Friday, March 6, 2009

Berawal dari Mungkin, Aku “Berdusta” untuk Sebuah Brand Image


Hari-hari yang melelahkan. Otak, hati dan fisik, semua bekerja. Hanya untuk satu hal; menciptakan brand image. Yeah, itu lah yang ku lakukan satu bulan terakhir ini sebagai pemula dalam dunia usaha madu hutan Sumbawa murni. Dengan modal pas-pasan dan peralatan produksi minimal, aku coba untuk menembus pasar, sekuat apa pun persaingan yang ada. Ini lah realitas pasar. Dunia nyata !
“Noda itu belajar”, kata iklan. Begitu lah lingkungan sekitar ku berkisah tentang proses belajar, proses bekerja, proses kehidupan, untuk sebuah proses menjadi. Ini kah yang ku cari? Tentu saja, mungkin!!! Ya, mungkin itu lah.
Aku memulai semuanya dengan sebuah pertanyaan; mungkin. Dan, aku menemukan jawaban yang pas untuk berjalan dengannya; mungkin. Ya, mungkin juga. Sebuah jalan untuk menjadi.
Apa mungkin? Yang ku tau, saat ini aku seorang pengusaha madu yang coba berteriak sekeras-kerasnya, berdoa sedalam-dalamnya, bekerja sekuat-kuatnya, untuk sekadar mengatakan bahwa produk madu ku “benar-benar murni, berbeda dari yang beredar di pasaran saat ini, baik secara kualitas dan manfaat atau pun khasiat”. Untuk ini, aku tidak mengada-ada, aku serius mengatakannya, sejauh itu, lagi-lagi, masih mungkin.
Sejujurnya, kalo merunut pada Umberto Eco –seorang pemikir Perancis— setiap apa yang dikatakan bertujuan promotif, itu untuk mendustai. Eco menegaskan, “iklan adalah teori untuk berdusta.” Aku berdusta? Untuk sebuah kemungkinan, Eco benar. Jangan Tanya soal kepastian, karena Eco pasti salah. Begitu pula untuk promosi All-Nahl –nama merk maduku, berpotensi mengumbar kedustaan publik, meski secara pribadi aku tetap akan menegaskan bawa produkku exactly pure. Di sinilah logika iklan.
Seperti halnya logika produksi yang menginginkan surplus value (nilai lebih), iklan pun pada dasarnya sama, mengejar surplus meaning (makna lebih), yang ujung-ujungnya adanya exchange value (nilai tukar). All-Nahl menghendaki keduanya, untuk sebuah eksistensi; sebuah brand image.
Lagi-lagi aku harus bekerja keras. Untuk “mendustai” konsumen itu tidak mudah. Aku harus makin banyak belajar cara “berdusta yang baik dan benar”. Paling tidak, aku harus tau sejauh mana keaslian, kemurnian, dan khasiat maduku, untuk memudahkan aku dalam melebarkan sayap “dusta” yang selama ini aku lakukan. Karena semakin aku mengerti system kerja, teknik pemasaran, dan lain-lain, kemungkinan makin banyak caraku untuk mengelabui mereka tentang keaslian maduku. Tentu saja, maduku memang sejatinya madu Hutan Sumbawa murni, tanpa campuran dan bukan ternak.
Ready to try this "lying".... So, just feel the taste of my honey...