca dari demo kecil yang dilakukan oleh sekelompok aktivis “merah” beberapa waktu lalu dengan memanfaatkan suatu kasus particular yang, secara tersirat, berindikasi politis pada upaya menjegal langkah calon tertentu. Kentalnya muatan politis dalam aksi tersebut menguggah pembacaan kita tentang sejumput sisi subtil momentum strategis sebuah “pertarungan” dan sekaligus tentang aksi seolah-olah (as if critical) yang tampak kritis-heroik tapi dangkal (surface)
Bukan dalam artian menolak sikap kritis melalui aksi demo terhadap adanya potensi koruptif dalam kasus tersebut, akan tetapi pada kenyataannya, proses dialektik dari “serangan” dini yang dilakukan sejumlah kader “kiri” segera saja bisa dibaca sebagai upaya (strategi) “bunuh diri” politik yang sporadis dan, dalam konteks tertentu, “kekanak-kanakan.” Alih-alih sebentuk kesadaran kritis yang memancang militansi ideologis sebuah gerakan, tengara agregasi kepentingan pragmatis “politik dagang sapi” justru sedemikian tampak setelah wacana “perkawinan” paket TGB-Amin tak terelakkan.
“Kiri Galau” yang Kekanak-kanakan
Gambaran strategi enigmatik pada dasarnya tidak lahir sebagai sebuah grand design strategy yang dirancang sedemikian rupa dan penuh rencana, kecuali hanya muncul oleh karena adanya momen-momen kasuistis yang bersifat partikular. Pada titik ini sangat dibutuhkan kemampuan pembacaan yang segera dan “bernas” terhadap kondisi objektif konjunktur politik yang mungkin, sedang, dan atau akan terjadi di kemudian hari.
Akan tetapi, aksi yang dilakukan/dirancang para kognitariat –orang-orang tertentu dari kelas menengah (buruh berdasi) berpengetahuan dan memiliki keahlian dalam hal konsep yang dibedakan dari (kelas) proletariat (buruh)— “kiri” di atas pada kenyaataanya “lemah” dalam pembacaan kondisi riil politik yang terjadi sekaligus berimbas pada “kesalahan/kegalauan” pada cara menyikapinya.
Jika membayangkan sebuah upaya revolusi sistemik, sikap semacam ini membenarkan tesis Lenin dalam Komunisme ‘Sayap Kiri’, Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan. Lenin dengan telak menohok kuping para “Kiri Galau” –istilah penulis untuk para kognitariat kiri di NTB yang tanpa arah— yang dengan sendirinya memperlihatkan bahwa: ”Kaum revolusioner yang belum berpengalaman biasanya berpikir bahwa metode perjuangan yang legal itu oportunis sebab, di lapangan ini, kaum borjuis telah kerapkali menipu para pekerja (terutama di masa ‘damai’ dan non-revolusioner), sementara metode perjuangan ilegal bersifat revolusioner. Ini, bagaimanapun juga, keliru… Bukanlah hal yang sulit untuk menjadi seorang revolusioner ketika revolusi telah meledak, ketika setiap orang bergabung dengan revolusi hanya karena mereka terbawa suasana, sebab itu hampa, dan terkadang berdasarkan motif-motif kariris…” (Le Blanc 2008: 314-315).
Apa yang kemudian tampak adalah motif-motif kariris dan politik “pesanan bos” ketimbang sebuah upaya sistematis membangun agenda kerja emansipatif bertujuan kerakyatan. Dalam hal ini, hasrat politik tidak dibarengi pemahaman ideologis atas kondisi-kondisi objektif di atas dan di masyarakat. Alih-alih sebentuk idealisme kaum muda, para cognitariat kiri “terjerembab” pada logika kuasa yang, anehnya, berkubang pragmatisme bertendensi kuasa tapi mengalami impotensi pada tahapan ide dan implementasi strategi banal (dangkal) yang menjambak rambut mereka sendiri.
