Wednesday, September 16, 2009

HIPEREALITAS RAMADHAN

Hiperealitas Ramadhan

Oleh: Astar Hadi*

Jejak Ramadhan 1430 H tinggal beberapa hari lagi. 10 hari terakhir, sepert dijanjikan Alloh, dianggap sebagai moment “keramat” untuk meraih keagungan lailatul qadar juga telah tiba. Pada saat inilah, anjuran untuk melipatgandakan ibadah dan memperbaiki kualitas spritualitas menjadi sangat signifikan. Malam Seribu Bulan, merupakan manifestasi “sibghotullah” atau sentuhan “tangan” Tuhan secara langsung ke bumi manusia bagi mereka yang mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada-Nya.

Di saat yang sama, proses penggalian nilai-nilai ibadah mengalami simulacrum spritualitas oleh gempita komodifikasi realitas Ramadhan. Dalam model komodifikasi ini muncul nuansa-nuansa yang seolah-olah serba “islami” dan seolah-olah menawarkan “rahmah, barkah dan maghfirah” berpuasa melalui citra-citra yang dikonstruk oleh bangunan media tertentu, yang anehnya, “diamini” secara massif oleh banyak kalangan.

Ekstase Shopping Ramadhan

Fakta bahwa setiap kali Bulan Ramadhan datang, konstruk pikiran kita hampir seragam. Bayangan tetang bulan puasa yang serba special membawa hamper –untuk tidak mengatakan semuanya— setiap orang untuk berduyun-duyun mempersiapkan diri menjemput kedatangnnya dengan sesuatu yang “spesial” pula.

Bukan sebuah kebetulan, sehari menjelang Ramdhan, saya masuk ke sebuah supermarket di bilangan Cakranegara, Mataram, NTB, terlihat berjubel orang berbelanja dengan jumlah barang yang “tidak biasa” kita temukan pada 11 bulan lainnya. Pun demikian, di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti yang diberitakan di televisi, masyarakat melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Sebuah wisata kuliner bernuansa “spiritual”. Mungkin.

“Kekhususan” bulan turunnya al-Qur’an ini sekaligus mempertontonkan citra wajah sosial umat muslim dalam hiruk-pikuk “iqra’” (membaca) peluang “bisnis spiritual” yang muncul di mana-mana. Bak cendawan di musim penghujan, beraneka warung-warung ataupun pedagang dadakan bermunculan menjemput oase barkah Ramadhan.

Lebih-lebih di penghujung Ramadhan, saat di mana aroma lebaran tercium, tiap orang yang semestinya menjemput Bulan Seribu Bulan ini dengan memperbanyak berdiam diri di masjid dalam suasana khusyuk, alih-alih, justru terjadi konversi “i’tikaf” dalam ekstase (kenikmatan) shopping di mall-mall. Spirit lailatul qadar tergerus oleh wujud perayaan “kemenangan” yang hyperreal.

Kecenderungan ke arah tindakan atau aktivitas yang hyperreal mewujud dalam sebuah kesadaran semu dalam memaknai dan atau menyikapi substansi dari nilai-nilai yang terkandung dalam spirit Ramadhan. Al-Imsak (menahan diri) yang berarti menjaga diri dari gejolak pelepasan hasrat biologis, fisiologis dan psikologis secara berlebihan justru terasa absurd. Betapa tidak, ajaran berpuasa sebagai medium kontrol terhadap hasrat konsumptivisme (baca: belanja), anehnya, di bulan ini pula mesin-mesin hasrat (desiring machine) itu begitu eksis dan dirayakan secara massal.

Perihal menjamurnya shopping mall, iming-iming mega diskon dengan iringan musik islami dan spanduk-spanduk “menyambut” Hari Kemenangan yang berjejer di pusat-pusat perbelanjaan secara tidak sadar diamini secara perseptual sebagai semangat kembali pada kesucian (Idul Fitri).

Hiperealitas Religius

Kecenderungan semesta tanda dan pencitraan ini mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis. Kita disuguhkan realitas tanda-tanda dan citra simulatif yang mengaburkan makna “al-imsak”, “hari kemenangan”, dalam bentuk realitas makna yang kontras; sebuah hiperealitas.

Istilah hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan. Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran kita dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Dalam banyak hal, ada semacam “kelembutan”, “kesyahduan”, “kekhusyukan” dan “keteduhan” yang dibangun melalui penciptaan model-model realitas baru yang dikontekskan dengan momen-momen tertentu –seperti Ramadhan atau Idul Fitri misalnya— semisal menghadirkan sense of Ramadhan di mall atau tempat lain, seperti musik atau spanduk berbau religius. Dengan demikian, hal tersebut akan membentuk kesan di masyarakat yang seolah-olah kesediaan untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang disodorkan pada kita adalah bagian dari prosesi yang niscaya dalam setiap menyambut kedatangan Ramadhan maupun Idul Fitri

Semakin menyeruaknya overproduksi tanda yang hadir melalui pencitraan media sedemikian rupa, membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam memahami relevansi antara bentuk dan isi, kebingungan mencerap antara yang sejati dan semu. Artinya, fakta social yang ada di sekeliling kita, bahwa “identitas” shopping lebaran dan wisata kuliner Ramadhan yang selalu dan terus-menerus dijejalkan melalui berbagai media, terutama sekali iklan-iklan di televisi, mampu menggeser imperatif nilai yang semakin jauh dari spirit/makna awalnya.

Kondisi hiperealitas seperti di atas, oleh Baudrillard, dimaknai sebagai “the simulation of something which never really existed.” Sementara Umberto Eco menyebutnya sebagai “the authentic fake” atau kepalsuan yang otentik. Baik Eco maupun Baurillard melihat adanya realitas yang saling tumpang tindih dalam cara kita menyikapi antara yang real dan virtual, antara yang sejati dan yang palsu.

Kedua, solisi imajiner merupakan ciri lain hiperealitas. Pada konteks ini, tercipta proses menjadikan sesuatu yang non-empiris menjadi seperti nyata. Terjadi objektivikasi kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menghasilkan suatu fakta yang dapat dirasa, diraba atau dilihat. Berbagai teknik komunikasi pesan yang, seolah-olah, islami, seperti iklan layanan “Reg (spasi) bla…bla..bla”, publisitas acara spesial Ramadhan di media massa, dan lain-lain, telah menyebabkan kita terjerembab dalam komodifikasi gaya hidup orang berpuasa yang “harus serba lengkap”; harus ini, harus itu. Hubungan antara kenyataan hidup yang serba kurang atau pas-pasan dan “seruan” kamuflatif menjalankan ibadah puasa atau menyambut idul fitri dengan sesuatu yang “harus spesial” memaksa kita untuk berbondong-bondong mewujudkannya. Namun, karena keduanya kerap dihadirkan dalam satu realitas simbolik media, lambat laun tercipta asosiasi antara keduannya. Pada akhirnya, menikmati “barkah” ramadhan berarti menjalani ibadah dengan syarat-syarat citra diri yang (dipaksa) melampui kemampuan dasar/kebutuhannya.

Yasraf Amir Piliang dalam Dunia yang Berlari (2006) mengingatkan bahwa manusia modern telah terjebak dalam permainan tanda dan citra bujuk rayu dan ketersesatan tanpa tujuan. Pencitraan (semu) gaya hidup menjadi segala-galanya. Sehingga representasi tanda menciptakan mitos baru yang mengambil alih makna secara utuh. Proses ini dikenal sebagai imagologi atau penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas shopping mall –dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri— yang pada titik tertentu dianggap sebagai bagian dari rangkaian “ibadah” di bulan suci ini.

Pada akhirnya, betapapun realitas wajah sosial masyarakat sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa, Ramadhan dan Idul Fitri tetap menjadi momentum kesadaran kritis bagi umat muslim dalam upaya menjaga semangat al-Imsak dan upaya kembali ke titik kesucian (fitrah) dalam artian sesungguhnya. Selamat Hari Raya Idul Fitri…

*Astar Hadi adalah Penanggung jawab/Pengasuh Jurnal Madzhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences, Malang. Penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005)

Sunday, July 19, 2009

Douglas Kellner on Habermas III

Sambungan....

