Saturday, October 29, 2011

SABDA PANDITA SUDRA

dalam gelap, cahaya berpendar
aku melihat semuanya
dalam terang, mata tertutup cahaya
aku kehilangan jejak

malaikat-malaikat, menyingkirlah
kalian hanyalah dogma
bagi para domba

setan-setan, mendekatlah
kalian adalah amarah pembangkit asa
mercusuar bagi para naga

maka menggeliatlah, wahai manusia
karena rasa sakit adalah moksa
dari sabda pandita sudra, paria dan candala

Kelana, Lombok, 25 Oktober. 11.25 WITA

Friday, October 28, 2011

Sebuah Manifesto: "Menanti Pemimpin Muda"

Mengapa pemimpin muda?! Pertanyaan ini tidak diposisikan dalam sebuah pertanyaan, akan tetapi ia merupakan sebuah manifesto, sebuah jawaban, sebuah keharusan, tentang masa depan bangsa, Indonesia! Kita, generasi muda, sudah saatnya untuk beranjak dari kungkungan konservatisme sebuah bangsa yang dipimpin oleh rezim “tua” yang tidak lagi punya cukup akal untuk merangkul beratus juta ummat yang notabene telah “melampui” definisi masa lalu yang membunuh masa depan; kaum tua dan keangkuhan patriarkalnya ! apa hal?

Masih ingatkah kita dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir? Mereka adalah sosok-sosok generasi muda awal-awal kemerdekaan yang memiliki semangat yang sama, semangat kemerdekaan! Mereka, tanpa mengesampingkan yang lain, adalah tameng sejarah awal kemerdekaan bangsa ini yang dengan sigap menjadi motor penggerak bagi setiap langkah bangsa Indonesia untuk selalu merdeka. Dan, ketika itu, mereka masih muda, dalam pengertian yang sebenarnya.

Kata ‘kemerdekaan’, sebuah manifesto yang tidak akan pernah selesai bagi bangsa, bagi masyarakat, bahkan bagi seluruh masyarakat di dunia ini. Untuk itu, motor penggerak kemerdekaan harus selalu berganti mesin, selalu dimodifikasi, agar tetap dinamis untuk menggerakkan speed, power and acceleration of democracy. Di antara beratus juta rakyat Indonesia pada kenyataannya, telah muncul “spare part-spare part” baru yang siap mengganti mesin-mesin lama yang tidak lagi sanggup melewati sirkuit-sirkuit kehidupan yang berkelok-kelok dan terjal.Inilah sebuah zaman di mana kompleksitas kehidupan sedang berjalan. Menegakkan tiang kemerdekaan tidak lagi berarti kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, yang justru seringkali menjadi justifikasi untuk melakukan pemberangusan, penghancuran, penindasan terhadap realitas yang lain (otherness), perbedaan dan diversitas (diversity).

Kemerdekaan yang seutuhnya adalah kemerdekaan yang mengamini berbagai kearifan lokal (local wisdom), yang melestarikan asset-aset keberagaman (multiplicity), yang menumbuhkembangkan setiap –meminjam istilah Bennedict Anderson— komunitas-komunitas terbayang (imagined communities) yang selalu berimajinasi, mencipta, melahirkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda. Tentu saja, kemerdekaan semacam ini mungkin asing bagi mereka yang sudah sepuh (kalau boleh disebut demikian), tapi tidak bagi yang masih muda.

Kekuasaan? Tanya saja yang muda-muda. Kalau yang yang tua seringkali terseret dalam dua opisisi binner makna kekuasaan; hitam-putih. Yang tua hanya berpikir satu di antara dua jalan kebenaran. Sejarah membuktikan ini. Bagi mereka para sesepuh, kekuasaan berarti berkuasa untuk kepentingan satu pihak yang harus benar, yang harus dijaga, yang harus dimenangkan. Perbedaan pandangan dianggap menyesatkan, perbedaan ideology itu subeversif dan harus dilenyapkan. Tidak ada jalan tengah.

Masih ingat kah kita bagaimana kejinya Undang-Undang Subversi di era Orde Baru yang menjadi tameng kebenaran bapak-bapak kita untuk melenyapkan para aktivis, menghalalkan premanisme Petrus (penembak Misterius) untuk melabrak sipa saja yang dianggap mencoreng muka Bapak tanpa melalui proses hukum yang jelas.

Di era reformasi, setali tiga uang. Alias sama saja. White collar crime mendominasi panggung politik kita. Dengan gaya baru, tapi lebih halus, fatwa sesat terhadap terhadap keyakinan berbeda dilembagakan sedemikian rupa. Pembunuhan terhadap munir adalah bentuk “terindah” dari terror secara fisik dan mental terhadap berbagai aktifitas yang merongrong wibawa pemerintah.

Pembelokan sedemikian rupa terhadap prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 45 dengan munculnya “ayat-ayat” hukum yang mentoleransi kolonialisme melalui UU yang membebaskan pihak asing menjarah apa saja yang dimiliki bangsa ini. Lihat saja apa yang terjadi dengan kontrak-kontrak karya pejabat kita dengan para bule itu, yang alih-alih menguntungkan, justru menyeret kita semakin jauh dari kemerdekaan yang sesungguhnya.

Bagaimana dengan yang muda? Kekuasaan bagi mereka bukan kekuasaan yang terjerembab dalam logika oposisi biner; mereka adalah generasi multitasking. Sebuah generasi yang memiliki seabrek ide dan kreativitas untuk ditelorkan. Sebuah generasi yang bisa melakukan berbagai aktivitas beragam di saat yang sama. Yang muda lebih memahami kenekaragaman karena mereka sudah terbisa menghadapinya, dan yang pasti mereka lahir di saat multiplisitas itu memang sedang berjalan. Idealisme mereka adalah idealisme muda yang penuh spirit, penuh kreatifitas, penuh kegairahan, selalu mengalir, tidak kaku, idealisme yang terbuka terhadap berbagai dialektika, yang terpacu dengan beraneka tantangan. Itulah dunia generasi muda. Semangat mereka adalah semangat mengejar impian menuju Indonesia Baru.

Wednesday, October 19, 2011

Menunda Makna

titik orgasme itu hampir saja membuncah
Derrida* menyela; "tunda" !!!
permainkan ia sebatas tanda
jgn biarkan makna merusak tariannya
itulah hakikat menjadi yg sementara, yg fana
dlm realita dunia kata2

tdk ada yg benar2 sempurna
sejatinya itu hanya warna dan rasa
yg selalu menyelipkan tanda tanya
pada dirinya.

Izinkan hasrat kembali saling menikmati,
dlm gairah asap yg berbaur dengan udara
seperti semula,
menjadi kosong, menjadi tiada,
dlm diri Sang Ada,
yg kembali berkarya
mencipta,
tanpa memaksa yg lain mengikutinya
itu lah sejatinya manusia,
yg punya daya tapi tidak baka


*Jean Jacques Derrida: pencetus "teori" Dekonstuksi yg jika disederhanakan, secara umum, mengandaikan teks sebagai suatu yang "otonom" dari "maknal". pembacaan dekonstruktif berarti sebuah pembacaan atas teks "yg tidak biasa" yg tdk mengikat teks pada harus adanya makna yg hanya berujung pada hasrat mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan kadang berupaya menemukan makna yg lbh benar, semantara teks itu sendri barangkali tdk pernah memuatnya. Lbh khusus, upaya "menunda" teks berarti meletakkan teks sebagai "tanda" utk trus menerus dilakukan tafsir atasnya tanpa upaya "menutupnya" dgn makna, karna itu sama saja "membunuh" teks pada satu "makna tunggal". karna pada dasarnya, "kegagalan" seringkali muncul ketika penulis/penafsir mencoba menutup teks itu. padahal penafsiran teks, sejatinya, adalah penulisan teks yg tidak berhenti, trus bergerak, yang selalu menunda makna.


