Tuesday, January 22, 2013

Serambi Madinah dan Partisipasi dari Bawah


Oleh: Astar Hadi*

Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diperingati setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal segera tiba. Kelahiran adalah sebuah momentum eksistensi bagi kehadiran manusia di muka bumi. Alloh SWT menegaskan posisi manusia sebagai satu-satunya khalifah (pemimpin) yang “berhak” mengelola kehidupan ini untuk menjalankan hak dan kewajiban kemanusiaannya dalam ranah pribadi dan, lebih-lebih, sosial kemasyarakatan.
Kelahiran Muhammad SAW merupakan manifesto “ruh” sejarah (laqod kholaqna al-insan fi ahsani taqwim), eksistensi bagi kesadaran mewujud (rahmatan li al-‘alamin), transendensi kemanusiaan dalam sibghoh/celupan Tuhan (sibghotullah) dan imanensi Tuhan yang “menyublim” dalam kemanusiaan (takhallaqu bi akhlaqillah). Muhammad, dengan demikian, sosok/subjek yang hadir bukan di ruang hampa sejarah, tidak pula berlaku-tindak dalam “jalan sunyi.” Beliau sekaligus tafsir sejarah masa depan bagi terbentuknya kesalehan pribadi dan sosial yang menyeluruh tentang bagaimana sebuah momentum kelahiran itu dimaknai, dicerap, dan dijalankan. Pada titik inilah peringatan Maulid Nabi menemukan kontekstualisasinya hingga kini.
Artinya, kontekstasi kelahiran Nabi Muhammad beserta sejarah yang memayungi perjalanannya menyiratkan suatu sikap/prinsip, suatu pola, suatu gerak, yang bisa menjadi spirit untuk mendorong rancang-bangun peradaban di kemudian hari. Kontekstualisasi ajaran Muhammad secara teoritis bisa dilacak pada munculnya istilah “masyarakat madani” yang akar sejarahnya dirunut dari “Piagam Madinah” yang terkenal itu.
Dalam konteks istilah di atas, sudah banyak literatur yang secara khusus membahas bagaimana kontekstasi kehidupan Nabi semasa di Madinah. Salah satunya, mengutip Ahmad Hatta, masyarakat Madani –seperti yang awalnya dipopulerkan oleh Cendekiawan Malaysia Profesor Naquib Al-Attas— merupakan terjemahan dari kosa kata bahasa Arab, mujtama’ madani, yang secara etimologis mempunyai dua arti. Pertama, "masyarakat kota", karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah, yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization. Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Dalam hubungannya dengan masyarakat madani, bahkan, menurut Hatta dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights) atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan. Di sini, masyarakat madani banyak ditafsirkan sebagai peradaban kota yang menjunjung tinggi hukum, tata sosial-politik dan hak asasi manusia.
Untuk membatasi tulisan ringkas ini, penulis tidak hendak membahas kompleksitas isi Piagam Madinah, istilah masyarakat madani dan sejarah kerasulan/kenabian Muhammad secara mendetil. Proyeksi utama dari bahasan ini menyangkut “tafsir” sosio-teologis atas ceramah Emha Ainun Najib (Cak Nun) di GOR Turide Mataram tentang istilah “Serambi Madinah” dalam hubungannya dengan prospek ke-NTB-an kita.

