Wednesday, August 28, 2013

Diskursus TGB dalam Konstelasi Etik Konvensi Capres*

Oleh: Astar Hadi*

Konstelasi politik nasional makin menghangat menjelang pilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Sejumlah tokoh-tokoh lama dan baru digadang-gadang bakal memanaskan pertarungan di 2014 nanti. Perang urat syaraf (psywar), blusukan ke masayarat dan adu pencitraan politik sudah mulai ditabuh. Masing-masing calon dan kubu pendukung berlomba-lomba memoles gerakannya hingga akar rumput. Perlahan tapi pasti, genderang perang makin bertiup kencang.
Tak ayal, sejumlah partai politik (parpol) buru-buru menegaskan calon masing-masing sedari awal. Di antaranya Abu Rizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto diusung Gerindra dan pasangan Wiranto-Haritanoe Soedibyo melenggang bersama Hanura. Sementara nama-nama lain yang cukup santer digadang-gadang bakal mencalonkan diri, seperti Megawati, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Mahfud M.D., Rhoma Irama, Gita Wiryawan, Jokowi, Pramono Edhie Wibowo, dan lainnya, sampai saat ini belum “berakad-nikah” secara resmi dengan salah satu partai mana pun.
Kontestasi, tak pelak, mengundang hiruk-pikuk kalkulasi politik dan kemungkinan perubahan strategi ke depan oleh karena para capres yang sudah “resmi,” sudah barang tentu, “harus menunggu” siapa saja bakal menjadi pesaing mereka di pesta demokrasi 2014 nanti. Hal ini makin menarik jika melihat sejumlah nama yang notabene berpotensi merubah pusaran politik. Akan banyak kejutan-kejutan yang muncul dari parpol-parpol yang belum menentukan calonnya. Dan, salah satu yang paling banyak menarik perhatian nasional dan banyak pengamat politik adalah “strategi” penjaringan capres yang dilakukan oleh Parta Demokrat.
Adalah Konvensi Capres Partai Demokrat yang, meski cukup menuai pro-kontra sejumlah kalangan, menjadi warna tersendiri bagi sejumlah analis politik dan atau dari kubu parpol lain. Beragam komentar dan kritik pedas menyerang hajat konvensi partai berlambang segitiga Mercy ini. Tentu saja, tak sedikit pula yang memberi analisa positif atasnya.
Tokoh politik senior yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung, menilai bahwa Konvensi Capres Demokrat lebih baik daripada konvensi Capres 2004 yang dilakukan oleh partai berlambang pohon beringin tersebut. Menurutnya, mulai proses penjaringan hingga penetapan pemenangan capres, Demokrat lebih transparan.
Akbar menegaskan, prosesi konvensi tersebut sangat baik oleh karena melibatkan tim seleksi yang berasal dari tokoh-tokoh luar partai dan penentuan pemenang ditentukan melalui proses survey yang notabene mencerminkan keinginan masyarakat (www.tempo.co.id edisi Kamis 22 Agustus).

Konvensi Capres sebagai Etika Politik Disensus

Pada kondite etik politik tertentu, lepas dari citra Demokrat yang dianggap menurun, konvensi memberi nuansa lain yang berupaya merangkum sejumlah elemen bangsa berkompetisi dalam kredo politik secara terbuka, fair dan kompetitif. Pada titik ini, konvensi sekaligus mendorong objektivikasi rasional politik berbasis etika disensus.
Disensus dimaknai sebagai sosio-etiko politik demokrasi yang hendak mencantumkan relasi diri manusia yang tak hendak memutuskan politik –dalam hal ini Konvensi Capres— dengan hanya mengandaikan satu logika tertantu –internal partai— sebagai yang absah. Akan tetapi, ia menuntut beragam logika –pihak independen dan survey— yang terbuka untuk terlibat dalam kontestasi politik sebagai jejalin relasi manusia yang setara, baik dalam hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.
Sejauh yang penulis tangkap melalui media, beragam komentar pun bermunculan. Sah-sah saja pendapat yang melihat konvensi sebagai “akal-akalan” untuk memperbaiki citra dan menaikkan elekabilitas partai Demokrat yang ditengarai menurun, termasuk juga dianggap memecah-belah kader dari parta lain. Akan tetapi argumentasi semacam itu tampak seperti sebuah sinisme dan bombasme yang tanpa bukti-bukti empiris ketimbang sebuah analisis logis yang melihat fenomena penjaringan capres sebagai sebuah implementasi etika politik disensus yang relevan dengan semangat bhineka tunggal eka di era pluralisme dewasa ini. Dan, tentu saja, kemampuan Demokrat merespon logika politik semacam ini adalah langkah maju yang cukup tepat dan bijak.
Seturut itu, pluralitas konvensi memberi ruang yang lebih terbuka bagi, tidak saja, tokoh-tokoh nasional, ia pun berkiblat pada tokoh-tokoh di daerah yang dianggap layak dikedepankan. Dikatakan Ketua Bidang Sarana dan Prasarana Konvensi Partai Demokrat, Vera Febrianty, bahwa beberapa Kepala Daerah diusulkan ikut konvensi seperti Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi atau yang biasa dikenal dengan sebutan TGB (Tuan Guru Bajang), Rustiningsih (Walikota Surabaya), Sarundayang (Gubernur Sulawesi Selatan), Marwah Daud Ibrahim dan Isran Noor (Bupati Kutai Timur).
Tidak terbatas “mendongak Jakarta” yang menjadi fenomena lazim politik sejak Orde Baru sampai Era Reformasi, munculnya nama-nama “dari bawah” ini menjadi indicator positif bahwa konstelasi/kontestasi politik nasional menyangkut keterlibatan warga Negara dari Sabang sampai Merauke.
Tentu saja, kehadiran nama-nama “lokal” tersebut tidak sekadar untuk mengangkat orang Daerah dan atau sebatas euphoria politik identitas. Alih-alih, ia sejatinya merupakan referensi alternatif tentang “dia” atau “mereka” yang punya kapabalitas, kredibilitas dan secara rasional dianggap “layak” melenggang ke tingkat nasional. Pada titik ini, “penghargaan” dan apresiasi politik atas nama diri “yang lain” (the Others) “mewakili” kehadiran keberagaman yang “tak tersentuh” oleh logika keseragaman konsensus pada nama diri tertentu yang “hanya” berkiblat pada “yang di pusat”. Dengan melampui etika politik konsensus yang tenggelam dalam “absolutisme” Jakarta, maka etika politik disensus melalui Konvensi Capres Demokrat inilah kita selayaknya mendorong kemungkinan-kemungkinan sebuah warna lain dan baru secara terus menerus. Lantas, bagaimana peluang/potensi tokoh-tokoh di Daerah, khususnya NTB?