Kelana, Lombok, 18 Oktober 2011. 13.05 WITA

Panoptisme Tubuh Mahasiswa, Media dan Matinya Agent of Change*

Oleh: Astar Hadi**

Jejak Generasi “Pemetik Bunga”

Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa tercatat sebagai creative minority -meminjam istilah Arnold Toynbee— yang selalu menjadi motor penggerak perubahan sejarah Indonesia. Jejak itu kembali terulang dalam peristiwa tumbangnya Rezim Soeharto yang notabene begitu digdaya selama 32 tahun lebih. Sebuah prestasi yang, tidak saja, mengukuhkan predikat mahasiswa sebagai “sang perubah sejarah”, ia sekaligus telah menjadi tubuh sosial bangsa yang melahirkan anatomi-anatomi kritisisme baru dalam gelanggang kebudayaan.

Posisi tawar mahasiswa dalam belantara pemikiran dan gerakan merupakan buah perjuangan estafet dari beberapa generasi mahasiswa mulai angkatan 66, angkatan 80-an, angkatan 90-an, angkatan 98 dan awal reformasi, yang didukung oleh kekuatan prodemokrasi lainnya.

Geliat semangat perjuangan mahasiswa pada periode-periode tersebut merupakan proses “puncak” anatomi tubuh gerakan mahasiswa yang menjadi peta “takdir” genealogis mereka dalam “menghasrati” wilayah geo-politik perjuangan melawan kukuatan-kekuatan tiranik rezim status quo.

Pada periode tersebut, mahasiswa mengalami masa-masa “kejayaan” sebagai agent of control dan agent of change yang mendapat “restu” dan kepercayaan publik begitu luas. Mahasiswa secara khusus, bersama kaum intelektual, LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan masyarakat, ibarat simbiosis mutulisme yang saling bahu-membahu menggangu otoritas kekuasaan –TNI dan pemerintah— melalui mimbar-mimbar publik dan forum-forum sipil lainnya.

Indikasi menguatnya posisi tawar mahasiswa terhadap pemerintah ketika itu hadir dalam kondisi yang serba terbatas. Sandera pemerintah terhadap mahasiswa yang, salah satunya, melalui UU subversi dan NKK BKK (normalisasi kehidupan kampus), alih-alih menenggelamkan aktivisme, justru menghasilkan daya kreatif dan daya dobrak psikologis massa yang menyembul dalam gerakan-gerakan terorganisasi dan terintegrasi dalam satu simpul ideologis yang sama; menentang tirani minoritas relasi kuasa.

Represi, tekanan dan teror secara fisik dan psikologis yang dilakukan pemerintah atas setiap aktivitas yang mencurigakan, semakin memperkuat gaung simpati masyarakat atas perlawanan yang dilakukan mahasiswa. Pada titik ini, mahasiswa memperoleh –jika bukan mengambil kesempatan— momentum idealisme gerakan yang “murni” membela kepentingan masyarakat di satu sisi, dan semangat counter-culture atas elitisme birokrasi di sisi lain.

Negara –rezim Orde Baru Soeharto— dengan dwifungsi ABRI-nya di masa itu berhasil menelikung pelbagai gerakan sipil dan intelektual yang dianggap melawan otoritas kekuasaan. Setiap forum publik/intelektual, seperti seminar, mendirikan organisasi baru, forum mahasiswa, dan lain-lain, dintimidasi, dibatasi, dikucilkan melalui kekuatan relasi kuasa yang kuat dan menyebar di setiap tempat. Tapi anehnya, lagi-lagi, mahasiswa yang merupakan wujud tubuh muda, penuh gejolak, bersemangat dan ambisius, high curiousity, sekaligus penuh paradoks, merupakan medan magnet berbeda yang “tidak cukup tersentuh” oleh teror penculikan misterius (petrus), penjara, senjata dan gas air mata aparat. Bak jamur di musim penghujan, di mana-mana, reorganisasi dan remodifikasi gerakan mahasiswa semakin tumbuh seiring menguatnya kontrol pemerintah ketika itu.

Secara khusus, pada masa pemerintahan Soeharto, ruh pergerakan mahasiswa berlangsung secara terus-menerus dalam agenda isu yang berbeda sesuai konteks periodik gerakannya. Masing-masing angkatan sedikit atau banyak memiliki kontribusi yang signifikan dalam melengserkan “kerajaan” Orde Baru.

Di masa Angkatan 1974, gerakan mahasiswa sudah muncul dengan mengoreksi kinerja pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978, sudah menyuarakan perlunya meminta pertanggungjawaban Soeharto melalui SI MPR dan menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.[1] Sementara itu, pada dekade 90-an, gurita otoritarianisme ekonomi “kolega”, kebijakan pelarangan berpolitik massa dan memuncaknya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang begitu kentara di tubuh kekuasaan berdampak pada agenda isu “tahap lanjut”, yaitu, orientasi gerakan mahasiswa ke wacana suksesi –mendesaknya pergantian pemimpin nasional. Tentunya, gaung wacana ini juga tidak lepas dari vokalitas Amien Rais –ketika itu menjabat PP Muhammadiyah— yang didukung secara massif oleh gerakan mahasiswa sejak 1994. Amien begitu getol menyuarakan urgensi sukesi nasional melalui khotbah-khotbah politik di samping menyampaikan fakta-fakta penyelewengan pemerintah terkait dengan ekploitasi tidak adil perusahaan asing seperti Blok Cepu dan sejumlah perusahaan asing lainnya.[2]

Eskalasi puncak dari aktivisme mahasiswa terjadi pada angkatan 1998. Berbeda dengan angkatan sebelumnya –termasuk angkatan 90-an awal— yang tidak mampu mencapai garis kemenangan karena ruang gerak perlawan belum sebanding dengan dominasi kekuatan Orba, angkatan 1998 justru berhasil memetik hasil “paling” monumental di akhir abad 20 ini dengan tumbangnya kerajaan “untouchable” Soeharto. Keberhasilan angkatan ini kemudian dikenal sebagai “generasi pemetik bunga.”[3]

Jejak sejarah gerakan mahasiswa, yang (berdarah) muda, yang berapi-api, yang penuh hasrat, menjumbuh dengan idealisme, semangat, keberanian, tekad, daya kreatif, kritisisme dan curiousity intelektualisme, merupakan perpaduan khas sebuah generasi masa depan. Dalam tiap fakta sejarah, pemuda seringkali menjadi “tombak” perjuangan, lokomotif perubahan, yang menggiring dinamika kebudayaan politik.



Mahasiswa Pasca Reformasi: Post-Movement?!

Diktum terkenal Cartesian, ‘cogito ergo sum’, yang menganggap manusia sebagai subyek otonom yang mangatasi dunia pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran universal epistemologi (Descartes). Oleh mahasiswa, dalam sejarah gerakannya, diktum ini dijadikan sebagai puncak kesadaran yang menempatkan subjek berpikir sebagai kualitas nilai “kehadiran” dan “identitas” diri absolut dalam memerankan sosok pribadi independen dalam menukangi berbagai problem sosial yang ada.

Bahkan, mahasiswa, dalam beberapa dekade terakhir kemerdekaan RI, memainkan peran intelektual-organasisasional yang signifikan dan vital bagi kesadaran kritis masyarakat terhadap ketimpangan-ketimpangan dan otoritarianisme politik-kekuasaan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan bangsa kita. Kondisi ini memberi semat ideologis yang tidak ayal “mengangkat” posisi mahasiwa sebagai gerbong utama perubahan.