Serambi Partisipasi dari Bawah
“Serambi Madinah” merupakan sebuah asosiasi “nama lain” bagi NTB yang, tentunya, memiliki konsekuensi tafsir yang multidimensional. Sebagai sosok budayawan berpengetahuan luas, Cak Nun, tentu saja, berupaya meneropong warna “khas” dan citarasa lokalitas NTB dalam pembacaan yang berurat-akar pada sosio-historis-teologis yang melatarbelakanginya. Klaim NTB sebagai “Serambi Madinah” mengejawantahkan sebuah impresi mendalam yang mengisyaratkan “kentalnya” warna agama (baca: islam) di NTB jika dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Pembacaan sosio-teologis oleh sosok yang juga dikenal dengan sebutan Kyai Mbeling ini tidak berarti bahwa NTB, seperti halnya Aceh, merupakan daerah yang “harus” berdiri sebagai “kota agama” dengan sekian aturan-aturan syari’at yang mengaturnya. Jika merujuk pada akar sejarahnya di masa Periode Madinah, secara (tafsir) hermeneutis, “Serambi Madinah” bermakna metaphor yang merujuk pada retrospeksi sebuah kebudayaan dan peradaban kota maju di masa Rasulullah  dengan mengamini kearifan-kearifan local “yang di sini” dan “kini” (baca: NTB). Apa artinya?
Pembacaan terjauh dari apa yang diungkapkan Cak Nun, pada dasarnya, menguliti agama dalam pembalikan makna yang bukan ditujukan pada “hanya” agama itu sendiri. Akan tetapi, ia mengelaborasi sekaligus memproblematisasi istilah “Serambi Madinah” dalam cangkang (politik) identitas kebudayaan local NTB yang harus segera bergerak dan bergegas menjadi sebuah kekuatan budaya yang akarnya terletak pada perluasan partisipasi dan kreasi publik.
Ketimbang bicara deliberasi partisipasi publik secara khusus, apa yang kita tangkap sejauh ini, pembacaan umum tentang masyarakat madani dan atau Piagam Madinah lebih banyak dielaborasi pada wilayah Negara sebagai lokus tata Negara modern lengkap dengan dinamika semangat pluralisme, toleransi dan penegakan hak asasi manusia yang jangkauannya terkesan “elitis”.
Dengan demikian, ungkapan Cak Nun dalam ceramah tersebut, merupakan upaya pribumisasi “Serambi Madinah” dalam artiannya yang “merakyat”. Sebagai contoh, masyarakat keturunan jawa yang menjadi warga NTB, menurutnya, adalah kaum muhajirin” di Madinah pada zaman Rasul. Bahkan, masyarakat jawa yang sudah menetap di NTB dihimbau untuk turut bersama-sama membangun NTB. Begitupun warga keturunan NTB yang menjadi penduduk daerah-daerah lain juga menjadi sama persisnya. Konkretnya, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Makna deliberasi partisipasi publik menjadi konsekuensi logis yang paling faktual sebagai prasyarat membangun ruh “Serambi Madinah” tersebut. Kontestasi ruang publik masyarakat madani, dalam terjemahan epistemologi-metapolitik –opini penulis Tangan Berjabat, Bekerja dan Berbuat Bersama Rakyat: Sebuah Epistemologi Metapolitik BMD NTB di Lombok Post 22-23 Desember 2012— adalah “serambi” bagi Yang Politis (The Political). Di mana, “yang Politis” merupakan cakrawala kolektivitas emansipasi yang disandarkan pada multiple identity (identitas yang beragam) –dalam hal ini NTB sebagai yang bersatu dalam kemajemukan—  untuk bertindak, bergerak dan berbuat “melampui” yang tak mungkin dalam politik sehari-hari.
Keberadaan suku Jawa dan suku lainnya sebagai “muhajirin” dalam langgam partisipasi publik di NTB mutlak mensinergikan diri dalam “penyatuan” (politik) identitas kebudayaan untuk menjadi “yang politis”. Artinya, sikap penyatuan “yang politis” ini tidak berarti menolak perbedaan, tidak pula tidak saling menghargai dan bertoleransi. Alih-alih, ia merupakan kredo ideologis yang mendorong secara penuh perluasan partisipasi dari bawah (masyarakat) untuk menegakkan dan membangun prinsip-prinsip madaniyah bagi NTB secara bersama.
Keberagaman dalam konteks “Serambi Madinah” tidak sebatas penghargaan terhadap perbedaan etnis, agama dan sebagainya. Melampui apa yang dimaksud Cak Nun, ia menuntut deliberasi demokrasi –mengikuti fisuf Jerman, Jurgen Habermas— yang artinya membuka ruang publik partisipatif dan tindakan komunikasi rasional (theory of communicative action) antar warga dan pemerintah untuk menuangkan kreasi wacana yang beragam sebagai wadah (serambi) yang menampung dan memantik terciptanya kebijakan-kebijakan yang pro-masyarakat di kemudian hari.
Dasar sosio-teologis deliberasi demokrasi dan relevansinya dengan “citra” Serambi Madinah ini sudah berakar kuat pada fakta-fakta NTB –khususnya Lombok— sebagai Pulau Seribu Masjid. Sejarah kedatangan Rasulullah di Madinah ditandai pertama kali dengan pembangunan masjid. Masjid, selain sebagai tempat sholat/ibadah, menjadi ruang paling penting tempat berlangsungnya partisipasi ruang publik yang signifikan bagi peradaban Madinah ketika itu. Dengan demikian, momentum NTB untuk menjadi yang “setara” paradaban Kota Madinah menjadi hal yang sangat mungkin terjadi seperti bayangan Cak Nun sejauh ia “sejalan” dengan prinsip-prinsip masyarakat madani itu sendiri.
Bayangan nostalgis-utopis pria asal Jombang tersebut bisa menjadi “ruh” yang menyemangati munculnya kesadaran baru masyarakat NTB bersama-sama berpartisipasi secara kritis-emansipatif untuk menegaskan “jati diri” kebudayaan kita yang khas. Dan, momentum menjelang peringatan Hari Besar Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi ruang refleksi prospektif yang tepat bagi kita semua. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Selamat Hari Maulid Nabi 1434 Hijriyah.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