Sinyalir Lenin dalam realisme politiknya ‘tahu kapan saatnya berkompromi dan kapan mempertahankan pijakan’ seakan menertawakan sikap kekanak-kanakan kaum “angkat tangan kiri tinggi-tinggi” yang “galau” dalam. Fenomena ini menemukan pengungkapannya di Pilkada NTB kali ini.
Menyadari pentingnya ungkapan legendaris Lenin di atas, George Lukacs menegaskan bahwa, ”…utopianisme revolusioner adalah suatu upaya untuk mengangkat diri dengan jalan menarik rambutnya sendiri, untuk mendarat dengan sekali lompatan ke sebuah dunia yang sepenuhnya baru, ketimbang melalui pemahaman—dengan bantuan dialektika—tentang evolusi dialektis yang baru dari yang lama (Lukács 1971: 73-75).
Sekali lagi. Lanskap (medan tarung) politik kiri dan payung partai tempat mereka rata-rata bernaung dalam langgam peta politik NTB akhir-akhir ini telah mengalami disorientasi kerja-kerja ideologis. Sikap hantamkromo alias sikat sana sikat sini memberi jawaban riil, bahkan, dalam konteks pembacaan dan realisasi strategi enigmatiknya ibarat –mengutip istilah populer Sasak/Lombok— ‘kaoq loleng’ atau kerbau mengamuk ala para utopis revolusioner yang dikritik Lenin.
Membawa fenomena kasuistik aksi “kiri galau” di atas dalam lanskap “pertarungan” yang lebih jauh dalam konteks Pilkada NTB memantik sebuah pertanyaan. Mungkinkah strategi enigmatik yang, menurut penulis, merupakan “satu-satunya” variabel strategi paling kontekstual dan objektif bakal menawarkan dinamika peta politik yang “menggairahkan” ke depan?
Memahami Medan Tarung Pilkada NTB
Tensi politik Pilkada NTB secara perlahan cenderung meningkat. Bersatunya gerbong dua kekuatan besar melalui paket TGB-Amin yang juga diusung PDIP dan beberapa partai kecil lain yang merapat ke pasangan ini, seolah-olah, menahbiskan kekuatan raksasa yang “tak tertandingi.” Layaknya perang antara David dan Goliath dalam kisah tiga Agama Samawi.
Fenomena politik semacam di atas, di samping berat buat para penantang, pastinya membutuhkan kucuran keringat otak, kerja-kerja pemenangan dan dana yang terbilang besar, menguras tenaga serta harus “luar biasa.” Kekuatan intelejensi dan gerak para kognitariat politik menjadi penting sampai sejauhmana mesin politik bisa bekerja dengan tepat, cepat dan cerdas, di saat batas waktu Pilkada menyisakan tiga bulan lagi.
Mengamati kondisi riil yang sedemikian “tidak menguntungkan” bagi penantang, sekali lagi, starategi enigmatik justru menjadi hal yang paling mungkin untuk mengejar ketertinggalan suara dari petahana yang secara teoritis di atas kertas “dianggap” sejumlah banyak kalangan sudah menang sebelum berlaga. Mengapa strategi enigmatik?
Enigma: “Ruang” bagi Penantang?
Untuk membedakannya dengan skema yang berarti suatu keterencanaan dan kemendetailan sebuah grand design strategy (politik) yang sudah lebih dulu terbentuk/terkonsep secara jelas sebelum sesuatu momen terjadi. Sebaliknya, enigma adalah sesuatu yang membuncah dari dalam ke luar, yang muncul dari rongga alam bawah sadar (instingtual) manusia secara serba “kebetulan” dan “tak terencana,” menghinggapi pembacaan otak dan hati kita atas suatu momen particular dengan lokus yang juga bersifat particular sehingga “tidak bisa” dijadikan referensi holistic untuk sebuah kejadian di masa depan yang bahkan mungkin memliki kemiripan variabel tanda-tanda. Ringkasnya, enigma merupakan suatu kejadian, sejumput momen, sebuah gejala/simptom, yang tak bisa diukur oleh sebuah konsep/metode yang telah disiapkan begitu rapi, karena ia hadir dalam kondisi yang “tak terbaca.” Enigma, dengan demikian, adalah “kejutan” akan kemendadakan situasi yang bersifat sangat khusus.
