Saturday, December 29, 2007

Oposisi Biner itu Bernama Terorisme

Oposisi Biner itu Bernama Terorisme
Oleh: Astar Hadi*
Kekerasan masa kini adalah kekerasan yang dihasilkan oleh hipermodernitas kita, adalah teror. Simulakra kekerasan, yang muncul dari balik layar ketimbang dari lubuk hasrat: kekerasan di dalam jagat raya citraan (Jean Baudrillard, 2003: 75).
Ya, kekerasan telah menjelma ke dalam sense of being budaya kita dalam bentuk citra-citra kekerasan. Hipermodernitas peradaban sebagai pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (computer mediated communication), meletakkan dasar-dasar horor mundi yang bergentayangan melampui realitas teror itu sendiri.
Karena sesungguhnya, teror atau terorisme -seperti kebanyakan orang menyebutnya, dalam artian yang luas tidak saja berupa penggunaan tindakan intimidasi keekerasan secara sistematik untuk kepentingan politik tertentu, alih-alih ia merupakan sebuah potensi psikologis massa dalam bentuk (citra-citra) kekerasan global.
Berbagai dalih diciptakan untuk “mengakali” kita tentang keterbolehan melakukan tindak kekerasan. Entah itu tindak kekerasan yang sifatnya secara langsung menunjuk pada pelaku terorisme itu sendiri atau pun “pahlawan” anti teror dengan cara yang sama: “menghalalkan” tindak kekerasan.
Legitimasi Struktural Negara
Apakah negara memiliki andil dalam menyokong terorisme global dewasa ini? Pertanyaan ini tidak berusaha untuk memberikan sebuah jawaban konkret terhadap permasalahan terorisme global dewasa ini, tetapi minimal untuk menunujukkan bahwa realitas kekerasan dalam bentuk teror telah menjelma hampir di seluruh belahan dunia dan keterlibatan negara-negara di dalamnya menjadi suatu hal yang mungkin menilik semakin maraknya aksi teror yang ditujukan ke negara-negara tertentu.
Siapa yang tidak tahu Amerika Serikat (AS) dan George Walker Bush yang menjadi tokoh puncak dalam memerangi terorisme global. Tapi kegigihan seorang Bush dalam melawan terorisme global patut dipertanyakan. Seringkali tindakan melawan terorisme justeru dengan melakukan aksi teror baik secara fisik atau melalui pemutarbalikan fakta (disinformation) berupa pembentukan opini-opini di media yang disokong oleh media tertentu. Legitimasi struktural dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan tindak kekerasan dengan tujuan “memusnahkan” anasir terorisme walaupun harus mengorbankan rakyat sipil yang tidak bersalah.
Alasan yang paling sering dijadikan sandaran sama saja dengan logika perang, bahwa korban sipil merupakan harga yang harus dibayar. Nyatanya, banyaknya korban sipil terbukti hampir tidak pernah mengurangi kekuatan terorisme itu sendiri. Sebaliknya, aksi teror global justeru semakin meningkat. Aksi peledakan bom di Inggris beberapa waktu yang lalu menjadi bukti terorisme telah menjadi trend masyarakat global.
Dengan kata lain, mengikuti Baudrillard dalam Perfect Crime (1996), legitimasi struktural kekerasan atas “anjuran” negara atau pemerintah merupakan sebuah kejahatan sempurna (perfect crime) yang memayungi kompleksitas kekerasan di tengah masyarakat. Logika pemerkosaan terhadap realitas kejahatan disembunyikan sedemikian rupa dengan cara menimpakan model citra kekerasan atau teror pada pihak lain (AS vis a vis Al-Qaeda).
Dalam istilah semiotika -ilmu yang mempelajari tanda dan penggunaannya dalam masyarakat, kekerasan yang selama ini dilakukan oleh sebuahrezim yang berkuasa seringkali menggunakan model permainan citra pasangan atau oposisi biner (binnary opposition) untuk mengelabui masyarakat dengan disinformasi opini melalui media tentang “tindakan mendahului teror”. Pemerintah bersembunyi dari balik teror atau intimidasi yang dilakukannya dengan mengalamatkan tuduhannya pada pihak lain. Sehingga kejahatan-kejahatan dan korban massal yang ditimbulkannya, telah lebih dahulu “dimaafkan” dengan alasan tugas mulia; untuk kemanusiaan, perdamaian, demokrasi, dan atribut-atribut positif lainnya.
Seorang filsuf Amerika sendiri, Noam Chomsky, secara terang-terangan melempar tuduhannya pada AS sebagai lumbung aksi terorisme. Dengan menunjukkan sejumlah data, Chomsky melihat sebuah paradoks terorisme yang sangat kontradiktif dilakukan oleh AS. Berdasarkan pengalaman historis, masih Chomsky, As telah mengkondisikan aksi teror di sejumlah negara, seperti Nikaragua, Elsalvador, Palestina dan Lebanon, yang juster menimbulkan jumlah korban sipil yang jauh lebih banyak dari korban tragedi bom di WTC, 11 September 2001, empat tahun yang lalu.