**Dimuat di Lombok Post, Selasa, 22 Januari 2013

Friday, January 11, 2013

Hantu Survei dan para “Cheerleaders”


Oleh: Astar Hadi*

Perjalanan politik di NTB dalam proses demokratisasi ini tengah mengalami kemunduran (setback), kalau tidak bisa disebut, tenggelam. Paling tidak, hal itu yang sementara penulis tangkap dari sejumlah komentar “naïf” nir-intelektual di diskusi bertema “Outlook Democration” yang diselenggarakan di kantor DPD Partai Demokrat NTB yang melibatkan sejumlah tokoh elit partai politik (parpol) NTB dan sejumlah elemen masyarakat lainnya.
Diskusi yang seharusnya membahas bagaimana ideal-ideal demokrasi politik NTB ke depan justru terjebak pada pandangan-pandangan pragmatik-oportunistik “jangka pendek” elit parpol yang “miskin” ruh gagasan dan mengalami impotensi imajinasi intelektual yang mutlak dimiliki para pemangku jabatan strategis. Sangat sedikit –jika tidak bisa disebut tidak ada— nuansa dialektika argumentasi berupa pengayaan konsep-konsep yang membuka horizon imajinatif bagi pembangunan nilai-nilai sosial-politik di masa depan.
Merangkum sejumlah pendapat yang mengemuka, penulis menarik satu benang merah penting bahwa gagasan-gagasan ideal politik mengalami metamorfosa positivistik dan mekanistik pada titik di mana para politisi menilai demokrasi “hanya” sebagai ajang kontestasi perebutan suara dan kalkulasi monolitik pada sejauhmana mereka menjangkau masyarakat sebagai objek kuasa. Ketimbang menempatkan demokrasi sebagai ruang yang menghadirkan subjek-subjek transformasi dan emansipasi politik, keberadaan konstelasi politik kita dewasa ini lebih merupakan pagelaran “karpet merah” demokrasi procedural lima tahunan yang menghadirkan euforia sesaat.
Menyorot lebih jauh. Mencermati dan memahami perkembangan politik dalam dinamika parpol di NTB, kita disodorkan sebuah “kesenjangan” kentara antara logika-logika yang dibangun berdasarkan “pragmatisme” vis a vis “idealisme”. Di satu sisi, jika menilik pada pandangan sejumlah kalangan, politik masih merupakan barang kemasan yang memproduksi demokrasi pada praktek-praktek simplisistis jual-beli “tubuh” yang mengatasnamakan “realitas” sebagai batu pijakannya. Di sisi lain, hasrat pada kehadiran politik yang memayungi kesadaran kritis untuk menggagas kerangka strategis jangka panjang mengalami degradasi epistemologis oleh karena rendahnya minat dan kecakapan politisi kita dalam mencerap idealisme “ilmu” politik sebagai referensi metodik kerja-kerja kepemimpinan/kebijakan. Apa pasal?