“Kesadaran” ideologis mahasiswa sebagai diri yang berpikir merupakan sebuah gerakan intelektual yang berangkat dari etika pencerahan yang meletakkan dasar bagi berjalannya prinsip-prinsip dasar demokrasi; keterbukaan (transperency), kebebasan (liberty), pembebasan (liberation), humanisme (humanism), rasionalisasi dan modernisasi. Prinsip-prinsip ini merupakan kecenderungan utama dalam setiap gerakan intelektual di dunia yang dalam sejarahnya mampu melumpuhkan kekuatan-kekuatan rezim otoriter yang berkuasa ketika itu. Otoritarianisme Soeharto di Indonesia, tumbangnya Nazi/Hitler dan runtuhnya Tembok Berlin di Jerman, revolusi Iran atas dinasti Syah Reza Pahlevi, gelombang Prestroika dan Glasnost Goerbachev yang menumbangkan rezim komunisme di Uni Soviet –sekarang Rusia, kudeta terhadap Neoliberalisme Thaksin di Thailand dan berakhirnya kekuasaan Saddam di Irak, dan lain-lain, adalah contoh-contoh keterlibatan sekaligus keberhasilan gerakan-gerakan intelektual yang dimotori mahasiswa dan elemen pro-demokrasi lainnya dalam setiap masanya.

Keberhasilan, atau paling tidak, kekuatan gerakan mahasiswa ini menyembul dari suatu sikap politik yang, menurut hemat penulis, ekstra parlementer. Artinya, keberadaan mereka di luar sistem dengan mengambil jarak dari praktik-praktik politik secara langsung, memberi ruang yang jauh lebih luas bagi anak kampus untuk menggangu setiap aktifitas politik yang berorientasi penyelewengan kekuasaan. Advokasi “tanpa” kepentingan ini, secara psikologis, membawa efek sistemik terhadap perubahan-perubahan yang signifikan dalam sistem politik dan proses pengambilan kebijakan di tingkat elit. Tekanan-tekanan terhadap isu publik yang terus-menerus dan manjemen isu serta fakta yang begitu kuat di luar tembok istana oleh organisasi-organisasi mahasiswa mendorong suatu posisi tawar politik yang, salah satunya, berhasil menurunkan Soeharto dari kekuasaannya ketika itu.

Akan tetapi, kondisi gerakan mahasiswa pasca reformasi dinilai semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Beberapa faktor yang banyak diklaim menyebabkan terjadinya degradasi dan reduksi makna dalam gerakan mahasiswa pasca reformasi di antaranya:

Pertama, reformasi atau perubahan kekuasaan melalui pergantian struktur dan pelaku-pelakunya adalah tipe perubahan yang memandang perubahan akan selesai ketika pimpinan-pimpinan negera diganti. Reformasi akan menyandarkan perbaikan rakyat lewat suksesi presiden. Pengalaman gerakan mahasiswa dari dekade 60-an sampai 98 hanya menghasilkan pergantian kursi kepresidenan dan itu terus berulang. Kedua, kegagalan gerakan mahasiswa dalam mengidentifikasi musuh bersama sebagai faktor perekat gerakan yang menyebabkan hilangnya fokus gerakan sehingga menjadi cenderung sporadis dan parsial. Ketiga, proses depolitisasi dan sterilisasi kehidupan kampus menciptakan gap antara mahasiswa dan kehidupan rakyat kecil sehingga mayoritas mahasiswa kurang memiliki kepekaan sosial terhadap problematika rakyat kecil karena terus disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang tidak berkaitan langsung dengan isu-isu kerakyatan. Keempat, gerakan mahasiswa sering kali terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi tertentu yang berorientasi pada kekuasaan.

Anggapan-anggapan di atas cukup rasional jika menilik ke periode sebelum reformasi 1998. gerakan mahasiswa ketika itu, seperti telah diulas di atas, merupakan momentum pencapaian historis suatu gerakan yang bergerak dalam kesatuan isu/wacana perlawanan yang terorganisasi dengan cukup apik melalui bersatunya gerbong-gerbong organisasi mahasiswa dalam satu simpul kekuatan yang hampir sama dan saling bergandengan “mesra”. Muara konflik antar organisasi teratasi oleh agenda bersama yang jauh lebih besar dan krusial terkait problem sosial-kebangsaan. Kondisi ini menguatkan animo serta sikap politik mahasiswa vis a vis Negara ketimbang sentimen parokial (egosentrisme atau fanatisme) terhadap eksistensi organisasi pesaingnya.

Tapi, jika kita mau jujur, menilik pada gaung reformasi yang berkiblat pada arus deras demokratisasi, menguatnya pers bebas, ruang publik yang semakin terbuka, akses terhadap informasi yang tanpa batas, jalan raya wacana yang tidak lagi tertutupi tabir represi politik, menjamurnya organisasi-organisasi di luar pemerintah (LSM/NGO) –yang ketika Orde Baru sangat jarang kita lihat, dan kauskus dunia mahasiswa yang makin nge-tren, maka preseden stigmatik terhadap terjadinya degradasi nilai dan makna gerakan mahasiwa dewasa ini tidak cukup tepat dan atau tidak cukup logis jika menunjuk pada indicator-indikator tersebut di atas. Seharusnya, menilik pada perubahan-perubahan sosial dan politik pasca reformasi, gerakan dan atau organisasi mahasiswa saat ini menjadi semakin matang dan menemukan bentuk baru organisasi/gerakan yang “lepas” dari bayang-bayang (gerakan) masa lalu yang memang lebih “angker” dan “melulu” melawan pemerintah.

Idi Subandi Ibrahim, dalam tulisannya, dengan cukup “ganas” mengibaratkan mahasiswa periode akhir 90-an sebagai “generasi huru-hara tanpa rasa haru” yang tidak lagi gagah-berani menantang semprotan gas air mata, akan tetapi tunduk dalam harum semerbak semprotan parfum paris. Ibrahim juga dengan telak menodong mahasiswa sebagai generasi café dan generasi televisi (baca; MTV) yang meletakkan moralitasnya pada moralitas “selangkangan Madonna” yang terjebak pada “mitologi penampilan diri” yang, alih-alih, berpikir ke depan dan mampu bersikap kritis, mereka justru sibuk dengan narsisme polesan tubuh tanpa otak. Anehnya, tidak lama kemudian, gambaran bombastik Ibrahim ini, terjungkal oleh kekuatan-kekuatan anak muda “cengeng” yang melalui café-café dan semprotan wewangian berhasil menghimpun kekuatannya untuk turun ke jalan melawan semprotan gas air mata, senjata, dan penculikan aparat pada mei Berdarah 1998.[4] Hikmat budiman, di sisi lain, lantas melihat perubahan pola gerakan mahasiswa ini sebagai entitas budaya yang mengalami perubahan sedemikian rupa oleh gejolak aktifitas-aktifitas yang tidak lagi berarti dua oposisi yang bersebrangan, akan tetapi berjalan secara bersamaan dan riil. Inilah generasi multitasking, kilah Budiman.[5] Antara satu aktifitas, berdialektika dalam forum-forum/gerakan intelektual serius, dengan aktifitas lain, nongkrong bersantai ria dengan suasana secangkir kopi dan iringan merdu lagu-lagu pop, saling beriringan.

Apa yang teman-teman dan penulis lakukan melalui Komunitas Madzhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Sciences[6] sejak dua tahun yang lalu (Desember 2008), adalah sebuah upaya memadukan antara yang serius dan “sepele”, antara diskusi dan “berkelakar”, antara hentakan lagu dan hentakan pikiran, antara seruput secangkir kopi dengan melepas dahaga ilmu pengetahuan, antara menghasrati lalu-lalang tubuh seksi setengah terbuka dan mengolah informasi yang juga semakin terbuka, “tidak menjadi” halangan untuk menghasilkan karya (tulisan) dan gerakan yang “bernas” secara intelektual.

Malah, penulis yang sempat “menikmati” trend “gaul” turun ke jalan dan forum diskusi pada masa-masa heroisme gerakan 1998 sampai awal-awal tahun 2000, merasa curiga, bahwa klaim “kemunduran” dan atau “kegagalan” gerakan mahasiswa pasca Refomasi hanya sebentuk cara pandang “keliru”, atau setidaknya, “kurang tepat”, yang coba mencari kambing hitam atas tidak tercapainya agenda reformasi ketimbang sebuah upaya untuk memahami dinamika warna gerakan yang mengalami pergeseran, berubah dan agak berbeda “sesuai” dengan konteks zaman kini. Dengan demikian, ada gejala lain yang mungkin lepas dari pengamatan kita atas perkembangan gerakan/organisasi mahasiswa yang terjadi 12 tahun terakhir pasaca reformasi ini.

