Saturday, December 29, 2007

IPDN dan Mentalitas Orde Baru


IPDN dan Mentalitas Orde Baru
Oleh: Astar Hadi*
Apakah yang sementara ini kita pahami tentang pendidikan? Pendidikan tentunya merupakan sebuah ajang untuk menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan bakat intelektualitas alamiah manusia, di samping untuk menanamkan nilai-nilai dan ajaran normatif-etis sebagai pembentukan kesadaran dalam bingkai ‘mencerdaskan bangsa’ di satu sisi dan membangun nilai luhur ‘memanusiakan manusia’ secara global di sisi lain.
Pendidikan menjadi penting bagi manusia baik sebagai nalar imaginatif ataupun nalar praktis. Pendidikan berfungsi secara imaginatif sebagai pengasah karakter dan eksistensi setiap manusia dalam memformat dan me-manage pola pikir secara reflektif. Dan secara praktis, pendidikan berfungsi sebagai alat pencapaian aktual terhadap berbagai kebutuhan hidup yang menuntut adanya keahlian (skill) –dan ini seyogyanya ditunjang oleh pendidikan yang memadai.
Setiap upaya membangun generasi bangsa yang beradab, berkarakter dan bervisi ke depan, membutuhkan modal sosial (social capital) yang mensyaratkan di dalamnya daya kritis (kritisisme), sikap luwes dan energi kreatif, yang seharusnya muncul pertama-tama melalui generasi muda sebagai lokomotif perubahan. Hanya melalui generasi muda terdidik, peradaban sebuah bangsa dimulai.
Sejauh ini, menunjuk pada ”kesepakatan” umum, solusi kongkret yang menjadi indikator paling rasional untuk meraih social capital handal itu hanya melalui jenjang pendidikan. Benarkah demikian?
Membanggakan pendidikan, lebih-lebih peradaban bangsa, negara kita mungkin harus selalu kecewa –kalau tidak bisa dibilang terluka. Betapa tidak! Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini Indonesia kembali dihadapkan pada peristwa memalukan dalam dunia pendidikan kita. Dari peristiwa ”kecil” Ospek di setiap tahun ajaran baru dimulai, media massa cetak maupun elektronik selalu diwarnai berita-berita seputar kekerasan senior terhadap juniornya. Alasan yang seringkali muncul menjadi tameng penangkis hampir tidak pernah berubah; menguji mental. Cara-cara militer pun acapkali dianggap ”manusiawi.” Sudah cukup?
Ternyata tidak! Belum pulih ingatan kita atas meninggalnya Wahyu Hidayat –siswa STPDN yang sekarang berganti nama menjadi IPDN— yang ditengarai karena penyiksaan fisik oleh seniornya, kali ini kasus serupa juga menewaskan Cliff Muntu, calon Praja IPDN Sumedang, Jawa Barat.
Lagi-lagi, bukan intelektualitas-moralitas, tapi faktor ”kekerasan” menjadi salah satu ”syarat” lulus dan layaknya seseorang menggandeng gelar calon pegawai pemerintah yang (katanya) nantinya menjadi pengayom masyarakat. Mentalitas pendidikan kita, pada akhiranya, akan melahirkan mentalitas Orde Baru, ”tidak manut, gebuk aja, semua pasti beres bos!”
Mentalitas Orde Baru: Pendidikan Panoptikon
Panoptikon adalah mekanisme kontrol menyeluruh terhadap system kuasa yang dibangun kerajaan Orde Baru untuk mengawasi segala hal terkait subversi atau citra buruk (pseudo signs) kekuasaan. Dengan dalih menjaga “moralitas” bangsa, kekuasaan menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan yang menghantui berbagai aktivitas publik. Berbagai bentuk aktivitas selalu dicurigai, dibatasi, ditekan sedemikian rupa untuk menjaga harmonisme kekuasaan.