Hantu Survei dan “Matinya” Demokrasi
Dalam diskusi “Outlook Democration” yang berlangsung pada hari Ahad, 30 Desember 2012, yang lalu, ironisnya, memperlihatkan secara telak “wajah lugu” politisi NTB yang “menempatkan” koridor demokrasi pada kertas-kertas hasil survei. Semua elit parpol yang hadir seakan bersepakat tanpa reserve bahwa “kendali” demokrasi dibatasi oleh apa yang muncul dari kalkulasi variabel-variabel kuantitatif. Demokrasi, sekali lagi, dipahami secara naïf sebagai sebentuk “kesadaran magis” politik yang terejawantah melalui “mitos” kebenaran modernisme/ilmiah tentang realitas yang given/terberi “tanpa” upaya riil melakukan pelampauan-pelampauan epistemologis-paradigmatik berupa pengembangan/perubahan strategi kerja-kerja yang berbeda dalam mendekati masyarakat.  
Seraya “malu-malu kucing,” mereka mengakui/mengalamatkan hasil survei sebagai “representasi” suara masyarakat yang “sah” (legitimate). Alih-alih, disikapi sebagai sebuah diskursus kualitatif yang mencipta kehendak (political will) untuk memperbarui/memperbaiki etos kerja ke depan dalam simpul peran yang terorganisasi secara baik dan berorientasi transformatif ke akar rumput, justru ada kecenderungan mendudukkan perkara survei sebagai “kunci” dari mata rantai perpolitikan yang bekerja secara “tak terlihat” (invisible hand) untuk mengendus “masyarakat memilih siapa/apa.” Demokrasi dalam pengertian substantifnya sebagai ‘pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’ bermetamorfosa secara negatif menjadi petanda/makna (signified) kuasa yang menandai (signifier) masyarakat oleh utak-atik angka-angka yang mereduksi persoalan sosial dan atau kemanusiaan secara menyeluruh dalam batas-batas objek matematis agregasi kuasa.
Tengara ini, tentu saja, merupakan sebuah penanda “sederhana” yang sekaligus memberi prapaham tentang bagimana kondisi riil “kejumudan” berpikir dan cara berpolitik para elit kita. Pada konteks yang lebih ekstrim, kesenjangan antara ide, kemampuan bertindak taktis-strategis, bergerak paralel dengan keengganan mereka untuk mengambil inisiasi kerja-kerja kemasyarakatan yang secara kualitatif bisa merubah peta politik sekaligus mendongkrak nama mereka.
Tidak salah jika kemudian, apa yang penulis tangkap pada diskusi tersebut bukan sebuah dialektika diskursus konstruktif kecuali “hanya” pertunjukan yang mengamini “kelemahan” mereka sendiri yang tidak cukup lihai membungkus “wibawa” partai mereka yang, di antaranya, tergolong partai besar di NTB, bahkan di Indonesia. Layaknya para cheerleader sang pemandu sorak, mereka secara “bersama” dan bersemangat “menyimpulkan” bahwa masa depan demokrasi di NTB terletak di kaki takdir “hasil survei” dan Pilkada Gubernur NTB yang semakin dekat ini. Apakah lantas suara/realitas masyarakat jatuh pada “takdir” hasil survei?