Di sisi lain, modernisasi dan proses globalisasi yang ditandai dengan menyeruaknya overproduksi mesin budaya (cultural machine) teknologi komunikasi dan informasi yang supercepat dewasa ini, secara tidak langsung, membawa perubahan geliat tubuh “darah muda” yang disinyalir “menggangu” –kalau bukan merusak— aliran tubuh sosial mahasiswa sebagai agent of change menjadi “sekadar” tubuh “gaya hidup” yang berurusan dengan mitos tubuh ideal anak muda dan narsisme alter ego yang eksis dalam panggung budaya massa yang, salah satunya, dimanjakan melalui media perpanjangan system syaraf digital cyberspace (dunia maya internet). Di mana-mana, kita melihat membanjirnya shopping mall, fitness center dan bedah plastik (salon kecantikan), dan komunitas-komunitas “pencerahan” maya yang menjadi ruang eksistensi diri (pseudo existence) bernama Facebook, Twitter, Friendster dan lain-lain. Ketimbang melakukan gerakan-gerakan (advokasi) intelektual yang nyata, rigid dan well organized, sekarang ini, kita sudah terbiasa dengan “gerakan” sporadis, fragmented dan (dengan) “bergerak” bersama komunitas-komunitas maya (cyber community) yang tidak konsisten.

Dengan demikian, tidak kurang sulitnya untuk melacak kembali akar gerakan mahasiswa dewasa ini. Mahasiswa hampir –untuk tidak menyebut semuanya— bukan lagi sekelompok intelektual muda yang gigih memperjuangkan idealisme, tidak pula terintegrasi dalam satu spirit perlawanan terhadap rezim status quo. Alih-alih, yang paling mungkin kita lihat secara positif-realistik, bahwa mahasiswa pasca reformasi dan atau kader kampus di era millennium ini terpecah-pecah, paling tidak, dalam gelombang individualisasi dan profesionalime “sempit” dunia kerja (realitas instrumental) teknis yang mengikis format gerakan/organisasi menjadi sebatas “bagaimana memperoleh relasi/linkage sebanyak-banyaknya” dan “bagaimana merekayasa masa depan” untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang.

Jargon dan atau adagium bahwa mahasiswa merupakan agent of change tidak lagi menjadi sebuah ambisi dan spirit tubuh muda dalam mengelola perubahan secara terus-menerus untuk hasrat besar “mengubah dunia” kehidupan/kebudayaan yang kritis-transformatif-emansipatoris. Perubahan, pada konteks ini, berarti konstruk tubuh personal yang “terbelenggu” oleh logika psikologis pemenuhan diri biologis (basic needs) yang bersifat personal, bukan realisasi dan aktualisasi diri sosiologis (self realization/actualization) yang bertujuan “membongkar” konstruk tubuh sosial kemasyarakatan yang lebih besar.

Sementara itu, membongkar wacana gerakan mahasiswa pasca reformasi yang dianggap “mati suri”, sejauh ini, masih banyak bergelut pada wacana umum terkait sejarah, fenomena gerakan mahasiswa (abad 21), format dan strategi gerakan, serta ideology gerakan yang, menurut hemat penulis, bergerak pada alur yang sebagian besar –jika bukan semuanya— bersifat romantis-nostalgis –meski penulis sadari tidak cukup mudah melepaskan diri dari nuansa semacam itu. Bahwa, klaim terhadap “keberhasilan” gerakan mahasiswa terdahulu sebagai gerakan penuh spirit dan padu. Di mana, mereka acapkali disebut sebagai kekuatan pendobrak rezim –baik disaat menurunkan Soekarno (1966) maupun Soeharto (1998)— yang dalam kurun waktu itu, paling tidak, dikondisikan oleh dua hal; yaitu momentum yang tepat karena berbarengan dengan kondisi sosial-politik yang berubah dan yang kedua karena mahasiswa memiliki musuh bersama yang tersimbolisasikan dalam sebuah rezim pemerintahan. Masalahnya kemudian, ketika kiblat gerakan mahasiswa yang, lagi-lagi, apakah harus kembali mengambil “spirit 45-nya,” sementara mereka dibenturkan oleh kondisi social, budaya, ekonomi dan politik pasca reformasi dan atau abad millennium yang sejatinya cukup kontras dengan kondisi-kondisi sebelumnya.

Apakah gerakan mahasiswa dikatakan berhasil ketika ia “harus” selalu pada posisi oposisional terhadap pemerintah? Apakah keberhasilan mahasiswa sebagai agent of change, agent of control dan moral force diukur dengan seberapa jauh ia terlibat dalam praktik-praktik gerakan (organisasi) mahasiswa yang eksis dalam haru-biru idealisme, vokalisme demontrasi/advokasi, intelektualisme ruang publik, yang “selalu” berhadap-hadapan dengan senjata gas air mata polisi dan sewaktu-waktu siap “hilang” (diculik), gagah saat di penjara, seperti yang jamak kita lihat di era Orde Baru? Ini, yang mungkin, kita sebut eksistensi gerakan mahasiswa, dulu, kini dan ke depan. Sebuah episode romantis. Tentu saja.

Sejarah, memang, seringkali berbicara fasih tentang kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk masa depan. Dengan sejarah, setiap orang bisa meraba apa yang harus dilakukan hari ini dan ke depan. Dua filsuf besar, Alain dari Perancis dan Hannah Arendt di Amerika Serikat mengatakan, bahwa hanya dengan mewariskan dan menyebarkan masa lalu ke pada anak-anak kita, kita bisa memungkinkan mereka menemukan masa depannya sendiri. Hanya dengan menjadi konservatif secara budaya itulah kita bisa progresif secara politik.[7] Kedua pernyataan ini sangat masuk akal. Akan tetapi, masa kini adalah masa kini yang ingin menemukan sejarahnya sendiri, sebagaimana masa lalu yang juga pernah mencari sejarah kemasakiniannya sendiri. Dalam artian, tanpa melepas ikatan sejarah, penulis mencoba menilisik secara “baru” fenomena gerakan mahasiswa dewasa ini dalam simpul yang agak “berbeda”, yang (bahkan) “keluar” dari format wacana gerakan pada umumnya; gerak tubuh.



“Gerakan” Melalui Tubuh

Tidak sebagai organisasi, tidak pula sebagai gerakan, mahasiswa adalah manusia setengah baya. Mahasiswa adalah sebuah pribadi, sekelompok individu, komunitas masyarakat, yang dilengkapi anatomi fisio-biologis, organ otak (pikiran), dan juga psikologis, yang penulis sebut sebagai tubuh. Kerangka tubuh manusia yang kita sebut mahasiswa (juga manusia) ini adalah bukan sekadar sekumpulan organisasi badaniah –untuk membedakan tubuh dan badan, ia adalah sebuah kualitas menubuh manusia yang “mencipta” ruang; sebuah “cara mengada di dunia”. Di sini, konsep tubuh, mengikuti Maurice Marleau-Ponty, diartikan sebagai tubuh subjek yang mendahului ruang –seperti ketika saya melihat meja di depan saya, maka tubuh saya lah yang menjadikan (meja itu, pen) di sana bagiku sebagai sesuatu yang jauh, dekat, tinggi, atau rendah[8].

Pengalaman ruang terjadi oleh keberadaan tubuh, bukan karena keberadaan ruang yang “memang” sudah berada di sana. Tubuh lah yang membuat ruang itu menjadi ada dan bermakna. Pengertian sentral tubuh, dalam pemikiran ini, memposisikan dirinya sebagai tubuh-subjek –bukan tubuh-objek dalam ilmu fisiologi maupun ilmu kedokteran dan psikologi klinis yang menempatkan tubuh sebagai objek penderita.