Mengacu pada definisi di atas, strategi enigmatik menjadi sesuatu yang hampir tak mungkin karena “harus” menunggu kekhususan situasi. Tapi, jika menilik pada fenomena Pilkada Putaran kedua Lombok Tengah-Jakarta yang memenangkan Maiq-Meres dan meningkatnya elektabilitas Foke, “bukan” murni tercipta melalui sebuah skema kerja metodologis yang mapan dan benar-benar terencana. Sebaliknya, kemenangan atau meningkatnya perolehan suara dalam ilustrasi dua pilkada tersebut “lahir” dari “keunikan” situasi yang terjadi oleh karena kesalahan-kesalahan kecil kontestan yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh lawan melalui strategi serangan balik yang menuntut keputusan segera dan “tidak” skematik, tapi instingtual-enigmatik.
Terjadinya perpindahan suara (swing voters), dinamisme pemilih, dan keputusan untuk memilih calon tertentu oleh pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters), justeru relatif muncul oleh karena adanya momentum-momentum enigmatik di tengah siklus dinamis Pilkada sedang berlangsung.
Berangkat dari logika di atas dan oleh karena momen-momen enigmatik yang sering muncul tak terduga dalam dinamisme wacana politik, mutlak dibutuhkan kemampuan insting politik out of the box yang sanggup membaca peristiwa-peristiwa kecil –syukur-syukur jika ada peristiwa besar— yang keluar dari skema utama pemenangan. Di sini, sebuah enigma tetaplah merupakan sebuah rencana yang, dalam artian paling subtil, menyangkut kesiapan tim pemenangan untuk “menciptakan” peristiwa itu terjadi dan atau mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu menemukan suatu kondisi ganjil yang ke depannya bisa menjadi strategi lanjutan atau bahkan bermetamorfosa menjadi strategi utama untuk meraup suara massa yang signifikan.
Kecenderungan penulis untuk melihat arti penting strategi enigmatik ini, secara relatif, untuk menunjukkan bahwa melakukan pertarungan melawan kekuatan besar, di samping tetap membutuhkan desain konsep kerja yang terencana secara matang, kontestan underdog biasanya lebih banyak diuntungkan oleh kemampuan membaca momentum dan melaluinya “mencipta” kejutan-kejutan yang berpotensi merubah realitas objektif yang berlaku.
Sementara itu, contoh aksi yang dilakukan oleh “kiri galau” tersebut di atas adalah ilustrasi strategi enigmatik yang pada tataran tertentu bisa menghantam. Akan tetapi, pada makna terjauh kondisi objektif yang sedang berjalan, penulis melihat, mereka justru tidak mampu menyikapinya dengan tepat sasaran. Enigma tidak diinisiasi menjadi sebuah skema kerja yang “bermanfaat”, alih-alih, “mudarat” dan “kekanak-kanakan.
Pada akhirnya, jika strategi enigmatik ini bisa berjalan dengan benar, maka klaim sejumlah pengamat politik dan banyak kalangan bisa saja “hanya” celoteh dari menara gading yang lost of context terhadap gerak dinamis variabel-variabel enigmatik di akar rumput. Lebih-lebih, pilkada menyangkut sebuah kontestasi yang mencipta ruang pertarungannya sendiri. Sekecil apapun peluang bagi penantang, genderang perang sudah mulai ditabuh bersama dan, tentu saja, akan menawarkan warna kegairahannya yang berbeda-beda tergantung kondisi objektif dan sisi-sisi enigmatik khas yang mungkin cukup “menghibur” bagi rakyat. Wallohu A’lam

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaenng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

**Dimuat di Lombok Post, 05 Februari 2013