Survei sebagai Representasi (Bukan) Realitas
Suatu bentuk representasi dalam survei selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia bisa menyampaikan kebenaran terhadap realitas yang diacunya sejauh realitas tersebut memiliki hubungan korelatif yang kuat dengan representasinya. Di sisi lain, kebenaran itu bisa salah jika saja tidak ada hubungan korelatif yang kuat dengan masyarakat yang direpresentasikannya. Untuk memahami ini, ada dua hal mendasar yang bisa dibaca sebagai kerangka memahami “makna” survei itu sendiri.
Pertama, survei sebagai referensi realitas. Sebuah referensi bermakna mengacu, mengandaikan, dan menjadi acuan/referensi bagi sesuatu yang diacunya (masyarakat) secara “menyeluruh.” Jika diibaratkan, untuk mengetahui rasa daging sapi, kita tidak perlu melahap seluruh organ dari sapi tersebut, tapi cukup dengan mencicipi satu irisan kecilnya saja, maka kita “mengetahui” bahwa “begini atau begitulah cita rasanya.” Harus ada referensi daging untuk menggambarkan nikmatnya “keseluruhan” entitas yang bernama daging sapi.
Apakah analogi di atas tepat? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena survei sebagai sebuah metode ilmiah memiliki seperangkat metode-metode tertentu yang dianggap valid untuk menyampaikan “kebenaran” berdasarkan uji validitas dan uji realibilitas berdasarkan data dan fakta objektif. Artinya, klaim kebenaran ilmiah berbeda dengan hanya sekedar klaim subjektif seseorang yang mengatakan bahwa rasa sapi itu seperti ini atau itu, enak atau tidak. Meskipun sama-sama berdasarkan fakta, akan tetapi penjelasan tentang rasa daging sapi itu masih bersifat asumptif karena mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah tentang “keterukuran universal” dan “validitas objektif” sebuah penelitian.
Kedua, survey adalah representasi/perwakilan realitas. Bias antara representasi dan realitas sangat mungkin terjadi. Representasi tidak melulu menjawab realitas yang diacunya. Pun, realitas belum tentu hasil dari sebuah representasi. Representasi bersifat terikat (dependent), sementara realitas tetap bebas (independent) pada dirinya.
Representasi memungkinkan fakta riil tentang realitas nantinya. Di sini, pembalikan realitas bisa terjadi oleh fakta-fakta simulatif quisioner. Dalam tipologi semiotika –ilmu tetang tanda-tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, representasi melalui survey sebagai tanda (sign) yang “mendahului” realitas dengan menyodorkan makna (signified) representasinya. Representasi direkontruksi untuk melampui realitas menjadi simulasi realitas; simulacrum. Artinya, representasi yang semestinya “hanya” sebagai penanda, alih-alih, ia justru menjadi makna (realitas) itu sendri. Spectrum realitas ditaruh pada “sebidang” representasi yang mewakilinya. Dengan demikian, seolah-olah, representasi menjelaskan realitas secara keseluruhan.
Sementara itu, representasi tidak sepenuhnya mampu membaca variabel manusia secara tepat jikalau terjadi perubahan dinamika sosial yang signifikan. Manusia sebagai “objek” penelitian bersifat terbuka sehingga tidak memungkinkan bagi angka-angka kuantitatif survey yang bersifat statis untuk membaca gerak manusia yang dinamis. Ini merupakan variabel gerak (manusia) yang memungkinkan hasil yang berbeda secara kontras dari hasil survey itu sendiri. Meski sangat sering survei memperlihatkan keabsahannya, itu tidak berarti ia secara otomatis mampu membaca keseluruhan aspek (variabel) kemanusiaan secara lengkap. Contoh kasus hasil Survei Pilkada Jakarta Putaran pertama 2012, Pilkada Loteng Putaran kedua 2010, Pilkada Pamekasan (Madura) 2007, dan lainnya, merupakan “bukti” bahwa tidak selamanya hasil survei menentukan realitas yang diacunya.
Artinya, survei tidak cukup memberikan sebuah jawaban, tidak bisa pula dijadikan sebagai manifestasi representatif yang jujur dari kehidupan masyarakat yang begitu besar, kompleks dan plural ini. Tidak saja ia terlalu sempit atau reduktif, survei bahkan bisa menjadi sebuah contoh dari rantai pertandaan yang melampui apa saja yang seharusnya menjadi realita masyarakat saat ini. Secara semiotik, tanda atau bentuk semacam ini disebut pseudo sign (tanda palsu).
Apa yang kita peroleh dari penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa meskipun survei memiliki arti sangat penting untuk “melihat” dan atau “membaca” kecenderungan dalam masyarakat, tidak serta-merta ia menjadi tolak-ukur utama yang memayungi “tafsir” kita atas cara-cara kita menyikapi persoalan NTB yang sedemikian kompleks. Survei tetap penting sebatas mengukur setiap kemungkinan yang bakal terjadi dalam pentas sosial-politik ke depan seraya tidak “terjebak” dalam sikap seorang Cupak –sosok dalam legenda rakyat yang berjiwa kancil yang banyak akal tapi licik/penjilat dan malas— politik yang tidak mampu secara kritis mencerna dan berdialektika dalam mencipta khazanah ideal-ideal demokratisasi bagi NTB ke depan.
Pada akhirnya, arti penting “Outlook Democration”, tentu saja, adalah untuk menggagas secara bersama peradaban politik kita dalam mencipta deliberasi demokrasi –seperti diungkap Dr. Husni Muadz— yang akarnya terletak pada inisiasi transformatif ide-ide kebijakan yang nyata dibarengi partisipasi luas masyarakat atasnya. Sayangnya, diskusi tersebut tidak ubahnya, sekali lagi, melahirkan calon berbakat “cheerleaders” sang pemandu sorak yang mengamini hasil survei sebagai “takdir” Ilahi

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaenng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang. Pendapat pribadi.