Dialektika Ruang Publik

Perhatian utama Habermas pada persoalan demokratisasi yang menitikberatkan pada partisipasi politik sebagai inti dari masyarakat demokratis dan sebagai unsur sejati dalam pembangunan diri individu. Studinya tentang Strctural Transformation of the Public Sphere diterbitkan pada tahun 1962 dan dibandingkankan/dibedakan dengan beragam bentuk yang ada, dimana, ruang public borjuis partisipatoris di era heroisme demokrasi liberal (dibandingkan) dengan bentuk khusus dari politik penonton dalam masyarakat industri yang birokratis, yang di dalamnya media dan para elit mengontrol ruang public.[1] Dua tema utama buku tersebut memuat analisis asal mula sejarah ruang public borjuis, yang diikuti oleh catatan tentang perubahan structural ruang public di era kontemporer yang ditandai dengan bangkitnya kapitalisme Negara, industri-industri budaya, dan mengguritanya kekuatan korporasi ekonomi, serta bisnis berskala besar dalam kehidupan public. Dalam kata lain, ekonomi berskala besar dan lembaga-lembaga pemerintah mengambil alih ruang public, di mana warganegara hanya menjadi konsumen barang, jasa, adminitrasi politik, dan (semacam, red) lumbung pertunjukan (spectacle).

Mengambil contoh dari perkembangan-perkembangan di Inggris, Perancis dan Jerman, pada akhir abad 18 dan abad 19, pertama-tama Habermas merangkumnya dalam sebuah model yang ia sebut “ruang public borjuis”, dan lantas menganalisis kemundurannya di abad 20. Sebagaimana yang Habermas muat dalam Pengantar buku tersebut: “penelitian kami menghadirkan suatu gambaran unik tentang unsur-unsur liberal dari ruang public public borjuis dan atau perubahannya (transformasi) dalam Negara kesejahteraan social” (Habermas 1989a: xix). Penelitian tersebut melibatkan berbagai disiplin, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan tentu saja, menginstansiasi (instantiates) mode teori sosial supradisiplin bagi Lembaga Penelitian Sosial tersebut. Berdasarkan tinjauan historis, penelitian ini meletakkan dirinya sebagai proyek Lembaga dalam rangka pengembangan teori kritis era kontemporer dan memposisikan aspirasi-aspirasi politiknya sebagai kritik terhadap kemunduran demokrasi dewasa ini, yang berarti sebuah panggilan untuk melakukan pembaruan –tema-tema tersebut menunjukkan titik sentral pemikiran Habermas.

Setelah menggambarkan gagasan tentang ruang publik borjuis, opini publik dan publisitas (Offenlichkeit), Habermas menganalisis struktur-struktur sosial, fungsi-fungsi politik, konsep dan ideologi ruang publik, sebelum kemudian ia menjelaskan pergeseran sosial-struktural ruang publik, perubahan-peubahan dalam fungsi-fungsi public, dan pergeseran-pergesaran dalam konsep opini public pada tiga Bab Penutup. Teks tersebut menyodorkan telaah konseptual yang ketat dan kesuburan gagasan yang menjadi ciri dari karya Hebrmas, yang justru, memuat lebih banyak landasan historis murni dibanding dari banyak karyanya dan hal ini menyiratkan acuan/matriks untuk karyanya yang muncul di kemudian hari.

Kesimpulan-kesimpulan saya (Douglas Kellner, red) berikut ini hanya sebatas highlight beberapa gagasan kunci yang penting untuk menjelaskan konsepsi ruang public dan transformasi struktural yang akan membantu mengevaluasi signifikansi dan batasan-batasan dari karya Habermas dalam rangka menjelaskan kondisi demokrasi masyarakat kontemporer.

Ruang public borjuis pada mulanya memunculkan sekitar 1700 dalam interpretasi Habermas yang bertujuan memediasi antara perhatian khusus individu dalam keluarga mereka, ekonomi, dan kehidupan social, yang dibandingkan dengan (adanya) kewajiban-kewajiban dan perhatian terhadap kehidupan social dan public. Ini juga untuk memediasi pertentangan kelas antara borjuis dan warganegara (atau), meminjam istilah yg dipakai Hegel dan Marx Muda, untuk menanggulangi kepentingan dan opini pribadi agar terciptanya kepentingan bersama dan supaya tercapainya consensus social. Ruang public terdiri atas organ-organ informasi dan debat politik seperti Koran dan jurnal, juga terdiri atas lembaga-lembaga diskusi politik seperti parlemen (DPR, red), klub-klub politik (partai politik, red), kelompok publik, pub dan warung kopi, gedung pertemuan, dan tempat-tempat publik lainnya, tempat dimana diskusi sosial politik berlangsung. Pada sejarah awalnya, individu-individu dan kelompok membuat opini publik, mengekspresikan secara langsung kepentingan dan kebutuhan mereka di saat mempengaruhi politik praktis. Ruang publik borjuis menjadi mungkin untuk membentuk opini publik yang menentang kekuasaan negara dan kepentingan para elit yang coba untuk menyendat (kehidupan) masyarakat borjuis.


Bersambung........


[1]

Thursday, July 16, 2009

Douglas Kellner on Habermas II

sambungan...


Habermas dan Mazhab Frankfurt: Asal Muasal Transformasi Strukural Ruang Publik

Sejarah dan awal kontroversi The Structural Transformation of the Public Sphere sangat bertalian dengan Lembaga Penelitian Sosial tempat Habermas bekerja. Setelah studi yang dilakukan bersama Horkheimer dan Adorno, pada tahun 1950-an di Jerman, Habermas meneliti suatu ruang public baru yang muncul selama era Pencerahan dan revolusi amerika maupun revolusi Perancis dan bagaimana keduanya menawarkan debat dan diskusi politik. Seperti yang tertera dibawah ini, Habermas lantas mengembangkan studinya dengan konteks analisis pergeseran dari wilayah kapitalisme pasar liberal di Abad 19 menuju wilayah Negara dan kapitalisme monopoli di Abad 20 yang dikembangkan oleh Frankfurt School. (Lihat Kellner 1989).

Tentu saja, studi Habermas pada 1960-an secara kokoh berpegang pada tradisi dan concern Lembaga Penelitian Sosial tempat ia bernaung. Satu dari artikel pertamanya yang diterbitkan memperlihatkan perspektif kritis terhadap masayarakat konsumen dan karya awal lainnya terdiri atas studi-studi tentang rasionalisasi, kerja dan waktu senggang, media, opini public, dan ruang public (Habermas 1972). Kerja Habermas selanjutnya terkait pengembangan posisi Lembaga termasuk juga keterlibatannya dalam debat positivisme yeng memperlihatkan dirinya masih kuat menganut konsepsi teori social dialektis Mazhab Frankfurt dengan praktik bertujuannya berhadapan dengan teori social postivistik (Habermas 1976). Dan, dalam Theory and Practice, Habermas mempertahankan kesatuan dari teori dan praktik yang mengacu pada Markisme Klasik dan teori kritik masyarakat, dan dia juga menjabarkan lebih jauh pada dimens-dimensi moral dan politik dari teori kritis (Habermas 1973).

Kerja awal Habermas pada Lembaga Penelitian Sosial menekankan studinya pada opini-opini politik dan potensi para siswa. Dalam sebuah ujian Student und Politik (dipublikasikan tahun 1961), Habermas dan dua anggota orientasi dari Lembaga tersebut melakukan “investigasi sosiologis tentang kesadaran politik siswa-siswa Frankfurt” (13 ff). Studi tersebut berkenaan dengan Gruppenexperiment yang dilakukan pada setiap awal masuk Lembaga yang bertujuan untuk membedakan potensi demokratis dan anti-demokratis dalam banyak bidang pada masyarakat Jerman setelah Perang Dunia 2 melalui analisis survey dan wawancara mendalam (Pollock 1955). Juga sebagai langkah awal, Lembaga mempelajari kelas pekerja Jerman dan Warganegara Jerman pasca Perang Dunia 2 yang memperlihatkan tingginya kelesuan politik dan tingginya disposisi otoritarian-konservatif (lihat Fromm 1989), maka setelah melakukan survey terhadap para siswa Jerman menyingkapkan sangat rendahnya persentase (4%) para siswa yang “sejatinya demokratis”, dibandingkan dengan 6% otoritarian yang kaku. Begitu pula, hanya 9% yang memperlihatkan apa yang menurut pengarang dianggap sebagai “potensi demokrasi yang jelas”, di saat yang sama ada16 % yang menunjukkan “potensi otoritarian yang jelas” (Habermas, et. al, 1961: 234). Dan karena lebih banyaknya tendensi dan prilaku yang apatis dan kontradiktif dari mayoritas masyarakat, sebagian besar dari mereka lebih tunduk kepada model otoritarian ketimbang orientasi demokratis.