Secara khusus, penulis mengambil jarak terhadap pendapat yang menyatakan bahwa tubuh itu objek pikiran (Descartes), yang “hanya” menjadi kuburan (sema) bagi jiwa dan menghalanginya meraih kesempurnaa (Plato), yang direpresi oleh agama dan tradisi filsafat karena dianggap sebagai seoonggok daging material “hina” tempat (mesin) hasrat bekerja. Dalam pengertian ini, penulis melihat tubuh sebagai bentangan “teks budaya” yang, sebagaimana Marleu-Ponty, mengurai dirinya sebagai subjek yang menghasrati, “berpikir” dan “cara mengada manusia” dalam dunia. Lebih jauh, pada posisi ini, kajian budaya (cultural studies) atas tubuh merupakan metode analisis yang penulis kembangkan untuk melihat perkembangan gerakan mahasiswa dewasa ini.

Mengapa tubuh? Mahasiswa adalah anak muda yang secara fisiografis merupakan usia antara yang berada pada periode setelah masa anak-anak dan belum dewasa. Secara psikologis, mahasiswa berada pada masa transisional yang secara umum dicirikan oleh instabilitas dan atau labilitas sikap, prilaku dan pikiran. Bahwa alasan ini tidak serta merta sebuah tendensi, sebuah klaim, atas citra diri mahasiswa yang erat dengan gejolak hasrat atas tubuh, akan tetapi lebih jauh, merupakan sebuah dekonstruksi cara memahami mahasiswa –dan manusia pada umumnya— sebagai tubuh yang merasa, menghasrati, bertindak dan berpikir.



Sekilas Studi Tubuh[9]

Ada 3 pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuf-filsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.

Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi: 1) Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral. 2) Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan? 3) Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh. 4) Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius.

Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.

Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari dua jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat.

Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, tubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik.

Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh" (The Body and Society [1984]). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh.

Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks dalam For a Sociology of the Body: An Analytical Review (1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama, dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi 4: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body.

Panoptisme Tubuh Mahasiswa

Era millennium adalah era di mana tubuh telah mengambil posisi terhormat sebagai lokus kesadaran akan pentingnya pemeliharaan citra tubuh ideal. Tubuh telah diproklamasikan tidak lagi sebagai kuburan bagi jiwa. Bukan sebatas organ fisik, lebih jauh, tubuh merupakan sebuah “identitas”, sebagai “sistem berpikir,” “cara mengada”, dan sebuah kompleksitas nilai dan makna yang padanya aturan dan control sosial berlaku.

Menurut Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah/mahasiswa, bahkan model hubungan seksual.

Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Bio-power dipertahankan dengan 2 metode: pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktiitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi.

Jika demikian, apa hubungan antara tubuh dan (“mundurnya”) gerakan mahasiswa dewasa ini? Sebagaimana Foucault, yang membagi tubuh dalam tiga kategori analisis: (1) Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. (2) The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. Dan (3) The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies".

Force relation, the body dan the social body atau relasi kuasa atas tubuh terjadi ketika Negara dengan lanskap kapitalisme telah memberi ruang yang sangat besar bagi proyek tubuh dengan segenap konsekuensinya. Di mana-mana, melalui iklan gadis-gadis cantik dan pria tampan, sosialisasi kesehatan, rumah sakit, salon kecantikan, agenda “moralitas” masyarakat postmodern disusun sedemikian rupa melalui representasi tubuh. Tubuh telah mengalami mekanisasi politik melalui perayaan komoditas produk kecantikan/kesehatan dan komodifikasi atas tubuh yang bertujuan menciptakan imperatif moral yang mendikte setiap sikap, prilaku, cara berpikir, dan bagaimana “bekomunikasi” yang baik.

Dalam relasi kuasa di dunia kampus, ilmu pengetahuan, tanpa kita sadari memiliki peluang yang sangat kuat mendikte gerak tubuh (gesture) mahasiswa sebagai cara berpikir “logis” yang harus tetap dijaga sebagai bentuk “kesadaran” yang artikulatif mengarahkan kita pada tata cara bergaul, berkomunikasi, bahkan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kita anggap timpang. Sebagai contoh, ilmu komunikasi, khusunya dalam studi public relation (humas) secara tidak langsung menolak citra-citra vokalitas tubuh yang “liar”, “urakan”, sebagai bentuk komunikasi interpersonal yang “efektif.” Pakaian yang rapi, rutinitas absensi mahasiswa, gerak tubuh (tangan, bibir, mata dan sebagainya) dan cara bicara yang lembut penuh intonasi dengan pilihan kata (diksi) yang tepat, merupakan system symbol sosial yang secara politik-akademik lebih bernilai ketimbang kritisisme itu sendiri. Tidak dalam arti menafikan sikap-sikap “baik” semacam itu, lebih jauh, secara tidak sadar kita telah menerima “normalisasi” pengetahuan yang berakibat pada munculnya oposisi pasangan (binary opposition); baik-buruk, lembut-keras. Bahwa sikap “ganas” dan vokalitas kritis mahasiswa kemungkinan akan dinilai sebuah sikap arogan dan banyak omong ketimbang sebagai “kesadaran” intelektual.

Dalam dunia psikiatri, kedokteran, psikologi, kriminologi, juga terjadi relasi kuasa pengetahuan atas tubuh yang didisiplinkan melalui model-model panoptisme tubuh. Di mana, panoptikon Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).

Pada konteks tubuh, pengawasan panoptik berlaku melalui mesin-mesin birokratik di kampus, di ruang publik, di depan dosen, di salon kecantikan, di mall-mall bahkan di depan negara. Represi ”kesadaran” kritis melalui tubuh terjadi manakala ruang-ruang klinis, ilmu psikologi, ”table manner” ilmu komunikasi, media massa menekan atau bahkan mendorong terjadinya impuls-impuls atas tubuh yang menghasrati dirinya sebagai ”kesadaran” cara mengada dan cara berpikir sebagai sebuah entitas, identitas dan eksistensi seseorang –dalam hal ini mahasiswa— dalam menyikapi dunia sekelilingnya.



Mitos Tubuh: Hipereality of Media and the End of Student

Dalam 12 tahun terakhir pasca reformasi, jejak gerakan mahasiswa yang seharusnya mengalami kematangan, baik dalam konteks organisasi maupun gerakan, sebagai imbas terbukanya kran demokrasi dan ruang publik yang jauh lebih luas dibanding era sebelumnya justru ditengarai semakin merosot ke dalam praktek-praktek personal mahasiswa yang terjun ke politik praktis. Euforia reformasi dan demokrasi bukannya melahirkan sesosok kekuatan moral force dan agent of change, alih-alih, semakin ”melempem”, tercerai-berai dengan kembalinya mahasiswa ke kampus masing-masing.

Padahal, jika melihat gejala semakin kentalnya praktik-praktik terbuka korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh negara pasca reformasi ini, ada harapan, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi yang diproklamasikan pada 98 yang lalu kembali ”bergairah” merebut posisinya yang sempat ”hilang.” Hiruk-pikuk ”kebangkitan” itu sempat muncul ketika kasus Bank Century (Century Gate) terungkap ke publik cukup berhasil menggalang kekuatan-kekuatan mahasiswa yang secara massif turun ke jalan. Tapi ”gairah” itu segera saja luntur setelah –menurut hemat penulis— gempita ”kemenangan” manipulatif kubu pendukung hak angket Century dalam voting terbuka yang dilakukan di DPR.

Seperti status yang pernah penulis tulis di akun Facebook ketika gempita kemenangan itu terjadi, bahwa kemanangan itu hanyalah imagologi politik atas citra pemerintahan yang, meminjam Baurillard, bersifat simulakrum politik atau sebatas pseudo-image untuk menjaga berjalannya status quo pemerintahan. Dalam pengertian ini, penulis ingin mengatakan bahwa, simulakrum politik berarti bahwa realitas kemenangan kubu pendukung hak angket bisa jadi buah dari proses agregasi kepentingan antara pihak-pihak yang pro-kontra yang tanpa asal usul realitas (kebenaran). Antara tanda dan makna (hipersemiotic) tidak mengacu pada realitas kasus Century an sich, tetapi lebih tepat merupakan politik citra untuk menjaga ”integritas” relasi kuasa DPR dan pemerintah daripada tujuan utama yang ingin diraih, yaitu; penegakan hukum (rule of law).