**Dimuat di Lombok Post, 10 & 11 Januari 2013

Wednesday, January 2, 2013

Selamat Datang (Calon) Pemimpin Tanpa Visi (Catatan Politik NTB 2012)


Oleh: Astar Hadi*

Catatan Politik 2012 sebuah Koran lokal NTB menyebutkan bahwa tahun 2012 adalah “tahun politik.” Ia merujuk pada sebuah fenomena bahwa sepanjang tahun ini para actor politik sudah menyiapkan diri untuk suksesi 2013. Terjadi konstelasi politik “bawah tanah” yang membuat tensi politik masih terkesan “adem ayem.” Indikasi ini diperkuat oleh belum adanya satu bakal calon pun yang “berani” mendeklarasikan pasangannya hingga akhir Desember ini. Sementara Pilkada sudah sedemikian dekat.
Dalam konteks radikalisasi politik, jika dibanding dengan daerah-daerah lain, NTB tergolong “miskin” kreasi dan manuver politik terlepas dari adanya agenda tersembunyi dari masing-masing calon yang hendak bertarung. Hal ini, tentu saja, memberi sinyal kuat bahwa kekuatan-kekuatan yang dimiliki setiap calon kontestan tidak dibangun atas dasar fondasi politik yang bersandar pada basis modal sosial (social capital) sebagai acuannya. Tengara ini bisa memantik “keraguan” publik pada kapabalitas dan kredibilitas mereka dalam menahkodai perahu NTB ke depan.
 Sejarah mencatat, seorang calon pemimpin besar tidak lahir dalam ruang hampa. Napak tilas perjalanan, kisah perjuangan dan visi jenius pendiri republik, Soekarno-Hatta, adalah contohnya. Idealnya, mereka adalah sosok yang “harus” muncul dari pergulatan sejarah yang terlibat secara praksis dalam pergumulan ide-ide kebangsaan dan keberpihakan riil bagi kemaslahatan publik di aras nasional dan atau pun lokal. Tindak lanjut dari kepemimpinan ini mengharuskan/mensyaratkan sebuah konkretisasi gagasan-gagasan besar tersebut bagi proyeksi masa depan yang referensi utamanya muncul melalui kitab realitas sejarah keterlibatan praksis-ideologis di tengah masyarakat. Mungkinkah?