Habermas menulis pengantar pada studi “On the Concept of Political Participation,” yang menjelaskan konsepsi tentang partisipasi politik otentik yang dipakai sebagai norma untuk mengukur prilaku siswa, pandangan dan kebiasaannya. Sebagaimana ia melakukan studi lanjutan tentang ruang public, Habermas menjelaskan berbagai konsepsi demokrasi yang dirunut dari demokrasi Yunani ke dalam bentuk demokrasi borjuis sebagai catatan penting demokrasi dalam kapitalisme Negara kesejahteraan dewasa ini. Secara khusus, ia membandingkan demokrasi partisipatoris Yunani dan pergerakan demokrasi radikal dengan legislatif, yaitu demokrasi borjuis parlementer abad 19 dan tantangan terhadap reduksi partisipasi warga Negara dalam Negara kesejahteraan sekarang ini. Habermas membela “nuansa demokrasi radikal” yang baru tumbuh di mana masyarakat ingin berdaulat dalam bidang politik dan ekonomi berhadapan dengan bentuk-bentuk baru demokrasi parlementer. Karena itu, Habermas merapatkan dirinya pada model “demokrasi yang kuat” yang sejalan dengan Rousseau, Marx dan Dewey.[1]

Dalam studi awalnya tentang para siswa dan politik, Habermas mempertahankan prinsip-prinsip kedaulatan masyarakat, hukum formal, hak-hak yang dijamin secara konstitusional, dan kebebasan sivil sebagai bagian dari warisan progresif masyarakat borjuis. Strateginya ini merupakan model awal demokrasi borjuis dalam rangka mengkritisi terjadinya kemerosotan dan kemunduran di kemudian hari, dan juga untuk mengembangkan sebuah konsep normatif demokrasi yang akan ia gunakan sebagai standar “kritik imanen” terhadap demokrasi Negara kesejahteraan yang ada. Habermas percaya, baik Marx dan Frankfurt School awal, telah menganggap remeh pentingnya prinsip-prinsip hukum universal, hak asasi, dan kedaulatan, dan tentu saja proses redemokratisasi teori social radikal merupakan tugas yang sangat krusial.

Student und Politik diterbitkan pada tahun 1961, dan selama periode yang sama, siswa radikal di Amerika Serikat mengembangkan konsepsi yang sama terkait demokrasi partisipatoris, termasuk juga penekanannya pada demokrasi ekonomi.[2] Untuk selanjutnya, Habermas kemudian memberikan perhatian pada beragam cara dan konteks dalam mengembangkan teori-teori demokratisasi dan partisipasi politik. Mulai dari awal karirnya, tentunya, sampai sekarang, karya Habermas berbeda dalam penekanannya pada demokrasi radikal, dan fondasi politik ini menjadi penting dan (karena, red) kadang menjadi subteks yang terlewaatkan dalam banyak karyanya.

Habermas mengkonsepsi studinya pada ruang publik borjuis sebagai Habilitationschrift, sebuah disertasi postdoctoral untuk kenaikan gelar keprofesoran. Calhoun mengklaim bahwa Aorno dan Horkheimer menolak disertasi tersebut, (karena) dianggap tidak cukup kritis terhadap ideologi demokrasi liberal (lihat Calhoun 1992: 4f). Bagaimanapun, Wiggershaus menganggap bahwa “Adorno yang merasa bangga padanya (Habermas, red), pada dasarnya menerima tesis tersebut”, akan tetapi Horkheimer merasa yakin kalau Habermas terlalu radikal dan tidak dapat menerima permintaan revisi, karena itu sama artinya dengan mencoreng muka siswa paling menjanjikan di Institut tersebut, ia pun menekannya (Habermas, red) untuk mencari tempat kerja lain (1996: 555).

Habermas menyerahkan disertasinya kepada Wolfgang Abenroth di Marburg, salah seorang professor New Marxist di Jerman pada saat itu, dan pada tahun 1961 ia menjadi Privatdozent (dosen khusus, red) di Marburg, kemudian ia menerima gelar profesornya di Heidelberg pada tahun 1962. Kemudian atas dukungan Adorno, Habermas kembali ke Frankfurt pada tahun 1964 untuk mengambilalih posisi Horkheimer dalam bidang filsafat dan sosiologi. Dengan demikian, Adorno pada akhirnya mampu menganugerahkan mahkota suksesi yang sah kepada seorang yang menurutnya merupakan teorisi kritis yang paling mampu dan paling berjasa (Wiggershaus 1996: 628)


Bersambung...



[1] Disaat menulis artikel Habermas and Dewey pada wal 1990, saya (Douglas Kellner, red) bertanya pada Habermas jika Dewey telah mempengaruhinya, ia kemudian menjawab bahwa uraian mendalam Dewey tentang demokrasi liberal, tentang dan public, dan tentang hubungan aktif antara teori dan praktik, memberi kesan mendalam baginya; untuk lebih lengkapnya lihat Antonio dan Kellner, 1992. untuk itu, saya (Douglas Kellner, red) kira bijak untuk mengatakan bahwa Habermas telah muncul sebagai seorang teorisi dan pembela utama konsepsi sempurna dari demokrasi liberal dewasa ini, dan ia bisa dilihat sebagai penerus Dewey.

[2] On SDS, lihat Sale 1974; Gitlin 1987; dan Miller 1994.

Wednesday, July 15, 2009

Douglas Kellner on Habermas

Habermas, Ruang Publik dan Demokrasi: Sebuah Intervensi Kritis*

oleh Doglas Kellner

Buku The Structural Transformation of The Public Sphere merupakan buku Jurgen Habermas yang kaya dan berpengaruh dan memiliki dampak yang besar terhadap berbagai disiplin. Di dalamnya terdapat kriktik yang mendalam dan menawarkan diskusi tentang demokrasi liberal, civil society, ruang publik dan perubahan sosial yang sangat produktif di antara isu-isu lain di Abad 20 ini. Sejumlah buku yang muncul pada pertengahan kedua abad 20 menunjukkan keseriusannya dalam mendiskusikan buku tersebut dalam berbagai disiplin yang berbeda dan berlangsung selama hampir 40-an tahun sejak publikasi pertamanya pada tahun 1962, yang menghasilkan sejumlah kotroversi dan pandangan yang sama produktifnya. Semenjak pemikiran-pemikiran Habermas menelaah beberapa kajian filsafat yang krusial dan mengulas kembali publikasi buku utuh pertamanya, Habermas menyodorkan komentar yang lengkap dalam Structural Transformation pada tahun 1990-an dan mengangkat kembali isu-isu tentang ruang public dan teori demokrasi dalam Beetwen Facts and Norms yang sangat monumental.

Oleh karena itu, perhatiannya terhadap ruang publik dan syarat-syarat penting dari demokrasi sejati merupakan tema sentral Habermas yang layak dihargai dan dikritisi secara cermat.

Dalam paper ini, pertama-tama saya akan menjelaskan dengan lengkap konsep Habermas tentang ruang public dan transformasi structural yang merupakan karya awalnya dan selanjutnya saya akan mecatat bagaimana ia mengangkat tema-tema serupa dalam karya awalnya di awal tahun 1990-an berdasarkan konteks transformasi struktural yang ia bawa pada lingkup bahasa (linguistic turn). Setelah memperkenalkan beragam kritik yang ditimbulkan dari analisisnya, termasuk beberapa kritik dari saya sendiri, saya coba mengembangkan catatan tentang ruang public pada era kontemporer dewasa ini. Oleh karena itu, studi saya ini hendak menekankan pada pentingnya keberlangsungan gugatan Habermas dan relevansinya bagi debat-debat terkait politik demokratis dan kehidupan social-budaya dewasa ini. Tantangannya adalah bagaimana menjabarkan sebuah konsep ruang publik yang memfasilitasi partsipasi public secara maksimum dan juga debat seputar isu-isu kunci yang belakangan ini terjadi secara terus menerus dan menawarkan secara konsekuen penyebab munculnya demokrasi partisipatoris

Bersambung…



*Diterjemahkan secara bebas oleh Astar Hadi ke dalam bahasa Indonesia dari tulisan Douglas Kellner, Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention, yang beralamat di http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html

Sunday, July 5, 2009

LSI untuk Satu Putaran?!