Tidak salah jika belakangan banyak muncul sikap apriori berbagai pihak terhadap menggejalanya simptom politik citra yang hadir dalam setiap sisi-sisi subtil relasi kuasa. Terjadi semacam ”koalisi kejahatan” yang hadir dalam ruang-ruang sosial, budaya dan politik, yang semakin sulit terendus. Secara bersamaan, kekuatan mahasiswa sebagai agent of change dikebiri oleh mesin-mesin hasrat (desiring machine) yang menyembul dalam lautan citra ”tubuh” sosial yang hadir bukan melalui praktek-praktek intimidasi, teror, dan bayang-bayang anarkhisme, atau penculikan. Tidak pula melalui undang-undang subeversi atau pun normalisasi kehidupan kampus yang menjadi ”momok” aktivisme yang pernah terjadi di era Pembangunanisme Soseharto.

Kali ini, di tengah optimisme global village-nya Marshal McLuhan dan bayangan cerah futurisme informasi Alvin Toffler, dan di saat perayaan media massa (mediamorfosa) yang telah mencapai bilik-bilik kamar mahasiswa –dan termasuk juga masyarakat awam, yang semestinya memberi harapan dan optimisme bagi munculnya kritisisme, melek (pencerahan) kebudayaan, sosial dan politik, justru tidak terjadi oleh karena informasi (media) tenggelam dalam pasar politik “jual-beli” tubuh. Hubungan relasional antara media dan masyarakat bukan hubungan antara dua “kesadaran” yang membingkai kebudayaan dalam “rezim” kritisisme, alih-alih, terjerembab dalam mitisme tubuh (the myth of the body).

Mitos tubuh ideal yang six packs (macho), tegak, tinggi, langsing, berkulit putih, adalah bahasa sosial simbolik yang “mengatasnamakan” demi kesehatan dan kebugaran tubuh menjelma menjadi semacam nilai baru interaksi manusia sebagai disiplin dan “tata krama” budaya urban –bahkan mulai merasuki daerah pinggiran/desa. Pada posisi ini, mahasiswa sekaligus telah menjadi agen citra diri tubuh yang hampir selalu hadir di setiap café, shopping center, tempat hiburan malam (night club), yang anehnya, semakin menjamur di setiap kota. Pada tempat-tempat tersebut, hasrat terhadap penampilan diri menjadi bahasa, identitas, prilaku dan sikap manusia di Indonesia saat ini.

Mike Featherstone, dalam The Body in Consumer Culture (1982), mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar. Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh).[10]

Menurut Featherstone, dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik.

Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Media iklan, sinetron, industri film adalah kreator utama citra tersebut. Signifikansi informasi bagi perubahan social memang telah terjadi. Laju industri media, sebagai “anak emas” teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi magnet utama masyarakat dalam meng-upload kompleksitas nilai yang disodorkannya. Nyaris –untuk mengatakan sebagian besar— tidak ada satu pun yang bisa lepas dari rengkuhan (informasi) media.

Jaminan Alvin Toffler akan kedigdayaan informasi sebagai syarat “kehidupan”, sampai saat ini, malah cenderung menghasilkan bunuh diri kehidupan. Informasi seharusnya bermakna memberi “pengetahuan”, edukasi, dan kritisisme. Kini, informasi “hanya” berarti skandal, selebritas, fashion, gaya hidup dan perayaan atas tubuh. Bagi gerakan mahasiwa, tentu saja, ini telah menjadi “virus” yang penularannya begitu lembut tapi mampu menjangkiti setiap tubuh sosial kita ke dalam labirin perjalanan kebudayaan yang hanyut oleh ekstase gaya hidup yang pada akhirnya melemahkan urgensi gerakan.

Pengawasan panoptik yang terjadi dalam gerakan mahasiswa dewasa ini jauh lebih ampuh dilakukan melalui hegemoni budaya dan globalisasi media. Politik pembiaran terhadap entitas budaya atau citra visual atas tubuh patut dicurigai sebagai bentuk hegemoni relasional media (kapitalisme) dan Negara terhadap melempemnya gerakan mahasiswa. Relasi kuasa informasi memenjarakan masyarakat dalam “logosentrisme” baru yang mendekonstruksi klaim logosentrisme Descartes yang berpusat pada “Aku yang berpikir” –cogito ergo sum— menjadi “tubuh yang berpikir,” yang pada akhirnya, tidak lebih merupakan konstruk hegemoni relasi kuasa politik dan pengetahuan yang co-existence dengan kegairahan gaya hidup yang mengkonstruksi kompleksitas kehidupan mahasiswa dan masyarakat dewasa ini yang berkiblat pada “perayaan” konsumerisme, bukan kritisisme.



Bibliografi

Budiyarso, Edi. Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa 77/78. Grasindo. Jakarta. 2000.

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Comte-Sponville, Andre. 2007. Spritualitas tanpa Tuhan. Alvabet. Tanggerang.

Hadi, Astar. 2005. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka terhadap Jagat Maya. LKiS. Yogyakarta.

Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta.

Ibrahim, Idi Subandy (ed.). 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan.

Juliastiti, Nur’aini. 1999. “Studi Tubuh.” Newsletter KUNCI, 01 Juli 1999, atau bisa diakses di http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm

Manan, Munafrizal. Gerakan Rakyat Melawan Elit. Resist Book. Yogyakarta. 2005.

McLuhan, Marshall. 1999. Understanding Media: The Extension of Man. Cambridge, Massachusets: MIT Press.

Prasetyantoko, A., Indriyono, Ign. Wahyu, dkk. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia, YHDS, Jakarta, 2001.


[1] Lihat Edi Budiyarso, Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa 77/78, Grasindo, Jakarta, 2000.

[2] Penulis masih menyimpan kaset rekaman hasil pidato Amin Rais pada tahun 1997 yangmemberi khotbah cukup panjang terkait urgensi suksesi Nasional pada khotbah Idul Adha di Lapangan Sepakbola Stadion Gajayana Malang yang dibanjiri jama’ah dan terutama sekali membludaknya antusiasme mahasiswa mengikuti shalat tersebut. Di samping itu, di koran-koran nasional periode 1997-1998, sedikit banyak melangsir isu-isu politik semacam itu yang didukung oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat baik secara tertutup maupun terbuka.

[3] Keberhasilan mereka “memetik bunga” sedikit banyak didukung oleh pematangan situasi, puncak krisis ekonomi moneter, konflik politik elit dan public distrust terhadap rezim, kesamaan sikap atas musuh bersama (common enemy) dan dukungan yang sangat luas dari seluruh elemen masyarakat. Tentang ini, lihat Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elit, Resist Book, Yogyakarta, 2005, hal. 179. Ulasan lain, baca juga, A. Prasetyantoko, Ign. Wahyu Indriyono, dkk., Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia, YHDS, Jakarta, 2001, hal. 75.

[4] Baca Hikmat Budiman, 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

[5] Multitasking merupakan sistem kerja komputer yang mampu merangkum berbagai aktivitas komputasi dalam waktu yang bersamaan. Analogi Hikmat Budiman dalam melihat kecenderungan budaya dalam masyarakat yang tidak lagi harus memilih satu aktivitas dari banyak pilihan yang ada. Ibid, Budiman, 2002. Lihat juga Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005.

[6] Madzhab Djaeng adalah nama yang diberikan kepada sebuah komunitas diskusi mahasiswa lintas etnik yang pertama kali lahir di Kopi Djaeng (warung kopi), Malang. Sampai saat ini, komunitas tersebut secara rutin melakukan diskusi setiap malam Jum’at di warung/cafe tersebut. Dalam waktu dekat, sejumlah tulisan dari hasil diskusi rencananya akan dipublikasikan melalui jurnal yang kami beri nama Jurnal Madzhab Djaeng. Komunitas ini bergerak pada studi-studi budaya dan kelimuan sosial yang bermarkas di Malang, Jawa Timur.