TGB: Sebuah Diskursus “Nama Lain”
Bagi NTB, menurut hemat penulis, kemunculan nama TGB yang dilangsir di sejumlah media nasional dan lokal beberapa waktu lalu perlu disikapi sebagai sebuah diskursus. Dalam pengertian Foucauldian –Michael Foucault pencetus teori diskursus, istilah diskursus (discourse) dikaitkan dengan pembentukan knowledge (pengetahuan) dan beroperasinya (relasi) kekuasaan. Foucault mendefinisikan diskursus sebagai ‘praktik bahasa’ (language practice) yang dipakai oleh berbagai konstituensi –semisal lembaga hukum, agama, sosial-politik, kedokteran, dan lain-lain— yang berkenaan dengan relasi kekuasaan di dalam masyarakat.
Dalam konteks diskursus ini, penulis tidak hendak melibatkan diri dalam sengkarut pro-kontra yang, mungkin saja, menyangkut ketidaksetujuan sejumlah kalangan terhadap diri TGB, baik dalam hubungannya sebagai pribadi dan atau sebagai seorang figur publik. Melampui itu, kemunculan (pemunculan) dirinya dalam kancah politik nasional layak diapresiasi sebagai –meminjam istilah Nurcholis Madjid— “daya dobrak psikologis” (psychological striking force) yang bertujuan mendekonstruksi tapal batas pengetahuan yang selama ini didominasi elit-elit kuasa di pusat yang tidak serta-merta lebih baik dari yang di daerah.
Diskursus Foucauldian mendorong sebuah upaya membongkar hubungan pengetahuan dan relasi kuasa sistemik di titik pusat kuasa yang mensubordinasi realitas-realitas pinggiran (baca: Daerah). Dalam bahasa yang lebih sederhana, praktik diskursus mampu membentuk seperangkat pengetahuan (body of knowledge) yang pada akhirnya mempengaruhi praktik sosial, konsepsi tentang diri (subjektifitas) dan mampu mengkonstruksi sebuah kehadiran tata nilai baru/lain yang menjadi antithesis dialektis atas superordinasi (superordinate) pengetahuan yang mengungkungi pandangan dunia (world of view) kita selama ini.
TGB dan sejumlah tokoh daerah lainnya adalah entitas diskursus dalam keberagaman disensus politik yang “baru” hadir. Kemunculan nama mereka merupakan upaya membangkitkan semangat local centers atas berkuasanya politik pengetahuan (power knowledge). Hal ini menjadi penting untuk menginisiasi kekuasaan/kepemimpinan masa depan yang lebih terbuka dan berorientasi menyeluruh. Sehingga setiap anak bangsa di setiap sisi subtil relasi kuasa memperoleh ruang gerak yang “sama” untuk memimpin bangsa.
Dengan demikian, mendorong TGB berarti mengupayakan secara terus-menerus diskursus politik yang transformatif melalui perluasan ruang publik (public sphere) lokal yang sanggup berbicara di tingkat nasional. Lebih-lebih, jika merunut hasil survey INTRANS (Institute for Transformation Studies) yang menyebutkan bahwa pasangan pemimpin muda paling diinginkan oleh pemilih dibandingkan pasangan tua-tua atau tua-muda, maka tokoh-tokoh daerah yang notebene tergolong muda dan cakap layak dikedepankan.
Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama; semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.
Pada akhirnya, inisiasi pada “nama-nama lokal” melalui Konvensi Capres Demokrat layak diapresiasi sebagai langkah etis-strategis yang berupaya mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang siap berkontribusi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang lebih pluralistik.

*Astar Hadi adalah Caleg “MASIH BAJANG” DPRD Provinsi NTB dari Partai Demokrat dan Pendiri/Penanggung Jawab Jurnal Madzhab Djaeng (for Multicultural Studies & Social Sciences) Malang.

** Dimuat di Lombok Post, Rabu 28 Agustus 2013