LSI untuk Satu Putaran

Oleh: Astar Hadi*

Politisasi untuk mengarahkan pemilu presiden satu putaran, menurut Jusuf Kalla (JK), merupakan bentuk antidemokrasi. Wiranto –Cawapres pasangan JK— juga menegaskan bahwa klaim satu atau dua putaran berarti mendahului kehendak rakyat (Kompas, 19 Juni 2009).

“Virus” satu putaran ini berawal dari publikasi hasil survei LSI (Lingkar Survey Indonesia) –yang notabene didanai tim kampanye SBY-Budiono— beberapa waktu yang lalu. LSI “memenangkan” SBY-Budiono atas para pesaingnya dengan suara mutlak, 70 persen!

Suatu hal yang sangat fantastis jika saja perolehan suara ini benar-benar terjadi di Pemilu, 8 Juli 2009, mendatang. Mengingat sebelumnya, angka absolute ini hanya terjadi dalam sejarah perolehan suara Golkar pada Pilpres era Orde Baru yang, notabene, ditengarai penuh kecurangan dan pemaksaan.

Pemilu “hanya” Satu Putaran?

Menilik hasil Pemilu Legislatif, satu bulan yang lalu, suara mayoritas menempatkan Partai Demokrat –partainya SBY— sebagai jawara dengan perolehan lebih dari 20 % suara, terlepas dari buruknya performa KPU dalam penyelenggaraannya. Sementara dua partai besar yang diketuai JK dan Megawati, seperti Golkar dan PDIP, “hanya” 15 % ke bawah. Termasuk di dalamnya, partai-partai kecil dan menengah yang rata-rata membagi suara pada kisaran di bawah 10 %. Belum lagi, jika harus menghitung jumlah partai peserta Pemilu sebanyak 38 partai.

Fakta-fakta kuantitatif di atas memunculkan “scenario” bagi alur drama politik yang mengafirmasi “kebenaran” hasil survey yang “disutradarai” LSI menjadi mungkin. Walaupun ditengarai sebagai bentuk kampanye “ilmiah” untuk capres tertentu, lagi-lagi, survei opini publik “terbukti” mampu merepresentasikan angka yang nyaris tepat, seperti hasil survey LSI, terhadap perolehan suara di pemilu legislatif, Mei 2009, yang lalu. Apakah lantas drama pilpres satu putaran cukup signifikan?

Pertama, survei sebagai referensi realitas. Sebuah referensi bermakna mengacu, mengandaikan, dan menjadi acuan/referensi bagi sesuatu yang diacunya secara “menyeluruh.” Jika diibaratkan, untuk mengetahui rasa daging sapi, kita tidak perlu melahap seluruh organ dari sapi tersebut, tapi cukup dengan mencicipi satu irisan kecilnya saja, maka kita “mengetahui” bahwa “begini atau begitulah cita rasanya.” Harus ada referensi daging untuk menggambarkan nikmatnya “keseluruhan” entitas yang bernama daging sapi.

Kita masih mengingat, hasil persolehan suara riil Demokrat mencapai 20 persen, hampir seperempat dari suara pemilih se-Indonesia –hasil survey LSI pra-pemilu legislatif juga nyaris sama dengan perolehan suara tersebut. Jika dibayangkan, angka 20 persen adalah angka yang “besar” dan menentukan deskripsi voter yang akan memilih satu calon tertentu. Lebih-lebih, Pilpres tidak diikuti oleh 38 partai, yang tersisa hanya tinggal 3 kandidat capres terpilih. Ratusan juta suara seluruh rakyat Indonesia tinggal dibagi di antara ketiga kandidat tersebut. Masyarakat, kemungkinan, akan “kembali” menegaskan referensinnya pada preferensi awalnya.

Dengan kata lain, SBY, minimal, akan memperoleh sama seperti perolehan Partai Demokrat ketika itu. Ingat, pemilu 2004, Partai ini meraih suara cukup signifikan karena “faktor” only SBY. Pada akhirnya, SBY juga yang jadi presidennya. Dengan demikian, klaim satu putaran menjadi “sangat” mungkin jika mencermati tingkat popularitas dan elektabilitas masing-masing calon.

Kedua, survey adalah representasi realitas. Bias antara representasi dan realitas sangat mungkin terjadi. Representasi tidak melulu menjawab realitas yang diacunya. Pun, realitas belum tentu hasil dari sebuah representasi. Representasi bersifat terikat (dependent), sementara realitas tetap bebas (independent) pada dirinya. Faktanya, LSI “telah mengikat” realitas pemilih dengan mayoritas tunggal.

Realitas yang Terikat

Yang menarik, fakta survey yang dilakukan LSI, menghasilkan temuan 70 persen suara untuk SBY-Budiono. Di sini, realitas bukannya mengikat, tetapi diikat oleh sejumlah asumsi representasi melalui “kepastian” jawaban kuisioner yang digiring dengan sekian pertanyaan yang (bisa saja) “mengarahkan” pilihan.

Realitas tidak berdiri sendiri. Ia “terikat” oleh desain kuisioner survei yang sedemikian rupa. Representasi memungkinkan fakta riil tentang realitas nantinya. Di sini, pembalikan realitas terjadi oleh fakta-fakta simulatif quisioner. Dalam tipologi semiotika –ilmu tetang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, representasi mealalui survey sebagai tanda (sign) yang “mendahului” realitas dengan menyodorkan makna (signified) representasinya. Representasi didekontruksi untuk melampui realitas menjadi simulasi realitas; simulacrum.

Simulacrum, menurut Jean Baudrillard, merupakan proses penciptaan bentuk-bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga yang khayali kelihatan tampak nyata. Artinya, munculnya realitas 70 persen suara pemilih lahir dari proses penciptaan sekian pertanyaan kuisioner sebagai bentuk-bentuk (signifier) “pasti” akan terjadinya pilpres satu putaran. Realitas voter justru “ditentukan” oleh representasi. Antara tanda dan makna saling tumpang tindih satu sama lain. Representasi yang semestinya “hanya” sebagai penanda, alih-alih, ia justru makna (realitas) itu sendri.

Meski demikian, survei tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan bangsa Indoenesia yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Artinya, tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, survei bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi realita masyarakat Indonesia saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).

Tapi kita tidak bisa menegasikan, sebuah survei dengan kompleksitas permainan tanda (teks) di dalamnya, merupakan bentuk-bentuk miniatur dari realitas sosial kita yang sesungguhnya. to Be Continued....

Monday, June 22, 2009

Informasi untuk Ekstase Gaya Hidup

Informasi = Ekstase Gaya Hidup

Oleh: Astar Hadi*

Hari ini, diakui atau tidak, hidup kita telah diatur oleh sebuah mesin budaya baru, yaitu media. Suguhan iklan “berr” ala Coca-cola, gaya hidup selebritas, merupakan menu sehari-hari yang mengajak setiap individu untuk “terlibat” dalam setiap perayaan komoditas. Media telah mengarahkan setiap helaan nafas untuk berpacu dalam menghirup “udara” gaya hidup agar masyarakat bisa bertahan dan tetap eksis dalam panggung, yang kita sebut, kehidupan

Media, terutama sekali televisi, tidak saja menjadi sebuah tontonan atau hiburan semata, akan tetapi ia telah menjadi “kehidupan” yang mengatur hampir segala aspek keseharian, mulai dari urusan “baju apa yang harus saya pakai” sampai persoalan “jodoh yang pas buat saya”.