[7] Andre Comte-Sponville, Spritualitas tanpa Tuhan, Alvabet, Tanggerang, 2007.

[8] F. Budi Hardiman. 2007. Filsafat Fragmentaris. Kanisius. Yogyakarta, hal. 49-50.

[9] Sebagaian besar perkembangan sejarah teoritik dari studi tubuh ini penulis ambil dari artikel Nuraini Juliastuti, “Studi Tubuh,” yang dimuat di Newsletter KUNCI, 01 Juli 1999, dan atau bisa dilihat di http://kunci.or.id/esai/nws/01/studi_tubuh.htm

[10] Ibid. Nur’aini Juliastuti, Studi Tubuh.


*Salah satu tulisan yg dimuat dalam buku Quo Vadis: Pragmatisme VS Idealisme (Kerjasama Forum Diskusi Madzhab Djaeng (for Cultural Studies & Social Sciences) Malang dan Litera Buku Jogjakarta, 2011)

**Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB, penulis buku Matinya Dunia Cyberspace (LKiS, Yogyakarta, 2005). Sejumlah tulisannya pernah di muat di Jurnal dan di beberapa Media Massa Nasional maupun Lokal.

Tuesday, October 11, 2011

Mewaspadai Optimisme Ekonomi-Politik BIL

Oleh: Astar Hadi**

Bandara Internasional Lombok (BIL) baru saja beroperasi. Berbagai cerita tentang euphoria di media massa, jejaring social (social network), dan celoteh girang warga Pulau Seribu Masjid telah memberi tempat bagi ruang “baru” optimisme kesejahteraan yang telah begitu lama diidamkan masyarakat Lombok secara khusus, dan NTB pada umumnya.
Di awal beroperasinya BIL, kita melihat kerumunan massa yg begitu antusias menikmati “wisata” baru modernitas yang disuguhkan di daerah kering-kerontang dan “jauh” dari peradaban kota, di Tanak Awu, Lombok Tengah (Loteng). Masyarakat rela berjejalan di tengah terik panas mentari untuk sekadar menyaksikan lalu-lalang pesawat, memanfaatkan situasi untuk mengais rezeki ala “pasar kaget” dan, mungkin juga, turut menyublim dalam hysteria mimpi masyarakat urban yang datang dan pergi dari luar negeri maupun seluruh wilayah Indonesia.
Jejak pesawat-pesawat berlabel internasional itu sudah mulai membekas dan menancapkan pundi-pundi rupiah yang bakal “tersebar” di NTB. Sementara itu, kaki-kaki telanjang berlumpur tanah sawah di sekitarnya sudah cukup siapkah menggelar “karpet merah” peradaban urban yang cepat atau lambat akan hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka?
BIL memang telah mengusung optimisme itu. Sebuah semangat optimisme dalam logika pembangunanisme (growth theory) ala Rostow yang melihat makroskopik pertumbuhan ekonomi sebagai “jalan” kesejahteraan dan sebagai indikator kemajuan ekonomi yang mengandaikan satu titik poros pertumbuhan yang nantinya memberi efek domino (trickle down effect) bagi kemajuan-kemajuan di bidang lainnya. Pada konteks ini, BIL merupakan “jalan” kemajuan yang disiapkan untuk masyarakat Lombok.
Jejak tahap lanjut dari optimisme BIL tersebut berkelindan dengan program Visit Lombok-Sumbawa 2012 yang mengusung semangat turisme/pariwisata sebagai bentuk file project kebijakan “satu paket” dalam rangka membawa nama NTB bergaung tidak hanya dalam negeri, lebih-lebih, menjadi “harum” di dunia internasional. Sebuah proyek “ambisius” ekonomi-politik sebuah daerah yang notabene ingin berlari mengejar ketertinggalan IPM (indeks pembangunan manusia) dan tergolong “termiskin” secara ekonomi di banding daerah-daerah lain di Indonesia.
Tentu saja, dalam pembacaan sederhana kita, beroperasinya BIL akan memberi angin “segar” dan gairah baru bagi perekonomian local. Logika pembangunan ini mengafirmasi sebuah semangat homo economicus yang meletakkan dasar materialisme sebagai wujud “given” (niscaya) manusia yang hendak memproduksi kapital sebanyak-banyaknya melalui proses-proses produksi, distribusi dan konsumsi yang nantinya akan mengalami penyebaran secara “rasional” ke berbagai wilayah ekonomi publik.
Contoh paling sederhana dari gerak penyebaran di atas bisa dilihat dari munculnya euphoria dan antusiasme ekonomi yang ditunjukkan public dengan cara-cara yang bahkan sangat tradisional, “lucu” dan unik. “Pasar kaget”, merimbunnya PKL (pedagang kaki lima), munculnya tukang ojek dadakan, pemberi jasa (guide) wisata dan lain-lain, menunjuk pada “optimisme” paling banal dari optimisme “tangan tidak terlihat” (invisible hand) Adam Smith –peletak dasar teori Ekonomi Klasik— yang percaya bahwa bahwa pemerintah tidak perlu repot-repot mengatur masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, karena individu-individu dalam masyarakat akan memperjuangkan kepentingan ekonominya sendiri-sendiri. Perjuangan kepentingan ekonomi individu-individu itu di samping menciptakan persaingan, juga menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.
Untuk memperjelas hal tersebut, Adam Smith pernah menulis begini: “….Jika seorang membuat roti untuk dijual kepada orang lain, maka motivasinya bukan karena ia orang baik hati yang tak ingin melihat orang lain kelaparan, melainkan karena ia sendiri butuh uang untuk makan yang bisa ia dapat dengan membuat dan menjual roti itu.