Sistematisasi model panoptik –seperti sketsa rancangan penjara panoptic yang dirancang Jeremy Bentham— mengisyaratkan harus adanya pusat kuasa sentralistik yang menjadi tempat beroperasinya nilai-nilai, norma dan hukum yang mengatur berjalannya disiplin sosial. Panoptisme tidak mengandaikan pengawasan secara langsung, akan tetapi ia dirancang dengan teror-teror citra kekerasan, membangun trauma psikologis massa, represi wacana (bahasa), yang dibentuk sedemikian rupa seolah-olah di setiap ruang publik ada yang selalu memata-matai (surveillance).
Efek domino kekuasaan panoptik ini mampu merasuki setiap tubuh sosial termasuk dunia pendidikan. Kebijakan NKK-BKK yang memasung kritisime dan nalar kreatif mahasiswa di era Orde Baru merupakan bentuk nyata sebuah pendidikan panoptik yang merasuki rongga-rongga otak yang berorientasi pada sikap ”tunduk” dan patuh terhadap atasan (senior).
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap junior, seperti kasus yang terjadi di IPDN tersebut, adalah bentuk serangan mental negatif yang sangat mungkin bertujuan membangun trauma psikologis makhluk terdidik. Artinya, kendati ada pembelajaran yang merangsang kecerdasan otak, panoptikonisasi mampu ”menganulir” kecerdasan yang dimiliki pada titik di mana seseorang ”merasionalkan” setiap tindakan menyimpang dari atasan (senior) sebagai sesuatu ”yang benar” oleh karena (kecerdasan) tenggelam dalam konstruksi citra (pseudo sign) sebagai ”aku yang inferior.”
Alih-alih pendidikan mampu membentuk –meminjam istilah Paulo Freire— kesadaran kritis (critical consciousness) bagi masyarakat, justru karena model kekerasan (panoptik) yang diciptakan, kita tidak lebih hanya sebagai ”pajangan” panjang gelar intelektual yang, layaknya buku, ”hanya berjejer indah dan rapi di lemari tanpa pernah kita tahu apa yang harus kita lakukan dengannya”. Yang kita tahu bahwa kita telah menjadi ”milik” orang-orang tertentu yang bebas melakukan apa saja.
Menanggalkan IPDN-isme
Dulu STPDN, sekarang IPDN. Hasilnya sama saja. Sikap otoriter masih saja dipraktekkan. Pihak pemerintah, khusunya Depdagri, tidak perlu reaksioner dan grusa-grusu dengan mengganti nama lagi atau membubarkannya kalau saja kebijakan atau sistem pendidikan yang ada tetap saja berbau otoriter. Ini akan berbuntut panjang, yaitu membentuk calon pelayan rakyat yang berorientasi pada ”kepatuhan” dan ”ketaatan” tanpa reserve dengan cara-cara ”menghalalkan” kekerasan.
Unsur-unsur panoptik ’IPDN-isme” dalam pendidikan akan menghasilkan sejumlah banyak orang ”cerdas” yang tidak mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Ibarat mesin, kita pada akhirnya, hanya sanggup berkata ”ya” pada remote control kekuasaan, meskipun harus menzalimi (kebenaran) yang lemah.
Pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari kasus IPDN atau pendidikan yang memasukkan unsur kekerasan adalah isyarat matinya pendidikan untuk peradaban dan kaeadaban. Peradaban dan keadaban, bagaimanapun, tidak akan pernah lahir dari praktek otoritarianisme pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang ”membebaskan”, ”mamanusiakan”, ”berkeadilan” dan tidak diskrimanatif, bangsa kita akan akan mampu melahirkan sosok generasi penerus pemerintahan.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Administrasi Publik konsentrasi Kebijakan Publik, Unibraw Malang. Penulis buku ”Matinya Dunia Cyberspace” (LkiS, 2005) dan saat ini aktif dalam Komunitas Kajian Ilmu Sosial Mazhab Tlogomas Malang.

No comments:

Post a Comment