“Otonomi” media massa sepertinya telah menjadi lokus sekaligus focus “kesadaran budaya” manusia Indonesia untuk memintal “harapan”, “optimisme”, akan proyeksi hidup ke depan yang “lebih baik”. Melalui media pula, kita bisa melihat “keputusasaan”, “pesimisme” tentang benang kusut kehidupan yang diporak-porandakan oleh persoalan ekonomi, social dan politik, yang semakin hari, semakin tidak menentu.

Sekian banyak peristiwa kelam, mulai dari pemiskinan sistemik yang dialami seorang bayi tak berdosa di Surabaya, degradasi social capital oleh karena “premanisme” Negara terhadap hak (bertahan) hidup masyarakat kecil yang diambil atas nama “pembangunan” mercusuar ekonomi, sampai pada persoalan imagologi kampanye politik yang aduhai dengan bumbu-bumbu “kecap selalu nomer 1”, menjadi hal biasa yang kita tonton melalui televisi.

Televisi juga yang meyuguhkan adonan lezatnya gaya hidup selebritas, nikmatnya “harapan” menjadi idol-idol-an bagi si pengamen miskin, indahnya “kesempatan” “bertukar nasib” antara si Kaya dan si Miskin. Jalan raya kebahagiaan yang seolah-olah begitu nyata, mudah, dan –sejatinya— berada di depan mata penonton, merupakan, meminjam istilah Jean Baudrillard, ekstase komunikasi (the ecstasy of communication) yang mengajak kita untuk melampui percakapan/tindakan dengan ruang-ruang realitas (beyond reality) tetang apa yang terjadi di sekiling kita hari ini.

“Medium is the message”, begitu kata Marshall McLuhan. Media adalah pesan itu sendiri. Di satu sisi, media menyuguhkan fenomena-fenomena riil kompleksitas kehidupan yang diterjemahkan dalam “pesan” media untuk disikapi “sebagaimana mestinya”. Di sisi lain, Ia juga berlatar “fiksi” yang di dalamnya mengandung pesan interupsi ke pada masyarakat penonton untuk berselancar dalam relung realitas terdalam budaya; pencitraan (imagologi).

Media berarti sejumput kehidupan yang men-download kompleksitas grafis dunia nyata sebagai representasi “riil” tentang “inilah sesungguhnya kehidupan itu”. Media menarik kesimpulannya sendiri tentang mana yang layak dianggap sebagai laku kehidupan yang “memaksa” khlayak untuk mengikutinya. Tayangan berbagai jenis iklan, komodifikasi gaya hidup, reality show, bahkan program news, seolah-olah menawarkan proposal sikap, prilaku, moralitas sekaligus tips praktis to be somebody. Pada kondisi ini, kita adalah nobody yang bakal mendapat “penghargaan” manakala mampu mencitrakan diri layaknya (pesan) media itu sendiri.

Theodor Adorno, kritikus budaya Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), menyindir bahwa frasa ‘media massa’ yang seolah-olah telah bersikap kritis dan perhatian terhadap gejala social dan budaya dengan menunjukkan bahwa massa/masyarakat telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun, pada kenyataannya, massa hanya mendapatkan apa yang sudah diputuskan oleh media untuk diberikan kepada mereka.

Penolakan Adorno terhadap frasa ‘media massa’ ditengarai oleh karena fakta bahwa masyarakat sebagai subjek (perhatian) media, pada kenyataannya, tidak lebih dari sekadar objek (eksploitasi) bagi kepentingan bisnis “kebudayaan” yang justru menghasilkan kesadaran magis yang menghipnotis masyarakat untuk menikmati hidangannya tanpa reserve.

Kita adalah (Masyarakat) Informasi

Seorang pakar sekaligus futuris media, Alvin Toffler, menjamin bahwa siapa yang mampu menguasai informasi maka dia lah yang mampu bertahan hidup (survival of the fittest) di tengah-tengah membludaknya pasar dan lalu-lintas informasi (information superhighway) dewasa ini.

Pemerintah Indonesia, melalui tangan Depkominfo, bahkan merasa sangat perlu menyebarluaskan “jurus sakti” Era Informasi (Information Age) sebagai agenda kebijakan Nasional. Informasi telah menjadi titik tekan pembangunan/perubahan di segala sector kehidupan.

Signifikansi informasi bagi perubahan social memang telah terjadi. Laju industri media, sebagai “anak emas” teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi magnet utama masyarakat dalam meng-upload kompleksitas nilai yang disodorkannya. Nyaris –untuk mengatakan sebagian besar— tidak ada satu pun yang bisa lepas dari rengkuhan (informasi) media. Sepenting itu kah sesuatu yang diklaim “informasi” itu?

Jaminan Alvin Toffler akan kedigdayaan informasi sebagai syarat “kehidupan”, sampai saat ini, malah cenderung menghasilkan bunuh diri kehidupan. Informasi seharusnya bermakna memberi “pengetahuan”, edukasi, dan kritisisme. Kini, informasi “hanya” berarti skandal, selebritas, fashion, dan gaya hidup.

Celakanya, informasi, dalam abad media, lebih asyik menyajikan ulasan yang berbasis budaya selebritis (celebrity based-culture) ketimbang transformasi pengetahuan berlatar edukasi. Bahkan, Prof. Thomas C. O'Guinn dkk., dalam karya mutakhir mereka, Advertising and Integrated Brand Promotion (2003) mengungkapkan bahwa "Twenty-first century society is all about celebrity," (Masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti).

Kalau harus dihitung, jumlah program berbasis selebritis di setiap stasiun televisi di Indonesia lebih dari 10 setiap hari, termasuk infotainment, sinetron, reality show, dan musik. Dan anehnya, program-program semacam ini jauh lebih menarik bagi khalayak daripada program yang bersifat edukatif.

Ekstase Informasi

Metamorfosa media massa (mediamorfosis) telah menciptakan model-model kehidupan baru yang sulit dibayangkan sebagai idealisme “masyarakat informasi”. Bayangan optimistik Alvin Toffler yang semestinya memberi harapan dan optimisme bagi melek (pencerahan) kebudayaan, social dan politik, justru tidak terjadi oleh karena informasi (media) tenggelam dalam logika infotainment.

Logika infotainment lebih menawarkan keasyikan (ecstacy), kegairahan (desiring machine), permainan citra (imagology), sebagai unsur berita/informasinya. Berbagai kasus kawin-cerai, skandal, budaya pesta, pesona gaya hidup, yang notabene inheren dengan image selebritis, merupakan “ruh” jurnalisme modern. Pencitraan media ini membias ke seluruh lapisan masyarakat sebagai gudang informasi yang menyajikan identitas “gaya (bertahan) hidup” masyarakat modern.

Informasi, dengan demikian, telah menjadi semacam “logosentrisme” baru yang mendekonstruksi klaim logosentrisme Descartes yang berpusat pada “Aku yang berpikir” –cogito ergo sum— menjadi “Informasi yang berpikir”. Informasi, pada akhirnya, tidak lebih merupakan konstruk berpikir yang co-existence dengan kegairahan gaya hidup yang mengkonstruksi kompleksitas kehidupan masyarakat dewasa ini yang berkiblat pada “perayaan” konsumerisme, bukan kritisisme. Wassalam

*Astar Hadi adalah penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, 2005). Pendiri dan Penanggung Jawab Mazhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences, Malang.


Saturday, June 13, 2009

Pilkades Ulang demi Rasa Keadilan Masyarakat (Kasus Sengketa Pilkades Desa Sepakek)

Oleh: Astar Hadi*

Hampir 2 tahun, polemik pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Sepakek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, belum juga rampung. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir, kasus tersebut semakin berlarut-larut yang puncaknya pada penyegelan terhadap kantor Desa setempat oleh sejumlah warga yang ditengarai sebagai pendukung calon yang kalah.

Akar Masalah

Pilkades yang dilaksanakan pada 7 September 2007 ketika itu, diikuti oleh lima calon, yaitu: Mustakim (915 suara), Mursidin dan H. Husnaini masing-masing memperoleh 912 suara, Murhayadi (307 suara), dan M. Khatib Sarbini (495 suara). Perolehan suara dari masing-masing calon ini didasarkan atas perolehan suara yang diajukan BPD (Badan Permusyawarahan Desa) setempat dari hasil semua TPS (tempat pemungutan suara) yang sekaligus kemudian dijadikan landasan pelantikan terhadap calon yang memperoleh suara terbanyak –Mustakim— oleh Bupati.