Rakyat dalam Optimisme BIL

BIL adalah sejarah niscaya tentang modernisasi dan tawaran globalisasi yang hendak meletakkan dasar ekonomi-politik dalam ranah pemerintahan dan publik sekaligus. Pada konteks ini, pertimbangan hadirnya BIL, secara idealistik, merupakan bentuk “perjuangan” pemerintah untuk membangun kesejahteraan ekonomi di Lombok dan NTB secara umum. Apresiasi penting dari “kesadaran” ekonomis BIL ini layak diamini secara relatif sebagai salah satu factor yang akan memberi “ruang” lebih besar terhadap menjamurnya pasar potensial dan sector riil di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak, inilah optimisme rezim ekonomi-politik berkuasa yang telah ditawarkan kepada masyarakat local menuju tahapan kemakmuran yang lebih baik. Mengapa demikian?
Penjelasan teoritik tentang model ekonomi-politik BIL ini bisa dipahami dengan model pilihan rasional (rational choice theory) yang memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus. Bahwa hidangan “kue” internasionalisme ini menyajikan sebentuk rasionalitas pelayanan publik (public service) yang berakar pada motivasi dan kepentingan politik individu-individu di elit kekuasaan (pemerintah/pemangku kebijakan) yang sekaligus memperanggapkan dirinya sebagai “yang sama” dengan rakyat yang dipimpinnya dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan. Rakyat diposisikan sebagai makhluk ekonomi yang “diuntungkan” oleh beroperasinya BIL yang memberi efek domino langsung dan atau tidak langsung bagi hadirnya perbaikan infrastruktur jalan yang tadinya burung/kurang baik, terbukanya pasar yang lebih luas dan kompetitif, munculnya usaha-usaha baru bidang jasa dan lain-lain.
Ilustrasi pilihan rasional sangat optimis ditunjukkan Baiq Dyah R. Ganefi, seorang anggota DPD RI asal NTB, tentang keberadaan BIL tersebut. Dalam sebuah Grup di Facebook (FB), Ganefi menulis: “… Bayangkan saja, ketika bandara baru ini dapat membawa turis yang lebih banyak ke NTB itu akan lebih mudah lagi. Pengerajin kita yang lesu akan tersenyum kembali seperti sebelum Bom Bali dan Krisis Moneter dulu. Tamu-tamu asing itu akan langsung berdarmawisata ke rumah pengerajin dan akan menumpahkan dolar mereka disana… Bayangkan saja jika ongkos pengiriman itu turun. Para petani-petani kita dapat membanjiri supermarket-supermarket besar di Denpasar, Surabaya dan Jakarta dengan Kangkung Lombok yang manis dan renyah itu. Juga dengan wortel, kubis, kelapa, manggis, rumput laut, rambutan atau cabai merah ekstra pedas yang kini harganya sedang jatuh itu… Inilah yang saat kita belajar Ekonomi Publik dulu disebut sebagai eksternalitas positif. Yakni dampak langsung dari keberadaan satu aktifitas ekonomi terhadap lingkungan sekitar.”
Apa yang dikatakan Ganefi di atas, jauh-jauh hari, pernah ditulis sangat baik oleh James Buchanan, sang pencetus Rational Choice Theory yang membawanya meraih Nobel Ekonomi. Dua abad silam, Bapak Ekonomi Adam Smith pun mengikrarkan “laissez faire” (perdagangan bebas) sebagai tonggak “kejayaan” ekonomi modern.
Logika manis kapitalisme selalu memberi harapan. Gerak laju “tangan tak terlihat” Adam Smith dan pilihan rasional Buchanan telah banyak dipraktekkan dalam setiap kebijakan ekonomi sebuah negeri/daerah. Tapi ada satu hal yang sering terlupakan bahwa realitas “mode of production” (produksi, konsumsi dan distribusi) kapitalisme seringkali menghasilkan alienasi (keterasingan) ketimbang memberi jalan keluar bagi pemerataan ekonomi.
Sumberdaya ekonomi yang terbatas dengan tingkat kebutuhan ekonomi tidak terbatas secara otomatis melahirkan persaingan ketat antara para pelaku ekonomi. Pada titik ini, oligarki elit kuasa (pemerintah/DPR) yang berkelindan dengan elit pengusaha (korporasi) memiliki otoritas ekonomi paling besar atas hasil-hasil usaha ekonomi public. Lebih-lebih, jika kualitas SDM pendidikan masyarakat di Lombok saat ini masih tergolong “rendah,” maka optimisme “eksternalitas positif” yang disebut Ganefi itu, mungkin, hanya cantik di buku-buku Ekonomi tapi bersifat manipulatif pada wilayah riil persaingan usaha yang jelas-jelas sangat tidak seimbang.
Pada titik tertentu, harapan itu tetap ada. Masyarakat bawah yang tergolong mayoritas besar di NTB, tentu saja, mendapat imbas positif dari BIL tersebut. Tapi akan sangat sulit untuk mangatakan mereka bakal memperoleh bagian yang cukup merata dari berhamburannya Dollar ke Lombok karena ia sudah terlanjur masuk ke dalam kantong-kantong minoritas penguasa kapital. Tentu saja. Mengapa?

BIL = Euforia-Diaspora-Fantasmogoria?!
Kebijakan pembangunan BIL memang telah bergaung sejak Orde Baru. Potensi pariwisata dan turisme di Lombok yang sangat menjanjikan menjadi salah satu daya tarik utama pembangunan ini. Setelah dua decade, dari era 90-an sampai sekarang, pembangunan bandara ini, anehnya, mengalami banyak protes sementara kalangan oleh karena tidak adanya persiapan dan kesiapan matang mencipta skill lokal layak pakai sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam bingkai demokratisasi dan pelaksanaan good governance di era otonomi daerah (otoda).
Wajar jika kemudian hal ini memantik kecurigaan bahwa proses pembangunan yang terjadi berorientasi ekonomi murni (economic oriented) yang mengabaikan factor-faktor SDM local untuk terlibat dalam “gawe besar” pembangunan. Artinya, jejak-jejak sentralisme Jakarta dan korporasi masih berperan sangat besar menggawangi tahapan proses formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan BIL yang memungkinkan “kontrak politik” bagi-bagi “kue” tidak begitu memperhatikan kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, khususnya Tanak Awu dan sekitarnya. Dan, jika preseden ini terbukti benar, “mau dibawa kemana” dollar itu dan untuk siapa saja?
Andai saja para pemangku kebijakan (stakeholders) dalam rumusan good governance benar-benar berjalan, menurut hemat penulis, sejatinya tidak akan mengabaikan ranah pemetaan sosio-pskologis-politik local dan pelibatan masyarakat sebagai domain kerja suatu kebijakan. Akan tetapi, ketika analisis ini dibawa pada santernya opini-opini dan atau fakta-fakta miring tentang “tidak adanya” atau rendahnya skill local mumpuni yang siap berkerja secara professional, bisa ditengarai ada missing link yang melepas rantai kearifan local dengan “hanya” mementingkan pembangunan fisik semata.
Egosentrisme prilaku elit politik seperti di atas, dengan demikian, semakin menunjukkan apa yang pernah ditulis Karl Marx sebagai teori nilai-lebih (surplus value) kapitalisme yang mengutamakan keuntungan (produktivitas) ekonomi di satu sisi, sementara di sisi lain menghilangkan (alienasi) kerja-kerja non-ekonomis, seperti manusia.
Kesimpulan sementara yang bisa ditarik dari benang merah ekonomi politik BIL ini adalah sebuah gugatan epistemologis atas labirin pembangunanisme yang di satu sisi memberi harapan perubahan dan optimisme kesejahteraan ekonomi dengan segepok euforia. Di sisi lain, jika gurita kapitalisme pemilik modal dengan penjaga “moral hazard” politik kekuasaan saling bersanding kokoh, maka alamat “palsu” kesejahteraan ekonomi akan selalu menjadi sebatas euforia yang menaruh masyarakat di bawah kaki pencakar langit peradaban.
Pada akhirnya, manakala sebuah pembangunan fisik tidak benar-benar disertai akar (kebijakan) budaya SDM lokal, maka euforia PKL, “pasar kaget”, tukang ojek dadakan, celoteh girang masyarakat penonton (society of spectacle) pengantin pembangunan dan lain sebagainya, harus segera bersiap-siap terbang bersama pesawat di BIL untuk ber-diaspora (menyebar) –menjadi TKI/TKW misalnya— meninggalkan daerahnya karena merasa “asing” dan harus “kehilangan” tempat oleh desakan-desakan budaya baru urban dan pengambil-alihan hak ekonomi secara diam-diam (silent take over) oleh skill mumpuni pelaku ekonomi dari “luar” yang jamak terjadi setiap kali “peradaban” kota dimulai. Dan titik kulminasi dari logika ekonomi-politik semacam ini seperti menanam benih harapan di bumi penuh mimpi dan khayalan semu (fantasmogoria) yang seolah-olah sudah berada di depan mata, tapi ternyata ilusi belaka.
Sekali lagi, tengara modernitas dan globalisasi telah banyak menciptakan sejarah peradaban yang besar. Bangunan-bangunan megah pencakar langit telah menjadi saksi bisu betapa kekuatan ekonomi Cina semakin digdaya dalam percaturan global. Lombok secara khusus dan NTB secara umum “baru” saja memulainya. BIL adalah pertaruhan dan jaminan awal berdirinya hutan beton lainnya yang sangat mungkin mengikis “eksternalitas positif” pertanian Gumi Paer berganti “eksternalitas negatif” yang terlalu panas bagi orang Sasak “lebung” (rapuh/ringkih) untuk terlibat dalam persaingan merebut pasar “tangan tak terlihat” itu. Optimisme itu memang masih ada. Di sini dan kini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?! Selamat Datang BIL… !!! Wallohu a’lam bi alshawab.

**Astar Hadi adalah Sekjen INSAN (Institut Studi Agama dan Kebudayaan) NTB dan Peneliti sosial-politik di INDOMATRIK (Lembaga Survei Opini Publik dan Kebijakan) Malang.