Patronase Politik Pemimpin Tanpa Visi
Pemilihan gubernur (pilgub) NTB dan tiga Pilkada Kabupaten/Kota tinggal lima bulan lagi. Secara khusus, sejumlah nama seperti TGH. Muhammad Abdul Majid Majdi/TGB (incumbent), KH. Zulkifli Muhadli (Bupati KSB), Harun Al-Rasyid (mantan gubernur NTB), Suryadi Jaya Purnama dan beberapa yang lain, paling santer digadang-gadang mencalonkan diri menjadi orang nomer satu di NTB. Namun, sampai sejauh ini, nama-nama mereka lebih banyak muncul sebagai “pajangan” gambar “mati” yang menghiasi media massa ketimbang pertarungan ide-ide kritis yang memberi pencerahan bagi khazanah peradaban politik bagi generasi-generasi selanjutnya.
Kalaupun ada kerja “bawah tanah” yang dilakukan oleh calon yang bakal bertarung, ia hanya sebatas lobi-lobi politik procedural demokrasi di tingkat elit yang berbanding terbalik dengan  “kekosongan” inisiasi kerja-kerja pemberdayaan sebagai investasi jangka panjang kepemimpinan politik di tingkat akar rumput (grassroot).
Pola-pola lama politik patronase (patron-client) yang memperanggapkan logika “merembes ke bawah” (trickle down effect) dalam rancangan Teori Pertumbuhan Rostow dan model sentralisme kekuasaan dalam skema Teori Penjara (panopticon) ala Jeremy Bentham justru dipraktekkan dalam politik akumulasi dan kalkulasi suara massa. Tidak heran jika kemudian kehadiran politik “jalan pintas” (pseudo-politic) yang memang banyak terjadi di setiap daerah di Indonesia berlaku juga di daerah ini.
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang di masa lalu dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia bisa dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), propaganda public, iming-iming janji dan money politic, yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk di dunia politik –dalam hal ini Pilkada. Dalam politik, model panoptik membutuhkan “kerjas sama” (calon) pemimpin dengan aparat ideologis –tokoh agama, tokoh masyarakat, birokrasi, kelompok preman, LSM, dan lain-lain— untuk membangun kuasa dan atau mengawal suara para pemilih. yang memasung kritisime dan kehendak bebas di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah politik panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (patron).
Kendati bentuk-bentuk panoptikonisasi, baik melalui propaganda publik atau yang lain, mampu memberi arahan yang merangsang kehendak untuk memilih, akan tetapi ia sekaligus mampu ”menganulir” kebebasan yang dimiliki konstituen pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap (represi) bahasa/wacana dari sang patron sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kebebasan memilih) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Kedua model patronase semacam di atas menitikberatkan diri pada syarat-syarat mekanistik tercapainya jumlah perolehan suara yang diperoleh bukan melalui proses panjang kualifikasi kepemimpinan (sense of leadership) yang memadai. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba hadir di muka public bak seorang pahlawan dengan menggandeng orang-orang tertentu yang secara kuantitatif dan kualitatif memiliki basis massa signifikan. Kehadiran politik diterjemahkan dalam kerangka skematik “atas-bawah” (top-down) dengan memanfaatkan setiap titik pusat kuasa struktur ideologis di masyarakat. Public “dimata-matai” melalui satu corong suara tokoh (opinion leader) yang memaksa mereka masuk dalam tunggal pilihan tertentu yang, alih-alih bermakna ideologis, justru lebih banyak ditengarai oleh lobi-lobi kepentingan individual elit di meja makan sebuah restaurant/hotel mahal..
Alih-alih menciptakan spectrum politik yang mencerdaskan, patronase panoptik calon pemimpin justru mengejawantahkan banalitas (kedangkalan) politik yang merepresentasikan masyarakat sebagai produk-produk dari bangunan struktur yang secara sistemik diolah sedemikian rupa dengan mengatasnamakan ketokohan orang-orang tertentu. Dalam hal ini, sang pemimpin mendekati publik bukan dengan kapasitas dan atau kapabalitasnya sebagai sosok yang seharusnya memiliki ide-ide besar, kecerdasan visi dan kemampuan strategis. Sebaliknya, mereka hadir melalui ruang kosong sejarah (ahistoris) yang memplagiasi dan mengimitasi orang lain sebagai sandaran mereka berpolitik.
Apa yang kita lihat dalam fragmen-fragmen politik “sunyi” dan gerakan “bawah tanah” politik NTB semenjak awal hingga akhir 2012 adalah sebuah “pertunjukan” drama penuh skenario kamuflatif “malu-malu tapi mau” yang hampir tidak menghadirkan ghiroh transformasi dan emansipasi bagi kecerdasan kepemimpinan politik NTB yang visoner ke depan. Etos kepemimpinan yang mereka bangun layaknya, jika diibaratkan, sebuah ruang pameran yang hanya dilengkapi oleh berbagai promosi bazar diskon produk-produk kecantikan dan aksesoris politik “kecap nomer satu” yang instan dengan zat-zat kimiawinya yang mempercepat penuaan dini lalu mati.
Artinya, kehadiran wajah-wajah “baru” ini seolah-olah akan memberi harapan yang lebih baik. Akan tetapi ketika pola-pola lama patronase politik menjadi modal “barang dagangan” yang mereka tawarkan, maka bisa ditebak bahwa kehadiran mereka lebih condong menjadi boneka politik ketimbang kesejatian seorang pemimpin yang memiliki visi dan integritas pribadi yang memiliki kemampuan mencipta kreasi dan inspirasi bagi pembangunan NTB di masa depan. Jika demikian, akankah kita bangga dengan calon-calon “baru” ini? Selamat Datang (calon) Pemimpin dan Selamat Tahun Baru 2013.

*Astar Hadi adalah Ketua LITBANG DPD BMD (Barisan Massa Demokrat) NTB dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal MADZHAB DJAENG (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang

**Dimuat di Lombok Post 31 Desember 2012