Karena panasnya suhu konflik ketika itu, sebenarnya sempat terjadi penghitungan ulang –yang tetap memenangkan Mustakim meski dianggap tidak sah oleh BPD— yang, anehnya, justru dilakukan oleh seorang oknum TNI yang seharusnya bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam urusan pilkades.

Sementara itu, sengketa berkepanjangan ini bermula dari kemenangan Mustakim dengan selisih suara supertipis, 3 suara, atas H. Husnaini (pihak penggugat) dan Mursidin. Hal ini sempat memicu kecurigaan publik, khususnya pihak yang bersengketa, akan terjadinya berbagai “kecurangan” dan “manipulasi” suara, baik pada saat pemilihan maupun di saat penghitungan suara.

Meski sebenarnya, menurut penulis, sudah ada “titik terang” bagi pihak yang bersengketa untuk segera menyelesaikan kasus ini dengan dikeluarkannya putusan PTUN Surabaya yang menguatkan putusan PTUN Mataram bertanggal 24 Juni 2008, SK No. 9/G.TUN/2008/PTUN.MTR yang intinya mengabulkan sebagian tuntutan penggugat, H. Husnaini, termasuk membatalkan dan mencabut SK Bupati Loteng No. 544 tahun 2007 terkait pengangkatan Mustakim (tergugat) sebagai Kepala Desa (Kades) incumbent. Lantas mengapa kasus ini bisa berlarut-larut?


Mengawal Demokrasi dari Parasit Fanatisme

Demokrasi yang diartikan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, dalam konteks Pilkades ini, bisa dipahami sebagai pengakuan terhadap keanekaragaman, sikap politik partisipatif masyarakat dalam bingkai demokratisasi di tingkat desa. Hal ini juga merujuk pada UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 yang mengakui penyelenggaraaan pemerintahan Desa sebagai subssistem dari system penyelenggaraan pemerintahan, di mana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus “rumah tangga” desanya.

Desa sebagai sistem pemerintahan paling kecil memberikan ruang partisipasi yang jauh lebih besar bagi masyarakat ketimbang pemerintahan di tingkat daerah atau pusat, karena masyarakat “begitu dekat” dengan pemimpinnya. Dengan demikian, perwujudan partispasi masyarakat di tingkat Desa merupakan suatu keharusan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan desa secara berkelanjutan (self sustaining capacity) untuk kepentingan masyarakatnya.

Alih-alih untuk kepentingan keberlanjutan hidup warga, kasus sengketa Pilkades di Desa Sepakek, merupakan siklus perebutan kekuasaan yang ujung-ujungnya menyengsarakan masyarakat atas terjadinya “kekosongan” pemerintahan. Dan, jika saja sengketa antara kedua belah pihak yang juga melibatkan pro-kontra masyarakat tidak disikapi dengan cara-cara yang lebih bijak, lebih-lebih dengan melakukan penyegelan kantor Desa, ini berarti satu hal, mematikan hak publik untuk mendapatkan pelayanan oleh karena kepentingan segelintir orang.

Di samping kecurigaan akan adanya “kecurangan dan manipulasi” sebagai akibat dari perolehan suara yang sangat ketat ketika itu, reaksi sejumlah pihak yang berkepentingan atas kasus ini cenderung berlebihan. Indikasi adanya sikap intoleransi dan fanatisme buta terhadap calon yang ditengarai oleh rasa –dalam istilah saya— “kedekatan kedusunan” sangat melekat dalam konflik ini.

Parasit fanatisme kelompok, saling hujat (black campaign), dan hilangnya sikap saling menghargai dan menghormati, adalah bentuk dari bunuh diri demokrasi (the end of democracy). Demokrasi yang bertujuan membangun rasa saling memiliki (sense of belonging), saling terlibat antar warga (sense of participation), dan ikut bertanggung jawab atas usaha-usaha penyelengaaraan pemerintahan desa yang baik (sense of accountability), yang seharusnya menjadi basis partisipasi masyarakat, justru mundur kebelakang, menjauhi semangat otonomi Desa.

Mengingat pentingnya keberlangsungan hidup warga, silang-sengkarut Pilkades tanpa akhir yang sejatinya telah menjauh dari ruh awalnya, yaitu mengawal proses demokratisasi di Desa, dengan demikian, perlu adanya langkah-langkah bijak kedua belah pihak yang bertikai untuk duduk satu meja, melepaskan sementara ego kuasa mereka untuk bersama-sama memikirkan “jalan terbaik” sebagai tanggung jawab moral sekaligus demi kepentingan rakyatnya. Pun demikian, sikap dewasa dan legowo merupakan cerminan calon pemimpin yang dicintai rakyat.

Urgensi Pemilihan Ulang

Sengketa Pilkades Sepakek memang kompleks. Mulai dari munculnya kecurigaan terjadinya manipulasi suara, penghitungan ulang kembali atas desakan pihak tertentu, munculnya barisan “Sepakek Menguggat”, dua kali penyegelan kantor Desa, sampai di-PTUN-kannya Mustakim –peraih suara terbanyak, selain menguras keringat dan cost yang tidak kecil, kasus ini berakibat pada mati surinya penyelengaraan pemerintahan Desa tersebut sampai saat ini.

Bagaimana pun, harus ada jalan keluar untuk lepas dari “krisis” ini. Salah satu alternatif yang paling logis saat ini adalah mengambil “jalan tengah” atas kedua belah pihak yang bersengketa –kubu Musatakim vis a vis kubu H. Husnaini— dengan melakukan pemilihan ulang sebagai konsekuensi berdemokrasi.

Pemerintah daerah Kabupaten sebagai pihak yang menjadi suprastruktur desa bertindak selaku mediator untuk mempertemukan dan “mendinginkan” kedua belah pihak serta menegaskan urgensi pemilihan ulang langsung sebagai langkah prosedural untuk “menyelesaikan” sengketa tersebut. Mengapa pemilihan ulang?

Pertama, maski pun cenderung dianggap “cacat” secara politik karena mengurai semakin besar kecurigaan akan adanya “kecurangan” dan “manipulasi” suara atas pilkades tahap pertama, pemilihan ulang menjadi relevan untuk “membuktikan” kepada siapa preferensi suara pemilih sebenarnya. Hal ini menjadi sangat urgen, di samping relatif memenuhi “rasa keadilan” masyarakat –paling tidak untuk “mendamaikan” pendukung kedua kubu— atas “kebenaran” pilihan mereka, ini juga bisa menjadi alat legitimasi politik yang kuat bagi pemenang nantinya.

Kedua, agar tidak muncul “kecurigaan”, perlu melibatkan pihak ketiga, dari lembaga/pihak independent misalanya, sebagai pelaksana tugas pemilihan, mulai dari pembentukan tim penyelengaraan pilkades sampai pelaporan hasil surat suara ke BPD dan Bupati.

Ketiga, harus ada pengawalan ketat dari aparat, dalam hal ini pihak kepolisian, mulai dari penjagaan kotak suara di setiap TPS, pengawalan ketika penghitungan berlangsung, sampai proses akhir Pilkades.

Pada akhirnya, semua elemen masyarakat adalah unsur paling esensial dari proses demokratisasi yang, tentu saja, paling berhak terlibat tanpa harus dikotori oleh tangan-tangan segelintir orang yang, karena ego pribadi/kelompok, malah merusak sense of belonging masyarakat terhadap dunia kehidupan mereka. Wassalam.


*Astar Hadi adalah warga Desa Sepakek. Peneliti dan Asisten Koordinator di INDOMATRIK (Lembaga Survey Opini Publik dan Kebijakan) Jawa Timur. Pendapat Pribadi


Sunday, May 17, 2009

Budaya = Capek Dech

Sambungan dari... “Omong-omong Budaya

Dengan demikian, budaya adalah tentang bagaimana kita bersikap, tentang bagaimana kita bertindak, tentang bagaimana kita berpikir, untuk dunia kita. Budaya, mungkin, sangat kompleks, yang melingkupi kesluruhan indera kita dalam mencerap dan mengejawantahkan impuls-impuls dunia tempat kita berada dan mengada bersamanya. Begitulah, paling tidak, para budayawan kita bertutur tentangnya. Benarkah?