Ironis memang! Sampai saat ini AS tetap digdaya sebagai sang Maestro pembela demokrasi dan perdamaian dengan jerih payah yang begitu besar mengobrak-abrik kehidupan bangsa lain untuk sekedar membuktikan adanya senjata pemusnah massal di Iraq, yang sampai saat ini tidak terbukti kebenarannya sama sekali.
Terorisme Bukan Oposisi Biner
Mengutip tulisan Haryatmoko berjudul Logika Kekerasan Terorisme (Kompas, 05/08/2005), mengatakan radikalisme agama didasarkan pada visi Manikean, yaitu dunia dibagi atas dasar dua kelompok, baik dan jahat. Dikatakannya, musuh dianggap negasi terhadap nilai agama pilihan. Janji agama bahwa musuh akan binasa menjadi alat pembenaran melakukan apa saja, termasuk kekerasan dan pembunuhan.
Walaupun alasan-alasan Haryatmoko tidak bisa dipandang sebelah mata, tapi lagi-lagi ia harus terjebak pada model oposisi biner yang sejak pemerintahan Rezim Soeharto begitu dominan melingkupi kehidupan berbangsa dan berbangsa kita. Di masa itu, citra Islamophobia begitu kental mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sehingga faham-faham agama (baca: Islam) yang berdasarkan radikalisme masuk dalam kategori yang harus dimusnahkan, seperti yang dilakukan terhadap Komando Jihad dengan alasan Undang-Undang Subversi tentang SARA.
Tentu saja apa yang diasumsikan Haryatmoko tersebut tidak cukup relevan dengan kondisi global, dan khususnya di Indonesia. Agama adalah agama yang selalu pada persoalan dan etika kemanusiaan secara universal. Sementara tindak kekerasan atau terorisme dalam bentuknya yang paling kecil sekalipun tetap sebuah kejahatan yang tidak akan pernah berubah wujud menjadi “cara lain melihat kebenaran”. Sebagai pengecualian, kekerasan yang bersandar pada nilai-nilai (Haryatmoko menyebutnya radikalisme) agama, bukan sebuah elan vital keberagamaan, alih-alih ia hanyalah sebuah model rekayasa citra dan manipulasi oposisi biner yang berusaha menopengi wajah agama menjadi sebatas candu hitam di atas putih.
Menguliti (kekerasan atas nama agama) dengan pisau analisis oposisi biner justeru tidak akan menghentikan kerangka berpikir dan bertindak atas dasar hitam-putih tersebut. Oposisi biner, baik untuk menunjukkan kekerasan dari dan oleh agama atau negara, akan berbalik arah menjadi bumerang bagi kita dalam melawan terorisme an sich. Karena pada kenyataannya, terorisme akan semakin hidup dan berkembang jika didasari pada pencitraan-pencitraan baik-jahat karena dimungkinkan oleh lahirnya bibit-bibit baru berupa rekayasa kekerasan.
Dalam pengertian yang lebih luas, sikap atau penilaian dengan cara tersebut seringkali memantik sebuah skenario pengkambinghitaman atau firnah terbuka (black mail) terhadap pihak-pihak tertentu atas dasar opini-opini yang ditengarai oleh (sikap tendesius) sementara pihak lain.
Terkait terorisme global itu sendiri, bahwa keberadaan aksi teror atas nama agama apapun, lebih banyak menemui batu sandungan dan jalan buntu ketimbang bukti keterlibatannya, karena membutuhkan seperangkat penyelidikan dan pembuktian yang sangat serius.
Kendati demikian, kekerasan dan teror yang mengatasnamakan (radikalisme) agama –sebut saja Islam— dalam skala nasional (Indonesia) dan skala global (Al-Qaeda) tidak bisa dibantah (infactum). Tetapi kemungkinan yang lebih jauh, apakah tuduhan-tuduhan itu murni citra sebuah terorisme atau (sebaliknya) merupakan efek silang dari simulasi teror oleh pihak lain yang memiliki kepentingan (politik) tertentu?
Jangan-jangan, berbagai tuduhan atau pun asumsi sebagai dalang di balik aksi kekerasan dewasa ini, hanya sebatas rekayasa yang diproduksi dan diciptakan untuk melegitimasi terjadinya bentuk teror yang lain, dengan tujuan pembalasan dan penyerangan besar-besaran. Sehingga korban masyarakat sipil yang tidak bersalah menjadi sebuah citra yang biasa dan manusiawi dalam mengusir dan membasmi terorisme dari muka bumi.
Akhirnya, terorisme bukanlah persoalan radikalisme agama atau oposisi hitam-putih yang juntrungnya sebatas klaim kebenaran sepihak. Terorisme sejatinya adalah persoalan siapa meneror siapa, siapa mengintimidasi siapa, bukan persoalan agamanya apa atau negaranya apa. Terorisme, sekali lagi, adalah citra-citra kekerasan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, karena ia telah begitu dekat dan menghantui psikologi masyarakat global. Sanggupkah kita bertahan? Wallahu A'lam.
*Astar Hadi adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, dan mantan wartawan.

No comments:

Post a Comment