Kalau dibawa dalam konteks hari ini, apakah klaim budaya semacam itu masih relevan? Akan kah ia melulu soal nilai dalam mencipta dan berkarya, soal norma dalam bertindak dan bersikap? Atau, jangan-jangan, ia adalah soal selera saya, anda atau mereka, yang menuntut pemenuhannya saat ini juga?! Capek dech…!

Budaya itu Bernama Capek Dech

Capek dech…!”. Kata-kata ini seringkali meluncur deras dari bibir-bibir masyarakat –terutama sekali kaum muda, maski kadang dari kaum tua. Apa artinya? Jika dilacak, penggunaan kata ini berkaitan dengan diksi sebagai sebuah “pilihan” selera “gaul” untuk mengungkapkan kondisi seseorang atau sejumlah orang dalam suatu kondite “moral” tertentu dianggap berlebihan, munafik, omong kosong (lebay). Di sisi lain, ia juga secara “tepat” melukiskan kondisi social, budaya dan politik bangsa kita yang mengalami virtualitas nilai dan melampui fatsun politik tentang demokrasi; transparansi, partisipasi dan akuntabilitas, menjadi hanya sebatas permainan citra (imagologi).

Capak dech adalah (bahasa) parody yang sekaligus menjadi sebuah ironisme budaya massa. Tentu saja, ya! Mengapa? Partama, parody merupakan “sebuah komposisi sastra atau seni yang di dalamnya gagasan, gaya, atau ungkapan khas seorang seniman dipermainkan sedemikian rupa sehingga membuatnya tampak absurd” (Piliang, 1998: 19). Dalam wacana parodi, realitas adalah sebuah gambaran dunia kontemporer yang tidak lagi bergantung pada realitas, yang oleh Slouka disebut sebagai fakta empiris, tidak berubah-ubah, bersifat alamiah dan tidak pula relatif. Realitas dalam pengertian ini menunjukkan sebuah ranah parodi yang, seperti halnya selera dan dunia ide yang sering kali bersifat subjektif, eksis disebabkan oleh dua unsur yang saling bertolak belakang, saling menginterupsi, dan selalu dalam “proses” permulaan. Dan realitas budaya dalam masyarakat kontemporer dewasa ini adalah realitas yang mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang menyimpang dari identitas dirinya.

Kedua, ironisme berarti, kita telah disuguhkan sebuah “wisata kuliner” di setiap ruang real time yang menunya terdiri atas histeria mesin hasrat (desiring machine) massa yang terus di-upgrade, di-update, untuk memenuhi mitos be and do it your self. Proses internalisasi (downloading) budaya global ke dalam langgam lokalitas paling subtil telah menjadikan yang global menjadi lokal dan sebaliknya secara terus menerus. Budaya, dengan demikian, merupakan sebuah lalu-lintas produksi, jejaring konsumsi, percepatan komoditas-komodifikasi, alih-alih, menjadi nilai, karakter, identitas, yang membedakan (diferensiasi) tatanan masyarakat secara sosiologis.

Sebagai contoh, dalam pemilihan legislative, beberapa minggu lalu, kita melihat sebuah adegan dari drama social yang di dalamnya bercerita tentang calon wakil rakyat dengan segala janji politiknya untuk kesejahteraan rakyat, untuk demokrasi. Akan tetapi di saat yang sama, kita juga mengerti bagaimana para calon “pahlawan” rakyat itu adalah para calo politik –tidak untuk menunjuk semuanya— yang membeli suara dengan harga yang tidak murah untuk kemudian menjualnya kembali dengan harga berlipat-lipat untuk kepentingannya sendiri. Terbukti, dari berita di media massa, banyak di antara mereka yang tidak sukses membeli “hati” rakyat”, pada akhirnya, harus dibawa ke rumah sakit jiwa, bahkan ada yang gila dalam pengertian sebenarnya.

Menilik pada fenomena di atas, langgam kebudayaan kita saat ini sudah mengalami virtualitas dan imagologi sedemikian rupa. Kita tidak lagi tahu mana yang benar-benar murni dan mana yang tidak. Kebudayaan terjerembab dalam titik hypper, melalmpui tapal batas yang seharusnya tidak dilewatinya. Wajah social, budaya dan politik telah menjauh dari tempat di mana “seharusnya” ia tinggal.

Pun demikian, realitas sosial mennujukkan betapa budaya kita telah mengalami percepatan sedemikian rupa. Belum selesai satu persoalan muncul persoalan baru. Anehnya, belum cukup kita memahami dan menghayati suatu realitas social, kembali kita dihadapkan dengan realitas baru yang lebih pelik. Kondisi krisis percepatan semacam ini secara telak disindir oleh Paul Virilio sebagai ruang epilepsi. Menurut Virilio, masyarakat kapitalis Barat –dan juga Indonesia (pen.)– kini hidup dalam ruang yang disarati oleh “kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tak terduga, yang tidak lagi sekadar berkaitan dengan tekanan dan represi, tetapi dengan interupsi (melalui percepatan), yang muncul dan menghilangkan dunia real …” Bahwa citra-citra yang disuguhkan media massa dan pasar komoditas yang silih berganti dan berpindah-pindah begitu cepat, muncul dan menghilang secara simultan dengan logika percepatan tinggi, merupakan satu representasi eksodus masyarakat dewasa ini yang bertamasya (surfing) dalam mengeksplorasi ruang nihilisme dan fatalisme pencitraan melalui seperangkat media percepatan (televisi dan Internet).

Pada akhirnya, logika percepatan adalah sebuah manifestasi budaya yang tunduk pada hukum komoditas. Sebagaimana komoditas, (hukum) budaya kini berarti apa yang bisa kita (kapitalisme dan media) tawarkan sebagai “sesuatu” yang memiliki nilai tukar (exchang value), bukan nilai guna (use value), bukan pula moralitas akan tetapi kreatifitas. Dan, tentu saja, komoditas budaya berarti komoditas pasar yang tidak pernah tidur dan tidak pernah sepi dari hysteria akan “yang serba baru” –HP ini, lalu HP itu, lalu…capek dech.

Budaya tidak lagi berarti sebuah “rasa, karsa dan cipta dari akal budi” yang lahir berdasarkan proses (kesadaran) kritis-reflektif nilai yang menuntut ruang dan waktu untuk merenung. Alih-alih, ia adalah sebuah proses (kebergairahan) magis-rekreatif yang “hanya” menuntut pemenuhan hasrat secara instant. Wassalam…


Daftar Bacaan

Hadi, Astar. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka terhadap Jagat Maya. LKiS. Yogyakarta.


Virilio, Paul. 1991. The Aesthetics of Disappearance. New York: Semiotext(e).

Thursday, April 30, 2009

OMONG-OMONG BUDAYA

Oleh: Astar Hadi

‘Culture is to society what memory is to individuals’
(Harry C. Triandis)
‘Culture is the software of the mind’
(Gert Hofstede)
Budaya itu Apa?
Apakah budaya? Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana sekaligus “menjebak”. Persoalan budaya adalah “persoalan” sehari-hari kita. Sederhana, karena ia sangat dekat dengan diri kita, dengan aktifitas-aktifitas yang kita lakukan, dengan bahasa yang kita gunaan, dan “menyatu” dengan lingkungan tempat tinggal kita. Ia menjebak, karena berurusan dengan “pandangan hidup”, selalu diagung-agungkan sebagai sesuatu yang “sempurna” bagi sebuah karya cipta manusia yang adiluhung.
Lagi-lagi, budaya adalah sebuah pertanyaan dan pernyataan yang telah ditanyakan dan dinyatakan dari sejak munculnya manusia ke bumi, atau paling tidak, sejak “kemarin sore” di saat gebyar pemilu yang menghadirkan para caleg yang siap untuk manciptakan “peradaban” baru bangsa Indonesia ke depan.
“10 X 10 = C(e/a)pek Deh” adalah sebuah metafora tentang jejak budaya kalau kita mengartikan sebuah budaya sebagai representasi riil suatu masyarakat yang membagun dunianya dalam konteks “cara belajar dan cara mengada” kita saat ini. Ia merupakan proses kreatif dan bentuk pengungkapan terhadap fenomena yang ada, saat ini, dan di sini. Mungkinkah?
Tidak kurang sulitnya untuk mendefinisikan konsep budaya. Tampaknya, ia terlalu mudah ketika dipahami sebagai “kejadian” sehari-hari yang “apa adanya” dan terasa sangat berat ketika kita disodorkan dengan tetek-bengek nilai, norma, kualitas kehidupan, karya cipta, dan lain-lain. Problem ini disikapi secara menarik oleh Ignas Kleden dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1987) dengan melihat bahwa kebudayaan tidak semata-mata perkara value judgement, melainkan juga bentuk dari kenyataan objektif yang melahirkan problem reality judgement. Kleden mengajak kita untuk memasuki wilayah diskusi baru, bahwa budaya bukan hanya perbincangan tentang wilayah nilai-nilai akan tetapi ia juga manifestasi realitas objektif yang inheren dengan dunia manusia
Dari perspektif di atas, Kleden melihat dua kecenderungan dominan terkait cara orang menghadapi kebudayaan. Yang pertama, mereka yang menyikapi kebudayaan sebagai “kata benda”, dan yang kedua adalah mereka yang menyikapinya sebagai sebuah “kata kerja”. Tentang ini, ia menjelaskannya dalam kalimat-kalimat sebagai berikut:
“kalau dalam konsep nativistik para eksekutif kebudayaan seakan-akan ditempatkan di masa lampau; kalau dalam konsep ilmiah para ilmuan social kebudayaan ditempatkan di masa sekarang; maka dalam konsep kreatif para budayawan dan seniman kebudayaan seakan-akan ditempatkan di masa depan. Untuk kelompok pertama adalah “warisan budaya”; untuk kelompok kedua: “kehidupan budaya dan perubahan budaya”; dan untuk kelompok ketiga: “daya cipta budaya”. Demikan pun, para eksekutif dan politisi dirisaukan oleh persoalan identitas budaya, para ilmuwan sibuk dengan masalah social budaya dan dampak kebudayaan, sedangkan para budayan dan seniman resah oleh krisis, kemandegan, atau impasse kebudayaan. Secara singkat, golongan terakhir inilah yang secara khas memandang dan memperlakukan kebudayaan sebagai kata kerja dan bahkan sebagai pekerjaan itu sendiri.”

Melacak Gagasan-gagasan Budaya
Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu komunikasi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan bahasa akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental.
Salah satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.
Budaya dalam definisi diatas berarti mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya. Hanya sebagian kecil dimensi manusia yang tidak dicakup dalam konsep budaya, yakni yang terkait dengan insting serta naluri. Hal serupa dikemukakan oleh Van Peursen (1988) yang menyatakan kebudayaan sebagai proses belajar yang besar.
Melacak gagasan konseptual tentang budaya, tidak sedikit yang coba menelaahnya dari asal-usul katanya (etimologis). Beberapa tokoh penting dalam perkembangan kebudayaan Indonesia di pra dan pasca-kemerdekaan, seperti Ki Hadjar Dewantara, Poerbatjaraka, Zoetmulder, Moh. Natsir, Drijarkara, Notonegoro dan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), sama-sama mengamini budaya sebagai derivasi “budi” dan “daya” dari kata jamak “Buddhayah” dalam bahasa Sangsekerta , yang berarti “daya dari budi” atau kekuatan budi manusia yang meliputi cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari semua itu (Koentjaraningrat, 1990: 181; Kayam, 1981) yang terutama ditujuakan pada peningkatan kualitas hidup manusia menjadi lebih luhur atau mulia.
Di sisi lain, ada yang coba mendefinisikan budaya dengan menyelidiki kata kebudayaan sebagai sebuah terjemahan dari kata “kultur” dalam bahasa Jerman atau “cultuur” (Belanda) dan hampir sepadan dengan kata “culture” (Inggris dan Prancis) atau kata “colere” atau kata “cultivare” (Latin). Dalam hal ini, budaya memiliki pengertian dasar “mengolah atau mengembangkan” kehidupan sehingga menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Kedua pelacakan terserbut, menurut hemat penulis, baik secara etimologis maupun transliterasinya, menunjuk pengertian yang, paling tidak, hampir sama, yaitu sebagai sebuah produk histories manusia dalam proses mencipta dan mengolah kualitas kehidupannya untuk kepentingan peradaban.
Sementara itu, Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian juga budaya yang berbeda akan membuat manusia berbeda.
Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia memakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Software, kita tahu adalah program yang membuat sebuah komputer bekerja. Tanpa software, komputer hanya seonggok benda mati yang tidak berguna. Software-lah yang menentukan kerja komputer. Jadi, Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya ketika ia menganalogikan budaya sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna.
Lain kesempatan disambung lagi... :)
Daftar Bacaan
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi: Cetakan Kedelapan. Rineka Cipta. Jakarta.
1 Makalah ini disampaikan dalam diskusi Malam Jum’at di Djaeng Coffe, 16 April 2009.

Friday, March 6, 2009

Berawal dari Mungkin, Aku “Berdusta” untuk Sebuah Brand Image


Hari-hari yang melelahkan. Otak, hati dan fisik, semua bekerja. Hanya untuk satu hal; menciptakan brand image. Yeah, itu lah yang ku lakukan satu bulan terakhir ini sebagai pemula dalam dunia usaha madu hutan Sumbawa murni. Dengan modal pas-pasan dan peralatan produksi minimal, aku coba untuk menembus pasar, sekuat apa pun persaingan yang ada. Ini lah realitas pasar. Dunia nyata !
“Noda itu belajar”, kata iklan. Begitu lah lingkungan sekitar ku berkisah tentang proses belajar, proses bekerja, proses kehidupan, untuk sebuah proses menjadi. Ini kah yang ku cari? Tentu saja, mungkin!!! Ya, mungkin itu lah.
Aku memulai semuanya dengan sebuah pertanyaan; mungkin. Dan, aku menemukan jawaban yang pas untuk berjalan dengannya; mungkin. Ya, mungkin juga. Sebuah jalan untuk menjadi.
Apa mungkin? Yang ku tau, saat ini aku seorang pengusaha madu yang coba berteriak sekeras-kerasnya, berdoa sedalam-dalamnya, bekerja sekuat-kuatnya, untuk sekadar mengatakan bahwa produk madu ku “benar-benar murni, berbeda dari yang beredar di pasaran saat ini, baik secara kualitas dan manfaat atau pun khasiat”. Untuk ini, aku tidak mengada-ada, aku serius mengatakannya, sejauh itu, lagi-lagi, masih mungkin.
Sejujurnya, kalo merunut pada Umberto Eco –seorang pemikir Perancis— setiap apa yang dikatakan bertujuan promotif, itu untuk mendustai. Eco menegaskan, “iklan adalah teori untuk berdusta.” Aku berdusta? Untuk sebuah kemungkinan, Eco benar. Jangan Tanya soal kepastian, karena Eco pasti salah. Begitu pula untuk promosi All-Nahl –nama merk maduku, berpotensi mengumbar kedustaan publik, meski secara pribadi aku tetap akan menegaskan bawa produkku exactly pure. Di sinilah logika iklan.
Seperti halnya logika produksi yang menginginkan surplus value (nilai lebih), iklan pun pada dasarnya sama, mengejar surplus meaning (makna lebih), yang ujung-ujungnya adanya exchange value (nilai tukar). All-Nahl menghendaki keduanya, untuk sebuah eksistensi; sebuah brand image.
Lagi-lagi aku harus bekerja keras. Untuk “mendustai” konsumen itu tidak mudah. Aku harus makin banyak belajar cara “berdusta yang baik dan benar”. Paling tidak, aku harus tau sejauh mana keaslian, kemurnian, dan khasiat maduku, untuk memudahkan aku dalam melebarkan sayap “dusta” yang selama ini aku lakukan. Karena semakin aku mengerti system kerja, teknik pemasaran, dan lain-lain, kemungkinan makin banyak caraku untuk mengelabui mereka tentang keaslian maduku. Tentu saja, maduku memang sejatinya madu Hutan Sumbawa murni, tanpa campuran dan bukan ternak.
Ready to try this "lying".... So, just feel the taste of my honey...